Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (1)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (1)
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang professor kembali menyeruak di permukaan. Penyebabnya tentu saja ialah terkait dengan rencana penghentian sementara tunjangan kehormatan professor disebabkan oleh factor akedemis, para professor belum melaporkan menulis di jurnal internasional. Ada sebanyak 3.800 profesor yang belum menyerahkan hasil karya akademis di jurnal internasional yang dibakukan oleh Kemenristekdikti.
Separah itukah para professor kita? Benarkah mereka sama sekali tidak melahirkan karya akademis? Apakah karya akademis pada jurnal internasional menjadi satu-satunya alat ukur kehebatan para professor? Masih ada sederet pertanyaan yang bisa diajukan untuk memberikan tanggapan atas rencana Kemenristekdikti terkait dengan rencana penghentian sementara atas tunjangan kehormatan professor.
Sebagai seorang professor tentu saya merasa terpanggil untuk terlibat di dalam diskusi ini meskipun sebatas pada penulisan melalui media yang saya gunakan sebagai aktualisasi diri (blog) yang saya miliki. Saya merasakan bahwa para professor yang belum menulis atau sedang dalam proses menulis di jurnal internasional bukan berarti sama sekali tidak ada karya ilmiahnya. Sebab mereka tentu sudah melakukan penelitian, penulisan buku atau presentasi di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Sebagai professor pasti melakukan hal ini. Jika tidak tentu tunjangan profesinya akan dihentikan.
Professor sebagai jabatan tertinggi, tentu mengandung konsekuensi yang sangat besar. Professor memang lambang kehebatan atau keunggulan akademis bagi seseorang. Dia mendapatkannya setelah berkutat dalam waktu yang sangat panjang dalam pergulatan akademis baik nasional maupun internasional. Mereka memperolehnya setelah berjuang secara berjenjang dari awal sampai akhir. Mereka lampaui setahap demi setahap jabatan-jabatan untuk sampai kepada pencapaian gelar tertinggi tersebut. Saya kira semua jenjang yang dilampaui akan memberikan gambaran betapa tidak mudah seseorang untuk mendapatkan gelar akademis tersebut.
Menjadi perfesor adalah idaman bagi semua dosen, apalagi jika sudah bergelar doctor. Sementara itu untuk menjadi doctor juga tidak mudah. Saya merasakan betapa beratnya menjadi doctor tersebut. Baik doctor dari dalam negeri maupun doctor dari luar negeri, saya kira, sama-sama sulitnya. Jika seseorang secara sungguh-sungguh melakukannya, saya kira memang harus “jungkirbalik” untuk mendapatkan gelar doctor dimaksud.
Dan untuk mengetahui, apakah produk doctor tersebut hebat atau tidak, cukup atau kurang, sungguh-sungguh atau tidak, akan bisa dilihat dari karya akademik disertasinya. Bagi saya, jika di dalam disertasi yang tentu sudah dibukukan oleh penerbit berstandart nasional dengan temuan yang excellence atau terdapat temuan teoretik atau konsep yang relevan, maka dipastikan bahwa dia adalah doctor yang memenuhi standart kualifikasi akademis. Jika kemudian mereka menjadi professor, saya yakin bahwa profesornya tersebut pastilah luar biasa.
Saya ingin memberikan gambaran, semoga bukan sebuah kesombongan, tentang beberapa karya tulis saya, yang saya kira memenuhi standart akademis “baik”. Apakah masih diragukan keprofesoran saya dengan beberapa buku yang saya hasilkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Saya menerapkan standart yang tinggi untuk karya akademis saya yang berupa buku dengan kualifikasi penerbit yang baik. Penerbit LKiS Jogyakarta, Impuls Jogyakarta dan terakhir Prenada Jakarta. Karya akademis tersebut dirumuskan dari penelitian yang serius. Dan diformat juga sebagaimana disertasi yang lazim dibakukan di Indonesia. Sungguh saya merasakan bahwa karya akademis saya, seperti “Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental”, “Tarekat Petani”, dan “Islam Pesisir” adalah karya yang memenuhi standart akademis dimaksud. “Islam Pesisir”, misalnya dicitasi sebanyak 173 orang, lalu karya “Tarekat Petani” dan “Agama Pelacur” dibaca cukup banyak orang. Selebihnya karya seperti “Multikulturalisme di Indonesia”, “Madzab-Madzab Antropologi” juga dicitasi oleh banyak orang. Khusus karya “Madzab-Madzab Antropologi” juga dijadikan referensi oleh beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Memang harus saya akui semenjak menjadi birokrat, maka tulisan yang semula sangat serius menjadi lebih ringan dilihat dari bobot akademisnya. Namun bukan sama sekali tidak ada gagasan yang lumayan baik. Buku “Dari Bilik Birokrasi”, dan “Perjalanan Etnografis Lima Benua” rasanya juga masih pantas disebut sebagai karya yang akademis. Termasuk karya “Menjaga Harmoni Menuai Damai” juga merupakan kumpulan tulisan yang memadai dan bisa menjadi referensi untuk karya akademis lainnya.
Jika saya mengungkapkan hal ini tentu dengan maksud bahwa mengukur “kualitas” professor tidak bisa hanya menggunakan karya ilmiah yang direcognisi oleh Scopus saja. Akan tetapi harus menggunakan ukuran yang lebih komprehensif agar kita bisa memberikan penilaian yang lebih obyektif. Di dalam konteks ini, maka janganlah kita menjadi mengerdilkan diri sendiri dengan selalu menyatakan bahwa karya yang terindeks Scopus adalah yang terbaik dan yang layak dijadikan sebagai acuan akademis.
Kita harus menilai diri kita sendiri tentang kelayakan itu. Jika dengan menggunakan nalar akademik bahwa kita bisa menilai terhadap karya kita itu akademik atau tidak, mengapa kita harus selalu tergantung kepada orang lain, apalagi orang luar negeri, untuk memberikan penilaian terhadap diri kita sendiri.
Kita jangan sampai merasa bahwa sesuatu yang luar biasa selalu yang diabsahkan oleh orang luar negeri, serba luar negeri minded, sehingga potensi yang seharusnya bisa diakui secara fair oleh dunia akademik kita lalu tersapu oleh ketidakpercayaan itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..