CEO DAN GERAKAN ZAKAT NASIONAL BAGI INDONESIA
Ada acara yang sangat menarik dilakukan oleh Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Mohammad Fuad Nazar, yaitu Cheaf Executive Officer (CEO) Meeting Forum, yang dilaksanakan di Hotel Morrisey Jakarta, 18 April 2018. Acara ini merupakan ajang untuk mediskusikan tentang bagaimana mengembangkan potensi pengelolaan zakat baik oleh BAZNAS maupun LAZ, yang jarak potensi dengan realita pengelolaannya masih relative perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu, saya sampaikan ada beberapa problem penting yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk menggerakkan perzakatan nasional, yaitu: bagaimana masyarakat mengenal dan kemudian berkesadaran untuk menunaikan zakat, infaq dan shadaqahnya kepada institusi pengelola zakat. Lalu, bagaimana menggerakkan perzakatan nasional baik secara kuantitatif atau kualitatif agar perzakatan masinoal semakin berdaya guna dan sejauh mana kemampuan managerial dalam pengelolaan perzakatan nasional terutama kapasitas dan professionalitas SDM pengelola zakat.
Tentu masih ada sejumlah masalah yang dihadapi oleh institusi pengelola perzakatan nasional, makanya CEO Meeting Forum ini bisa menjadi ajang berguna dalam memetakan masalah yang lebih detil dan bagaimana action plan untuk menjadi solusinya. Saya selalu berharap agar dibuatlah matrix yang kompreensif untuk memudahkan kita melakukan pengecekan, sejauh mana masalah-masalah tersebut sudah bisa ditindaklanjuti.
Saya melihat bahwa diperlukan upaya untuk memahami lebih jauh tentang perilaku zakat masyarakat Indonesia, misalnya para kelas menengahnya. Jika pada tahun 2030 diperkirakan akan terdapat sebanyak 102 juta kelas menengah Indonesia, maka perlu dipahami bagaimana kondisinya sekarang. Berapa persen di antara para kelas menengah ini sudah memiliki kesadaran membayar zakat dan kemana zakatnya disalurkan. Apakah sudah mempercayai terhadap institusi zakat ataukah masih menggunakan pola tradisonal dalam membayar zakat. Pemetaan ini menjadi penting untuk membangun upaya melalui program yang feasible dan implementable. Jika kita tidak memiliki data akurat tentag siapa dan bagaimana tindakannya terhadap perzakatan nasional, maka program yang kita rumuskan pastilah tidak akan mengenai sasaran yang sesungguhnya. Jika sudah jelas sasarannya, by name by address, bahkan by account maka dipastikan bahwa program yang kita usung pastilah akan mengenai sasarannya.
Sebagai sebuah kritik, selama ini kita hanya melakukan diseminasi program kita kepada para pengelola zakat akan tetapi dari dimensi sasaran zakat belum optimal. Tentu sudah ada program seperti ini yang dilakukan oleh BAZ maupun LAZ akan tetapi tentu sangat terkendala dengan sasaran pezakat yang jumlahnya sangat banyak. Saya memang tidak memiliki data rinci, tetapi tentu belum optimal kaum kelas menengah kita tercover di dalam BAZ maupun LAZ. Melalui pendataan ini juga akan bisa diketahui siapa saja sesungguhnya yang sudah menjadi pezakat minded, dan siapa yang belum sampai ke tahapan tersebut.
Kemudian, tentang mengkatualkan potensi zakat yang berdasarkan kajian oleh beberapa Perguruan Tinggi mencapai angka fantastis 217 Trilyun, dengan kapasitas pengelolaan baru 5,6 trilyun. Tentu jarak yang cukup jauh jika dibandingkan antara potensi dan nilai aktualnya. Meskipun demikian yang juga cukup menggembirakan bahwa pendapatan zakat dari tahun ke tahun terus meningkat dengan rerata 35,18 persen semenjak tahun 2002 sampai 2017. Saya berkeyakinan bahwa dengan kerja keras seluruh pelaku zakat dan pengelola zakat akan dipastikan bahwa perzakatan nasional akan terus meningkat. Kita telah memiliki BAZ, LAZ, UPZ yang cukup banyak meskipun belum seluruh provinsi dan kabupaten memilikinya, namun upaya untuk mengembangkan penerimaan dan pendayagunaan zakat terus dilakukan.
