• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REVOLUSI KURIKULUM DI ERA INDUSTRI 4.0.

REVOLUSI KURIKULUM DI ERA INDUSTRI 4.0.
Saya merasa sangat senang diberi peluang untuk memberikan orasi ilmiah oleh Rektor IAIN Jember, Prof. Dr. Babun Suharto, SE, MM., dalam acara wisuda sarjana Strata I, II dan III di IAIN Jember, 28/04/2018. Kegembiraan saya tersebut terkait dengan orasi ilmiah saya yang membahas tentang “Perlunya Revolusi Kurikulum di Era Industri 4.0”.
Tema ini sangat menarik sebab di era sekarang dimana kita sedang berhadapan dengan generasi milenial dan artificial intelligent, maka dipastikan bahwa para generasi muda harus disiapkan dengan baik. Kita sedang menghadapi beberapa tantangan. Pertama ialah tantangan era digital. Harus diketahui bahwa era sekarang ini adalah era di mana revolusi industry yang luar biasa. Dari era industry 1.0 atau era industry biologis, era industry 2.0 atau era industry budaya, era industry 3.0 atau era tenologi informasi, dan era industry 4.0 atau era digital.
Kita sedang menghadapi generasi milenial yang lahir tahun 1980-an dan tahun 2000-an. Ada generasi Y dan generasi Z. Dua generasi ini ditandai kehidupannya dengan pengetahuan dan perilaku media digital yang sangat tinggi. Di dalam konteks ini, maka diperlukan suatu upaya agar PTKN harus terlibat di dalam proses perubahan. Jangan sampai PTKN tertinggal dari issue yang sangat seksi dan menantang. Jangan sampai PTKN tertinggal dengan perubahan yang luar biasa cepat di semua lini kehidupan.
Di dalam pidato Presiden, Bapak Joko Widodo, pada acara Musrenbangnas, 30/04/2018, bahwa di era sekarang ini segalanya harus dilakukan dengan cepat. Siapa yang cepat melakukan perubahan, maka merekalah yang akan memenangkan pertarungan di era cyber atau era digital. Lalu, terkait dengan PTKN, maka tentu harus menyiapkan segala hal yang terkait dengan perubahan dimaksud.
Kedua, tantangan ketenagakerjaan. Bahwa yang paling “menderita” di era artificial intelligent ialah kalangan pekerja. Sebagaimana diketahui bahwa Inggris akan melakukan otomasi pekerjaan sebesar 35 persen tahun 2040 dan Amerika akan melakukannya tahun 2025 sebesar 47 persen. Jadi, ke depan, manusia akan bersaing dengan teknologi ciptaannya. Yang dinyatakan oleh Malcolm Frank, bahwa manusia harus semakin inovatif dan bersahabat dengan teknologi robot. Di dalam bukunya: “What to Do, When the Machines Do Everything”, beliau menyarankan agar manusia ke depan harus semakin kreatif agar pertemanan dengan dunia robotic berbasis artificial intelligent akan tidak meminggirkan manusia penciptanya.
Tantangan luar biasa berupa otomasi pekerjaan tentu akan menjadi problem luar biasa. PTKN tentu harus menyiapkan segala hal yang terkait dengan semakin banyak tenaga kerja produktif dan di sisi lain semakin menyempitnya potensi di dalam dunia kerja sebagai akibat dari otomasi pekerjaan. Makanya, PTKN harus merancang ke depan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang professional untuk menyongsong masa depan generasi muda yang siap menghadapi tantangan kerja.
Ketiga, menghayati terhadap kenyataan tantangan tersebut, maka kiranya diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan cepat atau tindakan revolusioner. Di antara yang diperlukan ialah melakukan perubahan secara mendasar tentang kurikulum. Untuk kepentingan ini, maka harus dipetakan tentang mana program studi yang bercorak applied science dan mana yang pure science.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia, bahwa “jika masa perkuliahan itu 4 (empat) tahun, maka 2 (dua) tahun untuk perkuliahan teoretik dan 2 (dua) tahun untuk praktik lapangan”. Jadi saya kira pandangan ini penting untuk ditindaklanjuti. Kita harus berani melakukan lompatan perubahan kurikulum ini dalam kerangka membangun peluang menghasilkan sarjana yang memiliki kemampuan advokasi atau kemampuan professional. Saya kira ke depan kita harus memangkas jumlah mata kuliah dengan ekivalensi 2 (dua) tahun untuk mengembangkan pengetahuan teoretik dan 2 (dua) tahun untuk membangun kemampuan praktik.
