• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA BAGI GENERASI MILLENIAL (1)

PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA BAGI GENERASI MILLENIAL (1)
Dahulu, mata kuliah yang terkait dengan media informasi tentu hanyalah menjadi ruang lingkup program studi ilmu komunikasi. Pada program studi ini, maka seluruh hal ihwal yang terkait dengan media informasi dalam berbagai variannya menjadi bagian tidak terpisahkan dari ilmu komunikasi dimaksud.
Pada hari Sabtu, 17/03/2018, saya diundang oleh Bu Dr. Maryam Yusuf, Rektor IAIN Ponorogo untuk memberikan “wejangan” dalam kerangka pelaksanaan Wisuda Sarjana Strata I dan II pada IAIN Ponorogo. Saya tentu merasa senang bisa hadir pada acara ini, sebab seingat saya sudah beberapa kali diundang oleh Bu Maryam dan karena kesibukan yang tinggi di Jakarta sehingga tidak bisa hadir. Jadi kehadiran saya ini adalah pembayaran janji saya untuk datang ke IAIN Ponorogo. pasca perubahan status dari STAIN ke IAIN yang genap setahun, semenjak akhir tahun 2016 yang lalu.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan beberapa hal. Pertama, tentang tantangan umat Islam di era teknologi informasi. Sekarang kita sedang berada di era media sosial. Jadi agar kita bisa membaca dan melihat trend terkait dengan masalah-masalah kehidupan masyarakat, maka yang sangat penting ialah mengikuti arus perkembangan informasi dari media sosial.
Kita sungguh merasakan bahwa dewasa ini perkembangan di dalam kehidupan teknologi informasi itu sedemikian cepat. Nyaris tidak ada perkembangan yang terjadi pada setiap hari bahkan setiap jamnya. Perubahan-perubahan itu yang harus kita ikuti tanpa lelah. Makanya, di era perkembangan teknologi yang super cepat ini, maka sikap yang harus diambil ialah dengan mengikuti perkembangan itu sejauh memang perkembangan tersebut bersearah dengan kebaikan untuk umat.
Kedua, kita sedang hidup di era perang media atau porxy war. Perang di era sekarang bukan lagi mengandalkan akan jumlah SDM tentara atau lainnya, akan tetapi sejauh mana penggunaan teknologi informasi untuk perang itu telah dilakukan. Proxy war mengindikasikan bahwa perang yang lebih dahsyat ialah perang media tersebut. Untuk menghancurkan reputasi seseorang, maka cukup dengan membuat berita bohong atau hoax yang bisa membunuh karakternya secara pelan-pelan. Untuk menghancurkan nama baik seseorang cukup dengan pernyataan dalam bentuk hoax tentang kerusakan perilaku seseorang. Character assassination dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Asal ada sasaran yang perlu dikenai, maka dibuatlah pemberitaan bohong atau disinformative atau hoax untuk menjatuhkannya.
Generasi muda adalah generasi yang rentan dalam menghadapi terpaan media. Pada saat masa pencarian jati diri tersebut, maka generasi muda harus paham betul mana informasi yang benar dan yang salah. Mana yang autentik dan mana yang palsu. Mana yang berbasis kenyataan dan mana yang berbasis kebohongan. Tentu masih kita ingat anak-anak muda kita di beberapa perguruan tinggi yang tertarik pada ajaran ISIS, ternyata mereka memperoleh informasinya dari internet. Mereka yang terjerembab ke dalam situs-situs kekerasan ini ternyata karena mengakses situs kekerasan atau ektrim. Misalnya kata YODO atau You Only Die Once atau YOLO atau You Only Life Once. Mereka tertarik dengan ajaran “jihad” dalam konsepsi mereka, yaitu perang ofensif.
Mahasiswa adalah salah satu sasaran strategis dari situs-situs yang beraliran ekstrim ini. Makanya, perguruan tinggi harus memiliki strategi yang jitu di dalam menangkal terhadap peredaran situs ekstrim tersebut. Kementerian Informasi dan Komunikasi tentu sudah bekerja keras untuk menutup terhadap situs-situs ini, akan tetapi perkembangan terkadang jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya pemerintah. Itulah sebabnya harus ada penangkalan dini di kalangan mahasiswa untuk memiliki kemampuan literasi media.
