• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (2)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (2)
Kampus kita memang tidak steril dari gerakan radikalisme. Semenjak diimpornya Hizbut Tahrir ke Indonesia dari negeri asalnya, Libanon, maka kemudian gerakan ini bermetamorfosis menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menjadikan kampus sebagai home base. Kampus seperti Sekolah Tinggi Akuntan (STAN) di bawah Kementerian Keuangan adalah kampus yang awal menjadi home base gerakan salafi dan kemudian berturut-turut seperti IPB, ITB, UI, UB, UA, ITS dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Mereka menguasai masjid-masjid kampus dengan gerakan Rohani Islam (ROHIS), dan menjadikan masjid sebagai pusat gerakannya. Bahkan mereka juga menguasai asrama-asrama mahasiswa sebagai tempat untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan. Gerakan mereka menjadi massive karena didukung oleh mahasiswa-mahasiswa cerdas yang memang sengaja direkrut untuk kepentingan membesarkan gerakan Salafi.
Dengan menjadikan kampus sebagai home base-nya, maka mereka memperoleh tenaga-tenaga muda yang cerdas dan memiliki ikatan emosional yang sangat tinggi. Mereka menjadi militan. Di kampus lalu terdapat varian-varian pemahaman agama berbasis pada gerakan Salafi ini, namun yang kuat adalah Gerakan Tarbiyah, KAMMI, HTI dan sebagian lainnya yang berafiliasi kepada Gerakan salafi.
Meskipun berbeda-beda, namun tujuannya sama ialah untuk menegakkan Islam Syumuliyah atau Islam kaffah dan yang lebih tegas lagi ialah menegakkan Daulah Islamiyah atau gerakan Khilafah. Memang ada gradasinya dalam konteks mendirikan negara Islam, misalnya HTI yang paling provokatif, akan tetapi arus utamanya ialah keinginan untuk menerapkan syariah Islam yang kaffah tersebut.
Disebabkan oleh tema-tema menegakkan syariat Islam secara kaffah, maka banyak juga ulama kita yang terprovokasi. Apalagi di saat itu sedang menguat Gerakan Liberalisasi Islam yang juga turut meramaikan terhadap gerak pemikiran keagamaan di Indonesia. mereka menjadikan liberalisme agama sebagai lawannya dan mengajak para ulama untuk mendukungnya.
Ketika saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, pada suatu kesempatan saya pernah complain kepada Direktur Jenderal Pendidikan Islam, khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, yang mengirimkan para santri terbaik dari Pondok Pesantren untuk mengambil kuliah di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dan ternyata mereka yang dikuliahkan tersebut justru menjadi bagian tidak terpisahkan dari mereka yang terkena virus Islam garis keras. Para santri itu memang ditempatkan di asrama mahasiswa, sementara itu para mentornya ialah mereka yang berasal dari Islam Syumuliyah tersebut. Saya menyatakan: “yang membiayai kita, Kementerian Agama, akan tetapi mereka panen”. Itulah cikal bakal lalu didirikan suatu Forum Silaturahim Mahasiswa Program Bantuan Santri Berprestasi, yang hingga sekarang masih eksis. Dalam 3 (tiga) bulan sekali mereka bertemu untuk mengingatkan kembali agar mereka tetap berada di dalam jalur Islam wasathiyah, yang selama ini menjadi pegangan dunia pesantren.
Jika sekarang lalu banyak kampus yang terpapar virus radikalisme, maka saya kira hal itu sangat wajar, sebab persemaian bibit radikalisme itu sudah berjalan bertahun-tahun dengan cara yang sistematis. Mereka ini memanfaatkan HAM dan keterbukaan untuk menggalang kekuatan melalui rekruitmen yang terencana.
Sekarang kita sedang menuai tanaman yang sudah mereka tanam dalam waktu puluhan tahun. Jika kita menggunakan ukuran waktu pengebom beberapa gereja di Surabaya, misalnya Dita, maka dia menjadi pimpinan ROHIS sudah semenjak di SMAN 5 Surabaya tahun 2000-an. Dan jika menggunakan ukuran sewaktu anak saya mau memasuki IPB berarti sudah semenjak tahun 2000-an juga. Artinya bahwa dalam kurun waktu 20 tahunan maka tanaman itu sungguh sudah rimbun dan tinggal menuai buahnya. Buah pun sudah didapatkan.
