• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAHASISWA DAN GERAKAN INDONESIA TERAMPIL

MAHASISWA DAN GERAKAN INDONESIA TERAMPIL
Saya bersyukur bisa menghadiri acara yang diselenggarakan oleh IAIN Batusangkar dalam acara Studium General, yang dilaksanakan di Aula IAIN Batusangkar, 22/02/2018. Acara ini dihadiri oleh Rektor IAIN Batusangkar, Pak Dr. Kasmuri, MA, Kakanwil Sumatera Barat, Pak Hendri, Kakankemenag Tanah Datar, para Wakil Rektor, Dekan, para Wakil Dekan, Kepala Lembaga dan pejabat structural, dan para mahasiswa.
Saya merasa sangat senang bisa berada di IAIN Batusangkar, sebab sudah sangat lama Pak Dr. Kasmuri, mengundang saya untuk acara di IAIN ini, sayang karena factor waktu sehingga saya tidak bisa menghadirinya. Bahkan kalau Pak Kasmuri mendatangi atau bertemu dengan saya, rasanya ada perasaan bersalah sebab berkali-kali menunda keinginan untuk hadir di Batusangkar. Akhirnya, datang juga takdir Allah swt untuk menghadiri undangan Beliau.
Di dalam stadium general ini, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, apresiasi keuletan para pimpinan dan civitas IAIN Batusangkar untuk berjuang meraih alih status dari STAIN menjadi IAIN. Bagi saya perolehan perubahan status adalah prestasi monumental sebab merupakan langkah penting di dalam peningkatan kelembagaan yang dirindukan oleh semua pimpinan PTKIN. Andaikan ditanya para pimpinan PTKIN itu, maka jawabannya secara pasti ialah mengubah status dari STAIN ke IAIN dan dari IAIN ke UIN. Itulah sebabnya saya selalu menyatakan bahwa para pimpinan PTKIN harus memiliki impian untuk selalu berkembang dengan berbagai macam inovasi yang bisa dilakukan.
Di banyak kesempatan selalu saya nyatakan bahwa memimpin perguruan tinggi itu tidak hanya dibutuhkan kemampuan manajerial dan leadership tetapi juga kemampuan akademis yang baik. Jika para pimpinan PTKIN memiliki hal tersebut dipastikan bahwa PTKIN akan maju setapak demi setapak ke arah yang lebih baik. Dan saya yakin bahwa para pimpinan PTKIN dipastikan memiliki 3 (tiga) kemampuan tersebut sekaligus.
Kedua, saya akan mengungkapkan tiga tantangan yang dihadapi oleh PTKIN dan secara khusus ialah peningkatan IAIN Batusangkar. 1) Tantangan penguatan mutu. Era yang akan datang ialah suatu era yang disebut sebagai era disruptif atau ketidakmenentuan, maka yang dibutuhkan agar berbalik dari suasana ketidakmenentuan ke arah yang lebih jelas ialah dengan memperkuat mutu pendidikan tinggi ini. Jika kita mengacu pada PT di luar negeri, misalnya Malaysia saja, maka yang diperkuat ialah kualitas dosennya. Jika sekarang sudah ada 35 orang doctor di sini, maka langkah yang diperlukan ialah dengan menjadikan program profesorisasi para doctor. Sebagaimana sering saya ungkapkan bahwa kekuatan PT itu sangat tergantung pada seberapa banyak professor yang dimilikinya. Semakin banyak professor yang andal, maka akan semakin berkualitas lembaga pendidikan dimaksud. Selain itu juga perlunya peningkatan mutu mahasiswa. Kita tentu harus menolak anggapan bahwa alumni PTKIN itu belum berkualitas. Harus kita jawab hal tersebut dengan perubahan program pembelajaran, penguatan praktikum mahasiswa dan juga pemberian pembekalan soft skill yang lebih baik. Kita tidak bisa berpangku tangan menghadapi tantangan era disruptive dengan hanya mengandalkan proses pembelajaran konvensional seperti sekarang.
