• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (3)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (3)
Siapapun pasti merasakan betapa penderitaan yang dialami oleh para korban terorisme yang sedang terjadi. Bagi masyarakat Indonesia, yang sebagian besar adalah masyarakat yang menjalankan agama dan kehidupannya secara wajar, pastilah akan melakukan kutukan terhadap tindakan nekad dari kaum jihadis atau kaum teroris yang dengan kesadarannya melakukan tindakan bunuh diri untuk membunuh orang lain.
Tindakan melakukan bunuh diri dengan bom yang ditujukan kepada sekelompok orang tentu bukan barang baru di kalangan kaum teroris. Mereka sudah sangat terbiasa melakukan hal ini. Mereka menyadari bahwa tindakan yang dilakukan itu dianggap sebagai kebenaran. Jihad bagi mereka adalah perang terbuka atau perang dengan jalan melakukan tindakan bom bunuh diri. Melukai atau bahkan mematikan sasaran yang dianggap tidak sependapat atau berbeda paham merupakan “kewajiban” yang harus ditunaikan.
Di dalam konteks ini, maka tindakan melakukan bom bunuh diri adalah strategi yang dianggap mewakili perintah agama. Begitulah tafsir mereka tentang tindakannya itu. Di kala jihad dimaknai sebagai perang melawan yang dianggap berbeda paham, keyakinan dan perilaku, maka bagi mereka sah-sah saja melakukannya. Tafsir seperti ini yang selama ini dijadikan sebagai referensi di kalangan kaum jihadis yang sudah mengakar kuat di dalam mindsetnya.
Bagi kalangan umum, tindakan melakukan bom bunuh diri dengan target sekumpulan orang adalah tindakan biadab dan extra ordinary crime. Bagi kelompok ini, tentu tidak masuk akal bahwa seseorang dengan kenekadan tertentu membunuh dirinya sendiri untuk tujuan yang diyakininya benar. Bagi mereka yang menjalankan agamanya dengan keyakinan seperti itu, maka tiada kebenaran yang plural. Kebenaran itu tunggal dan tafsir kebenaran itu hanya ada pada mereka itu.
Bom bunuh diri yang dilakukan di beberapa gereja (Gereja Kristen Indonesia Surabaya, Gereja Pantekosta Pusat di Surabaya, dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela), Polwiltabes Surabaya dan juga terjadinya peledakan di Rusun Wonocolo tentu bisa menggambarkan bahwa kaum teroris itu memang telah mempersiapkan dengan sangat baik tentang bagaimana mengejutkan pemerintah dan masyarakat bahwa mereka tidak main-main. Satu keluarga –suami, isteri, dan anak-anaknya—melakukan tindakan bom bunuh diri secara bersamaan dengan pembagian tugas yang jelas. Bahkan sebelum mereka menjalankan tugas masih sempat berpelukan sebagai perpisahan di dunia. Mereka tentu meyakini bahwa begitu bom meledak dan mereka mati, maka sesegera mereka akan bersatu kembali. Ajaran mati syahid karena bom bunuh diri begitu telah tertanam dengan sangat kuat dan mempengaruhi terhadap seluruh mindsetnya. You Only Die Once (YODO) dan You Only Life Once (YOLO), maka pilihan melakukan bom bunuh diri merupakan kewajiban. “Isy kariman aw muth syahidan”. Dan pilihannya ialah mati syahid dalam keyakinannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ali Fauzi dan Hendropriyono, bahwa sudah bukan saatnya kita saling menyalahkan dan saling melempar tanggungjawab. Harus dinyatakan bahwa terjadinya bom bunuh diri di Surabaya, 10 dan 11 Mei 2018 merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk menunjukkan bahwa terorisme masih eksis di Indonesia dan bisa mengejutkan bagi pemerintah dan juga masyarakat.
Dengan kejadian ini, maka satu hal yang harus disadari bahwa terorisme tidak akan pernah mati. Dia bekerja seperti sel kangker. Satu diputus selnya, maka sel sekecil apapun akan membentuk sel baru. Demikian seterusnya. Mereka tidak akan pernah mati. Mereka akan terus eksis di tengah kehidupan. Jadi, yang diperlukan ialah bagaimana kita menghadapi radikalisme dan ekstrimisme ini dengan secara bersama-sama. Semua elemen masyarakat dan pemerintah harus dalam satu langkah kebersamaan. Sesuai dengan pernyataan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, bahwa jika dari 1000 sel teroris itu bisa dibasmi 999, dan hanya ada satu sel saja yang masih hidup, maka itu adalah keberhasilan kaum teroris.
