• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (3)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (3)
Saya terkejut ketika saya di dalam acara Rapat Kerja Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, 2/4/2018, ada salah seorang peserta dari Aceh yang bertanya kepada saya tentang tindakan apa yang harus dilakukan terhadap siswa yang menggunakan cadar di sekolah.
Sebelum saya menjawab atas pertanyaan ini, saya ingin melanjutkan tulisan saya tentang cadar yang sudah saya tuliskan dalam 2 (dua) session. Dengan menggunakan konsepsi konflik otoritas, maka terjawablah terjadinya perbedaan antara pengguna cadar dengan pimpinan perguruan tinggi. Di dalam konteks ini, maka dapat diketahui bahwa masing-masing bisa berpegang pada prinsipnya dan ternyata memang tidak mudah menyelesaikan persoalan ini.
Di antara sikap pimpinan perguruan tinggi itu ialah: pertama, memberikan peluang bagi kaum cadaris untuk menggunakannya sampai suatu kesempatan yang bersangkutan merasakan dan memahami bahwa di dalam urusan berkaian adalah masalah administrative dan bukan urusan teologis saja. Urusan teologisnya ialah terkait dengan hakikat berpakaian ialah menutup aurat. Disebabkan oleh pandangan ahli fiqih yang bervariatif, maka pimpinan PTKIN memilih pakaian yang di satu sisi telah memenuhi kriteria dan bobot teologis dan di sisi lain memenuhi standat administrative. Strategi yang digunakan ialah dengan cara-cara kultural, yaitu pendekatan personal dan mengedepankan pembudayaan. Jadi bukan pemaksaan dan penghakiman.
Kedua, para pimpinan perguruan tinggi melakukan cara-cara yang ketat dalam penggunaan pakaian. Di dalam konteks ini, maka ditegakkannya kode etik pakaian dengan secara tegas. Sikap seperti ini memang dianggap melawan terhadap pandangan atau tafsir teologis dan bahkan HAM, akan tetapi demi menegakkan kewibawaan pimpinan dan keputusan-keputusan yang ditetapkan, maka kiranya juga mendapatkan posisi yang jelas. Menolak atau menerima.
Ketiga, para pimpinan membiarkan pemakaian cadar tanpa mengganggu hak mereka untuk berpakaian tetapi secara sistematis melakukan pembinaan terhadap perilaku kaum cadaris ini. Pilihan ini yang ditetapkan agar tidak terjadi “keributan” yang memancing persoalan secara lebih besar. Secara diam-diam sesungguhnya para pimpinan perguruan tinggi melakukan “gerakan” pembinaan secara terstruktur dan massive.
Kembali kepada pertanyaan Kepala Madrasah Negeri di Aceh itu, maka saya sampaikan bahwa ada strategi yang bisa digunakan, yaitu melakukan kajian yang mendalam tentang apa sesungguhnya dibalik penggunaan cadar tersebut. Saya membagi penggunaan cadar dalam dua kategori ialah cadar ideologis dan cadar modis. Ada orang yang bercadar karena dorongan ingin menjalankan ajaran Islam sesuai dengan keyakinan dan pahamnya, tetapi ujung akhirnya ialah beragama secara “radikal” atau bahkan “ ekstrim”. Ada juga yang bercadar sebagai mode sebagaimana jilbab yang kemudian juga menjadi mode bagi kaum perempuan. Untuk kepentingan ini, maka saya kira harus ada pendalaman agar kita tidak jatuh pada penghakiman secara berlebihan. Melalui kajian ini, maka akan diketahui jejaringnya dan siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua tindakan keagamaannya.
Dari hasil kajian mendalam ini, yang bisa dilakukan oleh masing-masing lembaga pendidikan atau melalui “intervensi” misalnya inspektorat jenderal atau lembaga yang memiliki reputasi di dalam bidang ini, maka lalu bisa dilakukan tindakan yang tepat. Jika mereka merupakan bagian dari kaum radikalis atau ekstrimis, tentu mereka bisa dibina dengan cara-cara khusus agar mereka kembali kepada keyakinan pengamalan agama yang lebih moderat. Dan jika hanya sekedar mode, maka bisa saja mereka diminta selama kuliah melepas cadarnya atau selama berada di dalam kampus mereka melepas cadarnya dan dipersilahkan menggunakan cadar di luar kampus atau ketika berada di pergaulan bermasyarakat.
