• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGGERAKKAN INOVASI BAGI BIROKRASI (2)

MENGGERAKKAN INOVASI BAGI BIROKRASI (2)
Saya terlibat di dalam acara yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Tata Kelola (Ortala) Kementerian Agama (Kemenag) dalam acara “Persiapan Submit Reformasi Birokrasi”. Acara ini diikuti oleh para pejabat Biro Ortala, dan para pejabat pada unit eselon I Kemenag. Acara ini merupakan rangkaian dari acara-acara yang terkait dengan bagaimana menggerakkan roda reformasi birokrasi pada Kemenag.
Pada acara ini, saya berkesempatan untuk memberikan beberapa catatan tentang pergerakan reformasi birokrasi di Kemenag. Saya menilai bahwa indeks reformasi birokrasi di Kemenag memang sudah bergerak ke arah yang benar atau on the track. Namun perjalanan itu terasa sangat landai dan tidak terjadi pergerakan yang spektakuler. Bisa dilihat misalnya, dari tahun 2014 dengan nilai CC, lalu 2015 dengan nilai B (62,28), lalu 2016 dengan nilai B (69,18) dan tahun 2017 diharapkan mendapatkan nilai BB. Perjalanan reformasi birokrasi kita memang sudah tepat tetapi memang belum optimal.
Salah satu di antara keluhan yang sering kita dengar terkait dengan birokrasi ialah rendahnya inovasi yang dilakukan. Itulah sebabnya ada banyak masukan kepada dunia birokrasi agar mengubah cara kerjanya dari business as usual ke business out the box. Dari bekerja asal-asalan ke bekerja optimal.
Maka semenjak reformasi bergerak, maka yang turut direnovasi ialah bagaimana agar birokrasi bisa bergerak lebih cepat di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui upaya “Reformasi Birokrasi”. Kita sudah melakukan reformasi birokrasi dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Lalu, oleh Kementerian PAN dan RB dirumuskan Indeks Reformasi Birokrasi dengan indicator “managemen perubahan” sebagai kata kuncinya. Dan di antara yang mendasar ialah bagaimana dunia birokrasi dengan ASN di dalamnya menggerakan area perubahan tersebut secara lebih cepat dan variatif.
Namun demikian kita masih banyak menghadapi kendala, yaitu perbaikan pelayanan berbasis pada survey pelanggan. Banyak orang membayangkan bahwa survey itu sesuatu yang mahal dan rumit. Orang membayangkan bahwa survey itu sebagaimana yang dipahami selama ini ialah survey dengan cakupan yang sangat besar dan dengan instrument yang rumit. Padahal sesungguhnya survey untuk kepuasan pelanggan, baik internal atau eksternal, sebenarnya bisa dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.
Sekarang ini sudah banyak institusi public yang melakukan survey kepuasan pelanggan dengan cara yang sederhana dan murah. Misalnya di Puskesmas, Rumah Sakit atau pelayanan lainnya yang menempelkan kotak dengan kertas jawaban kemudian kertas jawaban tersebut dimasukkan ke dalam kotak oleh para pelanggannya. Hanya ada 2 (dua) pilihan saja. Pelayanan di sini memuaskan atau tidak memuaskan. Dari jawaban para pelanggan itu akan bisa digambarkan bagaimana pemahaman dan sikap para pelanggan tentang pelayanan public yang diberikan.
Atau ada yang lebih kompleks, misalnya dengan memberikan sejumlah opsi, misalnya dengan memberikan beberapa jenis pelayanan, lalu diberikan jawaban, sangat memuaskan, memuaskan, kurang memuaskan, tidak memuasakan, sangat tidak memuaskan dengan standart angka (5,4,3,2,1) dan sebagainya. Gambaran yang dihasilkan oleh survey pelanggan ini ialah tingkat kepuasan para pelanggan atas layanan public yang dilakukan.
Seirama dengan perkembangan teknologi informasi, maka survey juga bisa dilakukan dengan menggunakan system aplikasi. Misalnya di dekat area “finger print” maka ditempatkan satu system aplikasi agar diisi oleh para pelanggan internal. Di sini bisa dibuat aplikasi dengan satu pertanyaan dan varian jawabannya. Orang cukup menekan satu jawaban atas sikapnya mengenai pelayanan yang diberikan oleh institusinya. Cara ini lebih memudahkan dalam proses scoring, categorizing dan analisis sederhananya.
