TAHUN POLITIK BAGI KEMENTERIAN AGAMA (2)
Di dalam acara Rakernas tahun 2018, ada catatan menarik sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa ASN diharapkan netral di dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019. Selain memperoleh penekanan Menteri di dalam acara dialog program tahun 2018, juga ditindaklanjuti dengan sidang komisi untuk menjamin bahwa ASN Kemenag netral di dalam penyelenggaraan pilkada tahun 2018.
Memang diketahui bahwa Kemenpan&RB serta KSN telah membuat surat edaran yang isinya meminta tentang netralitas ASN. Itulah sebabnya bahwa Kemenag menjadikannya sebagai pedoman di dalam penyelenggaraan pilkada dan pemilu. Sebagai ASN tentu –sesuai dengan regulasi—haruslah menjaga netralitasnya, sebab hanya dengan netralitas saja maka penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan relnya.
Bahkan Menteri Pan&RB, Pak Dr. Asman Abnur, juga menyatakan bahwa para ASN harus benar-benar menjaga netralitas di dalam penyelenggaraan pilkada. Jika ada anggota keluarganya, misalnya suami atau isteri yang mencalonkan sebagai calon bupati atau walikota, maka agar tetap menjaga netralitasnya itu. Misalnya pada waktu kampanye diperkenankan untuk cuti dan kemudian bisa terlibat di dalam kampanye mendukung keluarganya dimaksud, dengan catatan jangan menggunakan atribut partai politik pendukung keluarganya. Hal ini dilakukan agar netralitasnya sebagai ASN akan tetap terjaga.
Menjaga etika sebagai ASN tentu sangat penting. ASN diharapkan dapat menjaga marwah kepegawaian di tengah perhelatan politik. Makanya, sudah saatnya untuk ditindaklanjuti regulasi-regulasi yang sudah mengatur tentang netralitas ASN di dalam pilkada. Yang partisipasi pasif saja tidak diperkenankan apalagi lalu menjadi partisipan aktif. Semua ASN agar terus berada di dalam suasana dan menciptakan kondisi aman dan nyaman dalam pilkada.
Kita tentu bersyukur bahwa kesadaran ASN, khususnya di Kemenag sudahlah cukup memadai. Kita semua berharap agar pimpinan satuan kerja (satker) untuk membangun netralitas ASN di dalam pilkada tahun 2018 dan berlanjut pada pilpres tahun 2019. Di dalam setiap kesempatan saya memberikan pengarahan di dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan di pusat dan daerah selalu saya tekankan tentang tahun politik ini.
Dalam dua pekan ini, saya terlibat di dalam 5 (lima) kali pertemuan, seperti meeting dengan tokoh agama di Kementerian Dalam Negeri, raker di Provinsi Banten, Raker di Provinsi Jawa Barat, Raker di Balai Diklat Administrasi, dan pertemuan di UIN Maulana Malik Ibrahim selalu saya tekankan tentang perlunya netralitas ASN tersebut.
Saya selalu menyatakan bahwa Kemenag harus menjadi contoh dalam netralitas ASN pada pilkada. Kemenag itu memanggul tugas sebagai institusi percontohan sebab menyandang kata agama. Jika institusi atau KL lain tidak menyandang kata agama, maka kitalah satu-satunya institusi yang memiliki kata agama di dalamnya. Kita harus menjadikan institusi ini sebagai institusi yang memberi teladan di dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata agama tidak hanya sebagai pedoman di dalam kehidupan akan tetapi juga pengamalannya. Jadi Kemenag haruslah menjadi teladan dalam penerapan pedoman dan terlihat di dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jadi, saya ingin menyatakan bahwa di dalam pilkada itu haruslah menjadikan institusi kita ini sebagai teladan dalam kehidupan keagamaan, sosial dan bahkan dalam perilaku politik.
Pada tahun politik –sebagaimana pilkada DKI—maka dapat diketahui bagaimana tegangan politik itu sedemikian dahsyat. Hoax terjadi dimana-mana. Semuanya berebut untuk menguasai kekuatan politik. Di era pilkada, maka hoax menjadi industry media. Orang bisa memperjualbelikan kebohongan, perusakan harga diri, ujaran kebencian dan sebagainya sebagai bagian tidak terpisahkan dari keinginan penguasaan politik.