Saya telah melihat beberapa contoh tentang bagaimana menggerakkan zakat dari LAZ. Ada LAZ yang telah mengembangkan lembaga pendidikan yang relative baik, memiliki lembaga kesehatan yang lumayan memadai, memiliki gerakan ekonomi yang tapat dan juga managemen yang baik. Saya kira forum ini akan bisa menjadi salah satu forum untuk menyusun agenda berbasis pada pengalaman lapangan. Jika ada BAZ atau LAZ yang memadai dalam mengelola zakat, maka akan dapat dijadikan rujukan dan sementara yang belum optimal dapat mengungkapkan tantangan, kendala dan juga hambatan dalam pengelolaan zakat, sehingga akan menjadi rujukan tentang bagaimana mengelola zakat dimaksud.
Ketika di dunia media sosial diramaikan oleh rencana merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengelolaan Zakat bagi ASN, maka saya menjadi teringat salah satu disertasi yang pernah saya bimbing di IAIN Sunan Ampel (kini UIN) yang bercerita tentang “Implementasi Zakat bagi ASN di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur” oleh Mohammad Hadi, sekarang menjadi dosen di IAIN Kendari Sulawesi Tenggara. Jadi sebenarnya pembayaran zakat PNS sudah menjadi tradisi semenjak lama. Makanya ketika ada keinginan untuk menformalkan kebijakan ini lalu ditentang ramai-ramai di media sosial, maka sesungguhnya hal ini merupakan kesalahan yang relative mengganggu.
Lalu, juga tentang penguatan SDM pengelola zakat. Saya kira sekarang ini era profesionalitas dan akuntabilitas, selain juga transparansi. Makanya, para CEO institusi zakat harus benar-benar berpikir tentang bagaimana mengembangkan profesionalitas SDM perzakatan.
Di saat masyarakat dihinggapi distrust dalam banyak lini kehidupan, maka seharusnya institusi perzakatan membangun trust tersebut, misalnya melalui SMS Gate, sehingga masyarakat yang sudah memiliki piranti teknologi komunikasi akan dapat melihat bagaimana pengelolaan zakat dimaksud.
Saya kira masih ada peluang yang cukup untuk bisa mengelola zakat dengan kadar transparansi, akuntalitas dan professional.
Wallahu a’lam bi al shawab.
RPP JAMINAN PRODUK HALAL DAN KESIAPAN INDONESIA
Salah satu tugas yang saya harus tunaikan terkait dengan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Produk Halal (JPH) ialah memastikan bahwa RPP ini harus segera diselesaikan. Sudah sangat lama pembahasan tentang RPP ini tidak klar. Masih ada masalah yang urgen dan dirasakan.
Ada beberapa pasal yang dirasakan harus mendapatkan focusing lebih mendasar, yaitu pasal yang terkait dengan bagaimana menerapkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal tersebut pasca tahun 2019 atau 5 (lima) tahun pasca diundangkannya, lalu tentang bagaimana memberikan label halal atau tidak halal di dalam seluruh produk, baik makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan dan sebagainya, serta bagaimana menerapkan jaminan produk halal untuk obat-obatan, produk biologi dan alat kesehatan.
Untuk kepentingan ini, maka kami pernah diminta oleh Pak Wapres untuk secara khusus membicarakan hal ini dan kemudian ditindaklanjuti dengan pembicaraan di dalam dua konsinyering untuk menyamakan kesepahaman tentang 3 (tiga) hal yang masih problematic tersebut. Di dalam 2 (dua) konsinyering kita bisa menuntaskan 2 (dua) masalah, yaitu: penerapan produk halal pasca tahun 2019 dan pelabelan halal atau tidak halal. Hanya 1 (satu) masalah yang tidak tuntas, yaitu tentang jaminan produk halal atau sertifikasi produk halal untuk obat-obatan, alat kesehatan dan produk biologis.
Untuk kepentingan ini, maka saya, Prof Gunaryo (Kabiro Hukum dan KLN) dan Prof. Sukoso (Kabadan JPH) harus bersilaturrahmi dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesahatan (Dr. dr. Untung Suseno) dan seluruh jajaran terkait Kemenkes untuk membicarakan hal ini. Dan saya sungguh apresiatif sekali sebab di dalam pertemuan ini lalu bisa disepakati hal-hal yang sangat mendasar terutama terkait dengan bagaimana penerapan sertifikasi bagi produk obat-obatan, alat kesehatan dan produk biologis.
