• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (1)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (1)
Tanggal 1 Juni secara historis dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Kandungan dalam Pancasila memang digali dari tumpukan nilai budaya dalam sejarah bangsa Indonesia. Meskipun nilai budaya dalam Pancasila itu sudah berada di dalam darah dan daging bangsa, namun kata Pancasila itu memang dideklarasikan oleh Ir. Soekarno dalam rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Kandungan dalam 5 (lima) sila itu, memang sudah tertanam jauh ke dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, akan tetapi memang belum terakumulasi menjadi satu kesatuan sebagaimana yang diungkapkan oleh para pelaku sejarah Pancasila, seperti Mohammad Yamin, Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim dan sebagainya. Itulah sebabnya, Ir. Soekarno menyebutkan bahwa dirinya adalah penggali Pancasila dan bukan yang mengadakannya. Pancasila yang kita kenal dalam rumusan 5 (lima) dasar itu sudah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.
Masyarakat Indonesia semenjak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang religious. Masyarakat yang sedemikian kuat memegang tradisi agama-agama yang dipeluknya. Kita memiliki tradisi-tradisi kerajaan yang sangat kuat, misalnya Kerajaan Sriwijaya dengan agama Buddhanya, Kerajaan Majapahit dengan Hindunya. Dan jauh sebelum itu juga sudah berdiri Candi Borobudur sebagai tempat pemujaan agama Buddha.
Ketika agama Islam dan Nasrani datang ke Indonesia, maka dengan tangan terbuka masyarakat Indonesia menerimanya. Nyaris tidak dijumpai konflik besar dalam konversi masyarakat beragama Hindu dan Buddha dalam agama baru, Islam dan Nasrani. Semuanya berjalan dengan damai dan penuh keterbukaan.
Sejarah Islamisasi di Nusantara sangat terkenal, bagaimana para penyebar Islam dapat menggunakan idiom-idiom yang dipergunakan oleh masyarakat menjadi idiom-idiom yang bercorak Islam. Tradisi-tradisi masyarakat tidak dinihilkan akan tetapi dikolaborasikan dengan tradisi baru dalam agama. Lalu, membentuk corak masyarakat Islam, yang saya konsepsikan sebagai “Islam Kolaboratif”. Yaitu Islam yang berpadu dalam tradisi local tetapi dengan substansi yang jelas-jelas Islam. Di masa lalu ada “Tradisi Tayuban” di daerah pesisiran, lalu oleh umat Islam tradisi Tayuban itu diubah menjadi “Tradisi Thoyiban”. Cultural sphere yang semula tradisi local diubah menjadi cultural sphere yang bercorak Islam.
Indonesia ini dikenal sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, namun demikian icon-icon budaya yang religious justru Candi-Candi dalam agama Buddha dan Hindu. Hal ini berkesebalikan dengan India yang penduduknya mayoritas beragama Hindu, namun demikian icon budaya-religiusnya ialah Taj Mahal yang merupakan kreasi kerajaan Islam di masa lalu.
Kita juga dikenal sebagai bangsa yang santun, yang mengedepankan kemanusiaan. Salah satu ciri dari bangsa ini ialah kharakternya yang suka menolong, suka membantu, suka melakukan kebaikan kepada sesama manusia. Nyaris di setiap wilayah di Indonesia dikenal budaya saling menolong, saling menghargai dan saling menghormati. Marilah kita lihat perasaan bersaudara yang demikian kuat di antara warga bangsa meskipun berbeda etnis, suku dan agama.
Masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat yang menyenangi musyawarah. Jauh sebelum masuknya negara modern dengan konsep demokrasi, maka masyarakat Indonesia sudah menerapkan tradisi bermusyawarah untuk kebersamaan. Nyaris di seluruh Indonesia terdapat budaya musyawarah untuk menyelesaikan persoalan bersama dan melakukan kebaikan bersama.
Tentu yang masih menjadi problem bangsa ini adalah keadilan, khususnya keadilan ekonomi. Gap antara yang miskin dan kaya masih cukup renggang. Angka Gini Rasio kita masih 3,9 artinya bahwa jurang kesenjangan masih relative tinggi. Makanya, pekerjaan rumah pemerintah yang sangat penting ke depan ialah bagaimana mengurangi kemiskinan dan menyejahterakannya. Namun demikian, pengurangan kemiskinan juga terus terjadi seirama dengan program pembangunan yang terus dikelola secara memadai oleh pemerintah.