Bisa juga dilakukan dengan menggunakan piranti teknologi informasi, misalnya SMS gate atau gerbang pesan pendek, pesan WA, atau lainnya. Cara ini juga lebih mudah dan akan memperoleh banyak respon dari para pelanggan internal kita. Penggunaan teknologi informasi ini tentu sangat mendasar di era digital seperti sekarang.
Saya kira ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam kerangka menggerakkan survey pelayanan pelanggan ini. Misalnya, setiap bulan kita menempatkan kotak dengan item jawaban tentang “pelayanan dasar” Kemenang, seperti “ketercukupan air, kebersihan toilet, ketepatan waktu pembayaran gaji, respon terhadap lingkungan kerja, pelayanan kesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pimpinan, dan sebagainya”. Tema-tema survey bisa ditetapkan bulanan dan kemudian hasilnya akan dapat dipresentasikan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan.
Kita memang harus berkutat dengan pelayanan dasar, sebab di sinilah biasanya penilaian itu akan diberikan oleh para pelanggan kita. Dengan menggunakan survey sederhana seperti ini, maka pengambilan kebijakan akan lebih tepat dari pada sekedar menggunakan common sense sebagaimana yang dilakukan dewasa ini.
Saya kira sudah saatnya untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal pada era reformasi birokrasi ini, dan sekaligus juga untuk meningkatkan score indeks reformasi birokrasi melalui penerapan survey-survey sederhana sebagai basis pengambilan keputusan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGGERAKAN REFORMASI BIROKRASI MELALUI INOVASI (1)

MENGGERAKAN REFORMASI BIROKRASI MELALUI INOVASI (1)
Di dalam acara yang diselengarakan oleh Biro Ortala, 23/04/2017, maka saya menggambarkan betapa kita harus bekerja keras untuk juga menghasilkan evidence yang meyakinkan para penilai indeks reformasi birokrasi pada Kementerian Agama.
Selain evidence pengambilan keputusan berbasis survey pelanggan, maka saya sampaikan hal lainnya, yaitu perlunya evidensi proses dan hasil atau produk. Pertama, tentang evidensi proses dan hasil. Kita sering kali meremehkan proses dalam suatu moment meeting, sehingga peristiwa meeting itu lalu hilang begitu saja tanpa bekas. Di dalam setiap meeting tentu ada banyak masukan, kritik, gagasan, ide dan sebagainya yang muncul pada saat meeting itu terjadi. Ada kata-kata kunci yang memperoleh penekanan, dan memantik perdebatan dan bahkan adu gagasan atau ide. Namun demikian, prosesi meeting tersebut jarang diperoleh catatannya, sehingga peristiwa yang penting itu hilang dari ingatan kita.
Masih untung jika kemudian dihasilkan catatan kesimpulan rapat yang bisa menjadi bukti atau evidence bahwa kita pernah menyelenggarakan rapat dimaksud. Artinya, bahwa kita memang benar-benar menyelenggarakan rapat untuk menetapkan rumusan kebijakan atau arahan, sehingga bisa meyakinkan siapapun yang berkepentingan dengan hasil rapat dimaksud.
Menyimak terhadap rekaman proses dan hasilnya lalu menjadi area penting untuk dihadirkan pada saat penilaian reformasi birokrasi yang kita lakukan. Rapat, konsinyering, dengar pendapat atau apa saja tentu menjadi indicator utama bahwa kita, baik pimpinan maupun staf, sama-sama terlibat di dalam proses menggerakkan roda reformasi birokrasi.
Kedua, memperhatikan terhadap penilaian pada 8 (delapan) area perubahan. Yaitu, manejemen perubahan, struktur dan tata kelola, regulasi, SDM, pengawasan, akuntabilitas, mind set reformasi birokrasi, dan pelayanan publik. Tentang manajemen perubahan akan saya bahas pada tulisan (2) dengan lebih komprehensif. Lalu tentang penataan struktur dan tata kelola. Catatan yang mendasar ialah mengenai kejelasan alur bisnis dan tata kelolanya. Kita sudah memiliki proses bisnis dan tata kelolanya, namun saya kira catatan pentingnya ialah masih rumitnya proses bisnis dimaksud. Kita perlu lebih “menyederhanakan” proses bisnis dan tata kelolanya. Di era sekarang dimana orang lebih cenderung pada hal-hal yang simple, maka merumuskan peta bisnis yang rumit tentu tidak aplikabel.