Selama ini memang ada keberatan yang sangat tinggi dari Kemenkes, bahkan Bu Menteri Kesehatan (Dr. Dr. Nina S Muluk) berkirim surat kepada Presiden (Joko Widodo) agar untuk obat-obatan, dan alat kesehatan dapat dibebaskan dari jaminan produk halal. Ada kekhawatiran yang sangat tinggi, jika obat-obatan dan alat kesehatan dilabel tidak halal, maka akan terjadi banyak orang yang tidak mau menggunakan obat atau alat kesehatan sebab produk tersebut dinyatakan haram. Bahkan di awal pertemuan, Pak Untung, juga menyatakan hal ini. Beliau menyatakan: “siapa yang bertanggungjawab jika banyak pasien yang akhirnya harus meninggal karena tidak mau mengonsumsi obat-obatan.”
Ada dua perbedaan yang sangat prinsipil, yaitu: Kemenkes menginginkan bahwa seluruh obat dan alat kesehatan agar dikecualikan dari jaminan produk halal, sementara antar KL sependapat bahwa jika hal itu dilakukan akan menuai protes dari masyarakat sebab secara nyata “melawan” undang-undang. Makanya, Pak Untung menyatakan: “apakah undang-undang dibuat untuk menyengsarakan masyarakat”. Berangkat dari pernyataan ini, saya sudah membayangkan bahwa perbedaan antara Kemenag dan KL lainnya dengan Kemenkes sangatlah jauh.
Saya harus menyampaikan bahwa untuk masalah obat memang ada hokum Islam yang memperbolehkan untuk mengonsumsikannya selama hal tersebut berada di dalam kawasan “dharurat”. Konsep darurat saya kira bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk memberikan “peluang” bagi obat dan alat kesehatan yang belum nyata-nyata halal. Makanya, jika diperkenankan maka sebaiknya bisa ita adopsi hokum kedaruratan tersebut sebagai salah satu dimensi yang bisa dipertimbangkan. Bagi saya, yang penting prinsip bisa beredar. Jadi obat apakah dia sudah atau belum memenuhi standart halal tetap bisa diperdagangkan. Sedangkan kehalalannya tentu menjadi syarat lain untuk bisa digunakan dalam konteks pengobatan.
Di dalam perbincangan tersebut, akhirnya dapat disepakati sebagaimana rumusan Kemenkes dengan beberapa modifikasi. Ada satu bagian yang dihilangkan, sebab kalau hal tersebut dinyatakan pastilah dianggap RPP ini bertentangan dengan Undang-Undang. Untuk itu maka disepakati bunyi salah satu ayat di dalam pasal 71 yaitu: (2) dalam hal produk obat, produk biologi dan alat kesehatan yang bahan bakunya belum bersumber dari bahan halaldan/atau cara pembuatannya belum halal, dapat beredar dengan mencamtumkan informasi asal bhan sampai ditemukan bahan yang halal dan/atau cara pembuatannya yang halal. Di dalam hal ini ada satu kalimat yang dihilangkan …dapat dikecualikan dari sertifikasi halal…, lalu (3) Produk obat, produk biologi dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu, juga harus memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal (Good Manufacturing Practice/GMP Halal).
Kita merasakan bahwa upaya untuk menemukan kesamaan pemahaman tersebut telah tercapai dengan persetujuan kita bersama antara Kemenag dan Kemenkes pada hari ini (Rabu, 11/04/2018). Akhirnya, Pak Sekjen Kemenkes, dan stafnya, serta saya dan kawan-kawan juga membubuhkan paraf sebagai penanda bahwa kita semua telah menerima rumusan RPP JPH ini.
Wallahu a’lam bia al shawab.
DUNIA ISLAM YANG TERUS TERKOYAK
Istilah dunia Islam, saya gunakan untuk menggambarkan bahwa negara-negara Timur Tengah adalah personifikasi Islam. Sebab di sanalah sesungguhnya umat Islam mengharapkan contoh bagaimana umat Islam itu berperadaban. Sayangnya bahwa keinginan tersebut selalu menuai kegagalan disebabkan oleh kenyataan perang yang tiada henti, konflik berkepanjangan yang tidak ada kata akhirnya.