Kita semua harus mengembangkan kemampuan akademik yang unggul. Baik dosen maupun mahasiswa harus terus berupaya untuk menemukan konsep atau teori baru yang memiliki relevansi dengan pengembangan ilmu untuk sosial kemasyarakatan. Untuk itu tentu diperlukan kemampuan riset yang baik. Proses pembelajaran harus berbasis riset untuk tujuan discovery. Jadi bukan hanya transformasi ilmu atau pemindahan ilmu dari dosen ke mahasiswa akan tetapi bagaimana dosen dan mahasiswa bisa menemukan hal-hal baru yang outstanding. Mahasiswa harus diajak berkelana dalam pengembaraan ilmu pengetahuan sehingga kelak mereka akan dapat melakukan discovery processing yang baik.
2) Tantangan moderasi agama. Di tengah semakin meningkatnya pemahaman dan pengamalan beragama ternyata juga menghasilkan pemahaman dan pengamalan beragama yang cenderung radikal. Yaitu pemahaman agama yang lebih menekankan pada “kebenaran tunggal” dan bahkan berkeinginan untuk “menihilkan” yang berbeda. Tafsir kebenaran tunggal tentu bukan sesuatu yang salah, sebab memang agama memiliki potensi untuk ditafsirkan secara tunggal tersebut, namun dengan keikutsertaan sikap untuk “menihilkan” yang lain tentu akan berbahaya bagi sebuah bangsa yang plural dan multicultural ini. Oleh karena itu diperlukan sikap dan tindakan keberagamaan yang lebih arif memahami perbedaan dan menghadirkan pemaknaan yang lebih utuh terhadap kemanusiaan.
3) Tantangan zaman milenial yang sarat dengan teknologi informasi dan kompetensi yang tidak bisa ditawar. Di era Milenial ini, maka ada 4 (empat) hal yang tidak bisa dihindari, yaitu four C’s, yang terdiri dari: a) Competency. Jika orang ingin survive, maka harus memiliki keahlian atau capacity. Di dalam hal ini yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang “sesuatu” tetapi bagaimana “sesuatu” itu bisa dilakukan secara professional. b) Communication. Era yang akan datang ialah era dimana kapasitas seseorang akan diukur bagaimana kemampuan komunikasinya dengan yang lain. Tidak hanya kemampuan personal tetapi juga interpersonal dan extrapersonal. Untuk itu, maka penguatan terhadap kemampuan berkomunikasi harus dipertajam. Penguasaan bahasa juga harus baik, sehingga akan bisa menjadi “warga dunia”. d) collaboration. Kemampuan bekerja sama menjadi sangat penting. Di era dimana masyarakat dan dunia kerja tersegmented tetapi saling membutuhkan, maka dasar pijak pentingnya ialah kemampuan berkolaborasi atau bekerja sama. d) Innovation. Untuk menjadi leading di dalam sebuah komunitas sosial atau komunitas kerja dan sekaligus juga untuk menjaga kontinuitas atau survival, maka diperlukan upaya untuk terus berubah. Jangan selalu beranggapan sesuatu yang “mapan”. Jika kemapanan sudah menjadi sikap hidup kita, maka hanya akan menunggu kapan kita dihabisi oleh lainnya.
Ketiga, apa yang bisa dilakukan? 1) menggerakkan seluruh potensi civitas akademika untuk terus berbenah dalam memperkuat eksistensi dan merealisasikan potensi yang dimiliki. Misalnya ialah potensi keahlian atau keterampilan semua civitas akademika. Terutama yang menjadi sasaran ialah para mahasiswa. Harus ada school of training dalam berbagai variasinya. Di sini yang ingin saya tekankan ialah bagaimana menjaring hubungan dengan berbagai lembaga dan lembaga training untuk menghasilkan hard skilled plus dan soft skilled. Perbanyak keahlian khusus yang akan bermanfaat bagi dunia kemahasiswaan.
2) menggerakkan seluruh potensi civitas akademika untuk membangun moderasi agama. Saya kira sudah saatnya kita semua speak up mengenai moderasi agama ini. Jangan lelah berbicara di berbagai forum tentang pentingnya membangun Indonesia dalam tindakan beragama yang rahmatan lil alamin. Jadilah kita semua agen yang menyuarakan tentang Islam yang moderat, Islam yang memberikan kerahmatan bagi semua umat manusia.