Jika kita mencermati terhadap beberapa hoax yang terjadi akhir-akhir ini, maka rasanya tidak pantas berita itu diangkat oleh orang muslim dengan tingkat pemahaman dan pengamalan agama yang memadai. Rasanya kita telah benar-benar berada di era Cyber War dalam fungsinya. Orang bisa mengunggah ungkapan-ungkapan yang tak layak publish. Diyakininya bahwa semuanya bisa disebarkan tanpa memiliki sedikitpun simpati kepada yang dibullying tersebut.
Makanya, salah satu di antara rekomendasi Rakernas Kementerian Agama ialah untuk membangun Ministery of Religious Affairs Cyber Team (MORA Cyber Team) yang memiliki tugas khusus untuk menangani media sosial. Di dalam acara sering saya nyatakan, “PTKN adalah potensi untuk membangun MORA Cyber Team, sebab di PTKN ada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, sehingga penyebaran informasi di media sosial akan menjdi semakin efektif dan bermanfaat.
Kita berharap agar MORA Cyber Team akan bisa menjadi garda depan dalam kerangka untuk menyebarkan keberhasilan atau quick win Kemenag di manapun keberadaannya. Lalu bisa menjadi penyeimbang jika suatu ketika terjadi bullying dari orang lain yang sengaja merusak citra Kemenag dan juga mengagendasettingkan apa yang akan menjadi info trendy sepekan atau sebulan ke depan.
Kita sungguh berharap di tahun politik ini, maka citra Kemenag tetap sesuai dengan yang kita harapkan dan tentu itu semua bisa terjadi karena keterlibatan kita –yang sesungguhnya—adalah humas-humas fungsional bagi Kemenag.
Wallahu a’lam bi al shawab.
TAHUN POLITIK BAGI KEMENTERIAN AGAMA (1)
Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik yang tidak terhindarkan. Tahun 2018 merupakan tahun diselenggarakannya pilkada serentak di 176 Kabupaten/kota di 17 Provinsi. Dan sebagaimana diketahui bahwa setiap tahun politik tentu ditemui kegaduhan-kegaduhan yang tidak terhindarkan.
Kegaduhan politik tentu bersifat fluktuatif. Artinya ada wilayah tertentu dengan intensitas kegaduhan sangat tinggi dan ada yang sedang bahkan kurang kegaduhannya. Dalam konteks ini, maka Badan Pengawas Pemilu sudah merilis tingkat Indeks Kekerasan Pilkada (IKP) di 17 provinsi dimaksud. Yang dinyatakan memiliki kerawanan tinggi ialah Provinsi Papua, sementara yang rendah ialah Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Timur berada di peringkat ke 9 (sembilan).
Saya tentu saja tidak mendalami tentang peringkat tersebut, akan tetapi yang penting ialah menjawab pertanyaan bahwa pilkada di beberapa daerah ini memang memantik keributan atau kegaduan politik. Jika kita menilik terhadap berbagai peristiwa politik sebelumnya, memang pantaslah misalnya menyebut Papua sebagai daerah “rawan” pilkada. Sebab sebelumnya tentu terdapat tingkat fluktuasi kegaduhan politik yang tinggi. Lalu Provinsi Jawa Timur juga pernah terjadi berbagai kerawanan politik di masa lalu. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memang selama ini tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan terkait dengan pilkada. Jadi rasanya memang relevan pemberian indeks kerawanan pilkada ini.
Pilkada atau pemilu memang bisa membelah penggolongan sosial di dalam kehidupan kita. Sebuah contoh pilihan Gubernur/Wakil Gubernur di Jawa Timur, maka bisa membelah kyai-kyai NU dalam dua pilahan yang jelas. Sebanyak kyai tertentu memilih Gus Ipul dan sebanyak lainnya memilih Bu Khofifah. Kedua kelompok ini juga aktif melakukan manuver-manuver politik dalam berbagai kesempatan dan peluang. Secara umum, misalnya dinyatakan Pesantren Tebuireng dengan segenap pendukungnya memilih Bu Khofifah, sementara Pesantren Lirboyo dengan segenap jajarannya memilih Gus Ipul. Bahkan dalam satu tubuh kepengurusan NU Jawa Timur, bisa terjadi penggolongan perilaku politik yang berbeda.