Saya bukanlah ahli Timur Tengah, namun saya ingin membaca dunia Timur Tengah dengan “perasaan” saya sebagai bagian dari umat Islam dunia. Sungguh ini bukan analisis empiris yang ketat, akan tetapi hanya cara saya bagaimana melihat dunia Timur Tengah yang tidak pernah sepi dari konflik sepanjang masa tersebut. Saya “mengelus” dada dengan perasaan yang campur aduk ketika melihat siaran televisi, iNews TV, yang memberitakan tentang serangan Amerika, Inggris dan Perancis terhadap Suriah yang sedang berperang menyelesaikan internal pemerintahannya.
Alasan penyerangan Suriah oleh Trio Barat ialah dugaan adanya pemanfaatan teknologi nuklir sebagaimana di saat koalisi negara-negara barat menyerang Iraq sekian tahun yang lalu. Dan akhirnya juga tidak didapatkan adanya pabrik senjata nuklir di Iraq, kecuali memang niatnya untuk menggulingkan Saddam Husein, Presiden Iraq saat itu.
Serangan koalisi negara-negara barat kali ini juga memiliki alasan klasik yang sama dengan di saat mereka menyerang Iraq. Dengan tuduhan memiliki senjata nuklir, maka Suriah juga hendak diluluhlantakkan. Padahal sebagaimana diketahui bahwa perang Iraq yang dipicu oleh serangan koalisi barat kala itu juga meninggalkan bekas peperangan bersaudara di negara tersebut yang hingga saat ini nyaris tidak tuntas. Bukankah hadirnya State of Iraq and Syria (ISIS) juga dipicu oleh “kekosongan” kepemimpinan di Iraq. Pasca meninggalnya Saddam Hussein, nyaris negeri ini menjadi ajang peperangan internal yang terus berkecamuk.
Apapun yang ada, sesungguhnya Syria adalah pusat peradaban Islam. Negara-negara di Timur Tengah, seperti Iraq, Syria, dan Arab Saudi adalah pusat peradaban Islam. Islam pernah sangat gemilang di saat Iraq dikuasai oleh pemerintahan Islam terutama di era Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Baghdad menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus pusat peradaban adiluhung. Di sini banyak ulama terkenal hingga saat ini yang karyanya sungguh tidak tergantikan. Di Syria juga banyak ditemui makam-makam auliya, para ulama dan ahli-ahli ilmu pengetahuan. Di sini memang pernah menjadi pusat peradaban Islam yang luar biasa di masa yang lalu.
Di saat saya melihat reruntuhan bangunan yang berserakan sebagai akibat rudal berdaya ledak tinggi (high explosive), maka bisa dilihat bagaimana kerusakan tersebut sedang berlangsung. Belum korban nyawa yang melayang sia-sia karena serangan dahsyat sekutu barat tersebut. Sungguh kita sedang melihat drama dalam bentuk tragedy yang menyesakkan. Siapapun pasti melihat kengerian di dalam serangan rudal-rudak berdaya ledak tinggi tersebut.
Ternyata motif kekuasaan jauh di atas motif kemanusiaan di saat terjadi perebutan pengaruh seperti ini. Bagi orang awam yang melihat aspek kemanusiaan jauh di atas segala-galanya, maka peperangan itu sama sekali di luar prinsip kemanusiaan. Tidak ada yang lebih kejam di dunia ini dibandingkan dengan peperangan itu sendiri. Banyak mayat bergelimpangan, banyak reruntuhan di sana-sini dan yang tidak akan kembali adalah peradaban manusia yang sudah didirikan dalam ribuan tahun.
Setiap konflik akan selalu menghasilkan kubu. Di dalam konteks ini, maka Amerika Serikat, Inggris dan Perancis lalu mendapat tambahan sekutu Arab Saudi, sementara itu Syria juga memperoleh sekutu Russia yang selama ini memang membackup kepentingan pemerintahan Syria. Akankah konflik ini akan terus terjadi dengan semakin memperkuat blok Amerika dan blok Soviet. Tentu saja kita berharap bahwa masih ada jalan untuk menyelesaikan.
Di saat terjadi pengeboman demi pengeboman itu –sebagaimana yang disaksikan di televisi—maka saya yang tidak pernah melihat atau mendengar dan menyaksikan bom menyalak lalu menjadi bertanya: “bagaimana perasaan masyarakat Syria yang terus menerus berada di dalam bayang-bayang peperangan itu?”. Saya sungguh merasakan bagaimana derita mereka yang selalu dirundung perang. Rakyat Iraq dan Syria yang terus menerus berada di dalam ketidaknyamanan dan ketentraman untuk melakukan apapun termasuk juga beribadah kepada Allah swt.