Lalu, kita tentu harus ekstra hati-hati menghadapi kenyataan ini, sebab mereka juga melakukan upaya agar secara penampilan tidak mudah dikenali. Mereka bisa saja memakai celana jin dan kaos trendi. Tidak seperti di masa lalu yang identitas mereka sangat mudah dikenali, yaitu pakaian gamis, jenggot panjang, celana cingkrang dan jidat hitam. Sungguh situasi sudah mengajari mereka bagaimana mereka melakukan pembangkangan terhadap negara ini.
Jadi, kita mesti harus ekstra keras untuk memahaminya. Dan saya kira kita juga pasti punya cara untuk menjinakkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MERESPON GERAKAN RADIKALISME DI KAMPUS

MERESPON GERAKAN RADIKALISME DI KAMPUS
Saya merasakan bahwa akhir-akhir ini kemampuan saya untuk menulis agak berkurang. Bukan karena apa-apa, akan tetapi karena waktu yang rasanya semakin pendek. Tentu karena pekerjaan yang nyaris luar biasa tingkat kepadatannya. Meskipun demikian, saya tetap bisa menulis dalam waktu-waktu yang dirasa memungkinkan.
Bahkan ketika diminta oleh Mas Sunu, wartawan Sindo untuk menulis tentang puasa juga tidak mampu saya penuhi. Saya memang lebih suka menulis untuk blog saya, sebab bisa saya atur kapan dan saat apa saya harus menulis dan kapan saya harus tidak menulis. Saya merasa bahwa dengan menulis hanya di blog saya, maka saya masih bisa memberikan kontribusi meskipun tidak optimal dalam merespon terhadap suasana yang terjadi akhir-akhir ini.
Ketika terjadi kekisruhan terkait dengan temuan Densus 88 Anti Teror di Kampus Universitas Riau beberapa saat yang lalu, sebenarnya saya ingin menuliskan respon saya terhadap hal ini. Sebab saya tentu memiliki sejumlah referensi terkait dengan bagaimana tingkat massivitas gerakan radikalisme di perguruan tinggi tersebut.
Memang masih ada yang menyangsikan apakah benar bahwa radikalisme sudah menyasar sedemikian jauh di perguruan tinggi di Indonesia. Orang yang menyatakan begini, saya kira adalah orang yang hanya ingin berbeda agar dikenal dan mendapatkan sejumlah simpati dari gerakan radikal tersebut. Orang yang seperti ini bisa berada di mana-mana. Bisa ada di parlemen, di birokrasi dan bahkan di beberapa LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan atau keagamaan.
Akan tetapi yang jelas, bahwa radikalisme sudah memiliki rumah istimewa, yaitu perguruan tinggi. Jika dirunut secara historis, maka keberadaan radikalisme sudah lama terjadi. Peringatan itu pernah diberikan oleh Prof. Munawir Syadzali sewaktu Beliau menjadi Menteri Agama. Saya ingat betul bagaimana Beliau merespon bahwa radikalisme tumbuh subur di perguruan tinggi eksakta dan tidak tumbuh di perguruan tinggi agama. Pernyataan Beliau itu tentu berdasar atas pengamatan beliau yang tajam terkait dengan semaraknya radikalisme tersebut.
Saya memiliki pengalaman pribadi tentang bagaimana cara kawan-kawan HTI atau radikalis lainnya di dalam merekrut calon anggota baru. Pada tahun 2005, anak saya diterima di Program Studi Manajemen Kehutanan pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Anak saya dterima dari jalur bakat dan peminatan. Saya ingat betul saat itu anak saya baru saja jatuh dari sepeda motor, sehingga harus memakai penyangga pada saat mendaftar di IPB. Saya mengantarkannya untuk mendaftar di Kampus Baranangsiang Bogor.