Tetapi kita beruntung sebab berdasarkan pengamatan sementara, bahwa masyarakat tidak terpancing dengan tingkah laku politik para elit, termasuk elit keagamaan. Jadi sesungguhnya yang “ribut” ialah para elit politik, elit kyai atau ulama dan tim sukses para calon gubernur atau wakil gubernur. Masyarakat tetap tenang dengan kehidupannya dan pekerjaannya. Satu catatan bahwa masyarakat kita tampak semakin dewasa di dalam menghadapi peristiwa politik 5 (lima) tahunan atau ritual politik liminal tersebut.
Kehidupan masyarakat hingga beberapa saat terakhir juga tidak menunjukkan kegaduhan sebagai akibat berbagai maneuver yang dilakukan oleh cagub/wagub atau cabub/cabub dalam pilkada. Sehingga memberikan kesan bahwa masyarakat tetap berada di dalam jalur atau track politik yang terarah.
Selain perilaku masyarakat yang tetap tenang, maka yang juga diharapkan memberikan kontribusi positif bagi terselenggaranya pilkada damai ialah para Aparat Sipil Negara (ASN). Netralitas ASN tentu menjadi kata kunci dan menjadi indicator bagi kesuksesan penyelenggaraan pilkada. Meskipun terdapat beberapa “pengaduan” ketidaknetralan ASN ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KSN), akan tetapi masih menunjukkan sebagai partisipasi pasif dan bukan partisipasi aktif.
Partisipasi pasif ialah ASN bersangkutan datang di acara deklarasi calon pasangan gubernur dan wakil gubernur atau pasangan calon bupati dan wakil bupati atau pasangan calon walikota atau wakil walikota. Atau terlibat dalam kegiatan politik praktis yang ada di wilayahnya atau lintas wilayah.
Sebagai ASN Kemenag tentunya dilarang terlibat baik secara aktif maupun pasif di dalam kegiatan politik praktis. ASN sebagai regulasi yang mengaturnya, misalnya Undang-Undang Aparat Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014, maupun Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2016 yang tidak membolehkan ASN terlibat di dalam politik praktis. Jika ingin melakukannya, maka haruslah pensiun dari ASN.
Netralitas ASN memang menjadi hal yang sangat positif di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui netralitas ASN, maka siapapun yang menjadi gubernur, bupati, walikota bahkan presiden tentu tidak akan terjadi intervensi politik. Sebagai jabatan politik, maka presiden, gubernur, bupati dan walikota tentu didukung oleh partai politik. Dengan ASN sebagai aparat negara yang berada di dalam posisi netral, maka jalannya roda pemerintahan pastilah akan berjalan sesuai dengan relnya.
Bisa dibayangkan jika ASN tidak netral di dalam pemilu, pilkada dan politik praktis lainnya, maka akan terjadi penggolongan atau pengelompokan ASN ke dalam kubu-kubu politik dan hal ini tentu sangat tidak kondusif bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Belum lagi misalnya jika calon yang didukung tidak berhasil, maka akan dipastikan ASN tersebut akan tersingkir dan akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Dengan netralitas ASN sungguh dimaksudkan sebagai cara untuk membangun proses pemerintahan yang tetap berjalan pada jalurnya, siapapun yang menjadi pemimpinnya. Dan dengan cara ini, maka dipastikan bahwa system pemerintahan akan terus berlangsung di dalam kedamaian dan kebersamaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
INOVASI TIADA HENTI: RAKERNAS KEMENAG 2018 (3)
Saya tentu menyatakan bahwa acara Rakernas Kemenag tahun 2018, yang dilaksanakan di Hotel Grand Sahid, 29-31/01/2018 tentu sukses. Hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan maupun materi yang dihasilkannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa acara Rakernas ini sangat berbeda dengan acara Rakernas sebelumnya.
Saya mengapresiasi atas jerih payah Mas Hadi Rahman (staf Khusus Menteri Agama) yang memiliki peran sangat penting untuk kesuksesan acara Rakernas ini. Beliau bersama Tim Steering Committee (Pak Ali Rahmat, dkk) yang menyiapkan bahan-bahan dan penyelenggaraan acara dan juga Tim Organizing Committee (Pak Afrizal, dkk) yang menyiapkan segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan acara ini, seperti menyiapkan hotel dan kesiapan peserta dan nara sumber secara keseluruhan.
Beberapa hal yang membedakannya ialah mengenai presensi peserta, yaitu dengan menggunakan electronic barcode. Dengan system ini, maka pelaksanaan acara demi acara lebih mudah untuk dikontrol terkait dengan keaktifan peserta dan kehadiran peserta. Jika selama ini menggunakan sstem manual di dalam system presensi, maka di acara Rakernas ini sudah menggunakan system electronic yang dipersiapkan secara matang.