Jika konsepsi ke depan menuntut kemampuan lebih mendasar, maka tidak ada pilihan lain, kecuali dengan melakukan revolusi pengembangan kurikulum secara memadai. Cara kerjanya ialah: 1) memetakan prodi yang bermuatan applied science, berapa prodi yang memiliki cakupan tersebut dan kemudian ditentukan perubahan-perubahan kurikulumnya. Beranikah kita misalnya memangkas dari 70 Mata kuliah menjadi 35 mata kuliah saja. Saya berpikir bahwa dengan 35 Mata kuliah tersebut sudah dimungkinkan mahasiswa memiliki kompetensi dasar (KD) sehingga selebihnya dijadikan sebagai kompetensi praktis atau kompetensi professional (KP). Tentang hal ini, kiranya diperlukan diskusi yang cukup untuk membahasnya.
Kita telah memiliki konsorsium keilmuan yang memadai. Jika kemudian mereka digerakkan untuk kepentingan ini, saya berkeyakinan bahwa ke depan akan bisa diraih peluang untuk melakukan perubahan.
Bagi kita, yang penting ialah bagaimana ada keberanian di antara kita semua terutama pimpinan PTKIN untuk melakukan perubahan khususnya di dalam mempersiapkan alumni PTKIN dalam menyongsong masa depan –era digital—dengan strategi mempersiapkan kurikulum yang lebih applicable dan feasible.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ERANYA PROGRAM STUDI AUDIT SYARIAH (2)

ERANYA PROGRAM STUDI AUDIT SYARIAH (2)
Saya memang menunggu respon para rektor PTKN untuk pengembangan program studi Auditor Syariah ini. Oleh karena itu di dalam pertemuan para Rektor yang tergabung di dalam Forum Rektor “Persemakmuran”, yaitu para rektor yang dahulu menjadi bagian dari IAIN Cabang Sunan Ampel, yaitu IAIN Sunan Ampel Cabang Malang, IAIN Sunan Ampel Cabang Mataram, IAIN Sunan Ampel Cabang Ponorogo, IAIN Sunan Ampel Cabang Pamekasan, IAIN Sunan Ampel Cabang Jember, IAIN Sunan Ampel Cabang Tulungagung, IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda, dan IAIN Sunan Ampel Cabang Kediri.
Mereka berkumpul di IAIN Jember, 28/04/2018 tentu untuk membicarakan banyak hal, misalnya pengembangan akademik dan juga institusional. Saya tentu bersyukur setelah mengalami perubahan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka perkembangan terus berlanjut. Tiga diantaranya sudah menjadi UIN, yaitu UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Mataram, sedangkan lainnya sudah menjadi IAIN. Hampir seluruh perguruan tinggi “persemakmuran” ini sudah menjadi IAIN. Suatu upaya yang luar biasa dari civitas akademika di PTKN dimaksud.
Pada kesempatan ini saya sampaikan gagasan tentang perlunya PTKN memiliki program studi Auditor Syariah. Di dalam pemikiran saya, bahwa program studi ini sangat prospektif terkait dengan pengembangan ekonomi syariah ke depan dengan berbagai variannya. Katakanlah 3 (tiga) saja yang mendasar, yaitu terselenggaranya sertifikasi halal, semakin menguatnya pengelolaan zakat, infaq dan sadaqah dan juga akumulasi dana umrah yang semakin membengkak. Belum lagi semakin banyaknya lembaga-lembaga keuangan mikro syariah dan juga usaha-usaha syariah yang memerlukan audit. Tidak bisa dianggap remeh ialah perkembangan wakaf yang terus menggeliat. Untuk kepentingan ini, saya rasakan betapa pentingnya auditor syariah dimaksud.
Berdasarkan kenyataan, bahwa audit syariah tentu berbeda dengan tim audit pada umumnya. Jika tim audit lainnya memang dipersyaratkan memahami dan memiliki kapasitas akuntasi dan manajemen keuangan secara umum serta manajemen resiko yang secukupnya, maka audit syariah juga harus memahami tentang bagaimana perspektif syariah tentang hal ini. Yang bersangkutan harus memahami hukum ekonomi syariah dan juga pengelolaan dana syariah.