Kemudian, tentang penataan regulasi. Era sekarang saya sebut sebagai era regulasi sebagai panglima. Makanya, kejelasan regulasi juga menjadi sangat mendasar. Saya berharap bahwa setiap regulasi harus memiliki satu tafsiran, sehingga tidak terjadi multitafsir atas regulasi yang kita rumuskan. Bisa dibayangkan jika regulasi itu multitafsir, maka akan terjadi perbedaan antara auditor dan auditee dalam menafsirkannya, yang bisa berakibat terhadap “kerugian negara” yang tentu tidak dikehendaki. Makanya, harus dilakukan “pemetaan” terhadap regulasi itu dengan melakukan revisi terhadap mana regulasi yang tumpang tindih dan mana yang sudah selaras.
Tidak kalah pentingnya juga mengenai penataan SDM. Sungguh kita marasakan bahwa jumlah SDM Kemenag itu luar biasa. Dengan 231 ribu lebih SDM, maka menjadi beban yang besar dalam kaitannya dengan pengembangan SDM. Ada banyak SDM yang hanya sekali saja mengikuti training, misalnya pelatihan prajabatan. Selain itu tidak ada lagi pelatihan yang diikutinya. Kita sudah memiliki “Pusat Assessment” yang bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang berpengalaman. Meskipun belum secara keseluruhan, akan tetapi secara umum sudah bisa digambarkan tentang profile ASN, khususnya para pejabatnya.
Hanya saja yang menjadi masalah ialah belum diberlakukannya prosesi rekruitmen khususnya pada para pegawai non PNS. Sebagaimana diketahui bahwa untuk proses rekruitmen pegawai non-PNS, maka masing-masing unit eselon I melakukannya sendiri tanpa koordinasi dengan Biro Kepegawaian. Akibatnya tentu saja ialah belum terdata secara memadai tentang para pegawai non-PNS dimaksud. Ke depan tentu saja tugas kita ialah merapikan masalah rekruitmen pegawai non-PNS agar lebih terencana dan terstruktur.
Masih ada catatan yang saya kira memang harus diselesaikan oleh para ASN Kemenag dalam rangka memperoleh nilai indeks reformasi birokrasi yang lebih baik. Gerakan untuk itu sudah ditabuh dan yang perlu dilakukan ialah bagaimana kita semua merespon terhadap masalah ini. masih ada waktu untuk merampungkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ARTICIAL INTELIGENT DAN KEHIDUPAN MANUSIA

ARTICIAL INTELIGENT DAN KEHIDUPAN MANUSIA
Sungguh sekarang ini kita sedang berada di suatu era yang segalanya serba teknologi informasi. Melalui inovasi yang sedemikian cepat maka perkembangan teknologi informasi nyaris tidak bisa dibendung.
Para ahli melakukan pengelompokan berdasarkan generasi, yaitu: generasi Z (15-20 tahun), generasi Y (21-34 tahun), generasi X (35-49 Tahun), generasi Baby boomer (50-64 Tahun) dan generasi silent (65-ke atas). Untuk membedakan orientasi kehidupannya, maka dapat dinyatakan secara sederhana bahwa generasi baby boomer dan generasi silent, maka orientasi kehidupannya ialah lebih kepada kehidupan pertanian atau pra industry, generasi X pada orientasi industry, generasi Y pada era post industry dan generasi Z pada era cyber. Pembagian ini tentu sangat menyederhanakan, akan tetapi bisa dipahami bahwa generasi Y dan Z tentu audah memasuki era percepatan temuan teknologi informasi sehingga orientasi kedua generasi ini sebenarnya sudah pada tahapan yang sangat maju dalam bidang teknologi informasi.
Berdasarkan survey oleh Nielsen Company, diketahui bahwa generasi Z, ternyata lebih banyak menggunakan media sosial sebagai pilihan utama untuk mendapatkan informasi, lalu disusul dengan mesin pencari informasi dan berikutnya ialah televisi dengan prosentasi di atas 40 persen. Sumber informasi mengenai radio, majalah, koran dan lainnya memiliki prosentase yang kecil saja di bawah 20 persen.