Kita sungguh bersyukur memiliki common platform, yang bisa menyatukan segala perbedaan di tengah kita. Negara-negara Timur Tengah memiliki tradisi yang nyaris homogeen, akan tetapi mereka menjadi negara-negara kecil dengan perbedaan yang mencolok. Mereka terus berada di dalam arena konfliktual yang tiada henti. Perang di Timur Tengah adalah perang yang sangat lama dalam sejarah kemanusiaan. Terlepas dari siapa yang berada di belakang semua bentuk konflik ini, tetapi bacaan kita tentu bahwa negara-negara di Timur tengah rentan terjadi konflik.
Indonesia saya kira adalah cerita lain. Negeri ini terbentuk dari gugusan kepulauan dengan jumlah yang sangat banyak. 17.000 pulau. Terdiri dari 500 lebih bahasa dan suku. Dan juga agama yang bervariasi. Semua menggambarkan keanekaragaman yang sangat tinggi. Namun negeri ini bisa dipersatukan dengan satu kata: Pancasila. Alangkah indahnya negeri ini, sebuah negara dengan prinsip “Ketuhanan”, negara dengan prinsip “kesatuan dan Persatuan”, negeri dengan prinsip musyawarah dan kemanusiaan, dan negara dengan prinsip keadilan bagi semua.
Pancasila yang digali oleh founding fathers negeri dari dalam khasanah tradisi dan budaya bangsa sendiri ternyata memang memiliki ketahanan yang luar biasa. Meskipun berkali-kali digerogoti dengan isme-isme lain, ternyata bahwa bangsa ini, tetap beranggapan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini.
Pancasila dengan lima dasarnya itu memang momot dengan seluruh prinsip dasar bagi bangsa ini untuk bersatu. Dan menyatakan bahwa Pancasila adalah harga mati bagi bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGEMBANGKAN JEJARING GENDER MAINSTREAMING

MENGEMBANGKAN JEJARING GENDER MAINSTREAMING
Membahas gender sebenarnya membahas diri kita dalam relasi lelaki perempuan. Selama ini masih ada anggapan bahwa persoalan gender sebenarnya ialah persoalan keadilan antara lelaki dan perempuan di dalam berbagai moment dan peluang kehidupan.
Di kalangan masyarakat masih ada anggapan dan juga kenyataan betapa peluang antara lelaki dan perempuan bisa saja berbeda dalam mengakses jabatan dalam berbagai struktur sosial, pemerintahan dan juga politik. Bahkan yang menyedihkan ialah masih terjadinya fenomena kekerasan terhadap perempuan. Masih ada penindasan terhadap perempuan dan sebagainya.
Hal ini yang saya bahas di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 24/05/2018 di Hotel Santika Primer Depok dalam acara yang diselenggarakan oleh Dr. Suwendi, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Hadir bersama saya, Prof. Dr. Ishom Yusqi, Sesdirjen Pendis dan utusan dari Pusat Studi Gender PTKIN se Indonesia.
Saya dijadikan sebagai narasumber “dadakan”. Bertepatan waktu itu ada kegiatan di tempat tersebut. Tentu saya menyambut gembira bisa bertemu dengan para aktivis gender dari seluruh Indonesia. Sebab merekalah yang selama ini menjadi penggiat aktivitas gender di masing-masing perguruan tingginya.
Pada kesempatan ini saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, apresiasi saya atas terselenggaranya pertemuan untuk membahas masalah gender dalam kaitannya dengan penelitian dan pengabdian masyarakat. Gender sebagai movement, tentu tidak berhenti aktivitasnya pada penelitian saja, akan tetapi harus diimplementasikan di dalam aktivitas yang lebih kongkrit. Saya melihat bahwa aktivitas gender selama ini sudah on the track, dalam konteks bahwa gender dipelajari, diteliti dan aktivasikan dalam kerangka agar relasi gender semakin berkualitas.
Kedua, secara teoretik, sebagaimana pengungkapan Sanderson, dalam Sosiologi Makro, membicarakan gender dalam realitas empiris dikenal berada dalam tiga konsepsi, yaitu: 1) Gender differentiation ialah relasi gender yang dalam posisi perbedaan. Ada perbedaan yang bersifat nature atau alami yang memang secara fitrahnya atau hakikinya memang harus berbeda. Seperti perempuan bisa hamil dan lelaki tidak, perempuan menyusui dan lelaki tidak, perempuan memiliki penanda yang berbeda dengan lelaki. Perbedaan ini memang merupakan kepastian Tuhan yang tidak bisa dikompromikan. Memang harus berbeda.
