Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (2)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (2)
Hasil survey beberapa lembaga yang terpercaya, memang membuat kita mengernyitkan dahi. Betapa tidak bahwa tanaman radikalisme itu telah berkembang sedemikian rupa. Bahkan di kalangan Aparat Sipil Negara (ASN) yang seharusnya steril dari virus pemahaman agama berbasis negara khilafah ternyata dinyatakan bahwa yang terpapar sebesar 22,2 persen (Alvara Research Center, 2017). Sebuah angka yang membuat kita bertanya, benarkah bahwa dunia birokrasi kita sudah sedemikian kerasukan virus setuju dengan penerapan khilafah.
Sungguh kita merasakan bahwa gerakan kaum radikal ini memang sudah memasuki dunia yang seharusnya paling steril, yaitu birokrasi. Bagaimana aparat negara yang seharusnya adalah pejuang kenegaraan dan kebangsaan, ternyata justru mindsetnya dikuasai oleh paham agama yang bercorak garis keras. Itulah sebabnya di dalam banyak kesempatan selalu saya nyatakan bahwa dunia birokrasi kita dan juga dunia pendidikan harus bersih dari elemen pemahaman agama yang radikal ini.
Pemerintah harus tegas di dalam menangani persoalan radikalisme dan ekstrimisme ini. Hanya ada 2 (dua) pilihan bagi ASN, baik yang berada di birokrasi pemerintah maupun di lembaga pendidikan. Tetap menjadi ASN atau harus berada di luar. Pilihan ini saya kira menjadi sangat wajar, sebab jika ada ASN yang terpapar virus pemahaman agama yang ekstrim ini, maka akan bisa dipastikan bahwa seperti pepatah “memelihara anak macan”. Ketika kecil bisa dipelihara, tetapi ketika sudah menjadi besar dan kuat, maka akan menerkam terhadap yang memeliharanya.
Itulah kira-kira anekdot terhadap banyaknya ASN baik di birokrasi atau lembaga pendidikan yang berhaluan paham agama radikal.
Ketika masih belum kuat jamaahnya, maka mereka akan mengikuti perintah dan tatakrama birokrasi, namun ketika sudah besar dan kuat jamaahnya, maka mereka akan bisa mengancam, memboikot dan memakan terhadap birokrasinya sendiri. Bukankah kita sudah memiliki pengalaman tentang kekuasaan yang permisif terhadap kaum komunis. Maka ketika komunis masih kecil, mereka mengikuti terhadap system pemerintahan pada jamannya, namun ketika sudah membesar maka mereka melakukan kudeta.
Lembaga pendidikan –khususnya—harus steril terhadap gerakan ekstrimisme ini. Mula-mula memang hanya tidak mau menghormat bendera, tidak mau mengakui pemerintah Indonesia karena dianggap pemerintahan thaghut, namun ketika hal ini dibiarkan, maka lama-lama kelamaan akan menjadikan mindset dan cultural set mereka yang sangat berbahaya. Sungguh kita tidak boleh membiarkan dunia pendidikan kita dikuasai oleh mereka ini. Para pimpinan lembaga pendidikan tentu harus memiliki “kepekaan” untuk membaca terhadap lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Jangan pernah ragu untuk berbuat untuk kejayaan bangsa dan negara, kapanpun.
Jika ada dosen yang tidak mau ikut upacara dengan dalih apapun –secara lebih khusus terkait dengan penghormatan kepada Bendera Merah Putih—dan jika ada dosen yang menggunakan atribut yang menggambarkan bahwa mereka memiliki jejaring dengan pemahaman agama yang ekstrim, maka sudah selayaknya dilakukan penelusuran secara akademis dan regulative. Dan jika didapatkan jejaring yang mengindikasikan keterlibatnnya di dalam ajaran agama yang ekstrim, maka hanya ada 2 (dua) pilihan: berhenti atau berubah.
Kita sungguh menginginkan agar lembaga pendidikan sebagai tempat menyemaikan paham kebangsaan dan beragama yang moderat atau wasathiyah itu akan tetap lestari. Dan dosen atau para pendidik adalah kata kuncinya. Jika kita tidak segera menyadari akan situasi ini, maka kita akan kehilangan moment untuk melakukan pembenahan terhadap dunia pendidikan kita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama dan Kementerian lain yang memiliki tupoksi tentang pendidikan harus segera menyatukan langkah untuk “memerangi” terhadap radikalalisme dan ekstrimisme di lembaga pendidikan kita. Satukan langkah strategis untuk secara bersama-sama mengeliminasi paham kekerasan di tempat kita semua.
Kiranya tidak cukup dengan membuat ungkapan-ungkapan “Anti Terorisme” dan sebagainya, akan tetapi yang diperlukan ialah langkah yang sama dan strategis untuk mencegah ekstrimisme menjadi bagian dari dunia pendidikan kita.
Mari kita selamatkan anak-anak kita yang cerdas dari pelukan paham agama yang menyesatkan seperti radikalisme, ekstrimisme dan bahkan terorisme itu. Kita sedang berpacu dengan mereka yang sudah terpapar virus ekstrimisme. Kita sedang dalam genderang perang dengan virus ekstrimisme. Dan sekarang adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan langkah kebersamaa.
Kita membutuhkan tidak hanya hard power untuk menghabisi ekstrimisme, namun juga membutuhkan soft power untuk menanggulangi ekstrimisme. Dan saya kira diperlukan upaya yang lebih terarah dan strategic untuk melakukannya. Saya kira bangsa ini secara mayoritas akan mendukung langkah antisipatif yang strategic untuk melawan ekstrimisme dengan cara-cara yang lebih tepat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..