Dengan berbagai tindakan ini, maka kita akan menghasilkan mahasiswa Indonesia yang memiliki kapasitas keilmuan dan kemampuan vokasi yang baik dan sekaligus juga anggota masyarakan yang akan selalu mempertahankan masyarakat Indonesia yang beragama secara moderat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MUTU PENDIDIKAN SEBAGAI INDIKATOR KEMAJUAN PTKN

MUTU PENDIDIKAN SEBAGAI INDIKATOR KEMAJUAN PTKN
Saya memperoleh kesempatan istimewa untuk menghadiri acara yang digelar oleh UIN Syekh Maulana Hasanuddin Banten dalam acara yang diberi tajuk “peningkatan Kualitas ASN dalam mengembangkan Integritas” (20/02/2018). Acara ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk memberikan wawasan baru bagi ASN UIN SMH Banten. Hadir pada acara ini ialah Rektor SMH Banten, Prof. KH. Fauzul Iman, para Wakil Rektor, para Dekan dan Wakil Dekan, Kepala Biro, dan segenap jajaran pejabat dan pelaksana pada UIN SMH Banten.
Saya bersyukur meskipun saya terlambat datang karena harus mengikuti acara presentasi Laporan Kinerja Kementerian Agama yang dipimpin langsung oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, sampai jam 12.30, sehingga kepergian saya ke Banten tentu harus mundur sejenak. Maka terlambatlah acara dimaksud sampai kira-kira 1 (satu) jam. Tetapi tentu saya mengapresiasi kepada segenap ASN UIN SMH Banten yang tetap setia menunggu saya untuk memberikan pembekalan tentang hal-hal yang saya anggap relevan dengan tuntutan ASN sekarang.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, sebagai rasa apresiasi saya atas kemajuan yang dilakukan oleh UIN SMH Banten, yaitu dengan telah terjadinya perubahan status dari IAIN ke UIN. Di masa lalu, rasanya tidak mungkin perubahan ke UIN itu sedemikian gencar. Dari yang semula hanya 6 (enam) saja, maka sekarang dalam kurun waktu 6 (enam) tahun telah menbengkak menjadi 17 UIN. Suatu lonjakan yang sangat signifikan dalam kerangka memajukan PTKIN di bawah Kemenag. Makanya, sudah saatnya sekarang kita berpikir tentang bagaimana menjadikan PTKIN kita ini memiliki marwah yang semakin baik di mata masyarakat, baik masyarakat akademis maupun lainnya. Dan melalui perubahan status ini tentu lalu membawa perubahan besar, baik dari jumlah mahasiswa, jumlah dosen yang bergelar doctor, jumlah professor dan juga semakin banyaknya prodi-prodi yang akan dikelola di kemudian hari.
Kedua, saya menyampaikan rumusan “dari ke” untuk menggambarkan tentang arah yang harus ditempuh untuk mengembangkan lembaga pendidikan ini, baik dari sisi akademis maupun administrative. Ada 5 (lima) “dari ke” yang saya sampaikan, yaitu: 1) Dari PTKIN berbasis pada perluasan akses ke peningkatan mutu. Ada tuntutan yang sungguh luar biasa terkait dengan peran pendidikan tinggi di Indonesia. Di antara yang terjadi ialah perubahan paradigmatic dari akses ke mutu. Ke depan target peningkatan PTKIN ialah menjadi PTKIN bermutu. Jadi sudah tidak lagi berpikir tentang perluasan akses yang selama ini menjadi arah dalam pembangunan pendidikan, akan tetapi sudah mengarah kepada peningkatan mutu pendidikan. Jika di dalam RPJMN tahun 2014-2019 masih tercantum tentang perluasan akses dan pemerataan pendidikan, maka RPJMN tahun 2019-2024 sudah berubah secara paradigmatis yaitu pendidikan bermutu. Jadi kita semua harus mengejar target mutu pendidikan di masa yang akan datang.