Dewasa ini kita seudah memiliki lebih dari 3000 Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan juga Unit Pengumpul Zakat (UPZ) serta badan wakaf dan lembaga wakaf. Kita juga memiliki lebih dari 800 Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan ratusan usaha-usaha syariah dan perbankan syariah. Ke depan, jumlah mereka akan bertambah seirama dengan semakin menguatnya keinginan untuk melaksanakan ibadah zakat, infaq dan shadaqah. Lalu juga akan semakin menguatnya dan berkembangnya wakaf uang dan juga usaha-usaha perwakafan, kemudian juga semakin membesarnya dana umrah serta penyelenggaraan sertifikasi halal.
Sebagaimana diketahui misalnya untuk sertitikasi halal maka dibutuhkan banyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan setiap LPH akan membutuhkan sarjana yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemeriksa halal dari aspek agama dan juga ada banyak perusahaan yang bergerak di bidang halal dan harus memiliki penyelia halal. Jadi, semuanya membutuhkan audit halal. Makanya tentu dibutuhkan audit halal yang memiliki kapasitas dan profesionalitas di bidang jaminan halal.
Wakaf telah memasuki era baru, misalnya wakaf uang dan upaya untuk mendayagunakan wakaf produktif. Pengembangan unit-unit usaha berbasis pada pemanfaatan wakaf ke depan tentu sangat besar seirama dengan kesadaran wakaf produktif itu. Dengan luas tanah wakaf yang 4 (empat) kali luas Singapura atau 4,1 milyar meter persegi lebih, maka tentu merupakan potensi yang luar biasa. Saya berpandangan bahwa tanah dan harta benda wakaf itu raksasa tidur yang jika bangkit maka akan menggegerkan jagat ekonomi syariah dari Indonesia.
Meskipun ada masalah yang dihadapi oleh PPIU terkait dengan pemberangkatan jamaah umrah dan besaran dana yang terdapat di dalamnya, akan tetapi tidak menyurutkan minat para perindu Allah melalui ibadah umrah. Jumlah mereka semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tahun tidak kurang dari 700 ribu jamaah umrah yang berangkat ke tanah Suci. Artinya bahwa akan terdapat putaran uang yang sangat besar di dalam bisnis umrah. Makanya diperlukan audit syariah. Jika regulasi mewajibkan setiap PIU memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) auditor, 1 (satu) auditor syariah dan 1 (satu) auditor keuangan, maka dipastikan bahwa setiap penyimpangan akan dapat dinihilkan. Mereka adalah ujung tombak pengawasan bagi biro trave; haji dan umrah dimaksud.
Jika dimulai tahun depan kita bergerak untuk menyediakan tim auditor syariah ini, maka 4 (empat) tahun ke depan kita akan memulai era baru “pengawasan” berbasis keahlian atau profesionalitas yang memadai untuk kepentingan pengawasan perkembangan ekonomi syariah ini.
Program ini harus selektif di dalam memilih calon mahasiswa, sebab yang bersangkutan harus memiliki seperangkat pengetahuan yang akan menjadi basis pekerjaannya. Fiqih muamalah harus sudah dikuasi meskipun belum optimal, sehingga di dalam perkuliahan hanya membutuhkan pengayaan saja.
Saya kira program studi ini sangat prospektif dalam kerangka menyediakan tenaga siap pakai untuk kepentingan audit syariah yang sungguh dibutuhkan di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ERANYA PROGRAM STUDI AUDIT SYARIAH (1)

ERANYA PROGRAM STUDI AUDIT SYARIAH (1)
Dalam 2 (dua) bulan terakhir ini, ada 2 (dua) hal yang saya sampaikan dalam acara-acara yang saya lakukan di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) dan juga pada acara di Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, yaitu perlunya mengembangkan mata kuliah “Literasi Media Sosial” dan “Program Studi Auditor Syariah”.
Gagasan tentang pentingnya mata kuliah “Literasi Media” saya sampaikan di IAIN Ponorogo dan juga IAKN Menado, sebab ke depan akan terjadi social media exposure yang luar biasa. Dan yang menjadi sasarannya ialah para generasi muda, khususnya para mahasiswa, yang di dalam banyak hal adalah para generasi milenial. Di era cyber war seperti ini, maka tidak ada pilihan lain kecuali kita harus membangun kekuatan etika sosial media, sebagai instrument untuk mengedepankan “penyelamatan” para generasi milenial di tengah serbuan hoax, dan sebagainya.
