Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (2)

MENGHARGAI KARYA AKADEMIK PROFESOR (2)
Saya akan memperdalam pembahasan tentang bagaimana seharusnya menghargai karya professor. Saya ingin menyatakan bahwa selayaknya kita berpikir “equivalency” di dalam memberikan penilaian tentang karya akademis professor, agar kita tidak terjebak memberikan “pengadilan” bahwa yang berkualifikasi itu hanya tulisan professor yang dimuat di jurnal terindeks di Scopus. Seakan yang lain lalu dianggap hanya pelengkap saja.
Dewasa ini kita justru merindukan tulisan-tulisan yang ke depan akan memiliki jangka panjang untuk terus dikenang dan dipelajari. Betapa hebatnya orang seperti Imam Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim Al Jauzy, Yusuf Qardlawi, dan sebagainya.
Tulisan Imam Ghazali, misalnya “Ihya’ Ulum al Dien” menjadi karya monumental yang tiada tertandingi. Siapa yang tidak mengenal kitab ini di dunia modern sekalipun. Berapa ratus tahun semenjak karya ini ditulis dan hingga sekarang masih menjadi bahan-bahan kajian dan bahan ajar di lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Maha suci Allah yang telah menggerakkan pikiran dan tangan Imam Ghazali untuk menulis kitab yang menjadi panduan bagi pemahaman dan pengamalan agama Islam ini.
Di Indonesia, misalnya kita harus mengapresiasi terhadap Prof. Dr. Hamka yang menghasilkan kitab Tafsir Al Azhar, yang merupakan karya tulis orang Indonesia tentang penafsiran al Qur’an. Lalu juga misalnya Prof. Dr. M. Quraisy Syihab yang menulis Tafir Al Misbah yang luar biasa. Lalu dengan karya tulis Prof. M. Quraisy Syihab yang sangat outstanding tersebut lantas tidak diakui keprofesorannya karena tidak menulis di Jurnal internasional. Saya kira kita pastilah merasakan bahwa tulisan beliau itu melebihi karya di dalam jurnal berindeks scopus.
Menghargai karya akademik professor tidak bisa dinyatakan hanya melalui karya pendek di dalam jurnal internasional berindeks scopus. Ada banyak karya akademis professor yang memiliki kualifikasi sangat memadai untuk disebut sebagai karya akademik unggul. Jangan sampai kita mendiskualifikasi kepakaran seorang professor hanya dari aspek ketiadaan tulisan di dalam jurnal internasional. Bolehlah ukuran itu dijadikan sebagai rujukan, akan tetapi bukan satu-satunya ukuran. Masih tersisa ruang ukuran lain yang menentukan terhadap kepakaran seseorang di dalam dunia akademik.
Saya berpikir bahwa untuk menentukan sebuah karya professor itu akademik atau tidak, tentu bisa dilakukan dengan membangun konsepsi equivalency. Yaitu dengan menggunakan kosepsi membandingkan karya akademis dalam berbagai variasinya dengan ukuran-ukuran yang relevan. Misalnya, buku yang diterbitkan oleh penerbit internasional, misalnya ISEAS, Routledge, Keegan Paul dan sebagainya tentu memiliki standart yang sangat tinggi. Bikinlah berapa scorenya, lalu karya akademik di dalam jurnal internasional terindeks, maka juga bisa ditentukan berapa scorenya, lalu karya dalam jurnal nasional terakreditasi berapa scorenya dan karya dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit nasional bereputasi juga harus diberi score yang memadai. Di dalam tahap akhir, lalu bisa diakumulasikan untuk memenuhi standart tertinggi bagi karya akademis professor.
Bagi penerbit nasional bereputasi, maka juga harus ada daftarnya. Kementerian Ristekdikti bisa membuat klasifikasi penerbit bereputasi nasional. Dengan logika ini, maka tidak akan terjadi penerbitan buku secara sembarangan oleh seorang professor. Agar tulisannya bisa memenuhi standart akademis tinggi, maka seorang professor harus menerbitkan karya di penerbit unggul dimaksud. Selain itu, para professor juga bisa “menilai” terhadap karya itu unggul atau tidak, bereputasi atau tidak dan juga memiliki standart akademis atau tidak. Saya yakin ada ukuran-ukuran untuk menentukannya.
Selain hal ini, juga ada beberapa keuntungan yang ke depan akan bisa diunduh ketika kebijakan ini dilakukan, yaitu bisa mendorong agar penerbit bisa menghasilkan karya terbitan unggul, sehingga harus memenuhi kualifikasi tertentu atau berstandart nasional, dan para professor juga akan berusaha untuk menulis yang unggul agar tulisannya bisa diakui sebagai karya akademis unggul.
Saya kira masih ada cara yang lebih arif untuk menilai karya para professor agar kita tidak terjebak pada issu internasionalisasi tanpa reserved, akan tetapi juga selalu mempertimbangkan bahwa secara nasional kita juga memiliki standart yang yang jelas dan tegas untuk bisa diakui oleh orang lain. Janganlah kita selalu menggantungkan nasib kita pada orang lain dengan dalih standart internasional.
Dengan cara seperti ini, maka kita telah membangun keadilan bagi karya tulis professor. Sungguh saya merasa miris juga di kala diterbitkan peraturan yang “mengebiri” karya para professor dengan hanya menekankan pada tulisan di jurnal internasional berstandart scopus. Saya kira kita harus memperlakukan para professor dengan cara yang “manusiawi” yaitu cara-cara yang tidak mengintimidasi dengan pemotongan tunjangan kehormatan atau lainnya.
Marilah kita kembali kepada Undang-Undang Guru dan Dosen yang mengatur tentang bagaimana para professor tersebut harus berbuat. Janganlah kita menafsirkan regulasi dengan memberikan pembobotan yang melebihi konteks regulasi tersebut dirumuskan.
Tujuan untuk meningkatkan jumlah karya tulis bertaraf internasional melalui jurnal internasional berindeks scopus tentu baik, akan tetapi janganlah kita menjadikan hal itu sebagai satu-satunya pilihan. Tuhan saja memberikan banyak pilihan di dalam kehidupan ini, lalu kita justru tidak memberikan pilihan-pilihan cerdas untuk kebaikan semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..