Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (3)

TANAMAN RADIKALISME ITU HARUS DITEBANG (3)
Siapapun pasti merasakan betapa penderitaan yang dialami oleh para korban terorisme yang sedang terjadi. Bagi masyarakat Indonesia, yang sebagian besar adalah masyarakat yang menjalankan agama dan kehidupannya secara wajar, pastilah akan melakukan kutukan terhadap tindakan nekad dari kaum jihadis atau kaum teroris yang dengan kesadarannya melakukan tindakan bunuh diri untuk membunuh orang lain.
Tindakan melakukan bunuh diri dengan bom yang ditujukan kepada sekelompok orang tentu bukan barang baru di kalangan kaum teroris. Mereka sudah sangat terbiasa melakukan hal ini. Mereka menyadari bahwa tindakan yang dilakukan itu dianggap sebagai kebenaran. Jihad bagi mereka adalah perang terbuka atau perang dengan jalan melakukan tindakan bom bunuh diri. Melukai atau bahkan mematikan sasaran yang dianggap tidak sependapat atau berbeda paham merupakan “kewajiban” yang harus ditunaikan.
Di dalam konteks ini, maka tindakan melakukan bom bunuh diri adalah strategi yang dianggap mewakili perintah agama. Begitulah tafsir mereka tentang tindakannya itu. Di kala jihad dimaknai sebagai perang melawan yang dianggap berbeda paham, keyakinan dan perilaku, maka bagi mereka sah-sah saja melakukannya. Tafsir seperti ini yang selama ini dijadikan sebagai referensi di kalangan kaum jihadis yang sudah mengakar kuat di dalam mindsetnya.
Bagi kalangan umum, tindakan melakukan bom bunuh diri dengan target sekumpulan orang adalah tindakan biadab dan extra ordinary crime. Bagi kelompok ini, tentu tidak masuk akal bahwa seseorang dengan kenekadan tertentu membunuh dirinya sendiri untuk tujuan yang diyakininya benar. Bagi mereka yang menjalankan agamanya dengan keyakinan seperti itu, maka tiada kebenaran yang plural. Kebenaran itu tunggal dan tafsir kebenaran itu hanya ada pada mereka itu.
Bom bunuh diri yang dilakukan di beberapa gereja (Gereja Kristen Indonesia Surabaya, Gereja Pantekosta Pusat di Surabaya, dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela), Polwiltabes Surabaya dan juga terjadinya peledakan di Rusun Wonocolo tentu bisa menggambarkan bahwa kaum teroris itu memang telah mempersiapkan dengan sangat baik tentang bagaimana mengejutkan pemerintah dan masyarakat bahwa mereka tidak main-main. Satu keluarga –suami, isteri, dan anak-anaknya—melakukan tindakan bom bunuh diri secara bersamaan dengan pembagian tugas yang jelas. Bahkan sebelum mereka menjalankan tugas masih sempat berpelukan sebagai perpisahan di dunia. Mereka tentu meyakini bahwa begitu bom meledak dan mereka mati, maka sesegera mereka akan bersatu kembali. Ajaran mati syahid karena bom bunuh diri begitu telah tertanam dengan sangat kuat dan mempengaruhi terhadap seluruh mindsetnya. You Only Die Once (YODO) dan You Only Life Once (YOLO), maka pilihan melakukan bom bunuh diri merupakan kewajiban. “Isy kariman aw muth syahidan”. Dan pilihannya ialah mati syahid dalam keyakinannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ali Fauzi dan Hendropriyono, bahwa sudah bukan saatnya kita saling menyalahkan dan saling melempar tanggungjawab. Harus dinyatakan bahwa terjadinya bom bunuh diri di Surabaya, 10 dan 11 Mei 2018 merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk menunjukkan bahwa terorisme masih eksis di Indonesia dan bisa mengejutkan bagi pemerintah dan juga masyarakat.
Dengan kejadian ini, maka satu hal yang harus disadari bahwa terorisme tidak akan pernah mati. Dia bekerja seperti sel kangker. Satu diputus selnya, maka sel sekecil apapun akan membentuk sel baru. Demikian seterusnya. Mereka tidak akan pernah mati. Mereka akan terus eksis di tengah kehidupan. Jadi, yang diperlukan ialah bagaimana kita menghadapi radikalisme dan ekstrimisme ini dengan secara bersama-sama. Semua elemen masyarakat dan pemerintah harus dalam satu langkah kebersamaan. Sesuai dengan pernyataan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, bahwa jika dari 1000 sel teroris itu bisa dibasmi 999, dan hanya ada satu sel saja yang masih hidup, maka itu adalah keberhasilan kaum teroris.
Di dalam konteks seperti ini, betapa dirasakan sangat mendesak untuk menuntaskan RUU Terorisme, yang sampai saat ini masih belum diselesaikan. Kita tidak bisa saling menyalahkan siapa yang terlambat, tetapi kesadaran bahwa untuk memberantas terorisme diperlukan regulasi, maka semua harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan regulasi dimaksud. Jika misalnya, diperlukan waktu yang lebih lama, maka Presiden, Pak Joko Widodo, bisa mengambil peran untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) agar penanganan terorisme akan lebih jelas arahnya. Bukankah kita sudah memiliki PERPPU No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan tentang UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dapat dijadikan sebagai dasar penanganan terhadap organisasi sosial yang dirasakan berlawanan dengan haluan pemerintah.
Dengan hadirnya PERPPU No 2 Tahun 2017, maka HTI yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang memperoleh momentumnya. Jalan seperti inilah yang kiranya diperlukan dalam waktu dekat, sehingga keluhan demi keluhan tentang “ketiadaan” regulasi penanganan tindak pidana terorisme akan dapat dilakukan.
Sekarang adalah momentum yang tepat untuk menggerakkan elemen bangsa dalam kerangka mendorong terhadap regulasi, strategi dan cara taktis untuk menanggulangi terorisme. Dan kita semua yakin bahwa kita bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..