Sedangkan perlunya program studi “Auditor Syariah” disebabkan oleh semakin menguatnya pelayanan public, misalnya jaminan produk halal, layanan zakat, wakaf, infaq dan shadaqah dan juga pengawasan pelaksanaan umrah. Dengan keberadaan program studi “Auditor Syariah”, maka dipastikan bahwa ke depan akan terdapat satu profesi “auditor syariah” yang akan membangun kepercayaan public untuk masalah-masalah di atas.
Pengalaman mengenai kasus-kasus travel haji dan umrah untuk penyelenggaraan umrah, akhir-akhir ini, tentu dapat dikaitkan dengan kurangnya pengawasan dari berbagai pihak terkait. Kalaupun ada pengawasan tentu belum didasarkan atas profesionalisme auditor yang memiliki “legalitas” sesuai dengan regulasi yang dimiliki.
Masalah-masalah yang membelit First Travel dan Abu Tour dewasa ini, tentu tidak boleh menular kepada pengelola dana umat: zakat, infaq dan shadaqah. Masalah ini tentu membuat dugaan berbasis proposisi yang menyatakan “di mana ada uang di situ ada penyelewengan”. Berbagai penyelewengan yang diakibatkan oleh tindakan koruptif oleh lembaga swasta, dan juga pejabat tentu akan semakin menambah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai aktivitas pengumpulan uang atau barang.
Sekarang ini ada suatu masalah yang cukup pelik, yaitu “distrust” yang menyelimuti sebagian masyarakat kita. Jangan sampai distrust atau ketidakpercayaan masyarakat ini akan semakin menguat karena rendahnya pengawasan yang kita lakukan. Cukuplah rasanya kasus First Travel dan Abu Tour menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Dana masyarakat untuk kepentingan ibadah umrah pun diselewengkan untuk kepentingan lain. Sungguh kita merasa “ngeri” terhadap tindakan-tindakan oknum yang melakukan penyelewengan dana masyarakat yang akan digunakan untuk ibadah.
Dana zakat tentu cukup besar, jika menggunanakan potensi ideal, maka terdapat sebanyak 217 Trilyun potensi dana zakat, dengan asumsi banyaknya jumlah umat Islam Indonesia dengan berbagai varian usaha dan produk yang dihasilkannya. Anggaran sebesar ini tentu akan menjadi dana yang akan dapat digunakan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Bukankah diperlukan pemberdayaan ekonomi umat berbasis atas kebutuhan ekonomi kaum dhuafa dan juga pemberdayaan pendidikan untuk kepentingan penguatan kualitas pendidikan dalam berbagai aspeknya.
Masyarakat kita masih banyak yang miskin dengan jarak antara yang kaya dan miskin masih sangat tinggi. Gini rasio kita masih berada pada angka 3,9 dan upaya untuk menurunkan juga sering terkendala oleh pengaruh perekonomian global. Di dalam konteks semacam ini, maka keberadaan dana zakat, infaq dan shadaqah akan dapat menjadi dana abadi untuk pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa.
Tahun depan akan dimulai tahun kualitas pendidikan setelah kita berhasil untuk memperluas akses pendidikan. RPJMN kita akan berubah paradigmanya dari akses ke mutu pendidikan. Sementara itu masih sangat banyak lembaga pendidikan kita –khususnya madrasah—yang memerlukan sentuhan kuat untuk meningkatkan mutunya. Oleh karena itu, diperlukan dana abadi umat yang bersumber dari zakat, infaq dan shadaqah untuk kepentingan ini.
Tantangan ini yang saya kira perlu dijawab oleh segenap pengelola zakat. Pengelolaan zakat harus semakin transparan dan akuntabel. Dan salah satu pirantinya ialah dengan pengawasan yang kuat. Jangan sampai dana trust ini lalu diperlakukan bukan pada peruntukannya. Jangan sampai terjadi “penodaan” terhadap kepercayaan masyarakat ini. Sekali saja kita salah kelola uang public berbasis agama ini, maka hancurlah reputasi kita semua.
Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) merupakan lembaga amanah umat. Pada lembaga-lembaga seperti ini uang umat dititipkan. Dan jumlah uang umat ini akan menjadi meningkat setiap tahun. Perkembangannya rata-rata 38 persen semenjak tahun 2002 sampai tahun 2017. Cukup fantastis. Terakhir kita bisa meraup dana zakat sebesar 5,8 Trilyun. Masih jauh dari potensi zakat umat yang diperkirakan dapat dikelola. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengawasan yang ektra hati-hati atau bahkan bisa saya nyatakan sebagai pengawasan extra ordinary. Tidak hanya cukup ordinary saja.