Di sisi lain, ada perbedaan yang memang berasal dari hasil konstruksi masyarakat atau manusia atau sesuatu yang nurture. Perbedaan yang merupakan hasil dari pandangan, tradisi atau kebudayaan suatu masyarakat. Misalnya, perempuan berada di ruang domestic dan lelaki di ruang public. Di dalam tradisi Jawa masa lalu, dikenal konsepsi perempuan sebagai konco wingking. Perempuan berada di tempat belakang atau ruang domestic. Selain itu juga misalnya gambaran perempuan lebih lemah dibandingkan lelaki, lelaki bekerja di luar rumah dan perempuan di dalam rumah. Dalam jabatan, maka perempuan belum bisa optimal dibandingkan dengan lelaki.
2) Gender Inequality atau ketidaksamaan atau ketidakadilan gender. Lelaki dan perempuan memang memiliki perbedaan yang asasi namun demikian perbedaan asasi tersebut tidaklah menghalangi oleh para perempuan untuk mengoptimalkan perannya di tengah masyarakat. Secara intelektual dan psikhis sesungguhnya mereka memiliki kesamaan. Bahkan di dalam kenyataannya, banyak perempuan yang lebih cerdas dibandingkan lelaki.
Meskipun sudah banyak pimpinan daerah seperti bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur sudah banyak perempuan yang bisa meraihnya, demikian pula di parlemen, namun dalam dunia birokrasi masih cukup memprihatinkan. Ada banyak jabatan yang dijabat oleh lelaki dan tidak banyak yang dijabat oleh perempuan.
3) Gender Oppression atau penindasan, peminggiran, dan pemaksaan kaum perempuan di ruang-ruang domestic atau public. Masih banyak perempuan yang berada di dalam praktik kekerasan. Bisa saja berupa kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, kekerasan politik, kekerasan budaya dan sebagainya. Masih banyak perempuan yang berada di dalam bayang-bayang lelaki dan lebih jauh diperlakukan secara tidak baik oleh lelaki. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga masih cenderung kuat dialami oleh perempuan.
Melihat kenyataan ini, maka sesungguhnya diperlukan upaya untuk membangun jejaring kajian, penelitian dan aktivitas yang bertujuan secara makro ialah memperkuat posisi perempuan dalam relasi di tengah kehidupan masyarakat. Para aktivis gender mestilah melakukan banyak proyek untuk menghentikan terhadap realitas empiris yang ditengarai masih terjadi dewasa ini.
Ketiga, PTKIN harus menjadi motor bagi penguatan jejaring penelitian, akitivisme dan gerakan pemberdayaan kaum perempuan. Perguruan tinggi seharusnya mengedepankan berbagai penelitian, apakah penelitian konvensional maupun penelitian aksi dengan tujuan untuk memetakan potensi relasi gender di dalam kehidupan sosial dan menemukan solusinya. Selain itu juga perlu penelitian kebijakan atau policy research. Tiga model penelitian ini sangat penting sebagai cara kita untuk memahami apa sebenarnya yang sedang dialami oleh para perempuan di negeri ini. Apakah sudah ada keadilan gender, tidak ada penindasan terhadapnya, dan yang penting juga menghasilkan program-program yang pro-gender.
Yang tidak kalah penting ialah menyusun program yang terkait dengan pendampingan, pemberdayaan dan penguatan relasi gender di dalam masyarakat. Misalnya program pendampingan literasi untuk mengatasi problem illiterate. Juga program pendampingan literasi media, program literasi hukum, program literasi hak asasi perempuan, program literasi politik, program pendampingan kewirausahaan, penguatan ekonomi dan sebagainya. Saya kira masih ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh para agen gender untuk memberdayakan masyarakat.
Dan yang sungguh mendasar juga memperhatikan perubahan-perubahan sosial keagamaan akhir-akhir ini. Ada gejala menarik di mana perempuan terlibat di dalam gerakan terorisme atau ekstrimisme. Fenomena yang sebelumnya tidak dijumpai, yaitu satu keluarga terlibat di dalam bom bunuh diri. Saya kira para aktivis gender perlu merumuskan program yang bersearah dengan upaya untuk mengembangkan Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin.