Yang sungguh mengherankan saya, bahwa anak saya ternyata dijemput oleh mahasiswa IPB, yang sama-sama berasal dari SMAN I Tuban. Kalau tidak salah dia berasal dari Tambakboyo. Tentu saya lupa namanya dan juga alamatnya di Tuban. Dia menjemput anak saya dan mengajaknya di markasnya atau tempat untuk menampung sementara terhadap calon mahasiswa baru yang berasal dari berbagai daerah. Dijemputnya anak saya di terminal Bogor dan diajaknya untuk mendaftar di tempat pendaftaran mahasiswa baru.
Usut punya usut, ternyata kawan-kawan ini sudah mendaftar siapa saja calon mahasiswa baru yang berasal dari SMAN I Tuban. Makanya, nama anak saya tentu sudah ada di dalam daftarnya. Bahkan kapan akan mendaftar juga diketahuinya. Calon mahasiswa-mahasiswa ini dijemput dari sekolahnya, artinya sudah dipantau semenjak lama. Mereka memiliki daftarnya dan siap untuk “menolongnya”.
Saya teringat bagaimana anak saya dipandu sampai mendaftar di kampus IPB. Bahkan disiapkan tempat indekos sementara dan dipersiapkan pula kendaraan untuk mengantarkan dari rumah kos ke kampus. Orang yang berasal dari luar daerah tentu akan sangat terkesan dengan pelayanan yang sangat baik ini. Sungguh luar biasa.
Karena anak saya harus operasi ulang, maka anak saya tidak jadi melanjutkan studinya di IPB. Selama setahun tidak melanjutkan studinya dan akhirnya memilih Fakultas Kedokteran di Surabaya. Seandainya dia masuk di IPB, saya yakin bahwa anak saya akan menjadi bagian dari elemen mahasiswa yang radikal tersebut. Kawan dia yang satu angkatan, yang semula tidak memakai jilbab lalu juga menggunakan jilbab besar (jilbaber) sebagai penanda dari kelompok ini. Setidaknya-tidaknya akan menjadi akhawat, sebagai bagian dari gerakan radikal dimaksud.
Pengalaman saya ini, kemudian juga sama dengan yang disampaikan oleh Staf Ahli BNPT, Wawan Hari Purwanto, dalam wawancara di CNN Indonesia mengenai “radikalisme di kampus dan masjid” yang menyatakan bahwa pola rekruitmen pengikut gerakan radikal itu begitu massive, sistematis dan terstruktur. Dimulai dari rekruitmen dari daerah sampai di kampus. Saya merasakan bahwa yang disampaikannya itu kebenaran semata, sebab saya mengetahui dengan jelas tentang pola-pola rekruitmennya.
Saya kira pernyataan Kepala BNPT, Suhardi Alius, bahwa ada beberapa PTU yang terdampak virus radikal juga sesuatu yang factual. Bahkan yang sungguh membuat pening kepala adalah yang terpapar itu mahasiswa-mahasiswa PTU ternama di Indonesia. Sungguh kita merasakan bahwa di saat bangsa ini sedang menuju ke arah perubahan untuk menyongsong Indonesia Emas tahun 2045, justru generasi yang diharapkan akan menjadi penerus bangsa ini banyak yang terpapar virus radikalisme.
Kita semua tentu berharap bahwa masyarakat kita semakin menyadari tentang “bahaya” radikalisme ini bagi bangsa Indonesia. Kita tidak ingin Indonesia yang damai dengan Pancasila dan NKRI tersebut menjadi tercabik-cabik gara-gara paham radikal yang menguasai negeri ini. Uni Soviet hancur, Timur Tengah berada dalam konflik berkepanjangan, dan beberapa negara lain juga mengalami hal yang sama.
Indonesia harus terus tegak dengan semangat Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Dan kita harus mempertahankannya sepanjang hayat masih di kandung badan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PANCASILAKU PANCASILA KITA (4)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (4)
Pancasila memang mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan penyesuaian yang terjadi di era, di mana Pancasila tersebut berada dalam ruang dan waktu. Pancasila tentu tidak akan bisa nihil dari ruang dan waktu. Makanya, sebagai konsekuensinya ialah Pancasila akan terus menuai pemaknaan demi pemaknaan yang tidak bisa dihindarinya. Lokalitas dan waktu itu yang kemudian menyebabkan Pancasila ditafsirkan berbeda-beda.