Strategi ini yang saya kira akan lebih bermakna dan tidak terkesan menghakimi bagi para pelaku cadar. Harus diakui bahwa pemahaman dan pengamalan beragama kita semakin baik dan keinginan untuk merepresentasikan agamanya juga semakin meningkat, akan tetapi jangan sampai mereka beragama dengan standart “radikal” atau “ekstrim”.
Sungguh kita semua menginginkan bahwa pemahaman dan pengamalan agama pada masyarakat Indonesia ialah pemahaman dan pengamalan beragama yang wasathiyah atau yang moderat. Dengan beragama dalam paham dan pengamalan seperti ini, maka Indonesia yang kita cintai akan terus lestari sampai kapanpun.
Wallahu a’lam bi al shawab.

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (2)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (2)
Perdebatan tentang cadar memasuki kawasan public dan memantik diskusi panjang dan saling menyalahkan. Ada yang bergumentasi cadar sebagai ajaran Islam, dan ada yang beranggapan cadar adalah budaya Arab, atau cadar sebagai budaya Arab yang memperoleh legitimasi di dalam ajaran Islam. Hal ini sudah saya bahas di dalam tulisan saya sebelumnya.
Saya akan melihat dari perspektif sosiologis tentang perdebatan soal cadar ini. Ada seperangkat teori yang bisa dijadikan basis analisis untuk melihat pada persoalan cadar yang mengedepan ini. Saya ingin melihat dari teori konflik otoritas sebagaimana dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf. Konflik otoritas tersebut terjadi disebabkan oleh kenyataan bahwa masing-masing individu atau kelompok bisa menafsirkan yang dilakukannya berdasarkan atas otoritas yang dimilikinya.
Ada dua kubu yang tentu merasa memiliki otoritasnya sendiri atas penafsirannya terhadap cadar tersebut. Pelaku cadar –mahasiswa atau dosen—dengan para pimpinan perguruan tinggi –rektor atau pimpinan PTKIN—yang berseberangan pandangannya berdasar atas otoritas yang dimilikinya. Dosen atau mahasiswa beranggapan bahwa pilihan berpakaian adalah hak individunya yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun karena dianggap bersentuhan dengan ajaran agama dan pasti akan dipertahankannya, dan para pimpinan PTKIN yang merasa memiliki otoritas untuk mengimplementasikan regulasi tentang tatacara berpakaian juga bertahan dengan konsepsinya tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa di setiap PTKIN tentu memiliki kode etik berpakaian yang di dalamnya memuat tentang apa dan bagaimana pakaian yang seharusnya digunakan oleh civitas akademika. Kode etik ini memuat tentang segala hal yang terkait dengan etika pakaian di kampus. Aturan ini disepakati oleh Senat PTKIN dan kemudian menjadi acuan atau pedoman dalam mengatur tata cara berpakaian. Secara normative, regulasi ini yang dijadikan oleh rector atau pimpinan PTKIN untuk mengatur tentang cara berpakaian seluruh civitas akademika.
Sebagai perguruan tinggi yang di dalamnya terdapat kajian keislaman dan juga berada di bawah Kementerian Agama, maka etika berpakaian itu tentu sudah disesuaikan dalam penafsiran tentang ajaran agama yang lazim di Indonesia. Misalnya larangan berpakaian yang tidak pantas secara etika dan agama. Namun pakaian cadar termasuk yang tidak diperbolehkan. Tentu sudah melalui penafsiran yang sangat mendasar tentang ketidakbolehan penggunaan cadar dimaksud. Oleh karena itu kawasan penggunaan cadar adalah kawasan tafsir tentang tata cara berpakaian di dalam Islam. Selain itu juga menggunakan logika administrative, bahwa cadar itu sebagai bentuk untuk “menyembunyikan” identitas seseorang, sehingga lalu tidak dikenal secara fisikal siapa sesungguhnya yang sedang mengikuti kuliah tersebut.
