Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RPP JAMINAN PRODUK HALAL DAN KESIAPAN INDONESIA

RPP JAMINAN PRODUK HALAL DAN KESIAPAN INDONESIA
Salah satu tugas yang saya harus tunaikan terkait dengan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Produk Halal (JPH) ialah memastikan bahwa RPP ini harus segera diselesaikan. Sudah sangat lama pembahasan tentang RPP ini tidak klar. Masih ada masalah yang urgen dan dirasakan.
Ada beberapa pasal yang dirasakan harus mendapatkan focusing lebih mendasar, yaitu pasal yang terkait dengan bagaimana menerapkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal tersebut pasca tahun 2019 atau 5 (lima) tahun pasca diundangkannya, lalu tentang bagaimana memberikan label halal atau tidak halal di dalam seluruh produk, baik makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan dan sebagainya, serta bagaimana menerapkan jaminan produk halal untuk obat-obatan, produk biologi dan alat kesehatan.
Untuk kepentingan ini, maka kami pernah diminta oleh Pak Wapres untuk secara khusus membicarakan hal ini dan kemudian ditindaklanjuti dengan pembicaraan di dalam dua konsinyering untuk menyamakan kesepahaman tentang 3 (tiga) hal yang masih problematic tersebut. Di dalam 2 (dua) konsinyering kita bisa menuntaskan 2 (dua) masalah, yaitu: penerapan produk halal pasca tahun 2019 dan pelabelan halal atau tidak halal. Hanya 1 (satu) masalah yang tidak tuntas, yaitu tentang jaminan produk halal atau sertifikasi produk halal untuk obat-obatan, alat kesehatan dan produk biologis.
Untuk kepentingan ini, maka saya, Prof Gunaryo (Kabiro Hukum dan KLN) dan Prof. Sukoso (Kabadan JPH) harus bersilaturrahmi dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesahatan (Dr. dr. Untung Suseno) dan seluruh jajaran terkait Kemenkes untuk membicarakan hal ini. Dan saya sungguh apresiatif sekali sebab di dalam pertemuan ini lalu bisa disepakati hal-hal yang sangat mendasar terutama terkait dengan bagaimana penerapan sertifikasi bagi produk obat-obatan, alat kesehatan dan produk biologis.
Selama ini memang ada keberatan yang sangat tinggi dari Kemenkes, bahkan Bu Menteri Kesehatan (Dr. Dr. Nina S Muluk) berkirim surat kepada Presiden (Joko Widodo) agar untuk obat-obatan, dan alat kesehatan dapat dibebaskan dari jaminan produk halal. Ada kekhawatiran yang sangat tinggi, jika obat-obatan dan alat kesehatan dilabel tidak halal, maka akan terjadi banyak orang yang tidak mau menggunakan obat atau alat kesehatan sebab produk tersebut dinyatakan haram. Bahkan di awal pertemuan, Pak Untung, juga menyatakan hal ini. Beliau menyatakan: “siapa yang bertanggungjawab jika banyak pasien yang akhirnya harus meninggal karena tidak mau mengonsumsi obat-obatan.”
Ada dua perbedaan yang sangat prinsipil, yaitu: Kemenkes menginginkan bahwa seluruh obat dan alat kesehatan agar dikecualikan dari jaminan produk halal, sementara antar KL sependapat bahwa jika hal itu dilakukan akan menuai protes dari masyarakat sebab secara nyata “melawan” undang-undang. Makanya, Pak Untung menyatakan: “apakah undang-undang dibuat untuk menyengsarakan masyarakat”. Berangkat dari pernyataan ini, saya sudah membayangkan bahwa perbedaan antara Kemenag dan KL lainnya dengan Kemenkes sangatlah jauh.
Saya harus menyampaikan bahwa untuk masalah obat memang ada hokum Islam yang memperbolehkan untuk mengonsumsikannya selama hal tersebut berada di dalam kawasan “dharurat”. Konsep darurat saya kira bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk memberikan “peluang” bagi obat dan alat kesehatan yang belum nyata-nyata halal. Makanya, jika diperkenankan maka sebaiknya bisa ita adopsi hokum kedaruratan tersebut sebagai salah satu dimensi yang bisa dipertimbangkan. Bagi saya, yang penting prinsip bisa beredar. Jadi obat apakah dia sudah atau belum memenuhi standart halal tetap bisa diperdagangkan. Sedangkan kehalalannya tentu menjadi syarat lain untuk bisa digunakan dalam konteks pengobatan.
Di dalam perbincangan tersebut, akhirnya dapat disepakati sebagaimana rumusan Kemenkes dengan beberapa modifikasi. Ada satu bagian yang dihilangkan, sebab kalau hal tersebut dinyatakan pastilah dianggap RPP ini bertentangan dengan Undang-Undang. Untuk itu maka disepakati bunyi salah satu ayat di dalam pasal 71 yaitu: (2) dalam hal produk obat, produk biologi dan alat kesehatan yang bahan bakunya belum bersumber dari bahan halaldan/atau cara pembuatannya belum halal, dapat beredar dengan mencamtumkan informasi asal bhan sampai ditemukan bahan yang halal dan/atau cara pembuatannya yang halal. Di dalam hal ini ada satu kalimat yang dihilangkan …dapat dikecualikan dari sertifikasi halal…, lalu (3) Produk obat, produk biologi dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu, juga harus memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal (Good Manufacturing Practice/GMP Halal).
Kita merasakan bahwa upaya untuk menemukan kesamaan pemahaman tersebut telah tercapai dengan persetujuan kita bersama antara Kemenag dan Kemenkes pada hari ini (Rabu, 11/04/2018). Akhirnya, Pak Sekjen Kemenkes, dan stafnya, serta saya dan kawan-kawan juga membubuhkan paraf sebagai penanda bahwa kita semua telah menerima rumusan RPP JPH ini.
Wallahu a’lam bia al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..