Di era Orde Baru, penafsiran Pancasila dilakukan oleh sejumlah ahli dari berbagai varian profesi dan akademisi yang tergabung di dalam Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang tersebar di seluruh Indonesia. BP7 menjadi instrument pemerintah untuk melakukan penataran dari 40 jam hingga 120 jam plus.
Untuk memahami Pancasila, maka ada beberapa hal yang harus dijadikan sebagai pedoman: pertama, Menjaga nilai luhur Pancasila yang bercorak universal, Ketuhanan. Bangsa Indonesia mestilah beragama dan berkeyakinan terhadap keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Masyarakat Indonesia tidak boleh menjadi atheis atau tidak berketuhanan. Konsekuensi menerima Pancasila sebagai pandangan hidup artinya bahwa masyarakat Indonesia harus menjadikan hidup yang berketuhanan tersebut, apapun coraknya.
Di sinilah letaknya penolakan kita terhadap komunisme yang berbasis pada atheisme. Bagi bangsa Indonesia, berketuhanan adalah mutlak adanya. Tidak ada pilihan bagi kita untuk tidak menjadikan kehidupan kita itu berketuhanan. Di dalam konteks ini, penolakan terhadap atheisme juga sekaligus penolakan terhadap keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara. Dengan menjadikan agama sebagai dasar negara, maka akan dapat dipastikan akan terjadi polarisasi yang sangat kuat di tengah Indonesia yang plural dan multicultural.
Tentu apa yang diputuskan oleh para pendiri bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi dasar berbangsa merupakan pilihan yang sangat cerdas. Bayangkan dengan menjadikan agama sebagai dasar negara, maka akan dipastikan terjadi perpecahan yang luar biasa. Misalnya dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, maka bagaimana dengan beberapa provinsi yang secara jelas bukanlah provinsi dengan penduduk Islam secara mayoritas.
Mengambil pengalaman sebagaimana diskusi di dalam sidang BPUPKI dan PPKI, maka dapat dipastikan bahwa menjadikan agama sebagai dasar negara akan menyebabkan perpecahan yang tidak terkira. Bisa ada konflik yang keras dan merupakan benturan antar penganut agama.
Kita tentu ingat bagaimana perdebatan di kala akan menetapkan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan paragraph “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” maka mempertimbangkan pendapat wakil-wakil dari Indonesia Timur, maka 7 (tujuh) kata itu lalu dicoret dan digantikan dengan pernyataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencoretan 7 (tujuh) kata ini dimaksudkan agar tidak terjadi permasalahan menyangkut wilayah-wilayah dengan kepemelukan agama non Islam.
Ketuhanan yang Maha Esa itu sudah final, sehingga penafsiran terhadapnya tentu sudahlah jelas, bahwa Indonesia bukan negara agama dan juga bukanlah negara sekuler tetapi negara yang berketuhanan. Bahkan ketuhanan yang Maha Esa. Meskipun di dalam Undang-undang Dasar ditambahkan frasa “agama dan kepercayaannya, akan tetapi sebenarnya maknanya ialah kepercayaan di dalam agama itu. Tetapi kemudian berkembang, bahwa ayat di dalam Undang-Undang dasar itu, dapat digunakan untuk menampung mereka yang tergabung di dalam aliran kepercayaan atau kebatinan. Penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) didasari oleh penafsiran bahwa pernyataan agama dan kepercayaannya adalah memisahkan antara agama dan kepercayaan. Jadilah aliran kepercayaan dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Penafsiran terhadap Ketuhanan yang Maha Esa bisa saja dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman. Hanya saja yang tidak diperbolehkan bagi orang Indonesia ialah tidak berketuhanan. Orang Indonesia atau warga negara Indonesia mesti beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan dan tidak boleh atheis. Meskipun tidak ada sangsi hukumannya, akan tetapi jelaslah bahwa atheisme dilarang di Indonesia. orang bisa dihukum jika menyebarkan atheisme sebagai sebuah keyakinan.