Saya merasakan bagaimana penderitaan mereka di saat anak atau suami atau istri atau keluarga dekatnya yang menjadi korban perang. Mungkin air matasudah tidak lagi bisa keluar karena seringnya mereka menangisi kepergian kerabatnya. Air mata bening yang terus keluar karena perang yang tiada henti. Sungguh ini merupakan penderitaan fisik dan batin yang tidak terkira.
Masih adakah peluang perdamaian itu? Saya kira Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa masih memiliki peran yang penting untuk menyelesaikan konflik di Syria ini. Terlepas dari siapa yang nanti akan berperan lebih besar, akan tetapi keberpihakan dari negara dan masyarakat dunia untuk menghentikan krisis ini tentu harus terus diupayakan. Dan sungguh masyarakat dunia harus membangun perdamaian kapanpun dan di manapun.
Wallahu a’lam bi al shawab.
SELALU ADA KEGADUHAN DI MEDIA SOSIAL
Hari-hari ini dan mungkin juga seterusnya, energy kita akan dihabiskan untuk merespon terhadap berita-berita yang memuat ujaran kebencian dan caci maki. Setelah beberapa hari kemarin kita disibukkan oleh berita yang “menghebohkan” terkait dengan tudingan “bangsat” kepada Kementerian Agama, maka sekarang kita disibukkan lagi dengan berita yang memuat hate speech terkait dengan klarifikasi dan penjelasan atas tindakan Sukmawati yang dianggap “menodai” agama.
Acara press release untuk permohanan maaf Sukmawati tersebut memang diselenggarakan di MUI dan sekaligus juga dihadiri oleh KH. Ma’ruf Amin. Acara ini memang didesain dengan menggunakan tempat duduk yang memberikan peluang bagi Sukmawati untuk duduk berdampingan dengan KH. Ma’ruf Amin. Duduk berdampingan inilah yang kemudian dijadikan sebagai angle dalam kerangka untuk membangun tindakan bahwa acara duduk berdampingan antara KH. Ma’ruf Amin dan Sukmawati itu merupakan kesalahan, sebab menyamakan posisi Sukmaati yang dianggap sebagai “penghina” ajaran Islam dangan ulama yang merupakan representasi umat Islam.
Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini pertarungan berita di media sosial itu luar biasa. Ada saja tema yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk membulli orang dengan berbagai perilaku media sosialnya. Semua dilakukan tentu dengan tujuan yang sangat jelas yaitu mendiskreditkan atau merusak reputasi dan nama baik seseorang. Di dalam konteks ini jelaslah bahwa semua yang melakukan upaya bullying di media sosial adalah mereka yang memiliki keinginan untuk membangun character assassination.
Media sosial tentu memiliki 2 (dua) sisi, yang positive dan yang negative. Banyak yang sangat positive tetapi juga tidak kalah banyak yang negative. Di dalam konteks ini, secara sosiologis dikenal ada konsep “in order to motive” atau motive tujuan atau motive dorongan internal atau keinginan untuk melakukan suatu tindakan dalam tujuan yang sudah ditetapkannya. Bagan konseptual “in order to motive” saya kira relevan untuk memahami mengapa terdapat tindakan untuk melakukan character assassination yang menghebohkan itu. Sasaran bullying bisa siapa saja, ada ulama, ada menteri dan juga bahkan wakil presiden dan presiden. Siapapun dapat terkena tindakan bullying tersebut.
Ada 2 (dua) pemahaman tentang tindakan untuk melakukan character assassination dimaksud berdasarkan atas bagan konsepsi “in order to motive”. Di dalam hal ini, maka yang akan dipahami bukan tindakan melakukan bullying itu sendiri akan tetapi apa sesungguhnya dibalik tindakan atau makna apa yang terdapat di dalam mindset pelaku bullying. Pertama, keinginan untuk merusak nama baik seseorang. Reputasi seseorang bisa dirusak dengan menggunakan atau memanfaatkan media sosial. Orang bisa hancur reputasinya disebabkan oleh pemberitaan yang bercorak kebohongan. Di Indonesia, saya kira ada sekelompok orang atau individu yang selalu menjadi penyebar hoax. Bahkan juga ada industry hoax. Sebuah pernyataan bisa saja dipelintir atau dimanipulasi untuk kepentingan menghancurkan reputasi orang tersebut. Pernyataan seseorang yang dijadikan sebagai sasaran hoax bisa dipotong atau ditambahi dengan pernyataan yang dapat merusak reputasi yang bersangkutan. Melalui teknologi informasi yang dikuasi maka dapatlah hal tersebut dapat dilakukan. Dan jika sudah dibuat, maka akan diviralkan di media sosial. Hoax bisa menjadikan seseorang “tersungkur” dan terkadang sangat sulit untuk bangkit kembali.
