Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAHASISWA DAN GERAKAN INDONESIA TERAMPIL

MAHASISWA DAN GERAKAN INDONESIA TERAMPIL
Saya bersyukur bisa menghadiri acara yang diselenggarakan oleh IAIN Batusangkar dalam acara Studium General, yang dilaksanakan di Aula IAIN Batusangkar, 22/02/2018. Acara ini dihadiri oleh Rektor IAIN Batusangkar, Pak Dr. Kasmuri, MA, Kakanwil Sumatera Barat, Pak Hendri, Kakankemenag Tanah Datar, para Wakil Rektor, Dekan, para Wakil Dekan, Kepala Lembaga dan pejabat structural, dan para mahasiswa.
Saya merasa sangat senang bisa berada di IAIN Batusangkar, sebab sudah sangat lama Pak Dr. Kasmuri, mengundang saya untuk acara di IAIN ini, sayang karena factor waktu sehingga saya tidak bisa menghadirinya. Bahkan kalau Pak Kasmuri mendatangi atau bertemu dengan saya, rasanya ada perasaan bersalah sebab berkali-kali menunda keinginan untuk hadir di Batusangkar. Akhirnya, datang juga takdir Allah swt untuk menghadiri undangan Beliau.
Di dalam stadium general ini, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, apresiasi keuletan para pimpinan dan civitas IAIN Batusangkar untuk berjuang meraih alih status dari STAIN menjadi IAIN. Bagi saya perolehan perubahan status adalah prestasi monumental sebab merupakan langkah penting di dalam peningkatan kelembagaan yang dirindukan oleh semua pimpinan PTKIN. Andaikan ditanya para pimpinan PTKIN itu, maka jawabannya secara pasti ialah mengubah status dari STAIN ke IAIN dan dari IAIN ke UIN. Itulah sebabnya saya selalu menyatakan bahwa para pimpinan PTKIN harus memiliki impian untuk selalu berkembang dengan berbagai macam inovasi yang bisa dilakukan.
Di banyak kesempatan selalu saya nyatakan bahwa memimpin perguruan tinggi itu tidak hanya dibutuhkan kemampuan manajerial dan leadership tetapi juga kemampuan akademis yang baik. Jika para pimpinan PTKIN memiliki hal tersebut dipastikan bahwa PTKIN akan maju setapak demi setapak ke arah yang lebih baik. Dan saya yakin bahwa para pimpinan PTKIN dipastikan memiliki 3 (tiga) kemampuan tersebut sekaligus.
Kedua, saya akan mengungkapkan tiga tantangan yang dihadapi oleh PTKIN dan secara khusus ialah peningkatan IAIN Batusangkar. 1) Tantangan penguatan mutu. Era yang akan datang ialah suatu era yang disebut sebagai era disruptif atau ketidakmenentuan, maka yang dibutuhkan agar berbalik dari suasana ketidakmenentuan ke arah yang lebih jelas ialah dengan memperkuat mutu pendidikan tinggi ini. Jika kita mengacu pada PT di luar negeri, misalnya Malaysia saja, maka yang diperkuat ialah kualitas dosennya. Jika sekarang sudah ada 35 orang doctor di sini, maka langkah yang diperlukan ialah dengan menjadikan program profesorisasi para doctor. Sebagaimana sering saya ungkapkan bahwa kekuatan PT itu sangat tergantung pada seberapa banyak professor yang dimilikinya. Semakin banyak professor yang andal, maka akan semakin berkualitas lembaga pendidikan dimaksud. Selain itu juga perlunya peningkatan mutu mahasiswa. Kita tentu harus menolak anggapan bahwa alumni PTKIN itu belum berkualitas. Harus kita jawab hal tersebut dengan perubahan program pembelajaran, penguatan praktikum mahasiswa dan juga pemberian pembekalan soft skill yang lebih baik. Kita tidak bisa berpangku tangan menghadapi tantangan era disruptive dengan hanya mengandalkan proses pembelajaran konvensional seperti sekarang.