Saya berharap agar para aktivis gender untuk menjadi agen-agen masyarakat yang bisa bekerja dengan masyarakat dan mampu berbuat untuk kepentingan pembangunan nasional. Saya yakin bahwa lewat perguruan tinggi saja upaya untuk mengentas relasi gender yang inequality, yang oppression dan yang different akan bisa diminimalisasikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI ILMU AL QUR’AN

MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI ILMU AL QUR’AN
Salah satu yang membanggakan akhir-akhir ini ialah semakin menjamurnya pembelajaran Al Qur’an di seluruh wilayah tanah air. Rasanya program pembelajaran al Qur’an, baik yang bercorak hafalan al Qur’an atau tahfidzul Qur’an maupun program pembelajaran ilmu-ilmu Al Qur’an semakin banyak jumlahnya. Banyak berdiri pesantren-pesantren yang khusus mempelajari Al Qur’an maupun rumah-rumah Al Qur’an. Semuanya memberikan bukti tentang semakin semaraknya program pembelajaran Al Qur’an atau pengkajian Al Qur’an.
Di Indonesia, program studi ilmu al Qur’an juga sudah berkembang sangat lama. Melalui PTKIN, maka program studi al Qur’an merupakan salah satu program studi unggulan di hampir semua PTKIN. Sekurang-kurangnya sebanyak 58 PTKIN memiliki program studi Tafsir dan hadits. Makanya, jumlah lulusan program studi ilmu Tafsir dan Hadits juga sudah cukup banyak.
Pada perkembangan berikutnya, lalu muncullah program tahfidz al Qur’an, misalnya yang dikembangkan oleh Syekh Ali Jaber, seorang ahli ilmu Al Qur’an dari Madinah Arab Saudi yang secara khusus datang ke Indonesia untuk mengembangkan program tahfidz al Qur’an. Bahkan Beliau sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI) dalam kepentingan pengembangan ilmu Al Qur’an. Kiprah Beliau di program tahfidz di televisi dan juga pesantren-pesantren tentu perlu diapresiasi.
Pesantren dari luar negeri yang secara sengaja mengembangkan tahfidz al Qur’an ialah Pesantren Sulaimaniyah dari Turki. Pesantren ini telah mengembangkan metode baru dalam hafalan Al Qur’an dan sangat spektakuler ialah program hafalan Al Qur’an yang hanya membutuhkan waktu 5 (lima) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Sebelum terjadi persoalan politik di Turki, maka setiap wisuda tahfidz Al Qur’an diselenggarakan di Aula HM. Rasyidi Kementerian Agama. Kemenag memang memiliki kerja sama dengan pesantren Sulaimaniyah untuk program pembelajaran Al Qur’an. Setiap tahun sebanyak 50 orang santri dari Indonesia yang dikirim ke Turki untuk belajar ilmu Al Qur’an.
Yang juga spektakuler ialah yang dikembangkan oleh seorang Kyai Muda, Ustadz M. Yusuf Mansur. Dengan Pesantren Darul Qur’an dan rumah Al Qur’an sudah tersebar di seluruh Indonesia, dan bahkan juga di luar negeri. Pesantrennya sudah berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Pesantren Darul Qur’an yang besar sudah berkembang di beberapa kota di Indonesia. Kita semua tentu mengapresiasi terhadap keberhasilan Beliau di dalam mengembangkan program tahfidz Qur’an dan juga studi ilmu Al Qur’an.
Beberapa hari yang lalu, 24/05/2018, saya bertemu dengan Ustadz Yusuf Mansur untuk membahas satu hal yang sangat penting ialah bagaimana mendirikan perguruan tinggi ilmu Al Qur’an. Sebenarnya gagasan ini sudah cukup lama, kira-kira setengah tahun yang lalu, saat saya dan beliau bertemu di pesawat dalam penerbangan Surabaya- Jakarta, telah kita bicarakan tentang pentingnya perguruan tinggi khusus yang terfokus pada studi Al Qur’an. Namun karena waktu dan kesibukan yang padat, sehingga baru beberapa saat yang lalu kami bisa membicarakan tentang pendirian perguruan tinggi ilmu Al Qur’an.
