Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBERI HAK KEPADA MINORITAS ALIRAN KEPERCAYAAN

MEMBERI HAK KEPADA MINORITAS ALIRAN KEPERCAYAAN
Saya tentu merasa senang mendengarkan laporan Pak Dr. Muharram Marzuki (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Balitbangdiklat Kemenag) setelah Beliau saya tugaskan untuk rapat antar Kementerian di Kementerian Dalam Negeri, 24/01/18. Rapat ini diikuti oleh kementerian/lembaga untuk membahas tentang nasib KTP bagi penganut Aliran Kepercayaan/Kebatinan, yang beberapa saat yang lalu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilegalkan penggunaan KTP bagi mereka.
Di awal-awal penetapan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini tentu mengandung pro-kontra. Ada yang senang dengan keputusan ini, sebab mereka menggunakan dalil Hak Asasi Manusia (HAM) yang memang para penganut Aliran Kepercayaan memiliki hak kependudukan sebagai warga negara, dan juga hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan lainnya. Sedangkan di pihak lain, tentu menolak bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan sebaliknya, sehingga haknya itu melekat kepada agama yang absah menurut perundang-undangan.
Di dalam berbagai pertemuan, khususnya yang diselenggarakan oleh MUI, bahwa pencantuman KTP dengan menyebutkan nama aliran kepercayaan itu tidak sesuai dengan kehendak umat Islam. Bagi mereka, bahwa agama tidak bisa disamakan dengan aliran kepercayaan dan sebaliknya. Aliran kepercayaan/kebatinan itu adalah rekayasa manusia, sedangkan agama adalah berasal dari Tuhan atau Allah. Jadi tidak bisa disamakan di antara keduanya. MUI bersikukuh agar pemeluk aliran kepercayaan dibuatkan KTP tersendiri dan pemeluk Agama juga dibuatkan KTP tersendiri. MUI sangat menolak di dalam satu format KTP ada dua kolom: agama dan kepercayaan.
Kemenag tentu juga terlibat di dalam pembahasan-pembahasan seperti ini. meskipun urusan KTP itu adalah kewenangan Kementerian Dalam Negeri, akan tetapi karena menyangkut agama, maka mau tidak mau kemenag harus memikirkannya. Makanya, ada 5 (lima) atau 6 (enam) kali diskusi di Kemenag, baik internal maupun eksternal. Secara internal tentu saya terlibat di dalam diskusi-diskusi tersebut. Bahkan ada 3 (tiga) kali saya mendiskusikannya dengan balitbangdiklat, Ditjen Bimas Islam, dan juga staf di Setjen. Lalu, ada juga diskusi yang diselenggarakan oleh Ditjen PHU, meskipun temanya terkait dengan evaluasi umrah, tetapi salah satu poinnya membicarakan tentang HAM dan KTP, lalu yang terakhir diskusi yang dilakukan oleh Ditjen Bimas Islam untuk membicarakan secara khusus tentang pencantuman aliran kepercayaan di dalam KTP. Di acara yang terakhir ini, maka hadir para dirjen dari agama-agama lainnya.
Saya sudah menulis tentang pandangan-pandangan yang muncul di dalam rapat terakkhir tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP. Ada 4 (empat) hal yang dijadikan sebagai simpulan terkait dengan format KTP di dalam meeting akhir tersebut, yaitu: pertama, dalam satu KTP maka ada kolom agama dan ada kolom aliran kepercayaan. Kedua: di dalam KTP ada satu kolom Agama/Aliran Kepercayaan. Ketiga, KTP tanpa mencamtumkan Agama atau Aliran Kepercayaan. Keempat, ada 2 (dua) format KTP, yaitu KTP dengan kolom Agama, dan KTP dengan kolom Aliran Kepercayaan.
Tiga format awal bagi kita tentu baik. Tetapi jika dicantumkan kolom Agama/Aliran Kepercayaan maka akan terdapat resistensi yang sangat tinggi dari kalangan tokoh-tokoh agama, sebaliknya dengan mencantumkan kolom Agama pada baris yang berbeda dengan kolom Aliran Kepercayaan juga masih mengandung resistensi yang kuat. Kemudian tanpa mencantumkan Agama dan Aliran Kepercayaan juga ditolak oleh para tokoh agama. Agama di Indonesia merupakan identitas yang salah satu ekspressinya tentu di KTP tersebut.
Maka meskipun tidak sepenuhnya sepakat, maka pola KTP dua format dirasakan lebih realistis. Selain tidak akan membuat KTP baru dan menghapus KTP yang sudah terbit, maka juga dari sisi anggaran tentu akan sangat besar jika kita melakukan lagi proyek e-KTP. Maka pilihan keempat dirasa paling realistis, sebab kita tidak perlu untuk membuat KTP baru atau proyek e-KTP baru, juga perubahan hanya akan diberlakukan untuk mereka yang merasa menjadi aliran kepercayaan dan ditulis dengan pengikut agama tertentu. Jadi yang diubah hanya sejumlah penganut Aliran Kepercayaan saja, yang diperkirakan 12 juta orang. Akhirnya, ada KTP bagi penganut agama dengan kolom agama, dan ada KTP bagi penganut aliran kepercayaan dengan kolom Aliran Kepercayaan.
Kita tentu bersyukur bahwa Kementerian Dalam Negeri juga memiliki opsi yang keempat tersebut, maka di dalam rapat di Kemendagri disepakati bahwa untuk menindaklanjuti Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka dipilihlah KTP dengan format ada kolom agama, bagi penganut agama dan ada KTP dengan format ada kolom aliran kepercayaan bagi para penghayat kepercayaan.
Dengan rumusan ini, maka tidak lagi dibutuhkan perubahan dan proyek baru e-KTP, sebab yang diubah hanya yang merasa berubah, yaitu para poenghayat kepercayaan dan kebatinan. Akhirnya, keputusan pun bisa diambil.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..