2) Dari PTKIN berlevel nasional ke PTKIN bertaraf internasional. Kita sudah maklumi bahwa sekarang adalah zaman global yang tentu ditandai dengan perubahan berbagai ranah kehidupan yang semula berkarakter local, nasional ke internasional. Semua serba berlabel internasional. Makanya, PTKIN juga harus berupaya untuk memasuki kawasan internasional tersebut terutama akreditasi institusi dan juga dosen dan mahasiswa. Saya teringat dalam salah satu kunjungan ke Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 2007 yang lalu, maka universitas ini telah memiliki mahasiswa dari 34 negara. Beberapa tahun yang lalu juga sudah ada beberapa PTN kita yang berakreditasi internasional. Artinya, bahwa untuk menjadi PTKIN bertaraf internasional tentu bukanlah sesuatu yang tidak terjangkau.
3) Dari tata kelola manual ke tata kelola berbasis teknologi informasi. Era sekarang adalah era teknologi informasi atau era digital. Dan dengan menggunakan teknologi informasi maka pekerjaan akan menjadi lebih cepat dan tepat. Era sekarang disebut juga sebagai era milenial, sebab dunia dikuasai oleh penggunaan teknologi informasi oleh generasi milenial. Di dalam dunia birokrasi juga harus digunakan system electronic government atau e-gov. Melalui e-gov maka akan terjadi percepatan. Siapa yang cepat dialah yang menguasai terhadap perubahan di dunia global. Presiden menyatakan bahwa di era sekarang ini, maka negara yang hebat bukanlah negara yang besar melawan yang kecil atau negara yang kuat mengalahkan yang lemah, tetapi adalah negara yang cepat merespon terhadap perubahan-perubahan global dimaksud.
4) Dari cara kerja konvensional ke cara kerja professional. Dunia sedang dituntut oleh profesionalitas yang makin kental. Untuk menghadapi abad milenial, maka yang dibutuhkan ialah four C’s, yaitu Competency, Communications, Collaboration and Creativity. 4 (empat) kompetensi inilah yang akan menjadikan kita semua akan bisa memasuki terhadap dunia milleneal dengan generasi milenialnya. Dan di antara ciri dari generasi milenial ialah kemampuan teknologi informasinya.
5) Dari kompetensi ke kompetisi. Di era milenial ini, maka ada 2 (dua) kata sakti yaitu: Kompetensi dan kompetisi. Jika kita tidak memiliki kompetensi maka jangan pernah berharap akan bisa berkompetisi. Oleh karena itu, kita semua harus meraih kompetensi yang unggul agar bisa memasuki dunia kompetisi yang semakin kuat. Harus ada upaya untuk menjadikan kita semua, para civitas akademika, untuk berburu kompetensi agar kita bisa survive di tengah persaingan global yang tidak bisa ditawar.
Ketiga, untuk menjawab tantangan di atas, maka para pimpinan PTKIN, khususnya UIN SMH Banten untuk terus berinovasi dalam banyak hal, khususnya untuk memberdayakan dunia birokrasi kita agar lebih kuat dalam menerapkan berbagai pelayanan berbasis teknologi informasi sebab di sinilah tantangan paling riil yang dihadapi oleh birokrasi kita.
Kita harus terus membangun e-gov dalam pelayanan akademik dan administrasi agar ke depan semakin berkualitas pelayanan kita kepada msyarakat. Jadi diperlukan pemberdayaan SDM dalam penguasaan teknologi informasi agar kita bisa merespon dengan cepat perubahan demi perubahan yang terus terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DIPERLUKAN KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA KONGHUCU

DIPERLUKAN KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA KONGHUCU
Saya memperoleh kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara yang diselenggarakan oleh Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu, yang diselenggarakan di Takes Mention Hotel di Jakarta, 19/02/2018. Hadir pada acara ini, Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Konghucu, Mudhofier, Kabag, Bu Emma, Ketua Matakin, Uung Sendana, dan juga para guru agama Buddha. Acara ini memang diselenggarakan dalam kerangka perumusan soal Ujian Negara (UN) pada tahun 2018.
Di dalam kesempatan ini saya sampaikan tiga hal penting, yaitu: pertama, apresiasi terhadap kegiatan ini. Acara ini tentu sangat penting di dalam kerangka menyiapkan standarisasi evaluasi pembelajaran khususnya untuk pendidikan Agama Khonghucu. Selama ini memang masih dirasakan bahwa pendidikan Agama Khonghucu belumlah memperoleh sentuhan maksimal. Misalnya belum ada adanya lembaga pendidikan tinggi Agama Khonghucu untuk mempersiapkan calon-calon guru Agama Khonghucu. Itulah sebabnya, banyak guru Agama Khonghucu yang belum memiliki standarisasi tentu disebabkan karena ketiadaan lembaga yang mempersiapkannya. Pada tahun 2018 diharapkan agar diskusi dan pembicaraan serius tentang pendidikan Agama Khonghucu harus memperoleh tempat yang optimal.
