Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TAHUN POLITIK BAGI KEMENTERIAN AGAMA (1)

TAHUN POLITIK BAGI KEMENTERIAN AGAMA (1)
Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik yang tidak terhindarkan. Tahun 2018 merupakan tahun diselenggarakannya pilkada serentak di 176 Kabupaten/kota di 17 Provinsi. Dan sebagaimana diketahui bahwa setiap tahun politik tentu ditemui kegaduhan-kegaduhan yang tidak terhindarkan.
Kegaduhan politik tentu bersifat fluktuatif. Artinya ada wilayah tertentu dengan intensitas kegaduhan sangat tinggi dan ada yang sedang bahkan kurang kegaduhannya. Dalam konteks ini, maka Badan Pengawas Pemilu sudah merilis tingkat Indeks Kekerasan Pilkada (IKP) di 17 provinsi dimaksud. Yang dinyatakan memiliki kerawanan tinggi ialah Provinsi Papua, sementara yang rendah ialah Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Timur berada di peringkat ke 9 (sembilan).
Saya tentu saja tidak mendalami tentang peringkat tersebut, akan tetapi yang penting ialah menjawab pertanyaan bahwa pilkada di beberapa daerah ini memang memantik keributan atau kegaduan politik. Jika kita menilik terhadap berbagai peristiwa politik sebelumnya, memang pantaslah misalnya menyebut Papua sebagai daerah “rawan” pilkada. Sebab sebelumnya tentu terdapat tingkat fluktuasi kegaduhan politik yang tinggi. Lalu Provinsi Jawa Timur juga pernah terjadi berbagai kerawanan politik di masa lalu. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah memang selama ini tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan terkait dengan pilkada. Jadi rasanya memang relevan pemberian indeks kerawanan pilkada ini.
Pilkada atau pemilu memang bisa membelah penggolongan sosial di dalam kehidupan kita. Sebuah contoh pilihan Gubernur/Wakil Gubernur di Jawa Timur, maka bisa membelah kyai-kyai NU dalam dua pilahan yang jelas. Sebanyak kyai tertentu memilih Gus Ipul dan sebanyak lainnya memilih Bu Khofifah. Kedua kelompok ini juga aktif melakukan manuver-manuver politik dalam berbagai kesempatan dan peluang. Secara umum, misalnya dinyatakan Pesantren Tebuireng dengan segenap pendukungnya memilih Bu Khofifah, sementara Pesantren Lirboyo dengan segenap jajarannya memilih Gus Ipul. Bahkan dalam satu tubuh kepengurusan NU Jawa Timur, bisa terjadi penggolongan perilaku politik yang berbeda.
Tetapi kita beruntung sebab berdasarkan pengamatan sementara, bahwa masyarakat tidak terpancing dengan tingkah laku politik para elit, termasuk elit keagamaan. Jadi sesungguhnya yang “ribut” ialah para elit politik, elit kyai atau ulama dan tim sukses para calon gubernur atau wakil gubernur. Masyarakat tetap tenang dengan kehidupannya dan pekerjaannya. Satu catatan bahwa masyarakat kita tampak semakin dewasa di dalam menghadapi peristiwa politik 5 (lima) tahunan atau ritual politik liminal tersebut.
Kehidupan masyarakat hingga beberapa saat terakhir juga tidak menunjukkan kegaduhan sebagai akibat berbagai maneuver yang dilakukan oleh cagub/wagub atau cabub/cabub dalam pilkada. Sehingga memberikan kesan bahwa masyarakat tetap berada di dalam jalur atau track politik yang terarah.
Selain perilaku masyarakat yang tetap tenang, maka yang juga diharapkan memberikan kontribusi positif bagi terselenggaranya pilkada damai ialah para Aparat Sipil Negara (ASN). Netralitas ASN tentu menjadi kata kunci dan menjadi indicator bagi kesuksesan penyelenggaraan pilkada. Meskipun terdapat beberapa “pengaduan” ketidaknetralan ASN ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KSN), akan tetapi masih menunjukkan sebagai partisipasi pasif dan bukan partisipasi aktif.
Partisipasi pasif ialah ASN bersangkutan datang di acara deklarasi calon pasangan gubernur dan wakil gubernur atau pasangan calon bupati dan wakil bupati atau pasangan calon walikota atau wakil walikota. Atau terlibat dalam kegiatan politik praktis yang ada di wilayahnya atau lintas wilayah.
Sebagai ASN Kemenag tentunya dilarang terlibat baik secara aktif maupun pasif di dalam kegiatan politik praktis. ASN sebagai regulasi yang mengaturnya, misalnya Undang-Undang Aparat Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014, maupun Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2016 yang tidak membolehkan ASN terlibat di dalam politik praktis. Jika ingin melakukannya, maka haruslah pensiun dari ASN.
Netralitas ASN memang menjadi hal yang sangat positif di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui netralitas ASN, maka siapapun yang menjadi gubernur, bupati, walikota bahkan presiden tentu tidak akan terjadi intervensi politik. Sebagai jabatan politik, maka presiden, gubernur, bupati dan walikota tentu didukung oleh partai politik. Dengan ASN sebagai aparat negara yang berada di dalam posisi netral, maka jalannya roda pemerintahan pastilah akan berjalan sesuai dengan relnya.
Bisa dibayangkan jika ASN tidak netral di dalam pemilu, pilkada dan politik praktis lainnya, maka akan terjadi penggolongan atau pengelompokan ASN ke dalam kubu-kubu politik dan hal ini tentu sangat tidak kondusif bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Belum lagi misalnya jika calon yang didukung tidak berhasil, maka akan dipastikan ASN tersebut akan tersingkir dan akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Dengan netralitas ASN sungguh dimaksudkan sebagai cara untuk membangun proses pemerintahan yang tetap berjalan pada jalurnya, siapapun yang menjadi pemimpinnya. Dan dengan cara ini, maka dipastikan bahwa system pemerintahan akan terus berlangsung di dalam kedamaian dan kebersamaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..