Kemampuan literasi media tentu bisa dilakukan oleh perguruan tinggi. Dalam kapasitas sebagai tempat untuk pembinaan mahasiswa, maka perguruan tinggi memiliki strategi untuk menangkal gerakan hoax dengan menerapkan mata kuliah “Literasi Media”. Mata kuliah ini dapat diberikan kepada semua mahasiswa dalam semua jenjang. Melalui perkuliahan ini, maka akan diberikan segenap informasi yang penting di seputar media.
Meskipun mata kuliah ini berfokus pada Literasi Media, tidak berarti hanya diberikan kepada mahasiswa Program Ilmu Komunikasi dan Dakwah saja, akan tetapi harus menjadi pengetahuan semua mahasiswa. Dengan demikian, maka mahasiswa akan dapat mengetahui mana informasi yang diperlukan, dan mana informasi yang dianggap sampah saja. Jadi mahasiswa akan bisa untuk mengambil mana informasi yang bermanfaat dan mana informasi yang tidak ada gunanya.
Bagaimanapun juga mahasiswa harus melek teknologi informasi. Tidak boleh lagi di era seperti ini, ada yang disebut sebagai mahasiswa “new illiterate”. Buta huruf baru, yaitu buta huruf teknologi informasi.
Oleh karena itu, rasanya memang sungguh diperlukan kehadiran “Mata Kuliah” baru dengan nomenklatur “Literasi Media”. Dengan perkuliahan ini diharapkan agar mahasiswa memiliki kepekaan lebih baik untuk menimbang dan memilih terhadap conten media mana yang dianggapnya bermanfaat dan mana yang dianggap tidak bermanfaat.
Saya kira sudah saatnya, para pimpinan Perguruan Tinggi mengambil tindakan yang lebih bijak dengan memberikan perkuliahan yang bermanfaat dalam pencarian jati diri di tengah nuansa pergerakan cepat media sosial yang dapat menggerogoti sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan juga keberagamaan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

PENDIDIKAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Satu hal yang selalu saya ingat di saat saya bertemu dengan Prof. Mahmud, Rektor UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung ialah di saat saya diundang ke UIN SGD Bandung untuk menghadiri acara peresmian gedung yang dibangun melalui skema SBSN tahun 2017, dan secara tiba-tiba saya tidak bisa hadir. Padahal acara itu disiapkan sedemikian rupa termasuk kehadiran Pak Kapolda Jawa Barat. Seingat saya yang saya tugaskan ke UIN Bandung ialah Direktur Diktis, Prof. Nizar.
Saya tidak bisa hadir karena saat itu, saya menjabat sebagai Plt. Dirjen PHU dan Pak Menteri meminta saya untuk melakukan rapat yang dihadirinya. Saat itu sedang persiapan untuk pelaksanaan haji tahun 2017. Dan sebagaimana biasa, jika Pak Menteri meminta saya untuk mewakilinya atau ada rapat yang mendadak dilakukan, maka semua agenda saya dipastikan saya canceled. Jadi sebenarnya ketidakhadiran saya itu memiliki alasan yang jelas. Akan tetapi tetap saja saya merasa “bersalah”. Maka kehadiran saya pada acara peresmian gedung SBSN di UIN SGD Bandung tentu dalam rangka menebus “kesalahan” tersebut.
Saya merasa sangat senang melihat bangunan SBSN untuk perkuliahan program Pascasarjana. Gedung yang sangat baik, tertata dengan desain yang modern minimalis, dan yang penting juga sudah dilengkapi land scape yang utuh. Tidak sebagaimana biasanya, hanya bangunannya saja yang bagus, tetapi di sekeliling gedung masih tampak belum tertata. UIN SGD Bandung sungguh berbeda. Di sekelingnya sudah dihadirkan taman yang baik, dengan rerumputan yang tertata dan juga pohon kurma yang tertata dengan baik. Meskipun bangunannya bercorak modern minimalis tetapi tetap ada simbol Timur Tengahnya, yaitu pohon kurma. Kata Prof. Mahmud, “Gak penting buahnya Pak Sekjen, yang penting ada kurmanya”.
