Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (1)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (1)
Setiap kali ada peristiwa yang terkait dengan gerakan radikalisme dan terorisme, ingatan saya pada 3 (tiga) ahli Indonesianis terkemuka, satu dari Negeri Belanda, Karl Steenbrink, dan 2 (dua) lagi dari Australia, Greg Fealy dan Anthony Bubbelo.
Mengapa tulisan ini saya ingat, sebab ketiganya memiliki hipotesis yang menarik. Steenbrink, menyatakan bahwa semakin demokratis dan keterbukaan terjadi di Indonesia, maka akan memunculkan agama local yang semakin banyak dan juga akan memunculkan radikalisme yang semakin kuat. Sedangkan Greg Fealy dan Antonio Bubbelo menyatakan bahwa semua isme yang datang ke Indonesia akan tumbuh sumbur, termasuk isme dalam coraknya yang berupa radikalisme dan ekstrimisme.
Tulisan ini dipublis pada masa awal reformasi dengan dicanangkannya 2 (dua) issu penting yaitu keterbukaan dan demokratisasi. Isu keterbukaan dan demokratisasi akan membuka keran yang selama ini tertutup rapat –semenjak otoriterisme di masa pemerintahan Orde Baru— munculnya agama-agama local dan juga ekstrimisme diawasi secara ketat. Melalui pemerintahan yang otoriter, maka organisasi organisasi garis keras selalu mendapatkan pengawasan sangat kuat, seperti Hizbut Tahrir, organisasi radikal salafi takfiri dan salafi jihadi, sehingga mereka menjadi organisasi bawah tanah. Di masa Orde Baru disebut sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB).
Makanya, organisasi-organisasi yang “melawan” terhadap pemerintah akan dipastikan berhadapan dengan aparat pemerintah, seperti Badan Inteligen Negara (BIN), Komando Penertiban Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang memiliki akar sampai di pedesaan-pedesaan. Badan Pembinaan Masyarakat Desa (Babinsa) didapati di seluruh Indonesia dengan perintah yang tegas, mengawasi berbagai gerak-gerik warga yang menyimpang dari tujuan pemerintah.
Kekuasaan yang otoriter memiliki satu commando atau only one command, agar menjaga keamanan dan ketertiban secara meyakinkan. Dan melalui aparat keamanan, maka berbagai peristiwa yang akan mengancam negara dapat dipatahkan secara cepat. Bahkan ada yang menyatakan “jarum jatuh di malam hari pun bisa diketahui”. Demikianlah negara begitu powerfull dan gigantic di dalam mengawasi terhadap berbagai aktivitas masyarakat terutama dalam kaitannya dengan dasar negara dan wawasan kebangsaan.
Di kala terjadi proses demokratisasi dan keterbukaan yang sangat kuat, tahun 1988, maka salah satu hal yang menjadi ikutannya ialah tentang semakin kuatnya issu Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan lalu menjadi kata kunci penting di dalam kehidupan masyarakat. Semua aktivitas dan organisasi kemasyarakatan menjadikan keterbukaan dan kebebasan sebagai pintu masuk untuk berekspressi. Maka lahirlah berbagai keyakinan agama local –dalam jumlah yang sangat banyak—dan juga lahirlah berbagai organisasi yang cenderung berhaluan keras, bahkan juga yang menyatakan anti Pancasila dan UUD 1945 dan bahkan juga yang menganggap Republik Indonesia adalah negara secular dan berbasis thaghut. Organisasi-organisasi seperti HTI, KAMMI dan lainnya tentu menjadi semakin leluasa untuk mengepakkan sayapnya di era HAM sebagai anak kandung demokrasi dan keterbukaan.