Di dalam konteks seperti ini, betapa dirasakan sangat mendesak untuk menuntaskan RUU Terorisme, yang sampai saat ini masih belum diselesaikan. Kita tidak bisa saling menyalahkan siapa yang terlambat, tetapi kesadaran bahwa untuk memberantas terorisme diperlukan regulasi, maka semua harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan regulasi dimaksud. Jika misalnya, diperlukan waktu yang lebih lama, maka Presiden, Pak Joko Widodo, bisa mengambil peran untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) agar penanganan terorisme akan lebih jelas arahnya. Bukankah kita sudah memiliki PERPPU No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan tentang UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dapat dijadikan sebagai dasar penanganan terhadap organisasi sosial yang dirasakan berlawanan dengan haluan pemerintah.
Dengan hadirnya PERPPU No 2 Tahun 2017, maka HTI yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang memperoleh momentumnya. Jalan seperti inilah yang kiranya diperlukan dalam waktu dekat, sehingga keluhan demi keluhan tentang “ketiadaan” regulasi penanganan tindak pidana terorisme akan dapat dilakukan.
Sekarang adalah momentum yang tepat untuk menggerakkan elemen bangsa dalam kerangka mendorong terhadap regulasi, strategi dan cara taktis untuk menanggulangi terorisme. Dan kita semua yakin bahwa kita bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (2)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (2)
Hasil survey beberapa lembaga yang terpercaya, memang membuat kita mengernyitkan dahi. Betapa tidak bahwa tanaman radikalisme itu telah berkembang sedemikian rupa. Bahkan di kalangan Aparat Sipil Negara (ASN) yang seharusnya steril dari virus pemahaman agama berbasis negara khilafah ternyata dinyatakan bahwa yang terpapar sebesar 22,2 persen (Alvara Research Center, 2017). Sebuah angka yang membuat kita bertanya, benarkah bahwa dunia birokrasi kita sudah sedemikian kerasukan virus setuju dengan penerapan khilafah.
Sungguh kita merasakan bahwa gerakan kaum radikal ini memang sudah memasuki dunia yang seharusnya paling steril, yaitu birokrasi. Bagaimana aparat negara yang seharusnya adalah pejuang kenegaraan dan kebangsaan, ternyata justru mindsetnya dikuasai oleh paham agama yang bercorak garis keras. Itulah sebabnya di dalam banyak kesempatan selalu saya nyatakan bahwa dunia birokrasi kita dan juga dunia pendidikan harus bersih dari elemen pemahaman agama yang radikal ini.
Pemerintah harus tegas di dalam menangani persoalan radikalisme dan ekstrimisme ini. Hanya ada 2 (dua) pilihan bagi ASN, baik yang berada di birokrasi pemerintah maupun di lembaga pendidikan. Tetap menjadi ASN atau harus berada di luar. Pilihan ini saya kira menjadi sangat wajar, sebab jika ada ASN yang terpapar virus pemahaman agama yang ekstrim ini, maka akan bisa dipastikan bahwa seperti pepatah “memelihara anak macan”. Ketika kecil bisa dipelihara, tetapi ketika sudah menjadi besar dan kuat, maka akan menerkam terhadap yang memeliharanya.
Itulah kira-kira anekdot terhadap banyaknya ASN baik di birokrasi atau lembaga pendidikan yang berhaluan paham agama radikal.
Ketika masih belum kuat jamaahnya, maka mereka akan mengikuti perintah dan tatakrama birokrasi, namun ketika sudah besar dan kuat jamaahnya, maka mereka akan bisa mengancam, memboikot dan memakan terhadap birokrasinya sendiri. Bukankah kita sudah memiliki pengalaman tentang kekuasaan yang permisif terhadap kaum komunis. Maka ketika komunis masih kecil, mereka mengikuti terhadap system pemerintahan pada jamannya, namun ketika sudah membesar maka mereka melakukan kudeta.