Acara peresmian (28/02/2018) dihadiri oleh Pak Kapolda, Irjen Pol. Budi Sumarno dan segenap jajarannya, Direktur PPs., Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, dan dosen, serta Ketua Senat UIN SGD Bandung Prof. Nanat Fatah Nasir, dan para professor lainnya. Selain itu juga mahasiswa pasca sarjana UIN SGD Bandung.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan 3 (tiga) hal penting terkait dengan peresmian bangunan gedung perkuliahan pascasarjana. Pertama, bahwa gedung yang bagus bagi sebuah PTKIN tentu memiliki makna sangat penting. Bagi orang Indonesia, bahwa gedung yang bagus adalah bagian dari imej tentang “kehebatan” PTKIN. Masih sering kita dengar, pernyataan “gedung perguruan tinggi tapi seperti gedung SD Inpres”. Artinya, ada anggapan bahwa gedung PTKIN itu harus berbeda dengan gedung SD di masa lampau. Gedung SD Inpres itu dibangun di saat Pak Soeharto, Presiden RI yang kedua, menggalakkan pendidikan wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Di era sekarang, maka harapan masyarakat bahwa gedung PTKIN itu harus bagus, elegan, modern meskipun minimalis, dan dapat menggambarkan “kehebatan” PTKIN.
Bagi saya, gedung hebat penting, tetapi yang lebih urgen lagi ialah isinya gedung. Saya membayangkan bahwa isinya gedung itu ialah sarana dan prasarana teknologi informasi yang canggih. Di dalam gedung yang bagus tersebut ialah media informasi dan program pembelajaran berbasis teknologi modern. Saya membayangkan bahwa di gedung PTKIN itu ialah peralatan yang serba digital. Misalnya, perpustakaan digital, pembelajaran digital, serta proses administrasi dan pembelajaran yang berbasis teknologi informasi dan pelayanan berbasis on line lainnya.
Bahkan menurut saya, ke depan kita tidak lagi berbicara tentang seberapa banyak anggaran kita untuk membangun gedung, akan tetapi justru memanfaatkan gedung tersebut dengan pelayanan pendidikan berbasis teknologi informasi. Semua sudah menggunakan pelayanan on line, kecuali yang memang tidak harus menggunaan sistem on line. Di era milenial, maka pembelajaran berbasis teknologi informasi tentu merupakan keharusan. Dan PTKIN harus mengembangkan hal ini untuk menyongsong era pembelajaran berbasis teknologi informasi.
Harus mulai dipikirkan bagaimana menyajikan perkuliahan berbasis teknologi informasi. Harus dirancang membangun sistem pembelajaran yang memungkinkan akses mahasiswa dari berbagai negara. Mereka tidak perlu datang ke kampus, akan tetapi dapat mengikuti perkuliahan jarak jauh atau distance learning. Jadi bukan kelas jauh sebagaimana yang dipraktekkan selama ini.
Harus dirancang perkuliahan dengan komposisi, misalnya 70 persen melalui pembelajaran jarak jauh –berbasis teknologi informasi—dan 30 persen perkuliahan tatap muka. Atau bisa juga 50 persen perkuliahan berbasis teknologi informasi dan 50 persen tatap muka. Atau sebaliknya 30 persen berbasis teknologi informasi dan 70 persen tatap muka. Tetapi juga bisa 100 persen perkuliahan tatap muka.
Calon mahasiswa diberi pilihan tentang program pembelajaran, sehingga yang bersangkutan bisa memilih mana yang akan dilakukannya. Dan yang penting kita akan dapat memperbanyak mahasiswa luar negeri yang akan belajar di tempat kita. Jika pada tahun 2005 lalu, UKM telah memiliki mahasiswa dari 36 negara, maka dengan sistem pembelajaran berbasis TI akan bisa lebih banyak mahasiswa asing yang belajar di tempat kita.
Kedua, ke depan kita semua harus berkonsentrasi pada pengembangan mutu pendidikan. Di dalam RPJMN tahun 2019-2024, pemerintah sudah tidak lagi berpacu pada perluasan akses pendidikan akan tetapi berpacu dengan peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, semua komponen civitas akademika UIN SGD Bandung harus berproses untuk menjemput tahun mutu pendidikan. Jadi para dosen harus bermutu, sarana prasarana pendidikan harus bermutu, program pembelajaran harus bermutu, dan out put lulusan juga harus bermutu. Dengan demikian, semua komponen masyarakat kampus harus bersinergi untuk mengembangkan mutu pendidikan tersebut. Tidak ada kata berhenti dalam mengejar mutu, maka peningkatan kualitas harus melazimi seluruh program kegiatan kampus kita.