Kedua, Era millennial ini ternyata dunia dikuasai oleh teknologi informasi, yang sayangnya justru mengarah kepada penguasaan media sosial yang cenderung “negative”. Ada sebuah “penyakit” yang diidap oleh sebagian kecil warga dunia dan secara khusus warga negara Indonesia yang memanfaatkannya untuk tujuan yang tidak benar. Ada di antaranya yang menggunakan media sosial bukan untuk membangun kedamaian dunia akan tetapi justru untuk merusak dunia.
Di Indonesia tentu yang menarik ialah bagaimana perang media atau cyber war tersebut terjadi di luar kendali etika atau moralitas. Selama ini kita berbangga sebab bangsa ini dikenal sebagai bangsa dengan etika dan moralitas yang sangat tinggi. Bukankah kata “sopan santun” sudah menjadi darah daging bangsa ini. bangsa ini semenjak dahulu dikenal dengan bangsa religious yang di dalamnya atau secara substansial ialah mengedepankan moralitas atau etika dimaksud.
Sayangnya di era cyber war ini siapa saja bisa dijadikan sebagai sasaran hoax. Para ulama yang berperan untuk menjadi “penyangga” kehidupan keagamaan juga tidak lepas dari sasaran ujaran kebencian. Seorang ketua MUI, Kyai Ma’ruf Amin, yang selama ini menjadi “washilah” atau “mediator” antara kepentingan umat dan pemerintah pun tidak luput dari ujaran kebencian. Sungguh para hoaker sudah tidak ;agi bisa memisahkan antara yang “benar” dan apa yang “salah”. Siapapun yang tidak sesuai dengan keinginannya atau ide dan gagasannya, maka dianggap sebagai “lawan” yang harus dihancurkan. Sungguh sebagian kecil bangsa ini sudah tidak lagi memiliki etika dan moralitas keagamaan dan kebangsaan yang sesungguhnya menjadi penyangga kehidupan bersama.
Saya kira bangsa ini membutuhkan “terapi” etika dan moralitas agar rasa kebersamaan dalam suatu ikatan kebangsaan akan tetap terjaga. Jangan hanya berpikir “Aku” akan tetapi juga berpikir “Kita” sehingga rajutan kebersamaan yang telah terjalin sedemikian lama tidak terkoyak oleh “keakuan” tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.
DAHSYATNYA MEDIA SOSIAL DI ERA CYBER WAR
Saya sungguh tidak paham apa yang ada dibenak Arteria Dahlan ketika menyampaikan informasi tentang Kementerian Agama Bangsat. Bisa jadi memang beliau menyatakan seperti itu, ataukah respon media yang berlebihan atau mengaksegerasi atau menghiperbolakan pernyataannya. Sungguh hanya Arteria Dahlan dan awak media yang mengetahuinya.
Kita semua tentu hanya tahu melalui media sosial tentang ujaran “bangsat” yang diungkapkannya. Akan tetapi jika beliau tidak menyatakannya seperti itu, tentu ada hak jawab atas pernyataan media yang mengaksegerasi ungkapannya atau bahkan melaporkannya kepada pihak berwajib tentang hal ini. Ataukah justru dia menikmati serangan media sosial karena dia juga merasakan memperoleh iklan gratis atas popularitas namanya. Semua serba mungkin dan semua serba interpretasi.
Saya sedang melakukan beberapa kunjungan di saat informasi ini menjadi trending topic di media sosial. Nyaris semua kalangan ASN Kemenag, yang saya kunjungi seperti ASN pada Kanwil Kemenag Kalimantan Selatan, ASN Kankemenag Probolinggo Jawa Timur, dan juga ASN Kanwil Kemenag Kalimantan Tengah dan beberapa kakanwil meminta arahan tentang upaya para ASN untuk mendemo Arteria Dahlan. WA dan media sosial lainnya juga semua merespon ujarannya dengan berbagai macam penyikapan. Semuanya menggambarkan bahwa respon media sosial terhadap ujaran “bangsat” itu luar biasa.