Pada sisi lain, para pengguna cadar lalu mengidentifikasi penggunaan cadar sebagai bagian dari ajaran Islam tentang berpakaian. Dalil agama ini yang kemudian mengedepan, dan menjadi ukuran atau standart tata cara berpakaian. Islam yang kaffah itu termasuk juga cara berpakaiannya. Dalam konteks ini, maka tata cara berpakaian juga harus mengikuti tradisi berpakaian di Arab Saudi karena anggapannya bahwa Islam yang genuine adalah Islam Timur Tengah. Jadi semua yang dating dari Arab Saudi adalah “kebenaran” dalam beragama. Itulah sebabnya mereka bertahan untuk terus memakainya karena ini adalah perintah agama.
Polemic menjadi semakin kuat karena keterlibatan media. Harian Republika temasuk yang sangat getol membicarakan tentang “larangan berhijab” ini. republika yang mengusung tema keislaman juga kelihatan berada di dalam konteks memberikan “penilaian” bahwa larangan bercadar di kampus itu sebuah tragedy dalam beragama. Pandangan media yang menyuarakan tentang larangan bercadar jauh lebih mendominasi pandangan dari kelompok yang “berwawasan” cadar sebagai ajaran Islam yang mutlak. Demikian pula media sosial juga turut menghakimi bahwa edaran untuk melakukan pembinaan itu merupakan stigma negative terhadap para pengguna cadar. Dalam pandangannya, bahwa cadar tidak identic dengan tindakan radikalisme atau fundamentalisme.
Saya tentu sependapat bahwa bercadar juga bisa menjadi mode bagi sebagian muslimah kita, sehingga tidak benar jika bercadar distigmakan dengan pandangan atau mindset radikalisme atau fundamentalisme beragama. Bagi saya, maka tindakan untuk melakukan pengecekan tentang latar belakang pemikiran para pengguna cadar lalu menjadi penting dalam kerangka memahami dibalik penggunaan cadar dimaksud. Melalui kajian yang mendalam lalu akan bisa dipahami apa yang sebenarnya terjadi.
Oleh karena itu berikan kewenangan bagi para pimpinan PTKIN untuk melakukan yang terbaik bagi perguruan tingginya dengan sikap dan tindakan berhati-hati agar stigma-stigma yang negative tentang pelaku cadar juga akan bisa ditempatkan pada posisinya. Kita juga tidak bisa menolak sebagian pandangan masyarakat bahwa cadar merupakan bagian ekspressi keagamaan yang radikal. Kita perlu melakukan klarifikasi agar stigma apapun tentang outward looking itu tidak terus dijadikan sebagai polemic yang tidak produktif.
Saya kira persoalan cadar tidak kurang tidak lebih memiliki kesamaan dengan cara berpakaian lelaki yang bercelana tiga perempat dengan jenggot lebat. Sepintas orang akan memiliki gambaran bahwa mereka adalah yang dapat digolongkan sebagai penganut agama yang radikal atau fundamental. Meskipun demikian, klaim itu juga belum tentu benar, sebab ada saatnya juga bahwa berpakaian seperti itu adalah moder ekspressi keagamaan yang tidak selalu berstigma negative.
Dengan demikian, yang diharapkan ialah agar semua pihak bisa memahami bahwa konflik tentang cadar adalah konflik otoritas, yang hanya akan bisa diselesaikan jika keduanya bisa bertemu untuk mengeosiasikan pada wilayah mana cadar itu bisa digunakan dan kapan bisa dilepas.
Wallahu a’lam bi al shawab.

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (1)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (1)
Tulisan ini memang hadir terlambat di dalam perbincangan tentang penggunaan cadar dalam sessi perkuliahan. Gegap gempita untuk mendiskusikan tentang cadar ini sudah berlalu beberapa saat yang lalu. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan cadar di kampus menjadi mengedepan disebabkan oleh terbitnya surat Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta kepada para dekan dan direktur pascasarjana agar melakukan pembinaan terhadap para mahasiswa yang memakai cadar pada waktu perkuliahan berlangsung.
Sebenarnya masalah ini sudah muncul di PTKIN jauh sebelumnya. Yaitu yang terjadi di IAIN Bukittinggi. Hanya saja memang beda kasusnya. Jika di UIN Sunan Kalijaga pelakunya ialah para mahasiswi, maka yang di IAIN Bukititnggi ialah dosen Bahasa Inggris, yang juga menggunakan cadar di dalam perkuliahan. Kasus cadar di IAIN Bukittinggi menyeruak belakangan pasca kasus cadar di UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta.
