Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SELALU ADA KEGADUHAN DI MEDIA SOSIAL

SELALU ADA KEGADUHAN DI MEDIA SOSIAL
Hari-hari ini dan mungkin juga seterusnya, energy kita akan dihabiskan untuk merespon terhadap berita-berita yang memuat ujaran kebencian dan caci maki. Setelah beberapa hari kemarin kita disibukkan oleh berita yang “menghebohkan” terkait dengan tudingan “bangsat” kepada Kementerian Agama, maka sekarang kita disibukkan lagi dengan berita yang memuat hate speech terkait dengan klarifikasi dan penjelasan atas tindakan Sukmawati yang dianggap “menodai” agama.
Acara press release untuk permohanan maaf Sukmawati tersebut memang diselenggarakan di MUI dan sekaligus juga dihadiri oleh KH. Ma’ruf Amin. Acara ini memang didesain dengan menggunakan tempat duduk yang memberikan peluang bagi Sukmawati untuk duduk berdampingan dengan KH. Ma’ruf Amin. Duduk berdampingan inilah yang kemudian dijadikan sebagai angle dalam kerangka untuk membangun tindakan bahwa acara duduk berdampingan antara KH. Ma’ruf Amin dan Sukmawati itu merupakan kesalahan, sebab menyamakan posisi Sukmaati yang dianggap sebagai “penghina” ajaran Islam dangan ulama yang merupakan representasi umat Islam.
Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini pertarungan berita di media sosial itu luar biasa. Ada saja tema yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk membulli orang dengan berbagai perilaku media sosialnya. Semua dilakukan tentu dengan tujuan yang sangat jelas yaitu mendiskreditkan atau merusak reputasi dan nama baik seseorang. Di dalam konteks ini jelaslah bahwa semua yang melakukan upaya bullying di media sosial adalah mereka yang memiliki keinginan untuk membangun character assassination.
Media sosial tentu memiliki 2 (dua) sisi, yang positive dan yang negative. Banyak yang sangat positive tetapi juga tidak kalah banyak yang negative. Di dalam konteks ini, secara sosiologis dikenal ada konsep “in order to motive” atau motive tujuan atau motive dorongan internal atau keinginan untuk melakukan suatu tindakan dalam tujuan yang sudah ditetapkannya. Bagan konseptual “in order to motive” saya kira relevan untuk memahami mengapa terdapat tindakan untuk melakukan character assassination yang menghebohkan itu. Sasaran bullying bisa siapa saja, ada ulama, ada menteri dan juga bahkan wakil presiden dan presiden. Siapapun dapat terkena tindakan bullying tersebut.
Ada 2 (dua) pemahaman tentang tindakan untuk melakukan character assassination dimaksud berdasarkan atas bagan konsepsi “in order to motive”. Di dalam hal ini, maka yang akan dipahami bukan tindakan melakukan bullying itu sendiri akan tetapi apa sesungguhnya dibalik tindakan atau makna apa yang terdapat di dalam mindset pelaku bullying. Pertama, keinginan untuk merusak nama baik seseorang. Reputasi seseorang bisa dirusak dengan menggunakan atau memanfaatkan media sosial. Orang bisa hancur reputasinya disebabkan oleh pemberitaan yang bercorak kebohongan. Di Indonesia, saya kira ada sekelompok orang atau individu yang selalu menjadi penyebar hoax. Bahkan juga ada industry hoax. Sebuah pernyataan bisa saja dipelintir atau dimanipulasi untuk kepentingan menghancurkan reputasi orang tersebut. Pernyataan seseorang yang dijadikan sebagai sasaran hoax bisa dipotong atau ditambahi dengan pernyataan yang dapat merusak reputasi yang bersangkutan. Melalui teknologi informasi yang dikuasi maka dapatlah hal tersebut dapat dilakukan. Dan jika sudah dibuat, maka akan diviralkan di media sosial. Hoax bisa menjadikan seseorang “tersungkur” dan terkadang sangat sulit untuk bangkit kembali.
Kedua, Era millennial ini ternyata dunia dikuasai oleh teknologi informasi, yang sayangnya justru mengarah kepada penguasaan media sosial yang cenderung “negative”. Ada sebuah “penyakit” yang diidap oleh sebagian kecil warga dunia dan secara khusus warga negara Indonesia yang memanfaatkannya untuk tujuan yang tidak benar. Ada di antaranya yang menggunakan media sosial bukan untuk membangun kedamaian dunia akan tetapi justru untuk merusak dunia.
Di Indonesia tentu yang menarik ialah bagaimana perang media atau cyber war tersebut terjadi di luar kendali etika atau moralitas. Selama ini kita berbangga sebab bangsa ini dikenal sebagai bangsa dengan etika dan moralitas yang sangat tinggi. Bukankah kata “sopan santun” sudah menjadi darah daging bangsa ini. bangsa ini semenjak dahulu dikenal dengan bangsa religious yang di dalamnya atau secara substansial ialah mengedepankan moralitas atau etika dimaksud.
Sayangnya di era cyber war ini siapa saja bisa dijadikan sebagai sasaran hoax. Para ulama yang berperan untuk menjadi “penyangga” kehidupan keagamaan juga tidak lepas dari sasaran ujaran kebencian. Seorang ketua MUI, Kyai Ma’ruf Amin, yang selama ini menjadi “washilah” atau “mediator” antara kepentingan umat dan pemerintah pun tidak luput dari ujaran kebencian. Sungguh para hoaker sudah tidak ;agi bisa memisahkan antara yang “benar” dan apa yang “salah”. Siapapun yang tidak sesuai dengan keinginannya atau ide dan gagasannya, maka dianggap sebagai “lawan” yang harus dihancurkan. Sungguh sebagian kecil bangsa ini sudah tidak lagi memiliki etika dan moralitas keagamaan dan kebangsaan yang sesungguhnya menjadi penyangga kehidupan bersama.
Saya kira bangsa ini membutuhkan “terapi” etika dan moralitas agar rasa kebersamaan dalam suatu ikatan kebangsaan akan tetap terjaga. Jangan hanya berpikir “Aku” akan tetapi juga berpikir “Kita” sehingga rajutan kebersamaan yang telah terjalin sedemikian lama tidak terkoyak oleh “keakuan” tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..