Lembaga pendidikan –khususnya—harus steril terhadap gerakan ekstrimisme ini. Mula-mula memang hanya tidak mau menghormat bendera, tidak mau mengakui pemerintah Indonesia karena dianggap pemerintahan thaghut, namun ketika hal ini dibiarkan, maka lama-lama kelamaan akan menjadikan mindset dan cultural set mereka yang sangat berbahaya. Sungguh kita tidak boleh membiarkan dunia pendidikan kita dikuasai oleh mereka ini. Para pimpinan lembaga pendidikan tentu harus memiliki “kepekaan” untuk membaca terhadap lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Jangan pernah ragu untuk berbuat untuk kejayaan bangsa dan negara, kapanpun.
Jika ada dosen yang tidak mau ikut upacara dengan dalih apapun –secara lebih khusus terkait dengan penghormatan kepada Bendera Merah Putih—dan jika ada dosen yang menggunakan atribut yang menggambarkan bahwa mereka memiliki jejaring dengan pemahaman agama yang ekstrim, maka sudah selayaknya dilakukan penelusuran secara akademis dan regulative. Dan jika didapatkan jejaring yang mengindikasikan keterlibatnnya di dalam ajaran agama yang ekstrim, maka hanya ada 2 (dua) pilihan: berhenti atau berubah.
Kita sungguh menginginkan agar lembaga pendidikan sebagai tempat menyemaikan paham kebangsaan dan beragama yang moderat atau wasathiyah itu akan tetap lestari. Dan dosen atau para pendidik adalah kata kuncinya. Jika kita tidak segera menyadari akan situasi ini, maka kita akan kehilangan moment untuk melakukan pembenahan terhadap dunia pendidikan kita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama dan Kementerian lain yang memiliki tupoksi tentang pendidikan harus segera menyatukan langkah untuk “memerangi” terhadap radikalalisme dan ekstrimisme di lembaga pendidikan kita. Satukan langkah strategis untuk secara bersama-sama mengeliminasi paham kekerasan di tempat kita semua.
Kiranya tidak cukup dengan membuat ungkapan-ungkapan “Anti Terorisme” dan sebagainya, akan tetapi yang diperlukan ialah langkah yang sama dan strategis untuk mencegah ekstrimisme menjadi bagian dari dunia pendidikan kita.
Mari kita selamatkan anak-anak kita yang cerdas dari pelukan paham agama yang menyesatkan seperti radikalisme, ekstrimisme dan bahkan terorisme itu. Kita sedang berpacu dengan mereka yang sudah terpapar virus ekstrimisme. Kita sedang dalam genderang perang dengan virus ekstrimisme. Dan sekarang adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan langkah kebersamaa.
Kita membutuhkan tidak hanya hard power untuk menghabisi ekstrimisme, namun juga membutuhkan soft power untuk menanggulangi ekstrimisme. Dan saya kira diperlukan upaya yang lebih terarah dan strategic untuk melakukannya. Saya kira bangsa ini secara mayoritas akan mendukung langkah antisipatif yang strategic untuk melawan ekstrimisme dengan cara-cara yang lebih tepat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (1)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (1)
Setiap kali ada peristiwa yang terkait dengan gerakan radikalisme dan terorisme, ingatan saya pada 3 (tiga) ahli Indonesianis terkemuka, satu dari Negeri Belanda, Karl Steenbrink, dan 2 (dua) lagi dari Australia, Greg Fealy dan Anthony Bubbelo.
Mengapa tulisan ini saya ingat, sebab ketiganya memiliki hipotesis yang menarik. Steenbrink, menyatakan bahwa semakin demokratis dan keterbukaan terjadi di Indonesia, maka akan memunculkan agama local yang semakin banyak dan juga akan memunculkan radikalisme yang semakin kuat. Sedangkan Greg Fealy dan Antonio Bubbelo menyatakan bahwa semua isme yang datang ke Indonesia akan tumbuh sumbur, termasuk isme dalam coraknya yang berupa radikalisme dan ekstrimisme.
Tulisan ini dipublis pada masa awal reformasi dengan dicanangkannya 2 (dua) issu penting yaitu keterbukaan dan demokratisasi. Isu keterbukaan dan demokratisasi akan membuka keran yang selama ini tertutup rapat –semenjak otoriterisme di masa pemerintahan Orde Baru— munculnya agama-agama local dan juga ekstrimisme diawasi secara ketat. Melalui pemerintahan yang otoriter, maka organisasi organisasi garis keras selalu mendapatkan pengawasan sangat kuat, seperti Hizbut Tahrir, organisasi radikal salafi takfiri dan salafi jihadi, sehingga mereka menjadi organisasi bawah tanah. Di masa Orde Baru disebut sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB).