Artinya bahwa media sosial begitu memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap dan tindakan seseorang. Sungguh kita merasakan bahwa dunia media sosial sungguh sudah menjadi “wabah” baru dalam mekanisme pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Kita bisa melihat bagaimana massivenya pengaruh media sosial itu.
Begitu massifnya pengaruh media sosial ini, maka PDIP pun menggelar rapat dalam rangka membahas terhadap ujaran Arteria tersebut. Sebab bagi partai politik, tindakan para wakilnya di DPR adalah menjadi cerminan bagi kualitas individu dimaksud. Saya juga sungguh merasakan bahwa ada sesuatu yang “rasanya” aneh di dalam pernyataan Arteria di media on-line.
Saya mengenal Arteria dalam berbagai Rapat Dengan Pendapat (RDP) dan juga Rapat Kerja (Raker) Kementerian Agama dengan Komisi 8 DPR RI. Memang saya akui bahwa di dalam aksentuasi pembicaraannya dalam usulan atau tanggapan atas paparan Menteri Agama atau Pejabat Eselon I dengan nada yang sangat keras. Artikulasi bahasanya sangat “pedas” dan terkadang juga “memojokkan”. Sepertinya memang begitulah langgam bahasa yang digunakannya. Maka, ketika saya membaca berita on-line, maka saya kira memang demikianlah tipenya. Orangnya meledak-ledak dalam menanggapi suatu masalah dengan artikulasi nada suara yang tinggi dan terkadang lawan bicaranya merasa “dihabisi.”
Jika digolongkan dalam tipologi sederhana, maka ada beberapa catatan, pertama, respon yang bercorak bahasa sindiran. Respon sindiran ini menggunakan terma “kebodohan jangan dilawan dengan kebodohan” atau “agama kami tidak mengajarkan untuk mengumpat”, dan sebagainya. sebuah respon yang sebenarnya menggunakan bahasa yang cenderung halus tetapi bisa “menusuk” sanubari bagi yang terkena. Bahasa sindiran bagi masyarakat Indonesia jauh lebih digdaya dibandingkan dengan bahsa yang lugas. Jika bahasa yang lugas hanya masuk di dalam otak saja, maka bahasa sindiran akan masuk ke dalam hati.
Kedua, respon yang langsung. Respon langsung dalam bentuk kata-kata juga mengungkap terma-terma yang nyaris sama dengan apa yang diungkapkan oleh pelakunya. Jadi menggunakan terma-terma seperti bangsat, bodoh, melawan agama, melawan kesopanan dan sebagainya. Respon langsung ini banyak dilakukan oleh mereka yang tingkat “ketersinggungannya” sangat tinggi dan meresponnya secara langsung. Nyaris tidak ada jeda antara ketersinggungannya itu dengan saat meresponnya. Jika respon melalui sindiran itu dilakukan dalam jeda yang lebih panjang waktunya, sedangkan respon langsung itu nyaris tidak ada jeda antara kejadian dan responnya.
Ketiga, respon fisik. Yaitu respon yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik, misalnya unjuk rasa, demonstrasi atau lainnya. Respon fisik itu dilakukan jika peluapan “kejengkelan, ketersinggungan, kemarahan” dan sebagainya melalui media sosial sudah tidak lagi membawa pengaruh perubahan bagi si pelaku. Di dalam konteks ini, maka respon fisik itu biasanya menjadi jalan terakhir jika semua hal yang dilakukan sudah tidak lagi bisa mengubah sesuatu.
Di dalam kasus Arteria Dahlan, ketiga sikap ini terjadi. Saya tentu “melarang” bagi tindakan untuk melakukan unjuk rasa, sebab bagi saya sebuah pernyataan harus direspon dengan pernyataan. Di dalam konteks ini, saya beranggapan bahwa respon itu harus seimbang, jika seseorang menyerang lewat media sosial, maka respon juga dengan media sosial. Jika kemudian ada upaya untuk melanjutkan tindakan melaporkannya kepada yang berwajib, maka hal itu adalah hak yang dimiliki oleh seseorang baik atas nama institusi maupun pribadi. Jadi semua tergantung kepada pilihan untuk menindaklanjutinya.
Wallahu a’lam bi asl shawab.