Kedua, Menjaga kemanusiaan. Kemudian, tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Konsep mendasarnya ialah mengenai kemanusiaan. Kata kuncinya ialah bagaimana mengimplementasikan prinsip kemanusiaan tersebut di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menempatkan kemanusiaan di dalam pergaulan di dalam dan dengan luar negeri. Kemanusiaan merupakan konsepsi yang sangat universal. Konsep ini memiliki cakupan yang sangat luas. Konsep kemanusiaan di dalam banyak hal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga dimensi berkeadilan dan berperadaban menjadi kata kunci kemanusiaan dimaksud.
Ketiga, Menjaga Pesatuan Bangsa. Tentang NKRI, saya kira tidak ada yang meragukan kepentingannya. Indonesia dengan sejumlah pulaunya, dengan varietas suku dan bahasanya tentu membutuhkan common platform yang bisa menyatukan keberadaannya. Melalui Pancasila, maka kebinekaan tersebut dapat dimanej menjadi satu kesatuan. Dasar primordialitas yang dibentuk melalui agama, kesukuan dan keetnisan dan sebagainya bisa dilebur dalam satu melting pot berdasar Pancasila. Jadi Pancasila bisa menjadi common awareness yang mempersatukan masyarakat Indonesia yang plural menjadi bersatu.
Keempat, Menjaga Musyawarah. Yang menarik untuk diperbincangkan ialah mengenai sila ke 4 (empat). Ada bermacam-macam penafsiran terhadap sila kerakyatan ini. Di era Presiden Soekarno, maka demokrasi ialah demokrasi terpimpin. Demokrasi yang berbasis pada budaya kepemimpinan kharismatik dan bertumpu pada hirarkhi tertinggi kepemimpinan nasional. Lalu di era Presiden Soeharto, maka demokrasi yang diajarkan ialah demokrasi Pancasila. Hanya saja yang dilakukan ialah kepemimpinan nasional yang sebenarnya nyaris sama dengan kepemimpinan nasional di masa lalu. Kemudian di masa reformasi, maka praktik kepemimpinan nasional didasarkan sebagai demokrasi barat, one man one vote. Melalui pilkada dan pilpres, maka demokrasi kita itu sama dengan demokrasi di barat.
Jadi, sesungguhnya penafsiran terhadap sila ke 4 (empat) itu juga sangat tergantung pada bagaimana para elit menterjemahkannya. Siapa yang memimpin itulah yang menterjemahkan bagaimana penafsiran Pancasila tersebut. Setiap era ada upaya untuk memberikan penafsirannya secara spesifik.
Reformasi yang digulirkan pasca lengsernya Presiden Soeharto yang diikuti dengan perubahan demi perubahan atas UUD 1945, semakin memperkokoh penafsiran Pancasila itu di dalam regulasi. Dan sebagaimana yang diketahui bahwa corak perubahan yang dilakukan itu nyaris dipengaruhi oleh praktik demokrasi barat, yang pelaksanaannya sama dengan berbagai pilkada, pilpres, pileg dan sebagainya.
Kelima, Menjaga keadilan sosial. Salah satu yang membuat rakyat sejahtera ialah jika pembangunan menyentuh kepentingan rakyat. Pembangunan dianggap berhasil jika rakyat merasa memperoleh manfaat yang nyata. Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya perlu didiskusikan dan dipelajari saja akan tetapi yang justru mendasar ialah bagaimana mengimplementasikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Selama kemiskinan masih tinggi, kesenjangan sosial masih tinggi dan pemerataan pembangunan masih timpang, maka selama itu dianggap bahwa negara belum hadir. Dan yang lebih parah lagi jika ada anggapan bahwa pembangunan bangsa ini tidak sampai kepada sasarannya.