Ketiga, kesuksesan program pembelajaran di suatu kampus sangat tergantung kepada mekanisme kerja sama di antara para civitas akademika. Dan di dalam menghadapi abad milenial ini, maka kita semua haruslah mengembangkan pengetahuan dan program pendidikan yang mengarah pada penguatan lulusan melalui standart kompetensi lulusan (SKL) yang unggul. Mari kita bekali mahasiswa kita dengan sejumlah keahlian yang relevan dengan kebutuhannya, agar ke depan kita bisa mencetak generasi Indonesia yang hebat di dalam penguasaan hard skilled-nya dan juga kemapanan soft skilled-nya. Saya yakin dengan semakin banyaknya doctor dan professor serta semakin berkualitasnya sarana dan prasarana pendidikan, maka keinginan untuk menghasilkan lulusan yang siap menerima estafeta kepemimpinan bangsa tentu bukan sesuatu yang mustahil kita lakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (2)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (2)
Saya akan memperdalam pembahasan tentang bagaimana seharusnya menghargai karya professor. Saya ingin menyatakan bahwa selayaknya kita berpikir “equivalency” di dalam memberikan penilaian tentang karya akademis professor, agar kita tidak terjebak memberikan “pengadilan” bahwa yang berkualifikasi itu hanya tulisan professor yang dimuat di jurnal terindeks di Scopus. Seakan yang lain lalu dianggap hanya pelengkap saja.
Dewasa ini kita justru merindukan tulisan-tulisan yang ke depan akan memiliki jangka panjang untuk terus dikenang dan dipelajari. Betapa hebatnya orang seperti Imam Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim Al Jauzy, Yusuf Qardlawi, dan sebagainya.
Tulisan Imam Ghazali, misalnya “Ihya’ Ulum al Dien” menjadi karya monumental yang tiada tertandingi. Siapa yang tidak mengenal kitab ini di dunia modern sekalipun. Berapa ratus tahun semenjak karya ini ditulis dan hingga sekarang masih menjadi bahan-bahan kajian dan bahan ajar di lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Maha suci Allah yang telah menggerakkan pikiran dan tangan Imam Ghazali untuk menulis kitab yang menjadi panduan bagi pemahaman dan pengamalan agama Islam ini.
Di Indonesia, misalnya kita harus mengapresiasi terhadap Prof. Dr. Hamka yang menghasilkan kitab Tafsir Al Azhar, yang merupakan karya tulis orang Indonesia tentang penafsiran al Qur’an. Lalu juga misalnya Prof. Dr. M. Quraisy Syihab yang menulis Tafir Al Misbah yang luar biasa. Lalu dengan karya tulis Prof. M. Quraisy Syihab yang sangat outstanding tersebut lantas tidak diakui keprofesorannya karena tidak menulis di Jurnal internasional. Saya kira kita pastilah merasakan bahwa tulisan beliau itu melebihi karya di dalam jurnal berindeks scopus.
Menghargai karya akademik professor tidak bisa dinyatakan hanya melalui karya pendek di dalam jurnal internasional berindeks scopus. Ada banyak karya akademis professor yang memiliki kualifikasi sangat memadai untuk disebut sebagai karya akademik unggul. Jangan sampai kita mendiskualifikasi kepakaran seorang professor hanya dari aspek ketiadaan tulisan di dalam jurnal internasional. Bolehlah ukuran itu dijadikan sebagai rujukan, akan tetapi bukan satu-satunya ukuran. Masih tersisa ruang ukuran lain yang menentukan terhadap kepakaran seseorang di dalam dunia akademik.