Berangkat dari pemikiran seperti ini, maka kehadiran sebuah lembaga pendidikan yang secara khusus akan menyediakan tenaga audit syariah menjadi relevan untuk dipikirkan dan diimplementasikan. Kita sedang menunggu langkah para rector untuk hal urgen ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBANGUN AKSI MELAWAN NARASI RADIKALISME

MEMBANGUN AKSI MELAWAN NARASI RADIKALISME
Saya diberi kesempatan oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, untuk mewakili Beliau dalam acara yang digelar oleh Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP) yang acaranya digelar di Hotel Bidakara, 26 April 2018. Acara ini dihadiri oleh Narasumber: saya, Irjen Pol. Dr. Gatot Eddy Pramono, MSi, Staf Ahli Kepolisian Repubik Indonesia, Prof. Ahmad Syafii Mufid, dan sejumlah narasumber lainnya.
Acara ini merupakan kerjasama antara IISEP dengan Kepala Badan Diklat Kementerian Agama DKI Jakarta dan Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Hadir mewakili Embassy of Australia, ialah Mrs. Keara Shaw, First Secretary (Political) dan juga para penyuluh agama, para khotib, para guru agama dan dosen serta utusan dari Poso, Solo dan sebagainya.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan beberapa hal. Pertama, ialah apresiasi atas kegiatan yang dilakukan oleh IISEP dalam kerangka untuk memberikan pemahaman kepada para penyuluh agama, pengurus masjid, khotib, guru agama dan dosen mengenai problem akut kita ialah radikalisme dan lebih khusus ialah ekstrimisme dan terorisme. Saya juga mengucapkan terima kasih atas kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia tentang penanggulangan radikalisme yang tentu harus tetap diwaspadai oleh kita semua. Kita ke depan tentu berharap agar penanganan radikalisme akan lebih sistematik dan mendasar di tengah keinginan kita semua untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang aman dan damai, rukun dan harmonis serta berkeselamatan.
Kedua, saya sampaikan bahwa kita sedang menghadapi tahun-tahun penting, yaitu tahun pilkada 2018 dan tahun pilihan Presiden/Wakil Presiden, serta pemilihan legislative. Oleh sementara kalangan disebut sebagai tahun politik, namun berdasarkan pertemuan antar menteri yang dipimpin oleh Menko Polhukam, Bapak Dr. Wiranto, dianjurkan agar kita tidak menggunakan tahun politik, sebab terkesan “anggegirisi” atau “menakutkan”. Sebaiknya disebut sebagai tahun pilkada 2018 dan tahun Pilpres dan pileg saja.
Tantangan pilkada, pilpres dan pileg tentu merupakan tantangan dalam upacara liminal 5 (lima) tahunan yang terus menerus kita lakukan. Dan sebagaimana diketahui bahwa di setiap upacara liminal tersebut dipastikan akan terdapat berbagai issue, diantaranya ialah issu kesenjangan sosial, issu SARA, issu politisasi agama dan politik identitas. Di dalam konteks ini, maka kehadiran para penyuluh agama, khotib, pengurus masjid, guru dan dosen menjadi sangat penting untuk membangun kesadaran agar masyarakat kita tidak terjebak ke dalam issu yang tidak menguntungkan sebagai warga negara dan bangsa. Memang masih terdapat sejumlah warga kita yang dalam kondisi miskin. Akan tetapi upaya pemerintah untuk menghilangkan gap antara yang kaya dan miskin, serta mengurangi dampak kemiskinan juga terus dilakukan. Kita semua juga harus mengerem agar issu SARA tidak berkembang semakin kuat. Kita memiliki modal yang sangat kuat, berupa kerukunan dan harmoni antar suku, ras dan agama. Inilah yang harus kita perkuat sekarang dan masa depan.