Pancasilaku dan Pancasila kita itu sesungguhnya akan memperoleh makna hakikinya ketika kesejahteraan sosial sebagai tujuan bernegara akan bisa digapai. Oleh karena itu tugas kita semua ialah bagaimana terus mengupayakan agar rakyat ikut memiliki negeri ini dengan falsafah dasar negaranya ialah Pancasila.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PANCASILAKU PANCASILA KITA (3)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (3)
Ada sebuah pertanyaan yang saya kira penting untuk dijawab terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus juga sebagai falsafah bangsa Indonesia. Pertanyaan itu ialah apakah Pancasila harus dibaca stagnan apa adanya sebagaimana keadaan masa lalu, ataukah harus dibaca dinamis dalam konteks kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Di dalam konsepsi sosiologis, maka ada 2 (dua) hal mendasar yang terjadi dalam wacana perubahan, yaitu: continuity within change, dan continuity and change. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila tentu merupakan hasil consensus bangsa yang sudah mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat. Para founding fathers dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya dari berbagai komponen bangsa, para pemimpin negara, para ulama, para tokoh agama dan segenap jajaran masyarakat Indonesia sangat menyadari bahwa Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa.
Berbagai survey –meskipun ada anggapan Pancasila sudah tidak lagi bisa menjadi perekat bangsa—akan tetapi selalu saja mayoritas bangsa ini beranggapan bahwa Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa yang plural ini. Memang ada elemen bangsa yang sangat kecil jumlahnya yang memiliki pandangan lain, misalnya keinginan menjadikan agama sebagai ideology bangsa.
Kelompok Hizbut Tahrir Indonesi (HTI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan sebagainya beranggapan bahwa yang bisa menjadi pemersatu dunia internasional adalah Islam. Sebagai pedoman bertingkah laku sehari-hari dan sebagai ajaran yang momot universalitas ajaran, memang bisa dinyatakan benar bahwa agama Islam bisa menjadikan masyarakat bersatu dalam bentuk ukhuwah Islamiyah. Tidak ada yang menolak tentang hal ini.
Islam memiliki konsepsi-konsepsi universal yang bisa dijadikan sebagai model merajut kebersamaan dan kesatuan dalam ukhuwah Islamiyah. Namun demikian, untuk dijadikan sebagai ideology kenegaraan tentu sangat tergantung kepada pilihan politik warga bangsanya. Bangsa Indonesia yang secara representative diwakili oleh tokoh-tokoh nasional, dan tokoh-tokoh agama pada saat pembahasan dasar negara dan ideology bangsa, telah menentukan bahwa dasar negara yang bisa memayungi terhadap kebinekaan bangsa ini ialah Pancasila.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa selama 3,5 tahun, kita berdebat di dalam Konstituante untuk memilih apakah dasar negara Indonesia: Islam, Nasionalisme atau Komunisme, maka dengan kekuatan yang diberikan untuk bangsa ini, maka akhirnya dilakukanlah Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 dan artinya bahwa dasar negara kita ialah Pancasila.
Zaman mengalami perubahan yang luar biasa cepatnya. Maka Pancasila tentu tidak boleh menjadi penghambat laju perubahan yang positif. Pancasila harus fleksibel di dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Janganlah Pancasila justru menjadi sarana kejumudan atau ketertinggalan. Oleh karena itu, pemaknaan Pancasila harus relevan dengan zamannya. Pancasila yang berisi pedoman moral itu harus mengalami pemahaman demi pemahaman yang bernafaskan sila-sila di dalamnya. Pancasila memang merupakan doktrin universal tentang Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Jika pemahaman atau pengamalan kehidupan relevan dengan pesan inti dari Pancasila ini, maka sesungguhnya tidak akan terjadi penyimpangan dari Pancasila.
Secara historis dapat diketahui ada beberapa penafsiran terhadap Pancasila. Misalnya mengenai pandangan tentang Pancasila bisa diperas menjadi trisila dan bahkan ekasila. Di dalam ekasila itu ialah gotong royong. Penafsiran Ir. Soekarno ini tentu saja berdasar atas pandangan Beliau tentang betapa pentingnya gotong royong di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun demikian, yang penting diperhatikan ialah apakah dengan hanya gotong royong bisa menggambarkan tentang Pancasila dimaksud. Tentu saja di sinilah yang disebut sebagai penafsiran, yang tentu saja mengandung makna “kurang lebih”.