Saya berpikir bahwa untuk menentukan sebuah karya professor itu akademik atau tidak, tentu bisa dilakukan dengan membangun konsepsi equivalency. Yaitu dengan menggunakan kosepsi membandingkan karya akademis dalam berbagai variasinya dengan ukuran-ukuran yang relevan. Misalnya, buku yang diterbitkan oleh penerbit internasional, misalnya ISEAS, Routledge, Keegan Paul dan sebagainya tentu memiliki standart yang sangat tinggi. Bikinlah berapa scorenya, lalu karya akademik di dalam jurnal internasional terindeks, maka juga bisa ditentukan berapa scorenya, lalu karya dalam jurnal nasional terakreditasi berapa scorenya dan karya dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit nasional bereputasi juga harus diberi score yang memadai. Di dalam tahap akhir, lalu bisa diakumulasikan untuk memenuhi standart tertinggi bagi karya akademis professor.
Bagi penerbit nasional bereputasi, maka juga harus ada daftarnya. Kementerian Ristekdikti bisa membuat klasifikasi penerbit bereputasi nasional. Dengan logika ini, maka tidak akan terjadi penerbitan buku secara sembarangan oleh seorang professor. Agar tulisannya bisa memenuhi standart akademis tinggi, maka seorang professor harus menerbitkan karya di penerbit unggul dimaksud. Selain itu, para professor juga bisa “menilai” terhadap karya itu unggul atau tidak, bereputasi atau tidak dan juga memiliki standart akademis atau tidak. Saya yakin ada ukuran-ukuran untuk menentukannya.
Selain hal ini, juga ada beberapa keuntungan yang ke depan akan bisa diunduh ketika kebijakan ini dilakukan, yaitu bisa mendorong agar penerbit bisa menghasilkan karya terbitan unggul, sehingga harus memenuhi kualifikasi tertentu atau berstandart nasional, dan para professor juga akan berusaha untuk menulis yang unggul agar tulisannya bisa diakui sebagai karya akademis unggul.
Saya kira masih ada cara yang lebih arif untuk menilai karya para professor agar kita tidak terjebak pada issu internasionalisasi tanpa reserved, akan tetapi juga selalu mempertimbangkan bahwa secara nasional kita juga memiliki standart yang yang jelas dan tegas untuk bisa diakui oleh orang lain. Janganlah kita selalu menggantungkan nasib kita pada orang lain dengan dalih standart internasional.
Dengan cara seperti ini, maka kita telah membangun keadilan bagi karya tulis professor. Sungguh saya merasa miris juga di kala diterbitkan peraturan yang “mengebiri” karya para professor dengan hanya menekankan pada tulisan di jurnal internasional berstandart scopus. Saya kira kita harus memperlakukan para professor dengan cara yang “manusiawi” yaitu cara-cara yang tidak mengintimidasi dengan pemotongan tunjangan kehormatan atau lainnya.
Marilah kita kembali kepada Undang-Undang Guru dan Dosen yang mengatur tentang bagaimana para professor tersebut harus berbuat. Janganlah kita menafsirkan regulasi dengan memberikan pembobotan yang melebihi konteks regulasi tersebut dirumuskan.
Tujuan untuk meningkatkan jumlah karya tulis bertaraf internasional melalui jurnal internasional berindeks scopus tentu baik, akan tetapi janganlah kita menjadikan hal itu sebagai satu-satunya pilihan. Tuhan saja memberikan banyak pilihan di dalam kehidupan ini, lalu kita justru tidak memberikan pilihan-pilihan cerdas untuk kebaikan semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (1)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (1)
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang professor kembali menyeruak di permukaan. Penyebabnya tentu saja ialah terkait dengan rencana penghentian sementara tunjangan kehormatan professor disebabkan oleh factor akedemis, para professor belum melaporkan menulis di jurnal internasional. Ada sebanyak 3.800 profesor yang belum menyerahkan hasil karya akademis di jurnal internasional yang dibakukan oleh Kemenristekdikti.
Separah itukah para professor kita? Benarkah mereka sama sekali tidak melahirkan karya akademis? Apakah karya akademis pada jurnal internasional menjadi satu-satunya alat ukur kehebatan para professor? Masih ada sederet pertanyaan yang bisa diajukan untuk memberikan tanggapan atas rencana Kemenristekdikti terkait dengan rencana penghentian sementara atas tunjangan kehormatan professor.