Lalu tantangan radikalisme yang juga terus memperlihatkan eksistensinya. Kita tentu bersyukur bahwa keberagamaan kita semakin kuat, namun sayangnya bahwa radikalisme beragama di antara masyarakat Indonesia juga semakin menguat pula. Ada sesuatu yang paradoksal. Pemahaman beragama di masyarakat Indonesia semakin menunjukkan arah yang “mengkhawatirkan”. Yaitu semakin menguatnya keberagamaan yang bergaris keras, yang diilhami oleh pemahaman agama kelompok Salafi Jihadi dan kelompok Salafi Takfiri. Keduanya memiliki jejaring dengan Islam di berbagai wilayah yang memiliki kesamaan untuk mengusung ideology tersebut. Forum ini tentu dimaksudkan agar kita memiliki “kesadaran” untuk melakukan tindakan preventif dalam rangka menanggulangi bahaya radikalisme ini.
Kedua, hakikatnya para penyuluh agama, khotib, pengurus masjid, guru agama dan dosen adalah wajah depan agama Islam di Indonesia. Mereka semua adalah wajah kemenag yang terdepan. Di tangan mereka semua, Islam yang rahmatan lil alamin atau Islam wasathiyah tersebut terdapat profilnya. Mereka adalah juru penerang agama yang seharusnya memiliki mind set untuk terus membangun Islam yang wasathiyah ini. Mereka harus mengembalikan yang terpapar atau akan terpapar ke dalam pelukan Islam yang wasathiyah. Islam yang tidak hanya memberikan keselamatan dan kedamaian kepada umat Islam saja akan tetapi juga kepada umat agama lain. Mereka yang akan mengembangkan hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal alam jauh lebih baik di masa sekarang dan akan datang.
Di tangan mereka ini Islam yang kita cita-citakan bersama akan mengeksis di dalam kehidupan masyarakat. Makanya, kita sungguh berharap agar para juru penerang agama dalam berbagai fungsinya itu dapat menjadi detector dini terhadap masalah-masalah keagamaan. Kita berharap agar jika ada masalah-masalah keagamaan maka merekalah yang harus tahu terlebuh dahulu. Jika ada orang asing datang di masjid, maka kita lakukan pengecekan dan identifikasi secara mendalam siapa sesungguhnya mereka ini. Jika kita tidak bisa mendeteksi agar dapat mengirim signal kepada para pejabat, para ulama, para habaib yang senada dengan kita tentang paham keagamaannya.
Kitalah yang akan mewariskan Islam Indonesia, yang luar biasa ini kepada generasi muda dan akan cucu kita. Makanya, kita sungguh memiliki ketergantungan terhadap para juru penerang atau penyuluh, pengurus masjid dan para guru agama atau dosen.
Ketiga, Kemenag sudah mengembangkan gerakan Islam moderat dalam paket program Moderasi Agama. Pak Menteri Agama di dalam banyak kesempatan menyampaikan tentang tema-tema moderasi agama yang ke depan akan menjadi tema utama keberagamaan bangsa Indonesia. Makanya yang kita harapkan ialah Islam yang moderat, Hindu yang moderat, Buddha yang moderat, Kristen yang moderat dan Katolik yang moderat serta Khonghucu yang moderat.
Jika kita bisa melakukan aksi dalam konteks seperti ini, dari halaqah ke harakah, maka semua berkeyakinan bahwa radikalisme tidak semakin tumbuh subur di negeri ini. Saya kira semua sepaham dengan hal ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN DAN ERA MASA DEPAN

PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN DAN ERA MASA DEPAN
Saya diminta untuk menjadi narasumber dalam acara yang dilakukan oleh Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Menado Sulawesi Utara, Selasa, 24 April 2018. Acara ini dihadiri oleh segenap dosen dan pejabat pada IAKN serta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Menado. Hadir juga Rektor IAKN, Dr. Jeanne Marie Tulung, Rector IAKN yang baru beberapa saat yang lalu dilantik oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin.
Di dalam acara ini saya menggambarkan tentang bagaimana arah ke depan PTKN. Yaitu adanya perubahan paradigmatic tentang PT. Jika di masa lalu lebih berorientasi pada perluasan akses, maka yang akan datang akan lebih mengarah kepada membangun pendidikan berkualitas. Di dalam RPJMN 2019-2024, ada 4 (empat) hal yang menarik, yaitu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu: Indonesia tanpa kemiskinan, Indonesia tanpa kelaparan, Indonesia yang sejahtera dan sehat serta pendidikan bermutu.