Hal lain yang tidak kalah penting ialah program ini secara keseluruhan dilakukan dengan system two way traffic communication, bahkan dengan system multi traffic communication. Pak Menteri pun juga menggunakan system ini. Demikian pula Ketua Komisi VIII DPR RI (Dr. Ali Taher Parasong) juga menggunakan system tersebut. Jika biasanya Pak Menteri dan Ketua Komisi VIII itu memberikan ceramah one way traffic communication, maka di dalam Rakernas ini menggunakan dialog, sehingga peserta bisa memberikan tanggapan secara memadai. Sebagai sessi pertama, maka dipanelkan Pak Menteri, Pak Ketua Komisi VIII dan saya sebagai moderatornya.
Ada beberapa gagasan penting Pak Menteri, yang kiranya perlu saya sampaikan, yaitu: 1) Kementerian Agama terus berupaya untuk melakukan inovasi dalam penyelenggaraan program-programnya, misalnya adalah inovasi yang terkait dengan Rakernas ini, terutama terkait dengan presensi peserta yang sudah electronized. Lalu system ceramah monolog yang ditinggalkan dan diganti dengan system dialog dan sidang-sidang komisi yang membahas hasil rakerpim untuk mendalami program prioritas Kemenag. Selain itu juga sebelumnya sudah dilaunching pembayaran nontunai dan presensi ASN melalui Si EKA atau Sistem Informasi Elektronik Kinerja ASN dan sebagainya.
2) Perlunya melakukan pencermatan terhadap RKAKL Kemenag. Perlu digarisbawahi bahwa RKAKL tentu bisa diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan yang mendasar. Makanya, perlu dilakukan upaya untuk membedah RKAKL dengan prinsip yang pasti ditetapkan, yang bisa dimodifikasi diubah dan yang memang sudah tidak relevan untuk direvisi disesuaikan dengan program prioritas Kemenag.
3) Kita sedang berada di tahun politik, maka setiap ASN haruslah menjadi teladan di dalam pelaksanaan pilkada. Ada sebanyak 176 pilkada di 17 Provinsi tahun 2018 dan Pilpres tahun 2019. Di dalam perhelatan politik seperti ini maka ada banyak masalah, misalnya ialah politisasi agama. Yaitu penggunaan agama untuk kepentingan pemenangan politik. Agama sering kali dijadikan instrument untuk kontestasi politik. ASN diharapkan bisa berada di dalam netralitas yang memadai. Jangan sampai kita terjebak dengan politik praktis. Hindari agar kita tetap berada di ruang netral di pilkada.
4) Usahakan agar kita melakukan gerakan moderasi agama. Semua program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kemenag, hakikatnya ialah untuk mencapai tujuan moderasi agama tersebut. Program pendidikan agama dan keagamaan, program bimbingan keagamaan dan sebagainya tentu ditujukan untuk membangun moderasi agama. Makanya, hendaknya dilakukan upaya untuk mencermati dan meninjau ulang RKAKL, lalu mana yang tidak relevan dengan tujuan moderasi agama untuk disesuaikan.
Pesan-pesan Pak Menteri disampaikan dengan sangat jelas dan menjadi direktif untuk dilakukan oleh semua unit eselon I dan jajarannya. Dengan arahan ini, saya kira sudah saatnya semua unit eselon I dan jajarannya untuk menyelenggarakan bedah RKAKL dalam kerangka melaksanakan arahan Pak Menteri.
Di antara yang juga penting ialah acara sidang komisi. Saya memimpin acara Sidang Komisi I dengan tema “membangun sinergitas program pusat dan daerah dan reformasi birokrasi”. Maka, acara ini juga saya lakukan inovasi dengan optimal. Jika selama ini pilihan peserta ialah membuat tim kecil untuk membuat rumusan hasil sidang komisi, maka hal itu tidak saya lakukan. Setelah penjelasan sekedarnya oleh saya, Irjen dan Kakanwil Lampung, maka kemudian kita lakukan pembahasan floor dan kemudian saya bagi menjadi sub-sub komisi yang membahas pokok-pokok masalah yang sudah ditentukan. Dengan cara ini, maka semua menjadi terlibat untuk merumuskan dan setelah selesai, maka dipanelkan dalam komisi untuk disampaikan rumusannya di dalam sidang pleno. Dan hasilnya, saya kira lebih baik dibandingkan dengan lainnya.