Makanya, organisasi-organisasi yang “melawan” terhadap pemerintah akan dipastikan berhadapan dengan aparat pemerintah, seperti Badan Inteligen Negara (BIN), Komando Penertiban Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang memiliki akar sampai di pedesaan-pedesaan. Badan Pembinaan Masyarakat Desa (Babinsa) didapati di seluruh Indonesia dengan perintah yang tegas, mengawasi berbagai gerak-gerik warga yang menyimpang dari tujuan pemerintah.
Kekuasaan yang otoriter memiliki satu commando atau only one command, agar menjaga keamanan dan ketertiban secara meyakinkan. Dan melalui aparat keamanan, maka berbagai peristiwa yang akan mengancam negara dapat dipatahkan secara cepat. Bahkan ada yang menyatakan “jarum jatuh di malam hari pun bisa diketahui”. Demikianlah negara begitu powerfull dan gigantic di dalam mengawasi terhadap berbagai aktivitas masyarakat terutama dalam kaitannya dengan dasar negara dan wawasan kebangsaan.
Di kala terjadi proses demokratisasi dan keterbukaan yang sangat kuat, tahun 1988, maka salah satu hal yang menjadi ikutannya ialah tentang semakin kuatnya issu Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan lalu menjadi kata kunci penting di dalam kehidupan masyarakat. Semua aktivitas dan organisasi kemasyarakatan menjadikan keterbukaan dan kebebasan sebagai pintu masuk untuk berekspressi. Maka lahirlah berbagai keyakinan agama local –dalam jumlah yang sangat banyak—dan juga lahirlah berbagai organisasi yang cenderung berhaluan keras, bahkan juga yang menyatakan anti Pancasila dan UUD 1945 dan bahkan juga yang menganggap Republik Indonesia adalah negara secular dan berbasis thaghut. Organisasi-organisasi seperti HTI, KAMMI dan lainnya tentu menjadi semakin leluasa untuk mengepakkan sayapnya di era HAM sebagai anak kandung demokrasi dan keterbukaan.
Memang, elemen garis keras ini sudah tumbuh di masa akhir pemerintahan Orde Baru. Melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti SMA atau Perguruan Tinggi Umum (PTU) mereka sudah menapakkan kakinya dengan cukup kuat. Anak-anak Rohani Islam (Rohis) sudah mengenal berbagai pemahaman agama yang berhaluan garis keras. Di perguruan tinggi umum juga sudah berkembang dengan cukup kuat. Di beberapa perguruan tinggi, seperti IPB, ITB, ITS, UI, Akademi Keuangan dan lain-lain, maka pertumbuhan organisasi ini juga luar biasa. Misalnya munculnya KAMMI, Tarbiyah Islam, HTI, Rohis dan sebagainya yang menjadikan masjid kampus sebagai pusat gerakannya. Di ITS, masjid Manarul Ilmi menjadi basis kegiatan rohis yang sangat luar biasa.
Jauh sebelum di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) juga terdapat elemen pemahaman agama yang bercorak radikal, maka di PTU sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan Islam yang berpaham garis keras.
Begitu kuatnya HAM sebagai basis ekpressi kebebasan, maka bisa dibayangkan bahwa HTI bisa membuat Konferensi Khilafah Internasional yang ditempatkan di Gelora Bung Karno (2007) dan dihadiri oleh ratusan ribu jemaahnya. Sungguh luar biasa. Bahkan juga Deklarasi Khilafah di IPB (2017) yang juga dihadiri oleh banyak aktivis Islam dari kalangan mahasiswa.
Dengan dalih HAM, maka pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pertemuan yang jelas-jelas melawan negara. Dengan menyatakan bahwa pemerintah yang benar adalah pemerintah di bawah panji-panji khilafah, maka sesungguhnya sudah melakukan perlawanan terbuka terhadap pemerintah yang sah dan berdasar atas Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Hadirnya pemahaman agama yang bercorak radikal dan ekstrim di masa sekarang adalah perkembangan lebih lanjut dari penanaman radikalisme melalui lembaga-lembaga pendidikan di masa lalu.