Ke depan pendidikan haruslah dipersiapkan untuk beralih ke paradigm baru, yaitu bagaimana mengembangkan pendidikan Indonesia yang lebih berkualitas. Secara institusi, pendidikan harus bermutu dengan indicator semakin meningkatnya akreditasi, semakin meningkatnya kualitas dosen, semakin membaiknya mutu lulusan, semakin meningkatnya kualitas karya akademis dosen dan mahasiswa, semakin kuatnya riset dan pengabdian masyarakat dan sebagainya.
Dewasa ini kita sedang menghadapi generasi Y dan Z, yang tentu harus dilayani dengan segenap piranti teknologi informasi. Generasi Y dan Z yang lebih melek teknologi informasi tentu mengharapkan pelayanan pendidikan yang bernuansa dengan zamannya. Yaitu pendidikan berbasis tenologi informasi.
Kita sudah bukan lagi berada di era industry 1.0, yang perubahan masyarakatnya bercorak evolusi biologis. Juga bukan pada era 2.0, yang perubahannya berselaras dengan evolusi kebudayaan, dan juga bukan pada era 3.0 dengan masyarakat bercorak evolusi teknologi. Akan tetapi kita sudah berada di era evolusi digital atau cyber. Makanya, sekarang sedang berkembang ekonomi digital, teknologi digital, pendidikan berbasis digital, perpustakaan digital dan sebagainya. oleh karenanya, pendidikan harus didesain dengan memacu diri sesuai dengan zaman atau eranya.
Sementara itu, kita masih memiliki tantangan yang cukup besar, yaitu: Pertama, rendahnya persentase karya akademis dosen dalam level internasional dan nasional. Kita baru menyumbang sebesar 12 persen untuk karya akademis internasional. Sementara Filipina (15 persen), Cina (19 persen), Thailand (20 persen), Malaysia 25 persen dan Brazil 53 persen.
Melalui data ini akhirnya dapat diketahui bahwa banyak dosen kita yang belum aktif di dalam karya akademis di tingkat internasional maupun nasional. Kita kalah dengan negara-negara tetangga yang sudah memiliki sumbangan lebih besar dalam jurnal akademis internasional. Jadi, tantangan PTKN ialah bagaimana ke depan bisa menghasilkan karya-karya yang berkualitas, baik buku maupun jurnal ilmiah.
Kedua, Tantangan berikutnya ialah pemenuhan terhadap keinginan masyarakat. Terhadap PT ada sejumlah keinginan, yaitu PT sebagai agent of education. Institusi PT harus dapat menjadi agen dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. kemudian menjadi agent of research. PT harus menjadi center of excellence dalam bidang riset baik riset akademis, riset terapan maupun riset aksi. PT yang hebat saya kira sangat tergantung kepada bagaimana peran para dosennya untuk menghasilkan riset yang bagus dan outstanding.
Tantangan lainnya ialah PT sebagai agent of cultural, social and technological transfer. Bagi PT maka masyarakat berharap menjadi pusat bagi transfer budaya. Ada proses enculturation terhadap nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan dan agama. Para dosen diharapkan akan dapat menularkan terhadap nilai luhur bangsa, nilai kemanusiaan dan nilai religiositas. Kita memiliki budaya kerukunan, keharmonisan, dan toleransi yang luar biasa dan telah diakui oleh dunia internasional. Indonesia adalah the best example on religious harmony. Dunia memandangnya seperti itu. Maka sudah selayaknya jika PT dapat menjadi instrument penyemai budaya bangsa yang baik ini.
Yang juga penting ialah tantangan agent of economic development. PT harus menjadi pusat pengembangan inkubasi pendidikan kewirausahaan. Di dalam konteks ini, maka diharapkan oleh masyarakat agar melalui lembaga pendidikan tinggi akan dapat dihasilkan talenta-talenta hebat di bidang business dan entrepreneurship.
Ketiga, tantangan global competitiveness index (GCI). Peringkat Indonesia di GCI memang fluktuatif. Misalnya pada tahun 2015/2016 di peringkat 34 dan kemudian tahun 2016/2017 berada di peringkat 41. Kita tentu berharap bahwa ke depan PT akan dapat menjadi salah satu agen dalam peningkatan kualitas SDM. Jika semakin banyak anak Indonesia yang bisa memasuki gerbang pendidikan tinggi dan menyelesaikan pendidikannya dengan baik, maka dipastikan akan meningkatlah GCI kita. Dengan demikian, semakin berkualitas pendidikan tentu akan semakin berkualitas manusia Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.