Sebagai seorang professor tentu saya merasa terpanggil untuk terlibat di dalam diskusi ini meskipun sebatas pada penulisan melalui media yang saya gunakan sebagai aktualisasi diri (blog) yang saya miliki. Saya merasakan bahwa para professor yang belum menulis atau sedang dalam proses menulis di jurnal internasional bukan berarti sama sekali tidak ada karya ilmiahnya. Sebab mereka tentu sudah melakukan penelitian, penulisan buku atau presentasi di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Sebagai professor pasti melakukan hal ini. Jika tidak tentu tunjangan profesinya akan dihentikan.
Professor sebagai jabatan tertinggi, tentu mengandung konsekuensi yang sangat besar. Professor memang lambang kehebatan atau keunggulan akademis bagi seseorang. Dia mendapatkannya setelah berkutat dalam waktu yang sangat panjang dalam pergulatan akademis baik nasional maupun internasional. Mereka memperolehnya setelah berjuang secara berjenjang dari awal sampai akhir. Mereka lampaui setahap demi setahap jabatan-jabatan untuk sampai kepada pencapaian gelar tertinggi tersebut. Saya kira semua jenjang yang dilampaui akan memberikan gambaran betapa tidak mudah seseorang untuk mendapatkan gelar akademis tersebut.
Menjadi perfesor adalah idaman bagi semua dosen, apalagi jika sudah bergelar doctor. Sementara itu untuk menjadi doctor juga tidak mudah. Saya merasakan betapa beratnya menjadi doctor tersebut. Baik doctor dari dalam negeri maupun doctor dari luar negeri, saya kira, sama-sama sulitnya. Jika seseorang secara sungguh-sungguh melakukannya, saya kira memang harus “jungkirbalik” untuk mendapatkan gelar doctor dimaksud.
Dan untuk mengetahui, apakah produk doctor tersebut hebat atau tidak, cukup atau kurang, sungguh-sungguh atau tidak, akan bisa dilihat dari karya akademik disertasinya. Bagi saya, jika di dalam disertasi yang tentu sudah dibukukan oleh penerbit berstandart nasional dengan temuan yang excellence atau terdapat temuan teoretik atau konsep yang relevan, maka dipastikan bahwa dia adalah doctor yang memenuhi standart kualifikasi akademis. Jika kemudian mereka menjadi professor, saya yakin bahwa profesornya tersebut pastilah luar biasa.
Saya ingin memberikan gambaran, semoga bukan sebuah kesombongan, tentang beberapa karya tulis saya, yang saya kira memenuhi standart akademis “baik”. Apakah masih diragukan keprofesoran saya dengan beberapa buku yang saya hasilkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Saya menerapkan standart yang tinggi untuk karya akademis saya yang berupa buku dengan kualifikasi penerbit yang baik. Penerbit LKiS Jogyakarta, Impuls Jogyakarta dan terakhir Prenada Jakarta. Karya akademis tersebut dirumuskan dari penelitian yang serius. Dan diformat juga sebagaimana disertasi yang lazim dibakukan di Indonesia. Sungguh saya merasakan bahwa karya akademis saya, seperti “Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental”, “Tarekat Petani”, dan “Islam Pesisir” adalah karya yang memenuhi standart akademis dimaksud. “Islam Pesisir”, misalnya dicitasi sebanyak 173 orang, lalu karya “Tarekat Petani” dan “Agama Pelacur” dibaca cukup banyak orang. Selebihnya karya seperti “Multikulturalisme di Indonesia”, “Madzab-Madzab Antropologi” juga dicitasi oleh banyak orang. Khusus karya “Madzab-Madzab Antropologi” juga dijadikan referensi oleh beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Memang harus saya akui semenjak menjadi birokrat, maka tulisan yang semula sangat serius menjadi lebih ringan dilihat dari bobot akademisnya. Namun bukan sama sekali tidak ada gagasan yang lumayan baik. Buku “Dari Bilik Birokrasi”, dan “Perjalanan Etnografis Lima Benua” rasanya juga masih pantas disebut sebagai karya yang akademis. Termasuk karya “Menjaga Harmoni Menuai Damai” juga merupakan kumpulan tulisan yang memadai dan bisa menjadi referensi untuk karya akademis lainnya.