Saya tidak akan membahas masalah ini dari perspektif teologis, yang memang terdapat variasi pandangan, ada yang membolehkan tidak menggunakan cadar dan ada yang mengharuskannya. Keduanya tentu memiliki dasar pijak hokum fiqih yang dipahaminya. Semuanya memiliki penganut dan pelakunya masing-masing. Yang jelas bahwa hokum bercadar memang bervariasi berdasarkan pandangan para ahli fiqih.
Pakaian cadar memang tradisi Arab Saudi yang telah memiliki basis teologis yang diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam. Secara teologis, bercadar bagi sebagian masyarakat Arab tidak hanya tradisi tetapi juga ajaran agama. Makanya, sebagian dari masyarakat Arab juga memberlakukan cadar sebagai bagian dari tradisi yang sudah diabsahkan dalam ajaran agama. Jadi, bercadar adalah tradisi Arab yang memperoleh legitimasi teologis di dalam Islam. Namun juga ada yang berpandangan bahwa cadar hanyalah tradisi Arab masa lalu. Sebagai tradisi, maka menjadi bukan keharusan untuk melakukannya. Jika di masa itu, Islam membenarkannya tentu semata-mata sebab ada dimensi fungsional penggunaannya.
Sama halnya dengan pakaian gamis yang menjadi tradisi Arab di masa lalu. Maka baik orang Islam maupun orang kafir juga berpakaian yang sama. Gamis adalah tradisi Arab yang kemudian berlanjut di masa nabi Muhammad saw hingga sekarang. Sebagai tradisi yang sudah berlangsung sangat lama, maka Islam juga membenarkannya dan mengabsahkannya, akan tetapi sungguh bahwa tradisi memakai gamis adalah tradisi Arab yang bisa dipertahankan karena dimensi fungsionalnya.
Sekedar menjadi bahan diskusi, maka kita lalu tidak bisa membedakan apakah pakaian gamis atau cadar itu memang benar-benar ajaran Islam ataukah tradisi Arab yang mendapatkan “pembenaran” ajaran Islam karena dimensi fungsionalnya tersebut. Jadi memang sulit untuk membedakan sebuah fenomena itu khas ajaran Islam atau ada dimensi budayanya. Saya lebih sepakat bahwa tradisi berpakaian yang paling mendalam ialah “menutup aurat”. Selama pakaian itu berfungsi menutup aurat, maka sahlah ia disebut sebagai pakaian bercorak Islam atau sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan pandangan seperti ini, maka sahlah orang memakai celana, memakai kebaya, memakai pakaian dalam aneka bentuk dan jenisnya selama pakaian tersebut sesuai dengan prinsip ajaran Islam: menutup aurat.
Tentu saja juga harus dipertimbangkan dari sisi etika dan kepantasan. Sebab bisa saja sebuah model pakaian sudah sah menutupi aurat, akan tetapi jika pakaian tersebut lalu bercorak ketat bahkan sangat ketat, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang tidak seharusnya dieksploitasi maka tentu juga tidak memenuhi standart etika dan kepantasan tersebut. Jadi, ada standarisasi berpakaian di dalam Islam yaitu menutup aurat dan memenuhi standart etika dan kepantasan.
Sebenarnya berpakaian adalah pilihan. Ada rational choice di dalamnya, yang bisa saja pilihan tersebut didasari oleh ajaran agama, tradisi yang berkembang di suatu wilayah dan trend yang berkembang di dunia mode pakaian. Itulah sebabnya, gaya berpakaian juga mengikuti trend tersebut. Misalnya jilbab atau hijab, di masa lalu tentu hanya menjadi pakaian bagi kalangan tertentu. Pesantren misalnya, atau masyarakat yang memang memiliki kesadaran beragama yang sangat kuat. Namun seirama dengan perkembangan zaman, maka muncul trend berjilbab yang kemudian disebut sebagai jilbab trendi. Jilbab memasuki dunia mode pakaian di kalangan perempuan dengan aneka ragam pola dan bentuknya.
Sebagai pilihan, maka bercadar, berjilbab atau berkerudung dan sebagainya adalah pilihan-pilihan yang bisa dilakukan oleh umat Islam. Sama halnya dengan pilihan menggunanakan sarung, sorban, kopiah, dasi, gamis, celana panjang, kaos atau memakai baju lengan panjang atau pendek. Semuanya adalah pilihan. Jadi siapapun bisa memilihnya sesuai dengan tempat dan waktunya.