Memang, elemen garis keras ini sudah tumbuh di masa akhir pemerintahan Orde Baru. Melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti SMA atau Perguruan Tinggi Umum (PTU) mereka sudah menapakkan kakinya dengan cukup kuat. Anak-anak Rohani Islam (Rohis) sudah mengenal berbagai pemahaman agama yang berhaluan garis keras. Di perguruan tinggi umum juga sudah berkembang dengan cukup kuat. Di beberapa perguruan tinggi, seperti IPB, ITB, ITS, UI, Akademi Keuangan dan lain-lain, maka pertumbuhan organisasi ini juga luar biasa. Misalnya munculnya KAMMI, Tarbiyah Islam, HTI, Rohis dan sebagainya yang menjadikan masjid kampus sebagai pusat gerakannya. Di ITS, masjid Manarul Ilmi menjadi basis kegiatan rohis yang sangat luar biasa.
Jauh sebelum di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) juga terdapat elemen pemahaman agama yang bercorak radikal, maka di PTU sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan Islam yang berpaham garis keras.
Begitu kuatnya HAM sebagai basis ekpressi kebebasan, maka bisa dibayangkan bahwa HTI bisa membuat Konferensi Khilafah Internasional yang ditempatkan di Gelora Bung Karno (2007) dan dihadiri oleh ratusan ribu jemaahnya. Sungguh luar biasa. Bahkan juga Deklarasi Khilafah di IPB (2017) yang juga dihadiri oleh banyak aktivis Islam dari kalangan mahasiswa.
Dengan dalih HAM, maka pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pertemuan yang jelas-jelas melawan negara. Dengan menyatakan bahwa pemerintah yang benar adalah pemerintah di bawah panji-panji khilafah, maka sesungguhnya sudah melakukan perlawanan terbuka terhadap pemerintah yang sah dan berdasar atas Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Hadirnya pemahaman agama yang bercorak radikal dan ekstrim di masa sekarang adalah perkembangan lebih lanjut dari penanaman radikalisme melalui lembaga-lembaga pendidikan di masa lalu.
Kurang lebih 20-30 tahun yang lalu. Mereka telah menanam pemahaman agama yang ekstrim berupa paham jihadis dan takfiri, yang bersumber dari Timur Tengah, khususnya Libanon. Ketika Hizbut Tahrir di Libanon diberangus, maka elemen-elemennya kemudian mengarahkan ke negara-negara lain. Di Malaysia dan Singapura tidak didapatkan lahan yang memadai, maka di Indonesialah mereka memperoleh lahan yang sangat subur untuk berkembang. Oleh karena itu, jika kemudian mereka melakukan berbagai tindakan kekerasan, seperti terjadi dewasa ini, maka tentu hal itu merupakan buah dari penanaman akidah jihadis dan takfiri yang dahulu pernah ditanamnya.
Sekarang kita telah menuai efek negative HAM sebagai anak dari demokratisasi dan keterbukaan, yaitu munculnya gerakan-gerakan ekstrim yang nyaris sudah berkembang dengan pesat dan massive. Coba sekali waktu perhatikan para generasi usia 30-40 tahun yang mengabdi di aparat sipil negara (ASN) di Kementerian dan Lembaga, maka akan kita jumpai outward looking yang bisa memberikan gambaran bahwa mereka adalah orang yang “kurang lebih” terpapar virus agama yang “radikal”. Saya tidak menyatakan pasti terpapar, namun demikian, gambaran luarnya bisa menjadi indikasi pemahaman agama yang seperti itu.
Oleh karena itu, kiranya memang diperlukan “ketegasan” pemerintah di dalam memanej terhadap lembaga-lembaga birokrasi dan juga pendidikan agar virus paham agama yang ekstrim itu tidak akan terus berkembang. Kita harus membersihkan lembaga-lembaga birokrasi dan juga pendidikan agar nasib bangsa ini ke depan tidak semakin runyam. Nyatakan dengan tegas bahwa bangsa ini menolak segala bentuk kekerasan dan lebih khusus terorisme, sebab kita ingin nasib bangsa ini di tangan generasi yang akan datang akan tetap sebagaimana kita lihat sekarang. Negara yang berdasar Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..