Kurang lebih 20-30 tahun yang lalu. Mereka telah menanam pemahaman agama yang ekstrim berupa paham jihadis dan takfiri, yang bersumber dari Timur Tengah, khususnya Libanon. Ketika Hizbut Tahrir di Libanon diberangus, maka elemen-elemennya kemudian mengarahkan ke negara-negara lain. Di Malaysia dan Singapura tidak didapatkan lahan yang memadai, maka di Indonesialah mereka memperoleh lahan yang sangat subur untuk berkembang. Oleh karena itu, jika kemudian mereka melakukan berbagai tindakan kekerasan, seperti terjadi dewasa ini, maka tentu hal itu merupakan buah dari penanaman akidah jihadis dan takfiri yang dahulu pernah ditanamnya.
Sekarang kita telah menuai efek negative HAM sebagai anak dari demokratisasi dan keterbukaan, yaitu munculnya gerakan-gerakan ekstrim yang nyaris sudah berkembang dengan pesat dan massive. Coba sekali waktu perhatikan para generasi usia 30-40 tahun yang mengabdi di aparat sipil negara (ASN) di Kementerian dan Lembaga, maka akan kita jumpai outward looking yang bisa memberikan gambaran bahwa mereka adalah orang yang “kurang lebih” terpapar virus agama yang “radikal”. Saya tidak menyatakan pasti terpapar, namun demikian, gambaran luarnya bisa menjadi indikasi pemahaman agama yang seperti itu.
Oleh karena itu, kiranya memang diperlukan “ketegasan” pemerintah di dalam memanej terhadap lembaga-lembaga birokrasi dan juga pendidikan agar virus paham agama yang ekstrim itu tidak akan terus berkembang. Kita harus membersihkan lembaga-lembaga birokrasi dan juga pendidikan agar nasib bangsa ini ke depan tidak semakin runyam. Nyatakan dengan tegas bahwa bangsa ini menolak segala bentuk kekerasan dan lebih khusus terorisme, sebab kita ingin nasib bangsa ini di tangan generasi yang akan datang akan tetap sebagaimana kita lihat sekarang. Negara yang berdasar Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAJAGI RESPON KEPUASAN PELANGGAN INTERNAL

MENJAJAGI RESPON KEPUASAN PELANGGAN INTERNAL
Saya pernah menyampaikan bahwa ada 3 (tiga) wajah Kementerian Agama, yaitu wajah LKKA, wajah Indeks Reformasi Birokrasi (IRB) dan wajah hasil survey Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tentang pelayanan public. Dari 3 (tiga) wajah Kemenag tersebut, LKKA dan Indeks Reformasi Birokrasi sudah diupayakan dengan berbagai program dan kegiatan untuk memperbaiki kualitasnya, sehingga Opini Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI sudah memberikan penilaian yang memadai, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Kementerian PAN dan RB juga sudah memberikan nilai yang memadai untuk Indeks Reformasi Birokrasi, yaitu dengan capaian B dan tahun ini akan BB. Yang belum memperoleh sentuhan memadai ialah terkait dengan hasil survey Ombudsman Republik Indonesia (ORI), yang di dalam banyak hal belum diupayakan secara maksimal.
Tentang Pelayanan Publik, sesungguhnya juga sudah mengalami kenaikan yang signifikan, sebab pada tahun 2016 mendapatkan score 65,99 berada pada peringkat 21 dan pada tahun 2017 mendapatkan nilai 72, 00 atau berada pada peringkat 10. Sebuah lonjakan penilaian yang sangat memadai. Hanya saja memang belum bisa masuk ke ranah hijau, sebab terendah nilai berkategori hijau ialah score 88. Jadi memang masih cukup jauh jarak untuk memperoleh score berkategori hijau. Untuk memahami tentang pelayanan public, maka saya selalu menekankan agar kualitas pelayanan baik internal maupun eksternal terus ditingkatkan. Dan salah satu di antara instrumennya ialah survey-survey yang kita lakukan.
Saya merasa gembira bahwa survey pelayanan internal Kemenag sudah diuji coba beberapa hari terakhir. Berdasarkan meeting yang kita selenggarakan dengan Biro Ortala Kemenag, 07/05/2018, saya merasakan bahwa memang diperlukan kecepatan untuk merespon dunia yang cepat berubah seperti ini. Jangan sampai kita tertinggal jauh dari institusi lain di dalam hal melakukan perbaikan kualitas layanan internal tersebut. Makanya, saya menyambut gembira terhadap survey pelayanan internal Kemenag.
