Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ZAKAT DAN PERAN NEGARA

ZAKAT DAN PERAN NEGARA
Akhir-akhir ini terdapat diskusi public yang kuat di media sosial terkait dengan rencana pemerintah untuk merumuskan Peraturan Presiden terkait dengan pengumpulan zakat bagi Aparat Sipil Negara (ASN). Diskusi itu tentu terkait dengan pertanyaan apakah negara harus mewajibkan zakat bagi aparatnya? Atau pertanyaan dasar, apakah urgensi negara untuk “mewajibkan” para aparatnya untuk mengeluarkan zakat?
Saya diwawancarai oleh Harian Indopost dan juga Harian Republika terkait dengan pertanyaan ini. Pertama, saya sampaikan bahwa hukum zakat itu wajib tanpa negara harus mewajibkan. Zakat termasuk rukun Islam yang memang wajib ditunaikan oleh mereka yang beragama Islam. Tanpa negara mewajibkan maka zakat di dalam dirinya sendiri sudah mewajibkan untuk dilaksanakan. Sebagaimana shalat dan puasa, maka setiap individu yang sudah mukallaf dan istitho’ah atau memiliki kemampuan zakat maka harus mengeluarkan zakatnya.
Jadi zakat memang kewajiban bagi seorang muslim, namun untuk melaksanakannya harus dilakukan dengan berdasar atas kemampuan ekonomi yang bersangkutan. Di dalam Islam dikenal ada zakat fitrah, yang biasanya dikeluarkan setiap selesai menjalankan ibadah puasa dan bersifat individual mengikat bagi yang mampu secara ekonomi dan ada zakat mal atau zakat harta yang berlaku ketentuan waktu dan ukuran kelayakan zakatnya. Di sini tentu ada pedoman di dalam melaksanakannya.
Di sisi lain, lalu muncul gagasan tentang zakat profesi. Perbincangan tentang zakat profesi itu sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tahun 90-an. Ada beberapa intelektual dan praktisi zakat yang mengembangkan konsepsi zakat profesi. Upaya ini lalu gayung bersambut sebab pada tahun-tahun itu juga ada beberapa Pemerintah Daerah yang melaksanakannya. Misalnya Pemerintah daerah Kabupaten Tulungagung yang mengeluarkan Peraturan Daerah untuk menarik zakat profesi dari Pegawai Negari Sipil (PNS).
Saya pernah membimbing disertasi Dr. Muhammad Hadi, di IAIN Sunan Ampel –kini UIN Sunan Ampel—tentang pengelolaan zakat profesi ini. Saya masih ingat betul tentang bagaimana perdebatan yang dilakukan oleh Bupati Tulungagung dalam menetapkan perda tentang zakat profesi ini. Ada 4 (empat) tahapan, yang dilalui oleh Bupati untuk menetapkannya. Yaitu: 1) mengundang para kyai dan ulama untuk membahas keinginan ini. semula banyak sekali yang menolak gagasan ini. mereka yang menolak menggunakan dalil-dalil agama sebagai penguatnya. 2) melakukan pendekatan secara individual terstruktur untuk meyakinkan tentang urgensi pengumpulan zakat profesi dan pendayagunannya. 3) meyakinkan para PNS tentang pengumpulan zakat profesi ini dan kegunaannya. 4) meyakinkan para wakil rakyat tentang usaha mulia di dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat. Diskusi panjang dan memakan waktu tersebut akhirnya menghasilkan regulasi tentang “kewajiban” mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari gaji PNS.
Saya kira perdebatan yang sekarang terjadi tidak terlalu jauh dengan kejadian perumusan regulasi kewajiban pengeluaran zakat di daerah tersebut. Hanya saja sekarang ditambah dengan masuknya media sosial yang meramaikan diskusi dimaksud. Jadi sebenarnya wacana dan aksi pembayaran zakat ASN melalui UPZ itu sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Saya rasa bukan hanya Kabupaten Tulungagung satu-satunya kabupaten yang memungut zakat itu.
Di dalam konteks ini, peran pemerintah sesungguhnya ialah peran fasilitasi dan bukan peran menekan atau memaksa para muzakki ASN untuk membayar zakat. Pemerintah berkapasitas untuk memungut zakat ASN yang memang memiliki kapasitas untuk mengekuarkan zakat. Bisa saja tidak semua muzakki memastikan dirinya untuk membayar zakat. Sebagai UPZ pemerintah tidak akan melakukan tindakan melebihi sebagai kapasitas fasilitator pembayaran zakat. Dengan demikian, KL memberikan kemudahan membayar zakat.
Pemberitaan melalui media sosial, bahwa KL akan memaksa ASN untuk membayar zakat pasca diterapkannya Peraturan Presiden tentu sangat berlebihan. Di dalam konteks ini, maka yang sesungguhnya diinginkan ialah bagaimana agar pengumpulan zakat profesi ASN akan lebih tertib dan bermanfaat.
Kemenag sudah melakukannya tanpa adanya Perpres. Artinya bahwa kesadaran instansi pemerintah untuk mengumpulkan zakat itu tentu sadah ada dan sudah terjadi. Demikian pula beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga sudah melakukannya. Jika sekarang setelah ada gagasan akan merumuskan peraturan Presiden untuk pengumpulan zakat lalu terdapat keramaian public tentu sungguh merupakan hal yang kurang tepat. Setahu saya, implementasi tentang penarikan zakat melalui pemerintah sudah dilakukan secara segmental.
Upaya untuk merumuskan Perpres tentang hal ini tentu sudah sepatutnya dilakukan mengingat urgensi pengumpulan zakat oleh pemerintah yang berlaku sebagai UPZ dan kemudian menyerahkannya kepada Baznas atau Bazda untuk ditasarufkan bagi yang berhak menerima.
Dengan demikian, pemerintah telah melakukan fungsinya sebagai “perantara” atau “fasilitator” yang memberikan kemudahan bagi wajib zakat di dalam membayar zakatnya. Jadi pemerintah bukan akan memaksa atau mewajibkan bagi para muzakki untuk mengeluarkan zakat, sebab meskipun zakat merupakan kewajiban agama tetapi tetap saja bersifat personal. Peran pemerintah sesungguhnya ialah ingin memastikan bahwa pembayaran zakat adalah mudah dan bermanfaat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..