Sungguh saya melihat bahwa Rakernas kita kali ini memiliki signifikansi bagi perubahan-perubahan yang kita inginkan. Dan dengan harapan bahwa akan dilakukan tindak lanjut oleh semua unit dalam rangka menjemput program dan kegiatan yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
INOVASI TIADA HENTI: KISAH SEPATU DAN KAOS KAKI (2)
Pertemuan di Lembang sungguh sangat bermakna dalam kerangka menciptakan suasana keakraban kita semua. Sudah saya paparkan bahwa secara structural-jabatan tampaknya tidak ada lagi jarak antara satu dengan lainnya. Melalui joke-joke yang hangat kita bisa merasakan betapa keakraban itu terbentuk. Sungguh menjadi acara yang sangat menarik bagi kita semua.
Acara (12/01/18) malam hari di tempat terbuka dengan pemanasan api unggun juga sangat khas. Mengingatkan ketika kita di Sekolah Menengah Atas yang sering mengikuti camping di tempat terbuka dan juga pelatihan-pelatihan organisasi kemahasiswaaan yang juga selalu ada api unggunnya. Terasa kita berada di nuansa yang sangat berbeda dengan rapat-rapat yang biasa kita lakukan.
Para eselon I dan beberapa eselon II duduk di kursi dalam posisi setengah lingkaran. Saya tentu saja duduk bersebelahan dengan Pak Menteri. Saya di sebelah kiri dan Pak Menteri berada di sebelah kanan saya. Sekali-kali saya berdiri saat memandu acara. Saya berusaha untuk menjadikan acara malam itu sebagai acara yang tidak resmi yang berbeda dengan rapat pada umumnya. Meskipun tentu saja tetap harus didesain agar para peserta dapat menyatakan pendapat dan pandangannya secara akademis. Saya rasa tidak mudah memang untuk mengatur acara dalam paduan, santai tetapi serius. Guyonan tetapi tetap menjaga tradisi akademis dan birokratis.
Seperti biasanya, maka saya membawakan acara ini dengan celetukan. “Saya terkesan dengan nyanyinya Pak Sukoso. Lagu “Jatuh Bangun” yang biasa didendangkan oleh Kristina itu menggambarkan bagaimana BPJPH terasa jatuh bangun juga. Bagaimana dalam setahun hanya ada anggaran 17 milyard yang untuk membayar gaji saja tidak cukup. Padahal tahun depan sertifikasi halal sudah menjadi mandatory”.
Satu persatu seluruh eselon I memberikan pandangan dan pendapatnya tentang tugas pokok dan fungsinya. Dengan gayanya masing-masing mereka menampilkan dirinya di hadapan peserta rakerpim. Setiap kali mengantarkan seorang pejabat eselon I untuk bicara, maka saya selingi dengan humor.
Pak Rahman, Kabalitbangdiklat pun terkena goda tatkala akan memberikan penjelasan tentang program-programnya. Saya nyatakan sambil tertawa. “Pak Rahman baru saja melansir hasil survey tentang kerukunan umat beragama di Indonesia, tapi bagi saya ada yang perlu dikoreksi. Masak score toleransi dan kesetaraannya lebih rendah dibanding kerja samanya. Gak apa-apa, cuma lucu saja”. Serentak semua tertawa. Dari sebanyak 12 unit eselon I semua sudah mengutarakan maksud dan keinginannya di dalam pelaksanaan anggaran 2018 dan juga sudah melaporkan tentang pelaksanaan anggaran tahun 2017.
Giliran Pak Menteri yang memberikan paparannya. Sebagaimana diketahui bahwa Pak Lukman adalah sosok yang memiliki tipikal detailed dalam berpikir. Kata Pak Huda, Sekretaris Menteri, “kalau mau menghadap Pak Menteri, minimal harus disiapkan lima jawaban, sebab jika tidak disiapkan, bisa kedodoran”. Pengalaman Beliau selama 17 tahun di parlemen memberikan pelajaran tentang berpikir detailed. Maklumlah di legislative tentu saja harus berdebat untuk merumuskan regulasi. Makanya, berpikir teknis tentu sudah menjadi kebiasaannya.