Selain itu juga belum diberikannya peluang yang lebih besar untuk para murid Agama Khonghucu untuk memperoleh akses pendidikan Agama Khonghucu. Selain memang jumlahnya yang kecil pada setiap lembaga pendidikan juga ketiadaan guru yang mengajarkannya. Untuk itu tentu diperlukan strategi dan cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Jangan sampai ada pendapat yang menyatakan bahwa negara tidak hadir di dalam pendidikan Agama Khonghucu.
Kedua, pendidikan itu sangat penting bagi masyarakat Indonesia. tidak ada alasan sedikitpun yang menyangkal tentang urgensi pendidikan bagi anak bangsa. Oleh karena itu peran guru menjadi sangat penting bagi proses penyelenggaraan pendidikan. Setiap anak Indonesia harus memperoleh akses pendidikan. Tidak terkecuali satupun. Hanya dengan pendidikan yang baik saja, maka akan diperoleh generasi yang unggul di masa depan.
Forum ini merupakan wahana penting untuk menjadi tempat perumusan naskah soal ujian bagi anak-anak didik kita. dan guru menjadi solusi penting untuk membuat naskah soal ujian yang relevan dengan tujuan pendidikan. Untuk kepentingan ini, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: 1) standarisasi kurikulum. Soal yang baik tentu harus berdasar atas standar kurikulum. Meskipun kurikulum itu hanyalah dokumen tertulis tentang arah yang akan dituju di dalam proses pembelajaran, namun mempertimbangkan dan menjadikan kurikulum sebagai basis perumusan soal ujian menjadi sangat relevan.
Kurikulum tahun 2013 adalah kurikulum yang memang didesain dengan penguatan muatan agama yang lebih kuat, sebab setiap kompetensi inti siswa dicantumkan tentang tujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Makanya, keberadaan pendidikan agama menjadi sangat penting dan merumuskan soal yang relevan dengan kompetensi dasar dan inti di bidang agama menjadi sangat urgen.
2) standarisasi proses belajar mengajar (PBM). Kurikulum yang bagus tentu harus diikuti dengan pembelajaran yang berkualitas. PBM yang diikuti dengan penerapan metode dan media yang relevan tentu akan menjadi ukuran keberhasilan pendidikan. Makanya di dalam penyusunan evaluasi pembelajaran juga harus memperhitungkan apakah ketercapaian pembelajaran sudah cocok dengan kuriukulumnya.
3) standarisasi kompetensi lulusan. Setiap program pembelajaran mestilah memiliki standart kelulusan siswanya atau anak didiknya.
Dari standart kompetensi lulusan akan kita ketahui sejauh mana program pembelajaran tersebut relevan dengan SKL. Makanya antara standart isi, kurikulum, PBM dan SKL merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian maka di dalam menyusun standart evaluasi tentu harus mempertimbangkan terhadap seluruh standart kompetensi dimaksud.
Ketiga, saya berharap bahwa seluruh peserta yang mengikuti acara penyusunan soal ujian Agama Khonghucu dapat memahami seluruh standart nasional pendidikan dimaksud dan kemudian juga dapat menjaga amanah dalam bentuk integritas, sehingga soal-soal yang kita rumuskan itu tidak akan jatuh kepada tangan orang lain yang tidak berhak. Jangan sampai terulang kebocoran soal sebagaimana UAN beberapa tahun terakhir yang dapat mencoreng terhadap dunia pendidikan kita.