Jika kita simak di Indonesia, maka pengguna internet juga sangat tinggi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Global Web Index 2017, bahwa Indonesia masuk peringkat keempat setelah Filipina, Brazil dan Tailand. Survey dilakukan untuk melihat berapa jam waktu yang digunakan untuk menggunakan internet antara usia 16-64 tahun. Lalu dilihat dari pengguna media sosial, pertumbuhan kita juga luar biasa sebesar 34 persen di atas rata-rata dunia sebesar 21 persen. Tertinggi ialah Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan India.
Perkembangan tentang pemanfaatan media sosial di Indonesia ini tentu menggambarkan tentang bagaimana respon masyarakat Indonesia tentang penggunaan media sosial dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat Indonesia. sebagaimana diketahui bahwa ada dampak positif dan negatifnya. Dari yang positif dapat dilihat dari tingkat melek teknologi informasi dan juga pemanfaatannya untuk kepentingan yang baik. Sementara itu juga terjadi dampak negatifnya misalnya semakin semaraknya hoax dan sebagainya.
Mengenai penggunaan kecerdasan artifisial juga sudah dilihat realitas empirisnya. Ada banyak misalnya usaha di bidang perdagangan yang sudah menggunakan media informasi terkini. Ada banyak perusahaan start up yang memang menggunakan piranti teknologi informasi. Misalnya perusahan anak Indonesia, GoJek yang diinsiasikan oleh Nabiel Makarim adalah perusahaan taksi yang tidak memiliki taksi satupun. Lalu juga munculnya perusahan online yang menjamur dewasa ini. misalnya, Lazada, Tokopedia, Bukalapak, Sophie, Shanaz Shop dan sebagainya. Melalui perubahan orientasi belanja dari direct selling ke non direct selling, maka kelihatan semakin banyak mall yang harus mengubah haluan kinerjanya.
Di dalam penggunaan chip, maka juga dapat dilhat perkembangan yang cukup besar. Misalnya dengan one card multi functions. Satu kartu digunakan untuk banyak keperluan. Untuk memasuki kawasan perumahan kluster, maka hanya bisa dilakukan dengan kepemilikan kartu identitas berbasis chip. Untuk memasuki apartemen juga harus menggunakan kartu identitas berbasis chip. Semua digunakan tidak hanya untuk kepentingan keamanan tetapi juga kenyamanan. Ada privasi yang terjaga dengan kartu multi fungsi ini.
Di Bandara juga sudah diginakan teknologi informasi untuk check in dan pelayanana jasa lainnya. Sudah tidak lagi berbasis tenaga kerja manusia sebagaimana di masa lalu. Semua ini sebenarnya memanfaatkan kecerdasan buatan yang berupa chip-chip yang bisa digunakan sesuai dengan pengguna dan kemanfaatannya.
Semakin lama penggunaan kecerdasan artifisal akan semakin besar selaras dengan keinginan manusia yang juga terus berkembang. Dalam buku –sebagaimana terdapat ringkasannya dalam Majalah Swa—yang ditulis oleh Max Tegmark, “Life 3.0: “Being Human in the Age of Artificial Intelligent” bahwa terdapat pengelompokan manusia didasarkan atas kaitannya dengan evolusinya, yaitu era kehidupan 1.0 (genarasi biologis), era kehidupan 2.0 (era industry), era kehidupan (3.0) era teknologi, dan era kehidupan 4.0 (era cyber). Masing-masing ditandai dengan eksistensi kehidupannya. Pada tahap pertama, manusia lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan biologisnya, pada tahap kedua, manusia sudah memiliki kebutuhan yang bertalian dengan kesejahteraan, lalu pada tahap ketiga manusia tidak hanya memerlukan kesejahteraan tetapi juga kecepatan dan kemudahan, dan pada tahap berikutnya, manusia membutuhkan efisiensi dan efektivitas kehidupan selain kebutuhan kesejahteraan.
Dunia industry semakin terotomasi dan karenanya akan dapat mengganggu zona nyaman manusia yang selama ini bekerja di dunia industry konvensional. Dengan masuknya kecerdasan buatan dalam dunia industry, maka manusia akan menghadapi hasil karya ciptaannya sendiri dan lebih lanjut akan “mengalienasi” manusia dari dunia kerjanya.