Kita semua harus mengembangkan kemampuan akademik yang unggul. Baik dosen maupun mahasiswa harus terus berupaya untuk menemukan konsep atau teori baru yang memiliki relevansi dengan pengembangan ilmu untuk sosial kemasyarakatan. Untuk itu tentu diperlukan kemampuan riset yang baik. Proses pembelajaran harus berbasis riset untuk tujuan discovery. Jadi bukan hanya transformasi ilmu atau pemindahan ilmu dari dosen ke mahasiswa akan tetapi bagaimana dosen dan mahasiswa bisa menemukan hal-hal baru yang outstanding. Mahasiswa harus diajak berkelana dalam pengembaraan ilmu pengetahuan sehingga kelak mereka akan dapat melakukan discovery processing yang baik.
2) Tantangan moderasi agama. Di tengah semakin meningkatnya pemahaman dan pengamalan beragama ternyata juga menghasilkan pemahaman dan pengamalan beragama yang cenderung radikal. Yaitu pemahaman agama yang lebih menekankan pada “kebenaran tunggal” dan bahkan berkeinginan untuk “menihilkan” yang berbeda. Tafsir kebenaran tunggal tentu bukan sesuatu yang salah, sebab memang agama memiliki potensi untuk ditafsirkan secara tunggal tersebut, namun dengan keikutsertaan sikap untuk “menihilkan” yang lain tentu akan berbahaya bagi sebuah bangsa yang plural dan multicultural ini. Oleh karena itu diperlukan sikap dan tindakan keberagamaan yang lebih arif memahami perbedaan dan menghadirkan pemaknaan yang lebih utuh terhadap kemanusiaan.
3) Tantangan zaman milenial yang sarat dengan teknologi informasi dan kompetensi yang tidak bisa ditawar. Di era Milenial ini, maka ada 4 (empat) hal yang tidak bisa dihindari, yaitu four C’s, yang terdiri dari: a) Competency. Jika orang ingin survive, maka harus memiliki keahlian atau capacity. Di dalam hal ini yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang “sesuatu” tetapi bagaimana “sesuatu” itu bisa dilakukan secara professional. b) Communication. Era yang akan datang ialah era dimana kapasitas seseorang akan diukur bagaimana kemampuan komunikasinya dengan yang lain. Tidak hanya kemampuan personal tetapi juga interpersonal dan extrapersonal. Untuk itu, maka penguatan terhadap kemampuan berkomunikasi harus dipertajam. Penguasaan bahasa juga harus baik, sehingga akan bisa menjadi “warga dunia”. d) collaboration. Kemampuan bekerja sama menjadi sangat penting. Di era dimana masyarakat dan dunia kerja tersegmented tetapi saling membutuhkan, maka dasar pijak pentingnya ialah kemampuan berkolaborasi atau bekerja sama. d) Innovation. Untuk menjadi leading di dalam sebuah komunitas sosial atau komunitas kerja dan sekaligus juga untuk menjaga kontinuitas atau survival, maka diperlukan upaya untuk terus berubah. Jangan selalu beranggapan sesuatu yang “mapan”. Jika kemapanan sudah menjadi sikap hidup kita, maka hanya akan menunggu kapan kita dihabisi oleh lainnya.
Ketiga, apa yang bisa dilakukan? 1) menggerakkan seluruh potensi civitas akademika untuk terus berbenah dalam memperkuat eksistensi dan merealisasikan potensi yang dimiliki. Misalnya ialah potensi keahlian atau keterampilan semua civitas akademika. Terutama yang menjadi sasaran ialah para mahasiswa. Harus ada school of training dalam berbagai variasinya. Di sini yang ingin saya tekankan ialah bagaimana menjaring hubungan dengan berbagai lembaga dan lembaga training untuk menghasilkan hard skilled plus dan soft skilled. Perbanyak keahlian khusus yang akan bermanfaat bagi dunia kemahasiswaan.
2) menggerakkan seluruh potensi civitas akademika untuk membangun moderasi agama. Saya kira sudah saatnya kita semua speak up mengenai moderasi agama ini. Jangan lelah berbicara di berbagai forum tentang pentingnya membangun Indonesia dalam tindakan beragama yang rahmatan lil alamin. Jadilah kita semua agen yang menyuarakan tentang Islam yang moderat, Islam yang memberikan kerahmatan bagi semua umat manusia.
Dengan berbagai tindakan ini, maka kita akan menghasilkan mahasiswa Indonesia yang memiliki kapasitas keilmuan dan kemampuan vokasi yang baik dan sekaligus juga anggota masyarakan yang akan selalu mempertahankan masyarakat Indonesia yang beragama secara moderat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..