• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERESPON GERAKAN RADIKALISME DI KAMPUS

MERESPON GERAKAN RADIKALISME DI KAMPUS
Saya merasakan bahwa akhir-akhir ini kemampuan saya untuk menulis agak berkurang. Bukan karena apa-apa, akan tetapi karena waktu yang rasanya semakin pendek. Tentu karena pekerjaan yang nyaris luar biasa tingkat kepadatannya. Meskipun demikian, saya tetap bisa menulis dalam waktu-waktu yang dirasa memungkinkan.
Bahkan ketika diminta oleh Mas Sunu, wartawan Sindo untuk menulis tentang puasa juga tidak mampu saya penuhi. Saya memang lebih suka menulis untuk blog saya, sebab bisa saya atur kapan dan saat apa saya harus menulis dan kapan saya harus tidak menulis. Saya merasa bahwa dengan menulis hanya di blog saya, maka saya masih bisa memberikan kontribusi meskipun tidak optimal dalam merespon terhadap suasana yang terjadi akhir-akhir ini.
Ketika terjadi kekisruhan terkait dengan temuan Densus 88 Anti Teror di Kampus Universitas Riau beberapa saat yang lalu, sebenarnya saya ingin menuliskan respon saya terhadap hal ini. Sebab saya tentu memiliki sejumlah referensi terkait dengan bagaimana tingkat massivitas gerakan radikalisme di perguruan tinggi tersebut.
Memang masih ada yang menyangsikan apakah benar bahwa radikalisme sudah menyasar sedemikian jauh di perguruan tinggi di Indonesia. Orang yang menyatakan begini, saya kira adalah orang yang hanya ingin berbeda agar dikenal dan mendapatkan sejumlah simpati dari gerakan radikal tersebut. Orang yang seperti ini bisa berada di mana-mana. Bisa ada di parlemen, di birokrasi dan bahkan di beberapa LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan atau keagamaan.
Akan tetapi yang jelas, bahwa radikalisme sudah memiliki rumah istimewa, yaitu perguruan tinggi. Jika dirunut secara historis, maka keberadaan radikalisme sudah lama terjadi. Peringatan itu pernah diberikan oleh Prof. Munawir Syadzali sewaktu Beliau menjadi Menteri Agama. Saya ingat betul bagaimana Beliau merespon bahwa radikalisme tumbuh subur di perguruan tinggi eksakta dan tidak tumbuh di perguruan tinggi agama. Pernyataan Beliau itu tentu berdasar atas pengamatan beliau yang tajam terkait dengan semaraknya radikalisme tersebut.
Saya memiliki pengalaman pribadi tentang bagaimana cara kawan-kawan HTI atau radikalis lainnya di dalam merekrut calon anggota baru. Pada tahun 2005, anak saya diterima di Program Studi Manajemen Kehutanan pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Anak saya dterima dari jalur bakat dan peminatan. Saya ingat betul saat itu anak saya baru saja jatuh dari sepeda motor, sehingga harus memakai penyangga pada saat mendaftar di IPB. Saya mengantarkannya untuk mendaftar di Kampus Baranangsiang Bogor.
Yang sungguh mengherankan saya, bahwa anak saya ternyata dijemput oleh mahasiswa IPB, yang sama-sama berasal dari SMAN I Tuban. Kalau tidak salah dia berasal dari Tambakboyo. Tentu saya lupa namanya dan juga alamatnya di Tuban. Dia menjemput anak saya dan mengajaknya di markasnya atau tempat untuk menampung sementara terhadap calon mahasiswa baru yang berasal dari berbagai daerah. Dijemputnya anak saya di terminal Bogor dan diajaknya untuk mendaftar di tempat pendaftaran mahasiswa baru.
Usut punya usut, ternyata kawan-kawan ini sudah mendaftar siapa saja calon mahasiswa baru yang berasal dari SMAN I Tuban. Makanya, nama anak saya tentu sudah ada di dalam daftarnya. Bahkan kapan akan mendaftar juga diketahuinya. Calon mahasiswa-mahasiswa ini dijemput dari sekolahnya, artinya sudah dipantau semenjak lama. Mereka memiliki daftarnya dan siap untuk “menolongnya”.
Saya teringat bagaimana anak saya dipandu sampai mendaftar di kampus IPB. Bahkan disiapkan tempat indekos sementara dan dipersiapkan pula kendaraan untuk mengantarkan dari rumah kos ke kampus. Orang yang berasal dari luar daerah tentu akan sangat terkesan dengan pelayanan yang sangat baik ini. Sungguh luar biasa.
Karena anak saya harus operasi ulang, maka anak saya tidak jadi melanjutkan studinya di IPB. Selama setahun tidak melanjutkan studinya dan akhirnya memilih Fakultas Kedokteran di Surabaya. Seandainya dia masuk di IPB, saya yakin bahwa anak saya akan menjadi bagian dari elemen mahasiswa yang radikal tersebut. Kawan dia yang satu angkatan, yang semula tidak memakai jilbab lalu juga menggunakan jilbab besar (jilbaber) sebagai penanda dari kelompok ini. Setidaknya-tidaknya akan menjadi akhawat, sebagai bagian dari gerakan radikal dimaksud.
Pengalaman saya ini, kemudian juga sama dengan yang disampaikan oleh Staf Ahli BNPT, Wawan Hari Purwanto, dalam wawancara di CNN Indonesia mengenai “radikalisme di kampus dan masjid” yang menyatakan bahwa pola rekruitmen pengikut gerakan radikal itu begitu massive, sistematis dan terstruktur. Dimulai dari rekruitmen dari daerah sampai di kampus. Saya merasakan bahwa yang disampaikannya itu kebenaran semata, sebab saya mengetahui dengan jelas tentang pola-pola rekruitmennya.
Saya kira pernyataan Kepala BNPT, Suhardi Alius, bahwa ada beberapa PTU yang terdampak virus radikal juga sesuatu yang factual. Bahkan yang sungguh membuat pening kepala adalah yang terpapar itu mahasiswa-mahasiswa PTU ternama di Indonesia. Sungguh kita merasakan bahwa di saat bangsa ini sedang menuju ke arah perubahan untuk menyongsong Indonesia Emas tahun 2045, justru generasi yang diharapkan akan menjadi penerus bangsa ini banyak yang terpapar virus radikalisme.
Kita semua tentu berharap bahwa masyarakat kita semakin menyadari tentang “bahaya” radikalisme ini bagi bangsa Indonesia. Kita tidak ingin Indonesia yang damai dengan Pancasila dan NKRI tersebut menjadi tercabik-cabik gara-gara paham radikal yang menguasai negeri ini. Uni Soviet hancur, Timur Tengah berada dalam konflik berkepanjangan, dan beberapa negara lain juga mengalami hal yang sama.
Indonesia harus terus tegak dengan semangat Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Dan kita harus mempertahankannya sepanjang hayat masih di kandung badan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..