Jika saya mengungkapkan hal ini tentu dengan maksud bahwa mengukur “kualitas” professor tidak bisa hanya menggunakan karya ilmiah yang direcognisi oleh Scopus saja. Akan tetapi harus menggunakan ukuran yang lebih komprehensif agar kita bisa memberikan penilaian yang lebih obyektif. Di dalam konteks ini, maka janganlah kita menjadi mengerdilkan diri sendiri dengan selalu menyatakan bahwa karya yang terindeks Scopus adalah yang terbaik dan yang layak dijadikan sebagai acuan akademis.
Kita harus menilai diri kita sendiri tentang kelayakan itu. Jika dengan menggunakan nalar akademik bahwa kita bisa menilai terhadap karya kita itu akademik atau tidak, mengapa kita harus selalu tergantung kepada orang lain, apalagi orang luar negeri, untuk memberikan penilaian terhadap diri kita sendiri.
Kita jangan sampai merasa bahwa sesuatu yang luar biasa selalu yang diabsahkan oleh orang luar negeri, serba luar negeri minded, sehingga potensi yang seharusnya bisa diakui secara fair oleh dunia akademik kita lalu tersapu oleh ketidakpercayaan itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

UIN SUSQA DAN PRODUK VIDEO ANIMASI

UIN SUSQA DAN PRODUK VIDEO ANIMASI
Salah satu kunjungan saya ke Riau, selain menghadiri acara temu Para Kakanwil Kemenag se Indonesia dan Membuka acara Rapat Kerja Daerah Kanwil Kemenag Riau ialah menghadiri acara pameran produk UIN Sultan Syarif Qasim Riau dalam rangka milad ke 47 dan 13 Tahun berdirinya UIN Susqa Riau dan sekaligus juga temu Rektor UIN dan IAIN se Indonesia. Hadir pada acara ini ialah Rektor UIN Susqa Riau, Prof. Mundzir Hitami, Plt.Gubernur Riau, Kapolres Kota Pekanbaru, Para Rektor dan Ketua PTKIN, para Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, para Kepala Lembaga dan segenap jajaran pejabat di UIN Susqa Riau (24/02/2018).
Saya tentu sangat bersyukur atas kehadiran saya di Riau yang bersamaan dengan banyaknya kegiatan berskala local maupun nasional. Saya merasakan betapa saya bisa memberikan masukan dan sekaligus juga menerima masukan dari banyak pihak terkait dengan perkembangan dan arah bagi pengembangan Kemenag secara keseluruhan. Saya harus mengakui bahwa bertemu para rector dan ketua PTKIN merupakan kebanggaan dan sekaligus juga kehangatan untuk berkomunikasi. Sebagai seorang pendidik yang ditugaskan memasuki dunia structural birokrasi, namun jiwa pendidik itu tetap saja bersemayam dengan cengkeraman yang kuat di dalam diri.
Di dalam kesempatan bertemu dengan pimpinan PTKIN dan mahasiswa yang mengikuti pameran pendidikan dan temu rector PTKIN, saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, saya mengapresiasi pertemuan para rector dan ketua PTKIN, sebab berdasarkan pengalaman saya selama ini, bahwa dari forum-forum yang digelar oleh pimpinan PTKIN selalu saja ada hal-hal positif yang diperbincangkan, apakah untuk menyelesaikan masalah maupun untuk mengembangkan PTKIN ke depan. Saya juga mengapresiasi terhadap penyelenggaraan pameran pendidikan oleh UIN Susqa Riau dalam tajuk perjalanan PTKIN ini. Saya juga mengapresiasi terhadap signifikansi perubahan yang dilakukan oleh civitas akademika UIN Suska Riau. Saya melihat pasca pembangunan fisik oleh loan IDB, maka dapat dipastikan bahwa UIN Susqa berkembang dengan pesat. Sekarang terdapat sebanyak 32.000 mahasiswa dan semakin banyak dosen yang bergelar doctor dan tentu juga professor. Lalu juga perkembangan prodi yang juga semakin kuat dan berbobot.
