• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (1)

CADAR DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS (1)
Tulisan ini memang hadir terlambat di dalam perbincangan tentang penggunaan cadar dalam sessi perkuliahan. Gegap gempita untuk mendiskusikan tentang cadar ini sudah berlalu beberapa saat yang lalu. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan cadar di kampus menjadi mengedepan disebabkan oleh terbitnya surat Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta kepada para dekan dan direktur pascasarjana agar melakukan pembinaan terhadap para mahasiswa yang memakai cadar pada waktu perkuliahan berlangsung.
Sebenarnya masalah ini sudah muncul di PTKIN jauh sebelumnya. Yaitu yang terjadi di IAIN Bukittinggi. Hanya saja memang beda kasusnya. Jika di UIN Sunan Kalijaga pelakunya ialah para mahasiswi, maka yang di IAIN Bukititnggi ialah dosen Bahasa Inggris, yang juga menggunakan cadar di dalam perkuliahan. Kasus cadar di IAIN Bukittinggi menyeruak belakangan pasca kasus cadar di UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta.
Saya tidak akan membahas masalah ini dari perspektif teologis, yang memang terdapat variasi pandangan, ada yang membolehkan tidak menggunakan cadar dan ada yang mengharuskannya. Keduanya tentu memiliki dasar pijak hokum fiqih yang dipahaminya. Semuanya memiliki penganut dan pelakunya masing-masing. Yang jelas bahwa hokum bercadar memang bervariasi berdasarkan pandangan para ahli fiqih.
Pakaian cadar memang tradisi Arab Saudi yang telah memiliki basis teologis yang diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam. Secara teologis, bercadar bagi sebagian masyarakat Arab tidak hanya tradisi tetapi juga ajaran agama. Makanya, sebagian dari masyarakat Arab juga memberlakukan cadar sebagai bagian dari tradisi yang sudah diabsahkan dalam ajaran agama. Jadi, bercadar adalah tradisi Arab yang memperoleh legitimasi teologis di dalam Islam. Namun juga ada yang berpandangan bahwa cadar hanyalah tradisi Arab masa lalu. Sebagai tradisi, maka menjadi bukan keharusan untuk melakukannya. Jika di masa itu, Islam membenarkannya tentu semata-mata sebab ada dimensi fungsional penggunaannya.
Sama halnya dengan pakaian gamis yang menjadi tradisi Arab di masa lalu. Maka baik orang Islam maupun orang kafir juga berpakaian yang sama. Gamis adalah tradisi Arab yang kemudian berlanjut di masa nabi Muhammad saw hingga sekarang. Sebagai tradisi yang sudah berlangsung sangat lama, maka Islam juga membenarkannya dan mengabsahkannya, akan tetapi sungguh bahwa tradisi memakai gamis adalah tradisi Arab yang bisa dipertahankan karena dimensi fungsionalnya.
Sekedar menjadi bahan diskusi, maka kita lalu tidak bisa membedakan apakah pakaian gamis atau cadar itu memang benar-benar ajaran Islam ataukah tradisi Arab yang mendapatkan “pembenaran” ajaran Islam karena dimensi fungsionalnya tersebut. Jadi memang sulit untuk membedakan sebuah fenomena itu khas ajaran Islam atau ada dimensi budayanya. Saya lebih sepakat bahwa tradisi berpakaian yang paling mendalam ialah “menutup aurat”. Selama pakaian itu berfungsi menutup aurat, maka sahlah ia disebut sebagai pakaian bercorak Islam atau sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan pandangan seperti ini, maka sahlah orang memakai celana, memakai kebaya, memakai pakaian dalam aneka bentuk dan jenisnya selama pakaian tersebut sesuai dengan prinsip ajaran Islam: menutup aurat.
Tentu saja juga harus dipertimbangkan dari sisi etika dan kepantasan. Sebab bisa saja sebuah model pakaian sudah sah menutupi aurat, akan tetapi jika pakaian tersebut lalu bercorak ketat bahkan sangat ketat, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang tidak seharusnya dieksploitasi maka tentu juga tidak memenuhi standart etika dan kepantasan tersebut. Jadi, ada standarisasi berpakaian di dalam Islam yaitu menutup aurat dan memenuhi standart etika dan kepantasan.
Sebenarnya berpakaian adalah pilihan. Ada rational choice di dalamnya, yang bisa saja pilihan tersebut didasari oleh ajaran agama, tradisi yang berkembang di suatu wilayah dan trend yang berkembang di dunia mode pakaian. Itulah sebabnya, gaya berpakaian juga mengikuti trend tersebut. Misalnya jilbab atau hijab, di masa lalu tentu hanya menjadi pakaian bagi kalangan tertentu. Pesantren misalnya, atau masyarakat yang memang memiliki kesadaran beragama yang sangat kuat. Namun seirama dengan perkembangan zaman, maka muncul trend berjilbab yang kemudian disebut sebagai jilbab trendi. Jilbab memasuki dunia mode pakaian di kalangan perempuan dengan aneka ragam pola dan bentuknya.
Sebagai pilihan, maka bercadar, berjilbab atau berkerudung dan sebagainya adalah pilihan-pilihan yang bisa dilakukan oleh umat Islam. Sama halnya dengan pilihan menggunanakan sarung, sorban, kopiah, dasi, gamis, celana panjang, kaos atau memakai baju lengan panjang atau pendek. Semuanya adalah pilihan. Jadi siapapun bisa memilihnya sesuai dengan tempat dan waktunya.
Problem yang dihadapi oleh umat Islam ialah bagaimana menempatkan pakaian tersebut di dalam komunitas yang memang memiliki regulasi yang mengatur cara berpakaian. Di sinilah sebenarnya problem mengapa persoalan cadar tersebut mengemuka. Di dalamnya ada perbedaan tafsir atas penggunaannya, sehingga muncul kehebohan-kehebohan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Hanya saja, di saat cadar memasuki ranah politik-publik, maka kemudian segalanya menjadi lebih rumit. Sesuatu yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan saling memahami di antara dua pandangan atau tafsir atas regulasi lalu menjadi perdebatan yang seakan tidak bisa diselesaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..