Saya yakin bahwa semua di antara saudara yang hadir adalah guru yang professional sehingga akan dapat menjaga profesionalitas dimaksud dengan menyusun soal ujian yang relevan dengan tujuan pendidikan yang tidak hanya akan mencetak orang yang pintar dalam konteks rasionya akan tetapi juga perilakunya. Jadi soal yang kita rumuskan haruslah mengayuh di antara dua kutub “knowledge dan psycho motoric”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MAJELIS AGAMA SEBAGAI MITRA STRATEGIS KEMENAG

MAJELIS AGAMA SEBAGAI MITRA STRATEGIS KEMENAG
Di dalam setiap forum pertemuan dengan para pejabat Kemenag dan para tokoh agama, selalu saya nyatakan bahwa Majelis Agama merupakan mitra strategis Kementerian Agama. Ini pula yang saya sampaikan di dalam pertemuan dengan para pejabat Ditjen Bimas Buddha seluruh Indonesia dan juga para Bhiksu Shangha pada acara Raker Ditjen Bimas Buddha di Hotel Mercure Ancol, 13/02/2018.
Acara ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Pak Caliadi, Sesdirjen Bimas Buddha, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha, segenap pembimas dan para pejabat eselon III lainnya. Hadir pula para Bhiksu Shangha dan ketua Majelis-Majelis Agama di kalangan masyarakat Buddha.
Didalam acara ini, maka saya sampaikan tiga hal penting terkait dengan rapat kerja Ditjen Bimas Buddha, yaitu: pertama, ucapan apresiasi atas terselenggaranya raker pada Ditjen Bimas Buddha yang dilakukan hari ini. Saya ingin menyatakan bahwa raker ini diharapkan akan menjadi arena untuk melakukan penelusuran atas program mana yang perlu ditetapkan dan mana yang perlu diubah atau direvisi.
Raker kali ini diharapkan sebagai sarana untuk melakukan evaluasi mana program dan kegiatan kita di tahun 2017 yang sudah bisa diselesaikan dan berhasil sengat baik, dan mana program atau kegiatan yang belum mencapai target dan tujuan yang jelas. Melalui evaluasi tersebut, maka akan diketahui program quick win yang bisa diandalkan dan mana yang belum menjadi program unggulan.
Selain itu juga saya mengapresiasi atas serapan anggaran Ditjen Bimas Buddha yang tahun ini sangat baik. Bagi saya ukurannya ialah telah mengalahkan serapan anggaran Setjen. Saya merasa berbangga sebab dengan serapan anggaran yang baik, sekurang-kurangnuya menjadi indicator atas kesuksesan mengeksekusi anggaran yang dibebankan kepada kita untuk menyerapnya.
Kedua, kehadiran para Bhiksu Shangha pada acara ini juga menjadi penanda akan kemenyatuan antara Ditjen Bimas Buddha dengan para rohaniawan Agama Buddha. Selain itu juga kehadiran para pimpinan Mejelis-Majelis Agama juga menandai kebersamaan antara Ditjen Bimas Buddha dengan para tokoh agamanya. Melalui kehadiran para Bhiksu Sangha, maka memastikan bahwa para pendeta itu memiliki kepedulian terhadap Kemenag khususnya pada Ditjen Bimas Buddha. Melalui kehadirannya, maka diharapkan akan membawa dampak positif bagi para pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Buddha.
Mejelis Agama adalah kepanjangan tangan pemerintah. Dipastikan bahwa jumlah aparat sipil negara (ASN) tidak akan pernah mencukupi untuk menjangkau terhadap umat beragama di Indonesia secara keseluruhan. Kehadiran para penyuluh agama yang sangat terbatas juga tidak mungkin menjangkau terhadap seluruh umat beragama. Jika dibandingkan jumlah penyuluh agama dengan jumlah penganut agama tentu sangatlah tidak ideal. Di sinilah makna strategis para pemuka agama yang tergabung di dalam Majelis-Majelis Agama tersebut.
Dengan begitu, maka Kemenag sungguh berhutang budi pada para pemuka agama dalam Majelis-Majelis Agama. Melalui perannya yang strategis, maka umat beragama dapat dijangkaunya. Umat beragama dapat memperoleh sentuhan penyebaran dan pemaknaan agama justru dari para agamawan itu. Merekalah sesungguhnya orang-orang yang terlibat secara langsung dengan kehidupan umat beragama.