Di dalam pertemuan ini, saya ditemani oleh Dr. Suwendi, dan Ustadz Yusuf Mansur ditemani oleh tim Pesantren Darul Qur’an. Beberapa hal mendasar kita bicarakan di dalam pertemuan ini, yaitu: pertama, focus kajian. Saya mengusulkan agar PTKI yang akan didirikan ini haruslah terfokus pada pendidikan ilmu Al Qur’an. Jangan sampai tergoda oleh pasar lalu mengembangkan program studi yang tidak terkait langsung dengan ilmu al Qur’an. Saya berharap agar program studi yang dikembangkan oleh PTKI yang berada di bawah naungan Pesantren Darul Qur’an hanya yang terkait langsung dengan ilmu Al Qur’an. Misalnya Tafsir Al Qur’an, Studi Al Qur’an, teknologi dan informasi Al Qur’an, pendidikan ilmu Al Qur’an, dan lain-lain yang terkait dengan inovas di bidang pembelajaran Al Qur’an.
Kedua, Kita sudah memiliki Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ), Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) dan dan Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ). Jika kemudian muncul PTKI Ilmu Al Qur’an, maka tentu menggenapi terhadap keberadaan PTKI tersebut. Hanya yang perlu dipikirkan ialah bagaimana membangun prodi ilmu Al Qur’an yang khas, yang memiliki distingsi. Ada banyak program studi Al Qur’an, tetapi harus ada yang menjadi ciri khasnya.
Di dalam konteks ini, maka yang diperlukan ialah agar kita bisa membangun suatu distingsi yang bisa membedakan antara satu program studi dengan lainnya. Saya berharap agar PTKI yang berada di bawah Pesantren Darul Qur’an membikin distingsi yang jelas dan menjadi ciri khas PTKI ini. Salah satu yang membedakan misalnya ialah tentang kewajiban tahfidz Al Qur’an 30 juz dari lulusan PTKI ini. Dengan demikian, jika yang bersangkutan lulus dari PTKI ini, maka dipastikan yang bersangkutan memiliki kemampuan yang sangat cukup di bidang ilmu Al Qur’an. Para lulusannya tidak lagi diragukan akan kemampuannya di bidang ilmu Al Qur’an.
Ketiga, para mahasiswa PTKI Ilmu Al Qur’an ini adalah pilihan-pilihan terbaik dari seluruh Indonesia. Untuk kepentingan ini, maka yang bisa memasuki PTKI ini hanyalah mereka yang sudah teruji dari masing-masing daerah di Indonesia. Jadi, PTKI ini tidak bercorak go public atau siapa saja bisa memasukinya. Ada persyaratan-persyaratan khas yang diterapkan secara ketat dan menjadi standard operation procedure (SOP) yang dijadikan sebagai norma untuk penerimaan mahasiswa baru.
Saya sungguh berharap agar pendirian PTKI ini menjadi prioritas Pesantren Darul Qur’an dan juga mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Saya memiliki keyakinan –sebagaimana keyakinan Ustadz Yusuf Mansur—bahwa PTKI ini harus menjadi PTKI unggulan dalam bidang Ilmu Al Qur’an.
Wallahu a’lam bi al shawab.
.

RILIS MUBALLIGH: AKHIRNYA KESEPAHAMAN (2)

RILIS MUBALLIGH: AKHIRNYA KESEPAHAMAN (2)
Jika kita menyimak berbagai tayangan televisi, misalnya TV One, CNN Indonesia, Metro TV dan sebagainya, maka seakan-akan rilis muballigh itu begitu genting. Pada suatu pagi hari, saya diberitahu oleh Sdr Chuzaemi, bahwa acara Indonesia Lawyer Club (ILC) sungguh “memojokkan” Kemenag terkait dengan rilis muballigh tersebut.
Saya bersyukur tidak melihat siaran ILC yang menayangkan tentang rilis 200 muballigh, yang konon katanya begitu seru “menghujat” Kemenag. Saat itu saya menonton tayangan Bulutangkis untuk perebutan Piala Thomas Cup dan Uber Cup. Dengan bekal sedikit pengetahuan dan bermain bulutangkis, maka tentu saya menyempatkan diri untuk menonton acara tersebut di TVRI.
Begitu pentingnya rilis muballigh ini, sampai-sampai Pak Wakil Presiden, HM. Yusuf Kalla, juga berkomentar tentang pentingnya standarisasi muballigh di Indonesia. Beliau secara lugas sebagaimana biasanya menyatakan: “Indonesia membutuhkan 300.000 muballigh”. Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), saya kira memang tepat Beliau memberi komentar tentang pentingnya standarisasi muballigh.