Tim Biro Ortala telah membuat suatu perubahan, meskipun tidak spektakuler, tetapi saya kira mencukupi untuk dijadikan rujukan di dalam kerangka mendeteksi secara empiris terhadap bagaimana kualitas pelayanan Kemenag. Ketika saya sampaikan tentang kualitas pelayanan kita yang memerlukan respon dari stakeholder, maka salah satunya yang penting dan perlu dilakukan terlebih dahulu ialah menjamah terhadap perbaikan kualitas pelayanan internal. Kita benahi dulu yang satu ini, dan jika sudah meningkat kualitasnya, maka kemudian dilanjutkan dengan survey kepuasan pelanggan eksternal.
Kita sering kali berharap perbaikan kualitas pelayanan, tetapi melupakan satu aspek ialah bagaimana kepuasan pelanggan internal kita. Makanya, kita benahi kualitas pelayanan internal dan kemudian kita perbaiki juga kualitas pelayanan pelanggan eksternal.
Bagi saya, kepuasan pelanggan internal sangat menentukan terhadap kualitas pelayanan pelanggan eksternal. Jika di dalamnya baik, pasti juga yang di luar baik. Jika yang di dalam jelek, pasti yang di luar juga jelek. Jika di dalam jelek lalu di luar baik, maka hal itu pasti pencitraan belaka. Jangan sampai kita hanya menginginkan “pencitraan”, sementara itu terdapat “kepalsuan”, yang pada suatu ketika akan diketahui juga oleh publik. Di dalam hal ini, maka perbaiki kualitas pelayanan di dalam dan kemudian kita akan memperoleh pelayanan yang baik di luar.
Pencitraan memang perlu, sebab dunia ini memang bisa dibangun di atas citra itu. Tetapi citra yang benar adalah citra yang bisa menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi secara empiris. Kita tentu tidak boleh menjadikan “pencitraan” sebagai tujuan. Yang seharusnya menjadi tujuan ialah perbaikan kualitas kita semua secara memadai.
Dari konteks pemikiran seperti ini, maka kehadiran survey kualitas pelayanan menjadi penting. Apa dan bagaimana respon public terhadap kualitas pelayanan kita akan diketahui dari bagaimana public merasakannya dan menanggapinya. Apa yang kita anggap benar dan baik, belum tentu benar dan baik menurut orang yang berada di sekitar kita dan para pelanggan kita. Itulah sebabnya para pimpinan harus membaca hasil survey dengan semangat perbaikan. Jangan sampai hasil survey dianggap sebagai kritik yang mendiskreditkan para pimpinan dan para pejabat yang terkait.
Hasil survey justru dijadikan sebagai masukan yang berharga dan menjadi dasar untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif. Ingat bahwa pendapat public adalah kebenaran empiris. Respon public merupakan kenyataan yang harus diterima apa adanya. Meskipun tidak sampai kepada statement “Vox Populi Vox Dei”, namun saya beranggapan bahwa respon public tetap merupakan barometer untuk memberikan penilaian tentang apa yang sudah kita lakukan terhadap public dimaksud.
Survey ini dilaksanakan oleh Biro Ortala Kemenag. Survey Kepuasan Pelayanan Internal itu meliputi: 1) Kebersihan, Kerapian dan Kenyamanan Lingkungan, 2) Administrasi Persuratan, 3) Administrasi Kepegawaian, 4) Administrasi Keuangan, 5) Perlengkapan Sarana Kerja. Survey ini memang baru dilakukan oleh Biro Ortala, sebagai uji coba. Dalam waktu sepekan setelah diupload, ternyata respon pelanggan masih minim. Dalam sehari hanya dibuka aplikasi ini selama 2,5 jam saja. Dan ada sebanyak 27 responden yang memberikan tanggapannya. Secara umum mereka menyatakan bahwa kualitas pelayanan Kemenag ternyata kurang memuaskan.
Saya berkeyakinan bahwa yang memberikan jawaban tentu berdasarkan pengalaman selama ini dalam menghadapi realitas perkantoran dan berbagai pelayanan di antara mereka. Dengan survey ini tentu akan diketahui secara mendasar apa yang sesungguhnya menjadi respon para aparat pemerintah terkait dengan pelayanan dasar di antara mereka.