Ketiga, RKAKL memang dirumuskan setahun sebelumnya, sehingga terkadang belum bisa memberikan solusi atas masalah-masalah yang terjadi pada tahun berjalan. Anggaran dan program kerja yang kita miliki sekarang (2018) adalah anggaran dan program yang dirancang setahun sebelumnya. Meskipun secara prediktif sudah bisa diandaikan akan tetapi tentu harus disadari bahwa ada hal-hal mendasar yang tiba-tiba harus diselesaikan. Itulah sebabnya, kita harus melakukan “bedah” RKAKL di awal tahun agar kita bisa merumuskan ulang, mana program yang masih relevan dan mana program yang harus diganti.
Selama ini ada banyak keluhan bahwa program dan anggaran kita kurang focus pada masalah-masalah yang terjadi pada tahun berjalan. Misalnya di kala menghadapi tahun politik, maka seharusnya dilakukan perubahan secara mendasar tentang pada daerah mana saja program dan kegiatan pembinaan kerukunan umat beragama tersebut harus dilakukan. Jika kita melihat Pilkada tahun 2018, maka seharusnya penempatan dialog antar umat beragama justru ditempatkan di 17 wilayah provinsi yang menjadi ajang pilkada. Dengan cara merevisi anggaran kita untuk kepentingan ini, maka sasaran dialog antar umat beragama akan lebih mengenai sasarannya.
Kemudian, anggaran untuk pembangunan sarana dan sarana peribadahan juga akan lebih mengenai sasaran jika dikaitkan juga dengan peristiwa-peristiwa sosial masyarakat di daerah yang menjadi pintu gerbang Indonesia berhadapan dengan negara lain, misalnya ialah wilayah perbatasan Indonesia. Jika anggaran kita belum seperti itu, maka sebaiknya dilakukan perubahan yang lebih searah dengan pembangunan Indonesia dari wilayah terdepan tersebut.
Dengan demikian, saya berharap agar raker ini sungguh-sungguh dapat menjadi ajang bagi kita untuk berpikir kekinian dengan mengedepankan pada aspek ketepatgunaan, ketepatan sararan dan ketepatan penganggaran. Saya yakin kita bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ZAKAT DAN PERAN NEGARA

ZAKAT DAN PERAN NEGARA
Akhir-akhir ini terdapat diskusi public yang kuat di media sosial terkait dengan rencana pemerintah untuk merumuskan Peraturan Presiden terkait dengan pengumpulan zakat bagi Aparat Sipil Negara (ASN). Diskusi itu tentu terkait dengan pertanyaan apakah negara harus mewajibkan zakat bagi aparatnya? Atau pertanyaan dasar, apakah urgensi negara untuk “mewajibkan” para aparatnya untuk mengeluarkan zakat?
Saya diwawancarai oleh Harian Indopost dan juga Harian Republika terkait dengan pertanyaan ini. Pertama, saya sampaikan bahwa hukum zakat itu wajib tanpa negara harus mewajibkan. Zakat termasuk rukun Islam yang memang wajib ditunaikan oleh mereka yang beragama Islam. Tanpa negara mewajibkan maka zakat di dalam dirinya sendiri sudah mewajibkan untuk dilaksanakan. Sebagaimana shalat dan puasa, maka setiap individu yang sudah mukallaf dan istitho’ah atau memiliki kemampuan zakat maka harus mengeluarkan zakatnya.
Jadi zakat memang kewajiban bagi seorang muslim, namun untuk melaksanakannya harus dilakukan dengan berdasar atas kemampuan ekonomi yang bersangkutan. Di dalam Islam dikenal ada zakat fitrah, yang biasanya dikeluarkan setiap selesai menjalankan ibadah puasa dan bersifat individual mengikat bagi yang mampu secara ekonomi dan ada zakat mal atau zakat harta yang berlaku ketentuan waktu dan ukuran kelayakan zakatnya. Di sini tentu ada pedoman di dalam melaksanakannya.
Di sisi lain, lalu muncul gagasan tentang zakat profesi. Perbincangan tentang zakat profesi itu sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tahun 90-an. Ada beberapa intelektual dan praktisi zakat yang mengembangkan konsepsi zakat profesi. Upaya ini lalu gayung bersambut sebab pada tahun-tahun itu juga ada beberapa Pemerintah Daerah yang melaksanakannya. Misalnya Pemerintah daerah Kabupaten Tulungagung yang mengeluarkan Peraturan Daerah untuk menarik zakat profesi dari Pegawai Negari Sipil (PNS).