Problem yang dihadapi oleh umat Islam ialah bagaimana menempatkan pakaian tersebut di dalam komunitas yang memang memiliki regulasi yang mengatur cara berpakaian. Di sinilah sebenarnya problem mengapa persoalan cadar tersebut mengemuka. Di dalamnya ada perbedaan tafsir atas penggunaannya, sehingga muncul kehebohan-kehebohan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Hanya saja, di saat cadar memasuki ranah politik-publik, maka kemudian segalanya menjadi lebih rumit. Sesuatu yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan saling memahami di antara dua pandangan atau tafsir atas regulasi lalu menjadi perdebatan yang seakan tidak bisa diselesaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

BERSAMA PAK WAPRES BAHAS RPP JAMINAN PRODUK HALAL

BERSAMA PAK WAPRES BAHAS RPP JAMINAN PRODUK HALAL
Saya memperoleh kesempatan yang sangat penting bersama Pak Wakil Presiden, Bapak H. M. Jusuf Kalla, untuk membahas tentang Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH) di ruang Beliau di Istana Wakil Presiden, Rabu, 7/03/2018. Hadir bersama saya, Kepala BPJPH, Prof. Dr. Sukoso, Staf Ahli Mentri, Dr. Djanejri, Kapus, Ibu Siti Aminah dan didampingi oleh Pak Oemar, Seswapres dan lainnya.
Untuk mempersiapkan bahan yang akan dipresentasikan kepada Pak Wapres ternyata tidak mudah. Sebab tentu tidak sebagaimana pertemuan resmi lain di tingkat kementerian, akan tetapi harus mempertimbangkan factor waktu dan ketercukupan semua informasi akan dapat sampai kepadanya. Makanya, sehari sebelum waktu pertemuan dengan Pak Wapres, maka saya gelar rapat untuk membahas bahan-bahan yang komprehensif tentang beberapa kendala penyelesaian RPP ini.
Pada kesempatan bertemu dengan Pak Wapres, maka saya sampaikan beberapa hal, yaitu: pertama, ucapan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Pak Wapres untuk membincang tentang Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH), yang merupakan turunan dari Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kesempatan ini merupakan momentum yang penting bagi kami untuk menjelaskan tentang posisi RPP JPH dalam pembicaraan di Sekretariat Negara (Setneg) dan bagaimana sikap antar Kementerian/lembaga mengenai Jaminan Produk Halal. Kami merasakan betapa pentingnya bertemu dengan Pak Wapres, sehingga peluang untuk mengurai benang kusut itu akan bisa diuraikan.
Kedua, saya sampaikan tentang tiga masalah utama yang masih menjadi perbincangan kuat di antara kementerian/lembaga. Masalah tersebut meliputi: 1) tentang keberlakuan kewajiban halal pasca tahun 2019. Selama ini terjadi perbincangan yang mendasar tentang kewajiban halal tersebut. Kementerian lain yang terkait berpandangan bahwa kewajiban halal tersebut berlaku pasca tahun 2019. Tepatnya 17 Oktober 2019. Jadi, proses sertifikasi juga dimulai dari tahun tersebut. Sementara itu, pandangan dari Setneg, mengacu pada pasal 67 Undang-Undang JPH kewajiban tersebut berlaku semenjak undang-undang ini diterbitkan. Artinya kewajiban halal tersebut tentu harus dideklar semenjak tahun 2014. Jika dinyatakan secara normative, bahwa keberlakukan kewajiban halal bagi produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan barang gunaan tersebut diberlakukan semenjak tahun 2019, maka dipastikan melanggar terhadap undang-undang. Perbincangan untuk mencapai kesepakatan semenjak kapan keberlakukan ini tentu sangat rumit, sebab di satu sisi kementerian/lembaga menganggap bahwa ada potensi ketidakmampuan kita untuk melakukan sertifikasi dalam waktu yang terbatas 2014-2019. Di sisi lain, juga patut disadari bahwa tahun 2014 sampai tahun 2019 merupakan kesempatan untuk mempersiapkan keberlakukan kewajiban halal dimaksud.