Manusia tentu memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekayasa kecerdasan buatan dalam hal membuat varian kecerdasan. Ke depan saya kira manusia juga akan bisa keluar dari jaring-jaring problematic dengan rekayasa teknologi ciptaannya. Yakinlah bahwa manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tidak kita kira sebelumnya. Saya tetap pada pendirian, bahwa manusia akan bisa “mengatasi” relasinya dengan kecerdasan buatan dan bahkan memanfaatkannya untuk kesejahteraan dan kebahagiannya.
Wallahu a’lam bi al sawab.

ARTIFISIAL INTELIGENT BAGI GENERASI MILENIAL

ARTIFISIAL INTELIGENT BAGI GENERASI MILENIAL
Kita tidak menyangka bahwa di era sekarang ini terdapat perkembangan yang spektakuler terkait dengan kecerdasan buatan atau disebut sebagai artificial inteligent. Semenjak ditemukannya robot sebagai bagian dari revolusi industry, maka perkembangan robot berbasis kecerdasan buatan menjadi luar biasa.
Bagi manusia, kehadiran robot yang memiliki kecerdasan buatan memang memiliki dampak positif dan negatif. Kehebatan robot di dunia industry tentu sangat luar biasa. Dengan kehadiran robot, maka pekerjaan yang sesungguhnya berbahaya akan dapat diminimalisir atau dikurangi dampak bahayanya. Misalnya untuk bekerja di sector nuklir yang secara kesehatan membahayakan manusia, maka robot akan bisa dijadikan pekerjanya. Selain aman tentu juga memiliki ketelitian yang luar biasa. Efektif dan efisien.
Di dalam konteks ini, maka kehadiran robot dapat menggantikan peran manusia yang memang memiliki kerentanan dalam kaitannya dengan dangerous situation atau tingkat resiko yang sangat besar. Dengan ditemukannya teknologi remote control, maka robot akan sangat mudah dipekerjakan, dikendalikan dan dimonitor akurasinya.
Di antara yang sangat pesat perkembangannya, selain teknologi pertahanan dan persenjataan, maka yang juga sangat diuntungkan ialah dunia kesehatan. Melalui kehadiran robot dengan artificial inteligent ini, maka akurasi pemeriksaan dan pembedahan akan sangat teliti untuk dilakukan. Melalui teknologi canggih di dalam bidang kesehatan, maka pembedahan dengan resiko tinggi akan bisa dilakukan lebih akurat dan cermat.
Dari sisi negatifnya ialah pada saat banyak pekerjaan yang bisa dihandle oleh robot dengan kecerdasan buatan. Di dalam buku yang ditulis oleh Malcolm Frank, “What to do When the Machine do Everything” digambarkan tentang aspek positif dan negatif artifisial intelligent ini. Saya memang hanya membaca ringkasannya saja di Majalah Swa (31 Agustus-13 September 2017), akan tetapi yang penting bagi saya ialah dapat sedikit terlibat di dalam membahas tatangan bagi kaum milenial di era kecerdasan buatan.
Amerika Serikat akan melakukan otomasi terhadap sector pekerjaan sebesar 47 persen tahun 2025, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Oxford University. Itu artinya bahwa pemerintah Amerika Serikat akan memangkas terhadap tenaga kerja manusia di dalam berbagai jenis pekerjaan yang sudah diotomasikan. Jika ini terjadi maka dapat dibayangkan bahwa ke depan, akan terdapat pabrik-pabrik yang selama menggunakan tenaga kerja manusia dan akan digantikan oleh robot-robot berkecerdasan artifisial.
Tantangan terbesar otomasi atau digitalisasi ialah pada aspek ketenagakerjaan ini. Bisa dibayangkan dengan otomasi melalui kecerdasan buatan, maka dipastikan bahwa manusia akan tergeser dari dunia pekerjaannya. Dengan kata lain, manusia akan melawan teknologi hasil ciptaannya sendiri. Dan di dalam banyak hal, akhirnya manusia harus menyatakan kekalahannya menghadapi hasil rekayasa teknologi dimaksud. Para Grand Master Catur Dunia tidak ada yang bisa mengalahkan mesin catur yang direkayasa dengan teknologi canggih. Robot bisa menjadi musuh manusia nomor satu dalam era Industri 4.0.
Di era kecerdasan buatan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai dengan nasehat Malcolm Frank, yaitu AHEAD. A ialah automate, yaitu upaya manusia untuk mengotomasikan seluruh hal yang terkait dengan teknologi. Otomasi dilakukan terhadap banyak aspek di dalam rekayasa industry.