Lalu di masa Soeharto, maka juga dilakukan penafsiran Pancasila menjadi 36 butir yang dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Butir-butir Pancasila itu merupakan penafsiran terhadap Pancasila yang memang bersifat general dan universal. Ajaran-ajaran di dalam Pancasila tidak spesifik dan khusus. Ajaran ini memiliki cakupan yang sangat luas dan mendasar, sehingga bisa saja ditafsirkan sesuai dengan siapa yang menafsirkannya.
Bagi kita, berbagai penfasiran itu tentu merupakan konsekuensi dari cakupan dan universalitas Pancasila sebagai pedoman yang general. Di era sekarang, Pancasila juga menuai penafsiran baru sesuai dengan zamannya. Misalnya demokrasi dengan model one man one vote, yang sesungguhnya adalah model demokrasi Barat kemudian diadaptasi di dalam demokrasi di Indonesia, yang di masa lalu disebut sebagai demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi perwakilan. Para wakil rakyat yang memilih presiden dan wakil presiden dan berjenjang ke bawah, gubernur, bupati atau walikota. Tafsiran ini tentu disesuaikan dengan perubahan dalam demokrasi yang terjadi di sebagian masyarakat dan negara di dunia.
Bagi kita, perubahan demi perubahan tentu saja bisa terjadi selama tidak menihilkan terhadap makna Pancasila secara umum dan mendasar. Di dalam kerangka ini, maka yang terpenting ialah bagaimana mengimplementasikan Pancasila secara mendasar sesuai dengan pemaknaan yang ada di dalam masyarakat.
Jadi memang harus tetap ada yang lestari dan tidak boleh diganti kapan dan oleh siapapun yaitu menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final negeri ini. Inilah yang kita maksudkan dengan continuity, namun pemaknaan terhadap Pancasila dalam kaitannya dengan perubaham zaman bisa saja dilakukan sejauh masih berada di dalam konsepsi yang relevan dan tidak bertentangan dengan makna Pancasila itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PANCASILAKU PANCASILA KITA (2)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (2)
Sebagai bangsa dengan kebinekaan yang jelas, maka potensi untuk berbeda tentu juga sangat besar. Dari sudut pandang ras, kita jumpai berbagai ras yang hidup di Indonesia. Ada masyarakat Cina, Arab dan juga berbagai suku masyarakat Indonesia. Kebinekaan ini yang telah menjadi kesadaran dari para pendiri bangsa ini, sehingga menetapkan dasar negara bukan agama atau lainnya, akan tetapi Pancasila.
Bagi bangsa yang berkebinekaan, maka menggunakan common platform yang bisa diterima oleh semua komponen bangsa merupakan hal yang mutlak. Tidak ada pilihan lain kecuali hanya itu. Oleh karena itu, ketika bangsa ini menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia, saya kira melalui bimbingan Allah swt, Tuhan yang Maha Kuasa. Bahkan ketika terjadi Dekrit Presiden, tanggal 5 Juli 1959 setelah bangsa ini nyaris terpecah belah karena perbedaan prinsip untuk menentukan dasar negara, maka saya kira hal itu tidak semata-mata berbasis pada kecerdasaran akal, akan tetapi juga terdapat kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan juga kecerdasan spiritual.
Saya meyakini bahwa pilihan kembali ke UUD 1945 di kala itu tentu merupakan akumulasi dari pikiran dan pengalaman yang didasari oleh petunjuk Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Kurang apa kuatnya, Uni Soviet di masa perang dingin. Hanya Uni Soviet yang mampu mengimbangi Amerika Serikat untuk mengatur dunia ini, akan tetapi Uni Soviet kalah oleh hanya dua kata: Glasnost dan Perestroika.
Indonesia bisa tegar hingga saat ini adalah karena besarnya kesadaran bangsa ini untuk terus menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Pemberontakan PKI berkali-kali juga mampu dimentahkan oleh anak bangsa, dengan tetap berpegang teguh pada Pancasila. Saya kira meskipun hiruk pikuk ekstrimisme dan terorisme terjadi akhir-akhir ini, akan tetapi bangsa ini akan tetap menyadari bahwa pilihan terbaiknya ialah Pancasila.