Kemenag memang begitu concern untuk menghadirkan rilis ini, sebab memang dibutuhkan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa “seharusnya kita membaca keseluruhan naskah di dalam rilis itu, agar kita mengetahui latar belakang dan tujuan rilis itu diunggah. Jangan hanya membaca daftar 200 orang muballighnya saja. Ketika kita membaca rilis nama-nama saja, maka dipastikan akan terjadi kesalahpahaman”.
Jika kita memperhatikan secara seksama terhadap rilis ini, sesungguhnya ada keinginan yang kuat agar Kemenag bisa memberikan pelayanan terhadap umat Islam yang membutuhkan penceramah agama. Jika baru 200 orang yang dirilis, maka hal ini adalah tahapan pertama dan akan disusul dengan tahap-tahap berikutnya. Jadi daftar muballigh itu sesuatu yang dinamis.
Pro-kontra yang mengharubirukan jagat media sosial ini juga akhirnya memunculkan upaya-upaya kreatif. Pada suatu kesempatan, Pak Menteri mendatangi MUI untuk membicarakan jalan keluar dari problema rilis muballigh. Dan Alhamdulillah disepakati bahwa MUI akan membantu Kemenag di dalam kerangka pemeriksaan akhir daftar muballigh yang akan dirilis. Kemenag menyediakan data tentang nama-nama muballigh dan MUI bersama sejumlah ormas Islam akan menyeleksinya.
Saya merasa bergembira karena diminta Pak Menteri untuk mewakili Beliau dalam acara temu MUI, Kemenag dan Ormas Islam. Malam itu, 24/05/2018, saya, Pak Muhammadiyah Amin, dan segenap jajaran Ditjen Bimas Islam hadir di MUI untuk membahas tentang mekanisme penyeleksian akhir terhadap daftar muballigh hasil pendataan Kemenag. Hadir KH. Ma’ruf Amin, Sekjen MUI, Sekjen DMI, segenap jajaran pimpinan MUI dan juga sejumlah Ormas Islam, seperti KODI, Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Yang membanggakan bahwa MUI sebagaimana dinyatakan oleh KH. Ma’ruf Amin memang juga mempunyai program untuk melakukan pendataan muballigh dan akan memberikan sertifikat kepada para muballigh. Namun demikian bukan melalui program sertifikasi. Kira-kira sama dengan penghargaan. Menurut Beliau, bahwa memang diperlukan standarisasi terhadap para Muballigh. Para muballigh harus memahami ajaran Islam secara baik, harus berpengalaman berdakwah yang menyejukkan, dan memiliki wawasan kebangsaan. Muballigh harus menjadi contoh dalam pengamalan Pancasila dan meneguhkan NKRI dan kebinekaan.
Di dalam kesempatan yang membahagiakan ini, maka saya sampaikan beberapa hal, pertama: kami menghaturkan apresiasi dan penghargaan atas inisiatif untuk keterlibatan MUI dan segenap jajaran Ormas Islam dalam kerangka rilis muballigh di Indonesia. Saya kira kerja sama yang baik ini akan dapat menjadi solusi dalam kerangka menghasilkan data muballigh yang memang layak untuk berceramah di Indonesia.
Kedua, saya mengajukan gagasan agar antara Kemenag dan MUI memiliki satu program menyusun “Directory Muballigh Indonesia” yang merupakan bagian dari upaya untuk menyusun data base tentang muballigh Indonesia. Saya kira bahwa Indonesia harus memiliki data base yang kuat tentang da’i atau muballigh. Bukan untuk menyeleksi siapa mereka akan tetapi memberikan informasi yang akurat dan tepat tentang muballigh Indonesia. Melalui kerjasama seperti ini, maka di Indonesia akan terdapat single data muballigh. Saya kira sudah saatnya kita memiliki data seperti itu apalagi aplikasi untuk penyusunan data seperti ini tentu tidak terlalu sulit.
Ketiga, malam ini, Kemenag sudah mendata sebanyak 565 orang muballigh yang akan diserahkan kepada MUI untuk melakukan pemetaan dalam kerangka rilis tahap berikutnya. Sebagai data yang dinamis tentu akan diusahakan upaya terus menerus untuk melengkapi dan menggenapi kuota kebutuhan muballigh di Indonesia.