Halo ialah upaya untuk menjadikan chip sebagai salah satu piranti untuk memudahkan dalam banyak hal, misalnya chip untuk kartu pintar, pembayaran, transaksi keuangan dan sebagainya. Melalui digitalisasi perpustakaan, misalnya, maka tidak dibutuhkan ruangan-ruangan besar untuk kepentingan pengembangan perpustakaan, dan sebagainya.
Enhance atau memaksimalkan manfaat dari peran teknologi untuk kemudahan kehidupan. Diyakini bahwa dengan paduan antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan akan semakin memaksimalkan kehidupan manusia.
Abundance yaitu keberlebihan atau menjadikan kehidupan lebih murah dan efekif atau efisien. Melalui pemanfaatan teknologi informasi maka dengan mudah seseoang dapat mengakses berbagai informasi dengan hanya klik Google atau lainnya.
Discovery ialah upaya untuk terus menemukan sesuatu yang baru yang lebih bermanfaat. Dengan berbagai inovasi yang dilakukan di dalam bidang teknologi informasi, maka kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan mendatangkan kemanfaatan.
Dengan demikian, bagi yang menganut paham kemudahan, maka teknologi justru akan mendatangkan kebaikan bagi manusia, sedangkan bagi yang menganut paham kesulitan, maka kehadiran teknologi merupakan tentangan berat yang dihadapi manusia.
Jadi tergatung dari sudut mana kita akan melihat teknologi atau rekayasa kecerdasan buatan tersebut dalam konteks kehidupan yang memang selalu berada di dalam tantangan demi tantangan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

GENERASI MILENIAL DI ERA CYBER WAR

GENERASI MILENIAL DI ERA CYBER WAR
Suatu kesempatan yang sangat baik bagi saya untuk berbagi pengalaman tentang dunia media sosial dengan para dosen dan mahasiswa di dalam acara yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Buddha, di Ancol Jakarta, 19/04/2018. Acara ini merupakan rangkaian dalam kegiatan “Mahaniti Loka Damma” yang merupakan acara rutin 2 (dua) tahunan.
Hadir pada acara ini para dosen, para pimpinan Perguruan Tinggi Agama Buddha, para mahasiswa dan pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Buddha. Acara talkshow yang dipandu oleh Alim, penulis scenario perfilman, menghadirkan saya dan Dr. Jonathan Sofian Lusa, SE., M.Kom., dosen pada Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, dan juga konsultan di bidang teknologi informasi. Sungguh acara yang sangat menarik, sesuai dengan zaman now. Sebelum acara talkshow dimulai, maka dilakukan kuis tentang pengetahuan mahasiswa mengenai dunia teknologi informasi, dan lebih khusus tentang media sosial. Saya sungguh mengapresiasi terhadap para mahasiswa ini, sebab mereka ternyata memang memiliki sejumlah pengetahuan mendasar tentang media sosial tersebut.
Sebagai praktisi dan dosen di bidang ilmu computer, maka Pak Sofian memang luar biasa. Beliau menceritakan tentang tantangan anak-anak muda, generasi milenial, di era industry 4.0 dewasa ini, di mana kehidupan manusia terus berubah seirama dengan perubahan dari generasi X ke generasi Y atau generasi digital atau generasi cyber. Tantangan tersebut misalnya terkait dengan artifisial intelligent atau kecerdasan buatan. Dengan robot yang semakin cerdas, maka manusia akan berhadapan dengan inovasi teknologi robot hasil buatannya. Misalnya akan banyak tenaga kerja yang ke depan akan digantikan oleh robot. Misalnya dalam dunia sepakbola, maka perrandingan tersebut dapat dijelaskan dengan gamblang tentang segala hal yang dilakukan oleh para pemain. Jadi, begitu pertandingan selesai, maka semua hal yang terkait dengan pertandingan tersebut sudah bisa disajikan. Wartawan sepak bola akan tersaingi dengan teknologi ini. Juga robot cerdas yang dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di bidang industry, maka juga akan menjadi tantangan bagi tenaga kerja. Ke depan akan makin banyak pemilik perusahaan yang akan mempekerjakan mereka, sebab mereka tidak akan unjuk rasa, lebih teliti dan cermat dan bisa disuruh bekerja tanpa mengenal lelah. Bahkan sudah ditemukan “smart house” sebuah rumah yang segala sesuatunya dikendalikan oleh teknologi informasi. Seluruh peralatan dan perabot rumah menggunakan kecanggihan teknologi informasi.