Kedua, sebagai perguruan tinggi keagamaan, tentu UIN Susqa sudah berkembang pesat. Terdapat banyak fakultas “umum” yang menyelenggarakan pendidikan umum berbasis agama. Misalnya Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kesehatan dan sebagainya. Dan yang penting bahwa perkembangan prodi “umum” lalu tidak mematikan terhadap prodi agama sebagai core business PTKIN ini. Fakultas dan Dakwah dan Komunikasi adalah contoh bagaimana integrasi kelembagaan itu berhasil menjadi salah satu cara untuk melestarikan ilmu keagamaan dan sekaligus diperkuat dengan ilmu “umum”.
Yang sangat menarik ialah lahirnya “Video Animasi” yang diproduksi oleh para mahasiswa Fakultas Teknik. Melalui video animasi ini, maka akan dapat dihasilkan beberapa karya yang dapat menjadi “alternative” bagi pengembangan peranimasian di Indonesia. Saya tentu sangat mendambakan lahirnya karya animasi berbasis religious. Sekarang ini, dunia animasi khususnya tayangan untuk anak-anak masih dikuasi barat. Mereka mengusung tradisi dan kesenian Barat yang terkadang tidak relevan dengan dunia kita, keindonesiaan.
Jika kita membutuhkan tayangan untuk anak-anak, maka kita klik Youtube, maka dunia animasi anak-anak itu sepenuhnya dikuasai oleh animasi barat. Misalnya, produk Chu Chu TV, Om Nom Stories, BabyBus, dan sebagainya. dunia animasi anak-anak dibanjiri oleh produks barat. Sekarang India, Thailand dan Brazil juga mendesak, Malaysia dengan Ipin dan Upin. Demikian pula China dan jepang. India dengan Shiva, animasi anak-anak berlatar cerita “penyelematan”, Thailand dengan Gazoon, cerita lucu tentang dunia hewan, lalu China dan Jepang yang mengadaptasi tayangan barat dan dijepangkan atau dichinakan.
Kita sungguh membutuhkan tayangan video yang berbasis kids. Jika kita buka video anak-anak ini di Youtube, maka pemirsanya jutaan orang. Artinya, bahwa tayangan video anak-anak sudah menjadi kebutuhan. Anak-anak di seluruh dunia akan mengakses terhadap tayangan video ini, sehingga sudah seharusnya kita juga berupaya untuk mengembangkan animasi dalam kerangka menyelamatkan anak-anak Indonesia dari tayangan yang kurang relevan dengan budaya Indonesia.
Di era teknologi informasi, maka program pembelajaran juga harus menjadikan animasi sebagai salah programnya. Produk animasi yang sangat baik dan menarik tentu bisa menjadi daya tarik khusus bagi para siswa. Jika guru menerangkan dan menjelaskan lalu diperkuat dengan animasi yang menarik, maka dipastikan bahwa program pembelajaran akan menjadi sangat dimunati oleh para siswa. Makanya, kita harus berlomba untuk menghasilkan animasi pendidikan dalam kerangka memperkuat metode dan media pembelajaran di era sekarang. Pendidikan agama juga harus menggunakan animasi. Misalnya ketika mengajarkan shalat, mengajarkan mengaji Kitab Suci, maka yang sungguh diperlukan ialah memberikan sentuhan animasi untuk memperkuatnya.
Ketiga, UIN Susqa Riau termasuk “assabiqun al awwalun” di dalam transformasi dari IAIN ke UIN. Dengan 13 tahun pengalaman, maka saya berharap agar UIN Susqa bisa menjadi tempat belajar bagi UIN yang baru. Pak Prof. Fauzul dan Pak Dr. Eka tentu bisa belajar kepada UIN Susqa Riau di dalam manajemen tata kelola, inovasi dan memperkuat mahasiswa. Bagi saya dengan 13 tahun itu, tentu UIN Susqa sudah berpengalaman untuk menghasilkan teori dan konsep akademis yang hebat, sudah menghasilkan pemberdayaan masyarakat berbasis teori dan konsep praksis yang dihasilkan oleh para dosennya.
Oleh karena itu, saya tentu berharap agar UIN Susqa dapat melakukan semakin banyak riset akademis maupun action research, sehingga UIN Susqa akan selalu berada di one step ahead dalam rangka program pendidikan di Indonesia. kita semua ingin agar UIN Susqa masuk dalam World Class University (WCU) pada tahun-tahun yang akan datang. Dan saya kira civitas akademica di UIN Susqa Riau memiliki potensi untuk tujuan itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.