Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAJELIS AGAMA SEBAGAI MITRA STRATEGIS KEMENAG

MAJELIS AGAMA SEBAGAI MITRA STRATEGIS KEMENAG
Di dalam setiap forum pertemuan dengan para pejabat Kemenag dan para tokoh agama, selalu saya nyatakan bahwa Majelis Agama merupakan mitra strategis Kementerian Agama. Ini pula yang saya sampaikan di dalam pertemuan dengan para pejabat Ditjen Bimas Buddha seluruh Indonesia dan juga para Bhiksu Shangha pada acara Raker Ditjen Bimas Buddha di Hotel Mercure Ancol, 13/02/2018.
Acara ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Pak Caliadi, Sesdirjen Bimas Buddha, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha, segenap pembimas dan para pejabat eselon III lainnya. Hadir pula para Bhiksu Shangha dan ketua Majelis-Majelis Agama di kalangan masyarakat Buddha.
Didalam acara ini, maka saya sampaikan tiga hal penting terkait dengan rapat kerja Ditjen Bimas Buddha, yaitu: pertama, ucapan apresiasi atas terselenggaranya raker pada Ditjen Bimas Buddha yang dilakukan hari ini. Saya ingin menyatakan bahwa raker ini diharapkan akan menjadi arena untuk melakukan penelusuran atas program mana yang perlu ditetapkan dan mana yang perlu diubah atau direvisi.
Raker kali ini diharapkan sebagai sarana untuk melakukan evaluasi mana program dan kegiatan kita di tahun 2017 yang sudah bisa diselesaikan dan berhasil sengat baik, dan mana program atau kegiatan yang belum mencapai target dan tujuan yang jelas. Melalui evaluasi tersebut, maka akan diketahui program quick win yang bisa diandalkan dan mana yang belum menjadi program unggulan.
Selain itu juga saya mengapresiasi atas serapan anggaran Ditjen Bimas Buddha yang tahun ini sangat baik. Bagi saya ukurannya ialah telah mengalahkan serapan anggaran Setjen. Saya merasa berbangga sebab dengan serapan anggaran yang baik, sekurang-kurangnuya menjadi indicator atas kesuksesan mengeksekusi anggaran yang dibebankan kepada kita untuk menyerapnya.
Kedua, kehadiran para Bhiksu Shangha pada acara ini juga menjadi penanda akan kemenyatuan antara Ditjen Bimas Buddha dengan para rohaniawan Agama Buddha. Selain itu juga kehadiran para pimpinan Mejelis-Majelis Agama juga menandai kebersamaan antara Ditjen Bimas Buddha dengan para tokoh agamanya. Melalui kehadiran para Bhiksu Sangha, maka memastikan bahwa para pendeta itu memiliki kepedulian terhadap Kemenag khususnya pada Ditjen Bimas Buddha. Melalui kehadirannya, maka diharapkan akan membawa dampak positif bagi para pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Buddha.
Mejelis Agama adalah kepanjangan tangan pemerintah. Dipastikan bahwa jumlah aparat sipil negara (ASN) tidak akan pernah mencukupi untuk menjangkau terhadap umat beragama di Indonesia secara keseluruhan. Kehadiran para penyuluh agama yang sangat terbatas juga tidak mungkin menjangkau terhadap seluruh umat beragama. Jika dibandingkan jumlah penyuluh agama dengan jumlah penganut agama tentu sangatlah tidak ideal. Di sinilah makna strategis para pemuka agama yang tergabung di dalam Majelis-Majelis Agama tersebut.
Dengan begitu, maka Kemenag sungguh berhutang budi pada para pemuka agama dalam Majelis-Majelis Agama. Melalui perannya yang strategis, maka umat beragama dapat dijangkaunya. Umat beragama dapat memperoleh sentuhan penyebaran dan pemaknaan agama justru dari para agamawan itu. Merekalah sesungguhnya orang-orang yang terlibat secara langsung dengan kehidupan umat beragama.
Ketiga, RKAKL memang dirumuskan setahun sebelumnya, sehingga terkadang belum bisa memberikan solusi atas masalah-masalah yang terjadi pada tahun berjalan. Anggaran dan program kerja yang kita miliki sekarang (2018) adalah anggaran dan program yang dirancang setahun sebelumnya. Meskipun secara prediktif sudah bisa diandaikan akan tetapi tentu harus disadari bahwa ada hal-hal mendasar yang tiba-tiba harus diselesaikan. Itulah sebabnya, kita harus melakukan “bedah” RKAKL di awal tahun agar kita bisa merumuskan ulang, mana program yang masih relevan dan mana program yang harus diganti.
Selama ini ada banyak keluhan bahwa program dan anggaran kita kurang focus pada masalah-masalah yang terjadi pada tahun berjalan. Misalnya di kala menghadapi tahun politik, maka seharusnya dilakukan perubahan secara mendasar tentang pada daerah mana saja program dan kegiatan pembinaan kerukunan umat beragama tersebut harus dilakukan. Jika kita melihat Pilkada tahun 2018, maka seharusnya penempatan dialog antar umat beragama justru ditempatkan di 17 wilayah provinsi yang menjadi ajang pilkada. Dengan cara merevisi anggaran kita untuk kepentingan ini, maka sasaran dialog antar umat beragama akan lebih mengenai sasarannya.
Kemudian, anggaran untuk pembangunan sarana dan sarana peribadahan juga akan lebih mengenai sasaran jika dikaitkan juga dengan peristiwa-peristiwa sosial masyarakat di daerah yang menjadi pintu gerbang Indonesia berhadapan dengan negara lain, misalnya ialah wilayah perbatasan Indonesia. Jika anggaran kita belum seperti itu, maka sebaiknya dilakukan perubahan yang lebih searah dengan pembangunan Indonesia dari wilayah terdepan tersebut.
Dengan demikian, saya berharap agar raker ini sungguh-sungguh dapat menjadi ajang bagi kita untuk berpikir kekinian dengan mengedepankan pada aspek ketepatgunaan, ketepatan sararan dan ketepatan penganggaran. Saya yakin kita bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..