Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (2)

TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (2)
Setiap orang harus menyadari bahwa apapun ada batasnya, apapun ada waktu berakhirnya. Jangan pernah menganggap bahwa sesatu di dunia ini abadi dan semua bisa diraih dengan kemampuan diri sendiri. Sehebat apapun kapasitas, kapabilitas dan kecerdasan orang, maka ada batas waktu, ada batas kemampuan yang akan ditemui. Bagi kita harus ada kesadaran bahwa waktu jualah yang akan menggerus semua itu.
Di dalam hidup ini, ada orang yang menjabat hanya dalam waktu yang dapat dihitung dengan bulan. Tetapi juga ada yang dihitung dengan tahun. Ada yang menjabat hanya 3-6 bulan, tetapi juga ada yang menjabat 3-6 tahun bahkan lebih. Jika kita hanya menjabat dalam 3-6 bulan, maka juga harus dipahami bahwa hanya itulah jatah kita untuk memegang jabatan, dan ketika kita bisa menjabat 3-6 tahun bahkan lebih maka itulah batasan Tuhan memberikan kepada kita tentang amanah jabatan.
Jika kita bisa memahami ini, maka lengser jabatan atau pindah jabatan bukanlah hal yang aneh dan bukan pula musibah. Tetapi harus diyakini bahwa semua terjadi karena Allah semata. Ingin saya nyatakan bahwa Allahlah yang mengatur semuanya dan Allah yang menentukan segalanya. Itulah makna mengapa kita harus menyatakan: “semua datang dari Allah dan semua akan kembali kepadanya”.
Ada di dalam kehidupan ini yang di dalam ilmu psikhologi disebut sebagai “post power syndrome” atau sindrom pasca kuasa. Orang tidak siap memasuki batas usia bekerja atau disebut sebagai BUP atau berhenti dari jabatan yang diemban, bukan karena kesalahan atau kekeliruan akan tetapi disebabkan adanya keinginan untuk merotasi atau bahkan memberhentikan. Tentu ada orang yang siap dan orang yang tidak siap. Pasti ada penyikapan dan tindakan berbeda terhadap masalah yang dihadapi. Di sinilah makna takdir, kepastian dan ketentuan itu berlaku.
Di dalam konteks ini kita diajari untuk “husnudz dzon” atau berbaik sangka kepada Allah dan dilarang untuk “suudz dzon” atau beprasangka jelek kepada Allah. Jika kita mengembalikan kepada takdir dan kepastian Allah, maka semuanya akan berakhir. Sering kali terdengar bahwa hikmah baru dipahami di kala waktu sudah berjalan lama. Kita baru bisa menangkap bahwa “ ada hikmah” dibalik apa yang terjadi.
Saya sering mencontohkan, bagaimana percakapan saya dengan Mbah Ismail, Kakek saya, di depan rumah pada suatu sore ba’da magrib, yang ternyata bisa mengubah seluruh jalan hidup saya. Keinginan Beliau agar saya sekolah di lembaga pendidikan agama –PGAN—ternyata mengubah jalan hidup saya pada tahap berikutnya. Itulah makna takdir di dalam kehidupan manusia. Siapa menyangka bahwa perbincangan saya malam itu dengan Kakek saya ternyata membawa perubahan signifikan di dalam kehidupan saya berikutnya.
Saya tentu tidak tahu di tahap awal mengapa saya harus pindah sekolah, harus mengejar ketertinggalan saya dalam bidang ilmu keagamaan dan mengapa Kakek saya memberikan pendapat semacam itu. Ternyata semuanya merupakan design Tuhan atas diri saya, dan saya baru memahami di saat belakangan. Di kala saya ingin pindah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya ke IAIN Walisongo Semarang, maka salah satu yang melarang adalah guru dan senior saya Pak Fadli Hady. Bagi Beliau, ketika saya pindah ke IAIN Semarang tentu harus membangun jejaring baru, kolega baru dan sebagainya, sementara di IAIN Sunan Ampel sudah ada jejaring dengan dosen dan juga pimpinan IAIN Sunan Ampel. Apa yang disarankan oleh Pak Fadli benar adanya, sebab akhirnya saya bisa menjadi asisten Prof. Dr. Bisri Afandi, MA (Rektor IAIN Sunan Ampel kala itu) dan akhirnya saya bisa menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Semua baru dipahami setelah lama kita merasakan dan merenungkan perjalanan hidup tersebut.
Semua perjalanan hidup ternyata sudah diatur sedemikian rinci oleh Allah SWT. Semua sudah ada blue printnya dan kita tinggal mencetaknya saja. Kita tinggal memprint out sehingga menjadi seperti apa kita sekarang. Allahlah yang mengarahkan ucapan dan perilaku kita. Jadi untuk apa kita bersuudz dzon kepada Allah, karena kita tahu besuk apa yang akan terjadi. Begitulah kelemahan kemanusiaan kita itu di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu tidak salah jika di dalam salah satu bacaan shalat kita, saat membaca iftitah: Inna shalati wa nusuki wa mahyaya mamati lillahi Rabb al alamin”. Sebuah sikap kepasrahan total kepada Allah, sebab hakikat semua yang kita miliki dan kita lakukan adalah milik Allah semata. Dengan ungkapan ini, kita ingin menyatakan bahwa hanya Allahlah yang memiliki segalanya. Hanya Allahlah yang menjadi tempat kita untuk menyerahkan diri. Dan kepasrahan diri itu hakikatnya ialah persembahan kita kepada Allah swt.
Jadi, sebenarnya kita harus terus berada di dalam konteks menyembah kepada Allah ini. Yaitu suatu sikap dan tindakan yang terus mengagungkan Asma dan Dzat Allah, sebab hanya dengan sikap dan tindakan seperti itu, kita akan selalu berada di dalam jejaringnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..