Misalnya, dalam pelayanan keuangan, kepegawaian, pelayanan umum, mereka beranggapan bahwa masih ada beberapa pelayanan yang dianggap kurang memuaskan. Pelayanan kenaikan jabatan, pelayanan pencairan dana keuangan seperti pembayaran honor, perjadin, LS pihak ketiga dan lain-lain ternyata kurang memuaskan. Lalu, Pengurusan Kenaikan Pangkat, Pengurusan Kenaikan Gaji Berkala dan lain-lain juga kurang memuaskan, kemudian distribusi surat keluar, permintaan arsip dan lain-lain juga kurang memuaskan. Selain itu, kerapian tempat sampah, toilet, perlengkapan shalat dan lain-lain juga kurang memuaskan.
Tentu saja juga sudah ada yang memenuhi syarat atau cukup memuaskan, misalnya meja dan kursi kerja, tempat wudlu di mushalla, permintaan nomor surat/ND/SK dan lain-lain, distribusi surat masuk, Absensi/Presensi (izin cuti, sakit dan lain-lain), keadaan meja dan kursi kerja dan lain-lain.
Melalui survey sederhana ini, maka sekurang-kurangnya kita mendapatkan gambaran tentang apa yang menjadi respon dari aparat Kemenag terkait dengan pelayanan dan ketersediaan sarana dan prasarana perkantoran. Melalui respon yang menyatakan bahwa pelayanan perkantoran kita kurang memuaskan, maka tentu akan dapat menjadi dasar untuk melakukan pembenahan yang memadai.
Saya merasakan bahwa memang ada yang perlu ditingkatkan dalam kualitas pelayanan terhadap para pelanggan internal Kemenang, sehingga ke depan pelayanan itu akan mencapai titik optimal, memuaskan kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KEWAJIBAN MELAYANI ADMINISTRASI KEMANUSIAAN

KEWAJIBAN MELAYANI ADMINISTRASI KEMANUSIAAN
Saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara “pembinaan pegawai” yang dilakukan oleh Biro Kepegawaian, 4/05/2018. Acara ini diikuti oleh Kepala Biro Kepagawaian, Pak Ahmadi, dan segenap jajarannya. Seluruh pegawai hadir di dalam acara pembinaan ini.
Sebagaimana biasa, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal penting sebagai bagian dari upaya mendorong para pegawai untuk bekerja lebih keras agar kepuasan pelanggan menjadi semakin meningkat. Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban aparat pemerintah ialah bagaimana melayani masyarakat agar mereka merasakan kehadiran negara di dalam kehidupannya.
Pertama, saya sampaikan apresiasi saya terhadap berbagai inovasi yang diselenggarakan oleh ASN kita. misalnya, di Biro Ortala, sudah dibuat aplikasi untuk survey “kepuasan pelanggan internal” yang uji cobanya sudah dilakukan dalam 2 (dua) hari ini. Hasilnya sudah bisa dibaca dan bisa dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki apa yang masih kurang di antara kita. Lalu, yang tidak kalah penting ialah akan segera diimplementasikannya SIEKA, sebagaimana sudah dilaunching oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, pada akhir Desember 2017. Demikian pula terhadap berbagai inovasi tentang Kenaikan Gaji Berka (KGB), izin belajar dan tugas belajar (ibeltubel) dan sebagainya. Semua ini menandai bahwa kita terus bergerak dalam rangka untuk mengejar ketertinggalan yang kita rasakan.
Kedua, tugas, pokok dan fungsi Biro Kepegawaian ialah melayani kemanusiaan. Yang kita layani bukan hanya sekedar administrasi biasa akan tetapi “administrasi kemanusiaan”. Coba kita bayangkan bahwa yang kita layani itu ialah kenaikan pangkat/jabatan, kenaikan gaji berkala, izin belajar dan tugas belajar, pelayanan cuti, peningkatan kualitas SDM ASN, pemberian reward dan punishment, pelayanan mutasi, rotasi dan promosi jabatan, rekruitmen CPNS, rekruitmen Jabatan non-PNS, assessment pegawai, dan lain-lain.