Saya pernah membimbing disertasi Dr. Muhammad Hadi, di IAIN Sunan Ampel –kini UIN Sunan Ampel—tentang pengelolaan zakat profesi ini. Saya masih ingat betul tentang bagaimana perdebatan yang dilakukan oleh Bupati Tulungagung dalam menetapkan perda tentang zakat profesi ini. Ada 4 (empat) tahapan, yang dilalui oleh Bupati untuk menetapkannya. Yaitu: 1) mengundang para kyai dan ulama untuk membahas keinginan ini. semula banyak sekali yang menolak gagasan ini. mereka yang menolak menggunakan dalil-dalil agama sebagai penguatnya. 2) melakukan pendekatan secara individual terstruktur untuk meyakinkan tentang urgensi pengumpulan zakat profesi dan pendayagunannya. 3) meyakinkan para PNS tentang pengumpulan zakat profesi ini dan kegunaannya. 4) meyakinkan para wakil rakyat tentang usaha mulia di dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat. Diskusi panjang dan memakan waktu tersebut akhirnya menghasilkan regulasi tentang “kewajiban” mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari gaji PNS.
Saya kira perdebatan yang sekarang terjadi tidak terlalu jauh dengan kejadian perumusan regulasi kewajiban pengeluaran zakat di daerah tersebut. Hanya saja sekarang ditambah dengan masuknya media sosial yang meramaikan diskusi dimaksud. Jadi sebenarnya wacana dan aksi pembayaran zakat ASN melalui UPZ itu sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Saya rasa bukan hanya Kabupaten Tulungagung satu-satunya kabupaten yang memungut zakat itu.
Di dalam konteks ini, peran pemerintah sesungguhnya ialah peran fasilitasi dan bukan peran menekan atau memaksa para muzakki ASN untuk membayar zakat. Pemerintah berkapasitas untuk memungut zakat ASN yang memang memiliki kapasitas untuk mengekuarkan zakat. Bisa saja tidak semua muzakki memastikan dirinya untuk membayar zakat. Sebagai UPZ pemerintah tidak akan melakukan tindakan melebihi sebagai kapasitas fasilitator pembayaran zakat. Dengan demikian, KL memberikan kemudahan membayar zakat.
Pemberitaan melalui media sosial, bahwa KL akan memaksa ASN untuk membayar zakat pasca diterapkannya Peraturan Presiden tentu sangat berlebihan. Di dalam konteks ini, maka yang sesungguhnya diinginkan ialah bagaimana agar pengumpulan zakat profesi ASN akan lebih tertib dan bermanfaat.
Kemenag sudah melakukannya tanpa adanya Perpres. Artinya bahwa kesadaran instansi pemerintah untuk mengumpulkan zakat itu tentu sadah ada dan sudah terjadi. Demikian pula beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga sudah melakukannya. Jika sekarang setelah ada gagasan akan merumuskan peraturan Presiden untuk pengumpulan zakat lalu terdapat keramaian public tentu sungguh merupakan hal yang kurang tepat. Setahu saya, implementasi tentang penarikan zakat melalui pemerintah sudah dilakukan secara segmental.
Upaya untuk merumuskan Perpres tentang hal ini tentu sudah sepatutnya dilakukan mengingat urgensi pengumpulan zakat oleh pemerintah yang berlaku sebagai UPZ dan kemudian menyerahkannya kepada Baznas atau Bazda untuk ditasarufkan bagi yang berhak menerima.
Dengan demikian, pemerintah telah melakukan fungsinya sebagai “perantara” atau “fasilitator” yang memberikan kemudahan bagi wajib zakat di dalam membayar zakatnya. Jadi pemerintah bukan akan memaksa atau mewajibkan bagi para muzakki untuk mengeluarkan zakat, sebab meskipun zakat merupakan kewajiban agama tetapi tetap saja bersifat personal. Peran pemerintah sesungguhnya ialah ingin memastikan bahwa pembayaran zakat adalah mudah dan bermanfaat.
Wallahu a’lam bi al shawab.