2) terkait dengan kewajiban halal bagi obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan. Di dalam undang-undang dinyatakan bahwa semua produk harus halal semenjak diundangkan jaminan produk halal. Artinya, bahwa obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan juga tidak dikecualikan dari jaminan produk halal. Jadi dengan mengikuti amanah undang-undang ini, maka semua produk tentu harus bersertikat halal. Tidak ada pengecualian. Dari harmonisasi RPP JPH di Kemenkumham, bahwa untuk obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan diberikan norma pengecualian jika produk tersebut membawa kemadharatan atau dapat menimbulkan atau menyebabkan ketidakselamatan jiwa. Jadi, norma ini merupakan jalan kompromi untuk memberikan “peluang” bahwa obat-obatan memang produk khusus yang bisa diberikan peluang berbeda. Sementara itu Kementerian Kesehatan, berpendapat bahwa semua obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan harus dikecualikan.
3) terkait dengan pemberian tanda halal atau tidak halal pada produk. Sesuai dengan Undang-Undang JPH, maka setiap produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia, maka harus berlabel halal atau tidak halal. Di dalam konteks ini, maka tidak terkecuali produk obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan juga harus berlabel halal. Tentang label halal tersebut bisa berupa gambar atau penanda lainnya.
Menanggapi terhadap hal ini, maka Pak Wapres menyatakan bahwa: 1) harus diperhatikan penerbitan RPP ini bersifat fleksibel. Harus diperhitungkan bahwa dengan RPP ini tidak akan memberatkan kita sendiri dan khususnya para pengusaha menengah ke bawah atau UMKM. Penerapan PP JPH harus dapat meningkatkan daya saing produk dalam negeri baik untuk kepentingan local maupun internasional. Jadi dengan PP ini tidak akan terjadi trade barrier yang justru akan merugikan peluang bisnis Indonesia.
2) tentang penerapan kewajiban halal, maka juga harus diperhitungkan kemampuan kita untuk melakukan sertifikasi. Jangan sampai kita menerapkan regulasi yang justru membuat kita tidak dapat melakukannya. Perhitungkan dengan cermat, bahwa dengan PP ini kita justru akan mengambil manfaat untuk pengembangan produk dalam negeri secara optimal. Jadikan tahun 2014 sampai 2019 sebagai persiapan untuk melaksanakan sertifikasi produk-produk, baik makanan, minuman, dan lain-lain. Untuk barang gunaan juga agar diatur secara hati-hati, misalnya untuk barang dari hewan saja.
3) tentang pengecualian obat, vaksin dan alat kesehatan agar diperhitungkan dari kedaruratan. Semua obat itu mengandung madharat. Tidak ada orang yang mau minum obat kalau tidak sakit. Jadi obat itu mengandung kemadharatan. Untuk itu agar diatur yang baik sebab kenyataannya untuk obat mayoritasnya belum berbahan halal. Jadi harus hati-hati agar tidak terjadi masalah pasca diterbitkannya PP ini.
Memang, untuk merumuskan PP yang bisa memberikan rasa senang kepada semua pihak tentu bukan sesuatu yang mudah. Akan tetapi sudah menjadi tekad kita untuk menghasilkan PP yang implementable bagi penguatan kapasitas pengusaha kita untuk berbuat yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA BAGI GENERASI MILLENIAL (2)

PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA BAGI GENERASI MILLENIAL (2)
Pidato saya dalam acara Wisuda Sarjana Strata I dan II di IAIN Ponorogo, kemudian saya tekankan sekali lagi dalam acara Rapat Kerja (raker) yang diselenggarakan oleh UIN Raden Intan Lampung di Puncak Bogor. Acara ini dihadiri oleh segenap pejabat dari UIN Raden Intan Lampung, yaitu Pak Rektor, Prof. Dr. Moh. Mukri, para wakil Rektor, para Dekan dan wakil Dekan, direktur PPs, Kepala Lembaga dan juga para guru besar dan pejabat structural lainnya.
Pada acara ini saya kedepankan tentang beberapa tantangan perguruan tinggi, tentu juga PTKIN dalam menghadapi era milenial yang sudah kita alami sekarang. Kita benar-benar harus mencermati terhadap tantangan era milenial ini, sebab yang dihadapi oleh perguruan tinggi sekarang ialah para generasi milenial. Bisa dibayangkan bahwa yang mengajar mereka (para dosen) adalah mereka yang lahir jauh dari era milenial ini, kebanyakan dosen adalah lahir tahun 1960 sampai 1980, atau generasi X, sedangkan para dosen harus mengajar para generasi milenial yang lahir pasca tahun 1980-an. Ada gap yang sangat jauh dalam penguasaan media antara generasi X dan generasi Y.