Sebagai seseorang yang tidak memiliki keahlian di bidang media sosial, maka saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap penting bagi generasi milenial. Pertama, bahwa sekarang kita sedang hidup di era cyber war atau perang media. Bagi generasi seperti saya –sebut sebagai generasi baby booming—maka tantangan ini sungguh luar biasa. Orang-orang seusia saya, dan bahkan juga generasi X, memiliki tantangan yang sangat besar. Dan sebagian besar tentu tidak memahami bagaimana dunia media sosial tersebut bekerja dengan mekanismenya.
Era cyber war ditandai dengan berbagai hal yang lebih bercorak negative, misalnya hoax, disinformasi, hate speech, character assassination, dan sebagainya. Kita bisa saksikan bagaimana pertarungan ide, gagasan dan tindakan di dalam media sosial tersebut. Orang bisa tenar dalam sekejap dan hancur dalam sekejap. Orang bisa ditarget untuk diunggulkan dan bisa juga dihancurkan melalui media sosial. Sungguh pertarungan yang luar biasa. Maka, siapa yang menguasai media sosial maka dialah yang akan menguasai dunia ini. Kita saksikan pertarungan demi pertarungan untuk merebut “kekuasaan” di dalam media sosial yang luar biasa.
Di dalam konteks ini, maka para generasi milenial mestilah memiliki seperangkat pengetahuan tentang bagaimana melawan terhadap hoax, misalnya di era cyber war. Jangan justru kita larut di dalamnya, akan tetapi kita justru menjadi agen yang terus mengembangkan literasi media. Pada beberapa waktu yang lalu, saya gambarkan tentang pentingnya Mata Kuliah “Literasi Media” bagi para mahasiswa PTKN agar para generasi milenial tersebut memahami, mana yang positif dari media sosial dan mana yang negative dari media sosial itu.
Kedua, di tengah kegundahan akibat negative dari media sosial, maka saya memberikan beberapa strategi untuk menangkalnya, yaitu 4 (empat) B. 1) Bangun Kritisisme Positif. Harus dihindari kritisisme negative. Sekarang ini ada sekelompok masyarakat kita yang cenderung melakukan hoax dalam bentuk memfitnah terhadap kelompok lain, bahkan ulama sekalipun. Mahasiswa harus membangun kemampuan kritisisme yang positif, yaitu bermedia sosial berbasis pada etika dan moralitas media sosial. Jika kita akan melakukan posting apapun maka harus dicek dulu dan dipertimbangkan secara matang mengenai kondisi fit of expose. Pertimbangkan betul secara mendalam agar jangan sampai kita terjebak kepada kritisisme negative yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
2) Bangun kejujuran. Kita harus membangun kejujuran dalam seluruh tampilan tindakan kita. Di dalam bermedia sosial, maka harus dinyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Jangan kita melakukan tindakan politisasi terhadap media sosial ini. Jangan sampai yang salah dinyatakan benar dan yang benar dinyatakan salah. Harus ada kejujuran di dalam bermedia sosial ini. 3) Bangun Moralitas bermedia. Moralitas merupakan basis bagi kita di dalam melakukan komunikasi dan kolaborasi. Media sosial merupakan instumen bagi kita semua untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, sehingga kalau kita tidak menggunakan etika di dalam komunikasi dan kolaborasi, maka akan terjadi kerusakan sosial.
4) Bangun religiositas untuk menjadi dasar dalam bermedia sosial. Saya kira puncak dari kehidupan ini ialah bagaimana mengimplementasikan pemahaman agama kita ke dalam tindakan agama yang benar. Oleh karena itu, marilah kita bermedia sosial dengan mengedepankan rasa kebangsaan. Makanya, bagi semua kita ini harus tetap beragama dalam coraknya yang moderat. Beragama yang tidak cenderung ke kiri atau ke kanan. Jangan liberal dan jangan radikal. Jadilah kaum beragama yang tetap berada di tengah-tengah sehingga kita akan bisa mengembangkan keharmonisan dan kerukunan. Media sosial merupakan instrument yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun keharmonisan dan kerukunan dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.