Jika kita cermati, maka semua yang dilakukan oleh Biro Kepegawaian ialah terkait dengan “pelayanan administrasi kemanusiaan”. Di sinilah kata kunci mengapa para pejabat pada biro kepegawaian harus melakukan tindakan yang terbaik bagi semua aparat pemerintah. Jangan sampai pelayanan yang kita berikan itu memberikan kesan bahwa pelayanan di Biro Kepegawaian kita itu rumit dan berbelit-belit. Saya sungguh berharap bahwa melalui biro kepegawaian itulah rasa nyaman, aman dan mudah akan terkesan di benak para aparat pemerintah, khususnya di Kemenag.
Salah satu di antara yang harus dilakukan ialah membangun kecepatan pelayanan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden, Pak Joko Widodo, bahwa yang diperlukan sekarang ialah memperkuat percepatan pelayanan dan mempermudah pelayanan. Jangan sampai yang mudah dibikin sulit dan yang pendek dibuat panjang. Ingat bahwa investasi termahal ialah waktu. Dahulu kita menggunakan warnet, lalu menggunakan HP dengan layanan terbatas, lalu muncul faximile di tahun 1990-an. Tetapi di saat sekarang semuanya serba mudah, cepat dan lengkap. Mau kirim surat tidak lagi butuh kantor pos, tetapi cukup dipotret atau dikirim via email, maka dalam hitungan detik, semuanya sudah bisa dishare dan diketahui. Sekarang adalah era digital dan internet of thing.
Karena yang ditangani atau diurus oleh Biro Kepegawaian adalah administrasi kemanusiaan, maka kecepatan, ketepatan, ketelitian dan kemudahan menjadi syarat penting di dalam konteks pelayanan. Di sinilah makna penting Standart Operating Procedure (SOP) dan Standart Pelayanan Minimal (SPM) menjadi ukuran pelayanan berkualitas. Upayakan agar pemenuhan SOP dan SPM menjadi arah baru di dalam pelayanan Kemenag.
Kedua, catatan yang ingin saya kemukakan ialah: 1) terkait dengan penerapan aplikasi SIEKA. Kita memang membutuhkan bimbingan teknis kepada para pejabat di lingkungan Kemenag, namun jangan lupa bahwa penerapannya harus sudah dimulai, saya meminta agar awal Juni, sekurang-kurangnya di Biro Kepegawaian harus sudah diimplementasikan SIEKA tersebut. Saya minta kepada para operator SIEKA untuk “berdiri” sebagai persaksian bahwa tidak boleh lagi ada kata “mundur” dalam pelaksanaannya. Bantu yang belum mampu agar semuanya sudah terjaring di dalam implementasi aplikasi baru ini.
Pemberian bimtek atau apapun, akan lebih bermakna jika sudah ada contohnya yang akurat, misalnya berapa dari unit biro kepegawaian yang belum “care” terhadap aplikasi ini, sehingga di saat kita memberikan bimtek, maka yang kita ceritakan itu ialah “pengalaman lapangan”. Bimtek yang bagus harus base on experiences.
2) terkait dengan ketelitian, ketepatan dan kecermatan, maka saya ingin agar biro kepegawaian lebih baik lagi. Upayakan bahwa setiap Surat Keputusan yang terkait dengan kepegawaian harus check and recheck. Ada titik kerawanan di dalam konteks ini, yaitu misalnya kita bisa kalah di PTUN karena kekurangcermatan ini. Memang SK itu bukan kitab suci yang tidak bisa diubah, akan tetapi kecermatan itu menandakan bahwa kita aware terhadap surat-surat yang kita keluarkan. Nama orang, dan identitasnya harus benar, kutipan regulasi harus cocok, dan butir-butir lainnya harus dicermati secara memadai.
Ketiga, sebagai pelayan kemanusiaan, maka tempatkan “Empati” yaitu mencoba menempatkan diri kita dalam posisi yang dilayani. Di dalam ekstrimitas simpati dan antipasti, maka yang diperlukan ialah empati ini. Tidak selamanya kita berada di ruang pelayanan administrasi kemanusiaan, mungkin suatu kesempatan kita yang minta dilayani, jika kita lalu menerima pelayanan yang tidak sesuai SOP dan SPM pastilah kita menggerutu. Itulah sebabnya kita harus menjadi orang yang arif dalam menempatkan diri kita itu, sehingga pelayanan yang kita berikan tidak hanya pengabdian kepada kemanusiaan akan tetapi merupakan bentuk pengabdian kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wallahu a’lam bi al shawab.