Itulah sebabnya, ada banyak mahasiswa yang jauh lebih tahu dalam banyak hal dibandingkan dengan para dosennya. Saya khawatir, bahwa penguasaan teori atau konsep ternyata mahasiswa jauh lebih baik dibandingkan dengan para dosennya. Itulah sebabnya para dosen juga harus melek teknologi informasi agar tidak terjadi kasus seperti ini. Jangan sampai kita salah mendiagnosa terhadap mahasiswa yang malas kuliah dengan pernyataan suka membolos dan sebagainya. Mestilah harus dicari penyebab mengapa mahasiswa tersebut tidak suka datang ke ruang kelas. Jangan-jangan pengetahuan mereka lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan para dosennya.
Meskipun demikian, juga banyak mahasiswa yang tidak mendengarkan kuliah atau tidak masuk sekolah karena terlibat di dalam media sosial yang bisa membikin masalah. Itulah sebabnya, harus dicarikan solusi yang tepat di dalam memberikan pembelajaran kepada generasi milenial ini, agar arah dan tujuan untuk mendidik mereka menjadi benar dan terarah.
Jadi yang jauh lebih penting ialah membekali mahasiswa dengan literasi media. Mahasiswa harus dibekali seperangkat pengetahuan tentang urgensi media sosial, bagaimana memanfaatkannya dan bagaimana etikanya. Jangan sampai mereka terjerembab di dalam penggunaan media yang salah arah apalagi terpapar virus ekstrimisme yang merusak mental sebagai bangsa.
Mata kuliah Literasi Media perlu diberikan kepada semua mahasiswa. Terutama tentu kepada mahasiswa tahun pertama. Di masa peralihan dari siswa menjadi mahasiswa, maka mereka harus dibekali dengan perkuliahan literasi media ini. Untuk itu content mata kuliah ini ialah: 1) memberikan bekal kepada mahasiswa tentang strategi untuk memilih mana content media sosial yang mencerahkan dan yang membawa ke jurang kesalahan. Mahasiswa harus dibekali dengan seperangkat pengetahuan untuk mengenal media sosial dengan berbagai alirannya. Semua harus dipahami agar mahasiswa bisa mengakses informasi secara benar. Tentu harus diperkenalkan secara mendalam mana content berita yang benar dan yang salah.
2) Memberikan bekal secara praksis untuk memilih informasi yang bisa dijadikan rujukan dan yang tidak bisa dijadikan referensi. Bahkan juga mana informasi yang mendidik dan mana yang merusak. Harus diajarkan kepada mereka kunci-kunci untuk memahami informasi yang factual dan informasi yang menyesatkan. Mahasiswa harus memilah dan memilih informasi yang benar. Pilah sebelum pilih. Check dan recheck sebelum sharing dan simpan.
3) Rumuskan kurikulum dan sillabi yang relevan dengan kebutuhan mencerdaskan mahasiswa dalam bermedia. Untuk itu perlu dipersiapkan tim yang bagus agar bisa merumuskan kurikulum dan silabus yang memenuhi standart pembelajaran literasi media. Ajak diskusi ahli pengembagan kurikulum dan juga ahli teknologi informasi. Kita harus merumuskan kurikulum dan sillabi yang dapat memenuhi keinginan kaum milenial untuk mengikuti program perkuliahan ini.
4) Rumuskan etika bermedia sosial dengan baik dan standart. Saya berharap bahwa dengan perkuliahan ini, maka akan membentuk etika sosial di dalam bermedia sosial. Agar tidak ada lagi mereka yang mengembangkan hoax atau berita bohong, hate speech dan sebagainya. Semua diajarkan dan kemudian dilakukan dalam koridor etika sosial yang utuh. Saya kira semua agama mengajarkan tentang etika sosial yang bermartabat.
5) Prinsip yang kita anut di dalam mengembangkan perkuliahan ini ialah lebih menjaga dari pada mengobati. Jadi mengajarkan tentang cara dan strategi bermedia sosial itu lebih bermakna dari pada kita mengobati mereka yang sudah terpapar media sosial yang bejat seperti hoax. Dan kita semua pasti bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.