Sejarah telah mengajarkan akan kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah juga sudah mengajarkan bahwa konflik sosial bukan pilihan terbaik. Konflik hanya akan merusak semua bangunan struktur sosial, budaya dan ekonomi menjadi hancur berantakan. Perlu puluhan tahun untuk membangun kembali kerusakan yang diakibatkan oleh konflik tersebut. Kita tentu tidak ingin menjadi bangsa yang terkoyak. Kita tidak mau menjadi negara yang compang-camping. Kita tidak ingin menjadi bangsa yang rusak. Makanya, pilihan terhadap Pancasila untuk semua bangsa Indonesia, apapun agama dan kesukuannya, adalah pilihan yang terbaik.
Kalau kita lakukan flash back terhadap sejarah bangsa ini, maka berbagai ancaman dan gangguan pernah dialami. Saya kira yang terberat ialah ketika terjadi kudeta berdarah oleh PKI tahun 1965. Tanggal 1 Oktober 1965 diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila, untuk menandai bahwa bangsa Indonesia tetap eksis di tengah gempuran kaum komunis yang akan menjarah negara ini. Namun kekuatan kaum komunis yang sudah cukup massive di semua lini kehidupan tersebut akhirnya juga bisa diredam dan dipadamkan oleh masyarakat Indonesia. TNI, Polri dan segenap elemen organisasi keagamaan bersatu padu untuk meruntuhkan kekuatan komunis yang nyaris menguasai negeri ini.
Nahdlatul Ulama (NU_) dan diikuti oleh Muhammadiyah dan juga organisasi Islam dan organisasi keagamaan lainnya, saling bahu membahu untuk menyelesaikan problem bangsa ini. Dengan menyatunya kekuatan aparat keamanan dan masyarakat ternyata membuktikan bahwa kebersamaan adalah kunci untuk mempertahankan negara dalam keadaan darurat. Hal ini merupakan pelajaran bagi segenap elemen bangsa agar terus mengobarkan semangat kebersamaan untuk mencapai kebaikan bagi nusa dan bangsa.
Kita tentu harus bersyukur atas kehadiran Orde Baru, yang dengan tegas menekankan tentang upaya untuk menghidupkan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa. Melalui keinginan untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, maka diupayakan pembudayaan Pancasila melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Secara konseptual dan aplikatif penyelenggaraan penataran-penataran P4 tentu sudah on the track. Hanya saja, karena perilaku para penyelenggara negara yang tidak konsisten dengan P4 itu, maka kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi bermasalah. Akhirnya, Orde Baru pun harus mengakhiri eranya dan berganti dengan Orde Reformasi. Era untuk melakukan koreksi terhadap penyelanggaraan negara pun dilakukan. Dan sekarang kita telah memasuki suatu era baru dalam berbangsa dan bernegara yang dikonsepsikan sebagai negara demokrasi.
Atas pilihan tersebut, maka pemerintah sekarang –Kabinet Indonesia Kerja—telah merumuskan arah baru dalam berpenghayatan dan berpengamalan Pancasila melalui satu unit khusus yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi sebuah institusi yang akan melakukan penguatan ideology Pancasila. Untuk kepentingan ini, maka saya berpikir perlulah badan ini belajar dari bagaimana pelaksanaan Pancasila di era Orde Lama dan Orde Baru, dan bagaimana merumuskan pembinaan Pancasila yang relevan dengan tuntutan perubahan yang terus terjadi.
Jika pada era Orde Lama adalah masa penegakan ideology Pancasila sebagai dasar negara, dan pada era Orde Baru adalah era pemantapan ideology Pancasila sebagai dasar negara, maka era Orde Reformasi adalah era pengembangan ideology Pancasila sebagai dasar negara di era perubahan yang cepat ini.
Makanya, diperlukan upaya optimal untuk mengembangkan ideology Pancasila agar tetap selaras dengan perubahan tetapi tetap bersubstansi sebagai karakter bangsa Indonesia. Menggunakan istilah sosiologis, bahwa Pancasila harus berada di dalam konteks “continuity within change”. Pancasila harus tetap lestari dan ajeg di tengah perubahan demi perubahan.
Tugas kita semua ialah menguatkan ideology Pancasila di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI harga mati.
Wallahu a’lam bi al shawab