Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GENERASI MILENIAL DI ERA CYBER WAR

GENERASI MILENIAL DI ERA CYBER WAR
Suatu kesempatan yang sangat baik bagi saya untuk berbagi pengalaman tentang dunia media sosial dengan para dosen dan mahasiswa di dalam acara yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Buddha, di Ancol Jakarta, 19/04/2018. Acara ini merupakan rangkaian dalam kegiatan “Mahaniti Loka Damma” yang merupakan acara rutin 2 (dua) tahunan.
Hadir pada acara ini para dosen, para pimpinan Perguruan Tinggi Agama Buddha, para mahasiswa dan pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Buddha. Acara talkshow yang dipandu oleh Alim, penulis scenario perfilman, menghadirkan saya dan Dr. Jonathan Sofian Lusa, SE., M.Kom., dosen pada Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, dan juga konsultan di bidang teknologi informasi. Sungguh acara yang sangat menarik, sesuai dengan zaman now. Sebelum acara talkshow dimulai, maka dilakukan kuis tentang pengetahuan mahasiswa mengenai dunia teknologi informasi, dan lebih khusus tentang media sosial. Saya sungguh mengapresiasi terhadap para mahasiswa ini, sebab mereka ternyata memang memiliki sejumlah pengetahuan mendasar tentang media sosial tersebut.
Sebagai praktisi dan dosen di bidang ilmu computer, maka Pak Sofian memang luar biasa. Beliau menceritakan tentang tantangan anak-anak muda, generasi milenial, di era industry 4.0 dewasa ini, di mana kehidupan manusia terus berubah seirama dengan perubahan dari generasi X ke generasi Y atau generasi digital atau generasi cyber. Tantangan tersebut misalnya terkait dengan artifisial intelligent atau kecerdasan buatan. Dengan robot yang semakin cerdas, maka manusia akan berhadapan dengan inovasi teknologi robot hasil buatannya. Misalnya akan banyak tenaga kerja yang ke depan akan digantikan oleh robot. Misalnya dalam dunia sepakbola, maka perrandingan tersebut dapat dijelaskan dengan gamblang tentang segala hal yang dilakukan oleh para pemain. Jadi, begitu pertandingan selesai, maka semua hal yang terkait dengan pertandingan tersebut sudah bisa disajikan. Wartawan sepak bola akan tersaingi dengan teknologi ini. Juga robot cerdas yang dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di bidang industry, maka juga akan menjadi tantangan bagi tenaga kerja. Ke depan akan makin banyak pemilik perusahaan yang akan mempekerjakan mereka, sebab mereka tidak akan unjuk rasa, lebih teliti dan cermat dan bisa disuruh bekerja tanpa mengenal lelah. Bahkan sudah ditemukan “smart house” sebuah rumah yang segala sesuatunya dikendalikan oleh teknologi informasi. Seluruh peralatan dan perabot rumah menggunakan kecanggihan teknologi informasi.
Sebagai seseorang yang tidak memiliki keahlian di bidang media sosial, maka saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap penting bagi generasi milenial. Pertama, bahwa sekarang kita sedang hidup di era cyber war atau perang media. Bagi generasi seperti saya –sebut sebagai generasi baby booming—maka tantangan ini sungguh luar biasa. Orang-orang seusia saya, dan bahkan juga generasi X, memiliki tantangan yang sangat besar. Dan sebagian besar tentu tidak memahami bagaimana dunia media sosial tersebut bekerja dengan mekanismenya.
Era cyber war ditandai dengan berbagai hal yang lebih bercorak negative, misalnya hoax, disinformasi, hate speech, character assassination, dan sebagainya. Kita bisa saksikan bagaimana pertarungan ide, gagasan dan tindakan di dalam media sosial tersebut. Orang bisa tenar dalam sekejap dan hancur dalam sekejap. Orang bisa ditarget untuk diunggulkan dan bisa juga dihancurkan melalui media sosial. Sungguh pertarungan yang luar biasa. Maka, siapa yang menguasai media sosial maka dialah yang akan menguasai dunia ini. Kita saksikan pertarungan demi pertarungan untuk merebut “kekuasaan” di dalam media sosial yang luar biasa.
Di dalam konteks ini, maka para generasi milenial mestilah memiliki seperangkat pengetahuan tentang bagaimana melawan terhadap hoax, misalnya di era cyber war. Jangan justru kita larut di dalamnya, akan tetapi kita justru menjadi agen yang terus mengembangkan literasi media. Pada beberapa waktu yang lalu, saya gambarkan tentang pentingnya Mata Kuliah “Literasi Media” bagi para mahasiswa PTKN agar para generasi milenial tersebut memahami, mana yang positif dari media sosial dan mana yang negative dari media sosial itu.
Kedua, di tengah kegundahan akibat negative dari media sosial, maka saya memberikan beberapa strategi untuk menangkalnya, yaitu 4 (empat) B. 1) Bangun Kritisisme Positif. Harus dihindari kritisisme negative. Sekarang ini ada sekelompok masyarakat kita yang cenderung melakukan hoax dalam bentuk memfitnah terhadap kelompok lain, bahkan ulama sekalipun. Mahasiswa harus membangun kemampuan kritisisme yang positif, yaitu bermedia sosial berbasis pada etika dan moralitas media sosial. Jika kita akan melakukan posting apapun maka harus dicek dulu dan dipertimbangkan secara matang mengenai kondisi fit of expose. Pertimbangkan betul secara mendalam agar jangan sampai kita terjebak kepada kritisisme negative yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
2) Bangun kejujuran. Kita harus membangun kejujuran dalam seluruh tampilan tindakan kita. Di dalam bermedia sosial, maka harus dinyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Jangan kita melakukan tindakan politisasi terhadap media sosial ini. Jangan sampai yang salah dinyatakan benar dan yang benar dinyatakan salah. Harus ada kejujuran di dalam bermedia sosial ini. 3) Bangun Moralitas bermedia. Moralitas merupakan basis bagi kita di dalam melakukan komunikasi dan kolaborasi. Media sosial merupakan instumen bagi kita semua untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, sehingga kalau kita tidak menggunakan etika di dalam komunikasi dan kolaborasi, maka akan terjadi kerusakan sosial.
4) Bangun religiositas untuk menjadi dasar dalam bermedia sosial. Saya kira puncak dari kehidupan ini ialah bagaimana mengimplementasikan pemahaman agama kita ke dalam tindakan agama yang benar. Oleh karena itu, marilah kita bermedia sosial dengan mengedepankan rasa kebangsaan. Makanya, bagi semua kita ini harus tetap beragama dalam coraknya yang moderat. Beragama yang tidak cenderung ke kiri atau ke kanan. Jangan liberal dan jangan radikal. Jadilah kaum beragama yang tetap berada di tengah-tengah sehingga kita akan bisa mengembangkan keharmonisan dan kerukunan. Media sosial merupakan instrument yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun keharmonisan dan kerukunan dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..