• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DAHSYATNYA MEDIA SOSIAL DI ERA CYBER WAR

DAHSYATNYA MEDIA SOSIAL DI ERA CYBER WAR
Saya sungguh tidak paham apa yang ada dibenak Arteria Dahlan ketika menyampaikan informasi tentang Kementerian Agama Bangsat. Bisa jadi memang beliau menyatakan seperti itu, ataukah respon media yang berlebihan atau mengaksegerasi atau menghiperbolakan pernyataannya. Sungguh hanya Arteria Dahlan dan awak media yang mengetahuinya.
Kita semua tentu hanya tahu melalui media sosial tentang ujaran “bangsat” yang diungkapkannya. Akan tetapi jika beliau tidak menyatakannya seperti itu, tentu ada hak jawab atas pernyataan media yang mengaksegerasi ungkapannya atau bahkan melaporkannya kepada pihak berwajib tentang hal ini. Ataukah justru dia menikmati serangan media sosial karena dia juga merasakan memperoleh iklan gratis atas popularitas namanya. Semua serba mungkin dan semua serba interpretasi.
Saya sedang melakukan beberapa kunjungan di saat informasi ini menjadi trending topic di media sosial. Nyaris semua kalangan ASN Kemenag, yang saya kunjungi seperti ASN pada Kanwil Kemenag Kalimantan Selatan, ASN Kankemenag Probolinggo Jawa Timur, dan juga ASN Kanwil Kemenag Kalimantan Tengah dan beberapa kakanwil meminta arahan tentang upaya para ASN untuk mendemo Arteria Dahlan. WA dan media sosial lainnya juga semua merespon ujarannya dengan berbagai macam penyikapan. Semuanya menggambarkan bahwa respon media sosial terhadap ujaran “bangsat” itu luar biasa.
Artinya bahwa media sosial begitu memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap dan tindakan seseorang. Sungguh kita merasakan bahwa dunia media sosial sungguh sudah menjadi “wabah” baru dalam mekanisme pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Kita bisa melihat bagaimana massivenya pengaruh media sosial itu.
Begitu massifnya pengaruh media sosial ini, maka PDIP pun menggelar rapat dalam rangka membahas terhadap ujaran Arteria tersebut. Sebab bagi partai politik, tindakan para wakilnya di DPR adalah menjadi cerminan bagi kualitas individu dimaksud. Saya juga sungguh merasakan bahwa ada sesuatu yang “rasanya” aneh di dalam pernyataan Arteria di media on-line.
Saya mengenal Arteria dalam berbagai Rapat Dengan Pendapat (RDP) dan juga Rapat Kerja (Raker) Kementerian Agama dengan Komisi 8 DPR RI. Memang saya akui bahwa di dalam aksentuasi pembicaraannya dalam usulan atau tanggapan atas paparan Menteri Agama atau Pejabat Eselon I dengan nada yang sangat keras. Artikulasi bahasanya sangat “pedas” dan terkadang juga “memojokkan”. Sepertinya memang begitulah langgam bahasa yang digunakannya. Maka, ketika saya membaca berita on-line, maka saya kira memang demikianlah tipenya. Orangnya meledak-ledak dalam menanggapi suatu masalah dengan artikulasi nada suara yang tinggi dan terkadang lawan bicaranya merasa “dihabisi.”
Jika digolongkan dalam tipologi sederhana, maka ada beberapa catatan, pertama, respon yang bercorak bahasa sindiran. Respon sindiran ini menggunakan terma “kebodohan jangan dilawan dengan kebodohan” atau “agama kami tidak mengajarkan untuk mengumpat”, dan sebagainya. sebuah respon yang sebenarnya menggunakan bahasa yang cenderung halus tetapi bisa “menusuk” sanubari bagi yang terkena. Bahasa sindiran bagi masyarakat Indonesia jauh lebih digdaya dibandingkan dengan bahsa yang lugas. Jika bahasa yang lugas hanya masuk di dalam otak saja, maka bahasa sindiran akan masuk ke dalam hati.
Kedua, respon yang langsung. Respon langsung dalam bentuk kata-kata juga mengungkap terma-terma yang nyaris sama dengan apa yang diungkapkan oleh pelakunya. Jadi menggunakan terma-terma seperti bangsat, bodoh, melawan agama, melawan kesopanan dan sebagainya. Respon langsung ini banyak dilakukan oleh mereka yang tingkat “ketersinggungannya” sangat tinggi dan meresponnya secara langsung. Nyaris tidak ada jeda antara ketersinggungannya itu dengan saat meresponnya. Jika respon melalui sindiran itu dilakukan dalam jeda yang lebih panjang waktunya, sedangkan respon langsung itu nyaris tidak ada jeda antara kejadian dan responnya.
Ketiga, respon fisik. Yaitu respon yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik, misalnya unjuk rasa, demonstrasi atau lainnya. Respon fisik itu dilakukan jika peluapan “kejengkelan, ketersinggungan, kemarahan” dan sebagainya melalui media sosial sudah tidak lagi membawa pengaruh perubahan bagi si pelaku. Di dalam konteks ini, maka respon fisik itu biasanya menjadi jalan terakhir jika semua hal yang dilakukan sudah tidak lagi bisa mengubah sesuatu.
Di dalam kasus Arteria Dahlan, ketiga sikap ini terjadi. Saya tentu “melarang” bagi tindakan untuk melakukan unjuk rasa, sebab bagi saya sebuah pernyataan harus direspon dengan pernyataan. Di dalam konteks ini, saya beranggapan bahwa respon itu harus seimbang, jika seseorang menyerang lewat media sosial, maka respon juga dengan media sosial. Jika kemudian ada upaya untuk melanjutkan tindakan melaporkannya kepada yang berwajib, maka hal itu adalah hak yang dimiliki oleh seseorang baik atas nama institusi maupun pribadi. Jadi semua tergantung kepada pilihan untuk menindaklanjutinya.
Wallahu a’lam bi asl shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..