• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (3)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (3)
Saya terkejut ketika saya di dalam acara Rapat Kerja Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, 2/4/2018, ada salah seorang peserta dari Aceh yang bertanya kepada saya tentang tindakan apa yang harus dilakukan terhadap siswa yang menggunakan cadar di sekolah.
Sebelum saya menjawab atas pertanyaan ini, saya ingin melanjutkan tulisan saya tentang cadar yang sudah saya tuliskan dalam 2 (dua) session. Dengan menggunakan konsepsi konflik otoritas, maka terjawablah terjadinya perbedaan antara pengguna cadar dengan pimpinan perguruan tinggi. Di dalam konteks ini, maka dapat diketahui bahwa masing-masing bisa berpegang pada prinsipnya dan ternyata memang tidak mudah menyelesaikan persoalan ini.
Di antara sikap pimpinan perguruan tinggi itu ialah: pertama, memberikan peluang bagi kaum cadaris untuk menggunakannya sampai suatu kesempatan yang bersangkutan merasakan dan memahami bahwa di dalam urusan berkaian adalah masalah administrative dan bukan urusan teologis saja. Urusan teologisnya ialah terkait dengan hakikat berpakaian ialah menutup aurat. Disebabkan oleh pandangan ahli fiqih yang bervariatif, maka pimpinan PTKIN memilih pakaian yang di satu sisi telah memenuhi kriteria dan bobot teologis dan di sisi lain memenuhi standat administrative. Strategi yang digunakan ialah dengan cara-cara kultural, yaitu pendekatan personal dan mengedepankan pembudayaan. Jadi bukan pemaksaan dan penghakiman.
Kedua, para pimpinan perguruan tinggi melakukan cara-cara yang ketat dalam penggunaan pakaian. Di dalam konteks ini, maka ditegakkannya kode etik pakaian dengan secara tegas. Sikap seperti ini memang dianggap melawan terhadap pandangan atau tafsir teologis dan bahkan HAM, akan tetapi demi menegakkan kewibawaan pimpinan dan keputusan-keputusan yang ditetapkan, maka kiranya juga mendapatkan posisi yang jelas. Menolak atau menerima.
Ketiga, para pimpinan membiarkan pemakaian cadar tanpa mengganggu hak mereka untuk berpakaian tetapi secara sistematis melakukan pembinaan terhadap perilaku kaum cadaris ini. Pilihan ini yang ditetapkan agar tidak terjadi “keributan” yang memancing persoalan secara lebih besar. Secara diam-diam sesungguhnya para pimpinan perguruan tinggi melakukan “gerakan” pembinaan secara terstruktur dan massive.
Kembali kepada pertanyaan Kepala Madrasah Negeri di Aceh itu, maka saya sampaikan bahwa ada strategi yang bisa digunakan, yaitu melakukan kajian yang mendalam tentang apa sesungguhnya dibalik penggunaan cadar tersebut. Saya membagi penggunaan cadar dalam dua kategori ialah cadar ideologis dan cadar modis. Ada orang yang bercadar karena dorongan ingin menjalankan ajaran Islam sesuai dengan keyakinan dan pahamnya, tetapi ujung akhirnya ialah beragama secara “radikal” atau bahkan “ ekstrim”. Ada juga yang bercadar sebagai mode sebagaimana jilbab yang kemudian juga menjadi mode bagi kaum perempuan. Untuk kepentingan ini, maka saya kira harus ada pendalaman agar kita tidak jatuh pada penghakiman secara berlebihan. Melalui kajian ini, maka akan diketahui jejaringnya dan siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua tindakan keagamaannya.
Dari hasil kajian mendalam ini, yang bisa dilakukan oleh masing-masing lembaga pendidikan atau melalui “intervensi” misalnya inspektorat jenderal atau lembaga yang memiliki reputasi di dalam bidang ini, maka lalu bisa dilakukan tindakan yang tepat. Jika mereka merupakan bagian dari kaum radikalis atau ekstrimis, tentu mereka bisa dibina dengan cara-cara khusus agar mereka kembali kepada keyakinan pengamalan agama yang lebih moderat. Dan jika hanya sekedar mode, maka bisa saja mereka diminta selama kuliah melepas cadarnya atau selama berada di dalam kampus mereka melepas cadarnya dan dipersilahkan menggunakan cadar di luar kampus atau ketika berada di pergaulan bermasyarakat.
Strategi ini yang saya kira akan lebih bermakna dan tidak terkesan menghakimi bagi para pelaku cadar. Harus diakui bahwa pemahaman dan pengamalan beragama kita semakin baik dan keinginan untuk merepresentasikan agamanya juga semakin meningkat, akan tetapi jangan sampai mereka beragama dengan standart “radikal” atau “ekstrim”.
Sungguh kita semua menginginkan bahwa pemahaman dan pengamalan agama pada masyarakat Indonesia ialah pemahaman dan pengamalan beragama yang wasathiyah atau yang moderat. Dengan beragama dalam paham dan pengamalan seperti ini, maka Indonesia yang kita cintai akan terus lestari sampai kapanpun.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..