Di dalam uraiannya, Pak Menteri mengajak kita semua, para Eselon I, untuk terlibat dan memahami semua program dan kegiatan secara mendalam. Jangan hanya bermain pada level yang aman saja, tetapi harus bermain dengan mendasar tentang program dan kegiatan. Jangan serahkan program dan kegiatan pada eselon di bawahnya dan tanpa control yang berarti. Era sekarang ialah zamannya pejabat harus menguasai hal-hal yang detailed agar kita tidak dimainkan oleh pejabat di bawah kita.
Pak Menteri meminta kepada kita semua untuk bekerja lebih keras agar kepuasan pelanggan dapat dihasilkan. Sekarang ini sudah generasi teknologi informasi, maka layanan berbasis electronic government harus menjadi sasaran tugas ke depan. “saya meminta kepada segenap jajaran eselon I agar melek teknolgi informasi sehingga kita bisa terlibat di dalam global game, media sosial.”
Begitu mendasarnya, Pak Menteri bahkan juga memberikan arahan tentang cara berpakaian. Beliau menyatakan: “Jika kita memakai full dressed, maka janganlah kemejanya garis-garis atau kotak-kotak dan dasinya bermotif bunga-bunga. Gunakan kemeja warna putih sebab warna putih bisa dikaitkan dengan dasi warna apa saja asal serasi dengan kemeja dan jasnya. Jangan memakai jas casual pada acara-acara resmi.
Gilirannya, beliau melirik sepatu saya. Ketepatan malam itu saya tidak memakai kaos kaki, sebab acaranya memang didesain tidak resmi. Saya termasuk yang agak cuek malam itu tentang sepatu dan kaos kaki. Padahal dalam acara-acara resmi saya termasuk yang sangat memperhatikan perkara kaos kaki itu. Tetapi malam itu, sungguh saya lagi bernasib kurang baik. Tidak memakai kaos kaki dan duduk di sebelah Pak Menteri. Saya ingat betul pernyataan beliau. “Jangan pernah tidak memakai kaos kaki jika kita bersepatu”. Sambil Beliau melirik saya. Makanya saya juga lalu berkata: “waduh kena saya. Sekarang ini saya tidak memakai kaos kaki”. Semua lalu menjadi tertawa. Tentu bukan mentertawakan saya, tetapi mentertawakan bahwa setelah saya menggojlok Pak Menteri, giliran saya yang kena gojlok oleh Pak Menteri. Dalam hati saya berkata: “score 1:1”.
Saya rasa ini merupakan takdir Tuhan dan cara Tuhan untuk mengajari agar saya selalu ingat Pak Menteri. Mengapa? Semenjak saat itu, setiap kali saya memakai sepatu, maka setiap itu pula saya ingat kepada Pak Menteri dan saya menjadi tertawa sendiri. Jika orang lain tidak diberi cara oleh Allah untuk mengingat Pak Menteri, maka saya diberi caranya, yaitu kisah “sepatu dan kaos kaki”.
Pak Lukman memang seorang pemimpin yang selalu berpikir kesempurnaan atau berpikir perfectionist dan mendasar atau detailed. Saya yang biasanya berpikir serba konsep dan general juga harus berpikir mendasar juga. Sebab sebagai birokrat, tentu saya harus berpikir tidak hanya kebijakan saja, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan bagaimana pula proses dan produknya bahkan pengaruhnya terhadap masyarakat luas.
Wallahu a’lam bi al shawab.
INOVASI TIADA HENTI: RAKERNAS KEMENAG 2018 (1)
Untuk menyiapkan Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama 2018 (29-31/01/2018) memang sungguh luar biasa. Tidak seperti biasanya yang dipersiapkan biasa saja. Untuk tahun 2018 memang dipersiapkan dengan segenap kemampuan dan usaha, sebab kita ingin melakukan sesuatu yang berbeda, dengan target yang berbeda.
Untuk kepentingan menyiapkan rakernas ini, maka dilakukan rapat pimpinan seluruh unit eselon I Kemenag dan beberapa unit eselon II yang memang membidangi persiapan rakernas. Biro Perencanaan, Biro Keuangan dan BMN, Biro Ortala, Biro Umum dan Biro Humas, Data dan Informasi turut serta diundang di acara rakerpim ini.
Acara (12/01/2018) di Hotel Putri Gunung Lembang Bandung juga sungguh menarik, sebab tidak sebagaimana biasanya yang berangkat sendiri-sendiri, akan tetapi untuk kali ini harus menyewa satu gerbong kereta pariwisata ke Bandung. Harapannya tentu agar ada “kemesraan” atau “sambung hati” untuk meneguhkan komitmen kebersamaan.