Lalu, sebagaimana disampaikan oleh pimpinan Muslimat dan juga pimpinan LDNU, KH. Maman Imanul Haq, bahwa NU akan membantu sepenuhnya agar program penyusunan data base ini akan bisa diselesaikan. Hanya saja, memang harus dibicarakan secara mendalam mengenai kriteria muballigh ini. Misalnya, kriteria pemahaman keagamaan, kebangsaan, kemanusiaan dan sebagainya. Kriteria ini yang nanti akan bisa dijadikan acuan untuk menjelaskan tentang siapa muballigh dimaksud.
Selain itu juga diperlukan kriteria umum dan khusus. Yang umum adalah kriteria universal yang menjadi ukuran umum dan berlaku bagi semua ormas Islam dan kriteria khusus ialah kriteria yang hanya dimiliki oleh ormas Islam tertentu saja. Ada banyak usulam yang disampaikan oleh ormas Islam, seperti KODI, Muhammadiyah, dan sebagainya. Semua merupakan masukan yang sangat berharga.
Dengan demikian, satu issu keagamaan yang mendasar ini sekurang-kurangnya sudah bisa diselesaikan. Dan saya kira MUI punya peran yang sangat penting.
Wallahu a’lam bi al shawab.

RILIS MUBALLIGH: PRO-KONTRA PEMAHAMAN (1)

RILIS MUBALLIGH: PRO-KONTRA PEMAHAMAN (1)
Heboh tentang rilis muballigh yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) tentu sudah mulai reda. Rilis 200 muballigh yang dilakukan oleh Kemenag tersebut memancing reaksi yang luar biasa. Tidak hanya tokoh agama dan tokoh masyarakat, akan tetapi juga para politisi yang memberikan komentar terhadap rilis dimaksud.
Kehebohan rilis 200 muballigh memang luar biasa. Semua media memberitakannya. Media sosial, televisi, radio dan media cetak semua “tumpek bleg” memberitakannya. Tentu saja ada yang positif dan negative dan juga yang netral. Berbagai komentar tersebut mengindikasikan betapa urusan muballigh itu memang sangat menarik.
Agama memang sesuatu yang sacral, sehingga ketika agama dipermasalahkan oleh siapapun, maka akan menjadi besar urusannya. Agama memang memiliki magnit yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Agama itu memang berurusan dengan Tuhan sehingga melibatkan seluruh emosi, sikap dan tindakan manusia untuk membelanya jika ada yang mempermasalahkannya.
Tentu saja rilis 200 muballigh tersebut tidaklah terkait langsung dalam mempermasalahkan Tuhan, akan tetapi karena yang dibicarakan oleh muballigh adalah tentang agama, maka jadilah urusannya bisa terkait dengan Tuhan. Memang para muballighlah yang selama ini menyuarakan suara Tuhan dalam mimbar-mimbar agama. Merekalah yang selama ini menjadi corong agama di dalam kehidupan bermasyarakat.
Makanya, begitu ada rilis hanya sebanyak 200 orang saja yang diunggah Kemenag, maka sontak banyak tokoh agama, masyarakat dan politisi yang bereaksi. Oleh sebagian tokoh agama, masyarakat dan para politisi dianggap bahwa rilis tersebut tidaklah memenuhi terhadap tujuan menginformasikan muballigh, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat tentang siapa muballigh yang layak berbicara di ruang public.
Sesungguhnya rilis itu bertujuan yang sangat baik. Tujuannya ialah memberikan informasi kepada public tentang muballigh yang bisa menjadi penceramah di ruang public kaum beragama. Dengan rilis itu dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan kepada umat, jika ada di antara masyarakat yang membutuhkannya.
Untuk menentukan siapa yang dapat memberikan pengajian di ruang public, maka Kemenag merumuskan sejumlah kriteria, yaitu: penguasaan atas ilmu agama, pengalaman menjadi muballigh dan wawasan kebangsaan atau kenegaraan. Kriteria ini yang dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan siapa saja yang dianggap dapat memberikan ceramah agama.
Berdasarkan atas kriteria tersebut, maka untuk rilis pertama diunggah sebanyak 200 orang. Rupanya dalam rilis 200 orang tersebut tidak memasukkan beberapa nama yang dianggap sebagai muballigh terkenal terutama di media sosial. Sontak para penggemarnya menyatakan keberatan dengan berbagai alasan.