Rasanya usaha untuk meneguhkan kebersamaan itu sudah bisa diawali dengan berada di dalam satu gerbong kereta api itu. Dalam nuansa yang sangat rileks, bisa bernyanyi bersama, bisa tertawa bersama dan juga “nyaris” tidak ada jenjang jabatan, maka nuansa kebersamaan itu telah terbentuk. Antara Pak Menteri, Pak Lukman Hakim Saifuddin, dengan pejabat-pejabat eselon I dan II sungguh terjadi keakraban yang luar biasa. Bisa saling menggoda dan lalu tertawa bersama-sama. Di kala Pak Menteri menyanyi, maka saya menyelipkan penilaian seperti gaya komentator Akademi Dangdut. Bahkan juga kita beri nilai. Akrab sekali.
Rakerpim di Bandung sungguh tepat sebab selain bisa konsentrasi di Lembang ini, maka juga bisa saling mengisi. Selain acara yang serius, juga diselingi dengan canda tawa yang menyegarkan. Saya bersyukur diberi mandate sebagai moderator dan dapat saya mainkan dengan baik. Dengan gaya lelucon dan candaan ternyata suasana menjadi hidup dan bermanfaat. Meskipun pertemuan itu sangat panjang di ruang terbuka, dengan pemanasan api unggun, akan tetapi suasana hangat sungguh mampu tercipta. Rasanya, sungguh luar biasa. Demikian pada sessi hari berikutnya, saya juga dipercaya untuk menjadi moderator dan lagi-lagi peran itu dapat saya mainkan dengan baik. Bahkan Pak Menteri menyatakan: “suasana seperti ini sungguh mengingatkan saya pada keakraban sebagaimana tahun-tahun jauh sebelumnya”.
Rakerpim juga menghasilkan program prioritas yang menjadi tugas eselon I untuk menindaklanjutinya. Ada 5 (lima) dari masing-masing unit eselon I yang menetapkan program prioritasnya. Saya tentu tidak akan memberikan catatan pada seluruh unit eselon I. Saya hanya akan menyampaikan 5 (lima) program prioritas pada Sekretariat Jenderal Kementerian Agama.
Program prioritas Setjen itu ialah: 1) Mempertahan Opini BPK untuk Laporan Keuangan Kementerian Agama (LKKA) dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), 2) Meningkatkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dari B menjadi BB, 3) Meningkatkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), 4) Memberdayakan SDM Kemenag, dan 5) Memperkuat Kerukunan dan Moderasi Agama.
WTP adalah “harga mati” bagi Kemenag. Kita sudah memahami bahwa WTP adalah marwah Kemenag. Jika kita bisa mempertahankan Opini WTP, maka sungguh kita akan mendapatkan nilai yang baik di mata masyarakat. Oleh karena itu WTP harus dipertahankan. Tidak kalah menarik ialah tentang peningkatan kualitas LAKIP dan SAKIP Kemenag. Kita semua sungguh berharap agar terdapat kenaikan dari posisi B tahun 2016 menjadi BB tahun 2017. Dengan kenaikan keduanya, maka ASN Kemenag berpeluang memperoleh tunjangan kinerja 70 persen tahun 2018.
Kemudian terkait dengan penguatan SDM. Sungguh sangat dibutuhkan kemampuan optimal dari ASN Kemenag di dalam pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, penguatan SDM menjadi tidak terelakkan. Lalu yang terakhir ialah penguatan kerukunan dan pengarusutamaan moderasi agama. Kita tentu berharap bahwa dengan penguatan harmoni dan moderasi agama akan tercipta kehidupan beragama yang rukun dan damai, dan kemudian akan berimbas terhadap kerukunan bangsa. Dan saya yakin bahwa kita semua bisa melakukannya.
Rakernas Kemenag 2018 memang didesain berbeda dengan rakernas sebelumnya. Jika selama ini, pembukaan selalu dilakukan oleh Menteri, maka tahun ini tidak lagi. Jika selama ini hanya terjadi pola pembicaraan satu arah, maka sekarang dilakukan dengan dua arah. Menteri tidak memberikan sambutan tetapi memberikan paparan dan kemudian melakukan dialog dengan para peserta rakernas. Dengan demikian, arahan Menteri tidak dalam bentuk ceramah satu arah tetapi menjadi kegiatan dialogis yang lebih cair.
Wallahu a’lam bi al shawab.