Jika diamati berdasarkan kategorisasi respon umat melalui media terhadap rilis tersebut, maka sekurang-kurangnya dapat ditipologikan ke dalam 3 (tiga) respon. Pertama, respon yang positif. Respon ini misalnya dilakukan oleh beberapa tokoh agama Islam yang wasathiyah. Dari beberapa organisasi Islam yang memberikan respon positif beranggapan bahwa para muballigh memang perlu untuk dianalisis dari tiga kriteria tersebut. Di antara 3 (tiga) kriteria itu ialah pengetahuan ilmu keislaman, pengalaman dan wawasan kebangsaan. Disebabkan para muballigh tersebut berceramah agama di Indonesia, maka haruslah orang yang memahami Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman. Muballigh sebagai penyebar agama janganlah orang yang memusuhi negaranya sendiri.
Kedua, respon yang bercorak netral. Yaitu mereka yang menanggapi bahwa rilis 200 muballigh tersebut dapat dipahami, tetapi dianggap kurang tepat waktunya. Di saat negara sedang dalam carut marut karena attack yang dilakukan oleh kaum teroris, lalu terkesan menambahi kegaduhan. Mereka memahami bahwa tujuan untuk merilis muballigh tersebut hal yang wajar saja, namun jumlahnya yang hanya 200 tentu membuat banyak pihak yang merasa kurang tepat.
Ketiga, mereka yang menolak terhadap rilis tersebut dengan berbagai alasan yang dianggapnya tepat. Di antara alasannya ialah daftar muballigh ini tidak realistis. Dianggapnya bahwa penerbitan muballigh tersebut dapat memicu masalah baru, membuat sekat-sekat dan bahkan memancing riak-riak konflik di dalam masyarakat. Alih-alih menjadi pedoman bagi masyarakat tentang kebutuhan muballigh, namun justru menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pasti akan memunculkan gambaran, mana muballigh yang benar dan tidak benar. Mereka menginginkan agar daftar muballigh tersebut dicabut saja biar tidak memunculkan kegaduhan baru. Jika sangat diperlukan, maka yang dipublish justru yang tidak direkomendasi saja, karena jumlahnya tentu sedikit. Bagi mereka yang menolak terhadap rilis juga beranggapan bahwa Kemenag tidak perlu untuk merilis sampai nama-nama muballigh, cukup majelis-majelis agama saja yang melakukannya. Sesungguhnya majelis-majelis agama yang tahu secara mendalam tentang para muballighnya.
Mungkin bukan suatu kebetulan bahwa yang banyak menerima rilis muballigh ialah kaum Islam wasathiyah, dan yang menolak ialah mereka yang berafiliasi dengan organisasi yang selama ini sering mengusung Islam kaffah atau Islam syumuliyah. Bahkan ada di antaranya yang mengusung Islam khilafah.
Tentu saja tidak semuanya seperti itu, namun sebagai gambaran tipologikal, maka dapat dinyatakan bahwa yang menerima dan memahami tentang pentingnya rilis mubaligh adalah yang pemahaman agamanya wasathiyah, dan yang menolak ialah mereka yang pemahaman agamanya lebih cenderung ke arah Islam syumuliyah.
Mungkin juga bukan kebetulan, bahwa yang melakukan penolakan ialah tokoh-tokoh partai yang selama ini kritis terhadap pemerintah dan cenderung oposisional, dan yang cenderung netral dan menerima ialah mereka yang memihak kepada pemerintah. Jika diperluas lagi, maka yang cenderung menolak ialah kebanyakan eksponen 212, yang memang secara diametral memiliki frame yang berbeda dengan kebijakan yang diungkapkan oleh pemerintah.
Tentu tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuat juxtaposisi di antara keduanya, sebab sesungguhnya semuanya harus dimaknai sebagai kepedulian terhadap penyiaran Islam. Semua ungkapan di media, baik yang menerima, netral atau menolak dengan halus dan keras, hakikatnya ialah cara untuk mengekspressikan betapa pentingnya muballigh sebagai bagian tidak terpisahkan dari penyiaran Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, memang diperlukan kearifan di dalam menerima respon masyarakat, sebagai bagian dari kedewasaan kita sebagai bangsa yang beradab dan berkebudayaan. Dan akhirnya, carut marut persoalan rilis muballigh juga menemukan jalan keluar yang memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.