• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (4)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (4)
Pancasila memang mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan penyesuaian yang terjadi di era, di mana Pancasila tersebut berada dalam ruang dan waktu. Pancasila tentu tidak akan bisa nihil dari ruang dan waktu. Makanya, sebagai konsekuensinya ialah Pancasila akan terus menuai pemaknaan demi pemaknaan yang tidak bisa dihindarinya. Lokalitas dan waktu itu yang kemudian menyebabkan Pancasila ditafsirkan berbeda-beda.
Di era Orde Baru, penafsiran Pancasila dilakukan oleh sejumlah ahli dari berbagai varian profesi dan akademisi yang tergabung di dalam Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang tersebar di seluruh Indonesia. BP7 menjadi instrument pemerintah untuk melakukan penataran dari 40 jam hingga 120 jam plus.
Untuk memahami Pancasila, maka ada beberapa hal yang harus dijadikan sebagai pedoman: pertama, Menjaga nilai luhur Pancasila yang bercorak universal, Ketuhanan. Bangsa Indonesia mestilah beragama dan berkeyakinan terhadap keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Masyarakat Indonesia tidak boleh menjadi atheis atau tidak berketuhanan. Konsekuensi menerima Pancasila sebagai pandangan hidup artinya bahwa masyarakat Indonesia harus menjadikan hidup yang berketuhanan tersebut, apapun coraknya.
Di sinilah letaknya penolakan kita terhadap komunisme yang berbasis pada atheisme. Bagi bangsa Indonesia, berketuhanan adalah mutlak adanya. Tidak ada pilihan bagi kita untuk tidak menjadikan kehidupan kita itu berketuhanan. Di dalam konteks ini, penolakan terhadap atheisme juga sekaligus penolakan terhadap keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara. Dengan menjadikan agama sebagai dasar negara, maka akan dapat dipastikan akan terjadi polarisasi yang sangat kuat di tengah Indonesia yang plural dan multicultural.
Tentu apa yang diputuskan oleh para pendiri bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi dasar berbangsa merupakan pilihan yang sangat cerdas. Bayangkan dengan menjadikan agama sebagai dasar negara, maka akan dipastikan terjadi perpecahan yang luar biasa. Misalnya dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, maka bagaimana dengan beberapa provinsi yang secara jelas bukanlah provinsi dengan penduduk Islam secara mayoritas.
Mengambil pengalaman sebagaimana diskusi di dalam sidang BPUPKI dan PPKI, maka dapat dipastikan bahwa menjadikan agama sebagai dasar negara akan menyebabkan perpecahan yang tidak terkira. Bisa ada konflik yang keras dan merupakan benturan antar penganut agama.
Kita tentu ingat bagaimana perdebatan di kala akan menetapkan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan paragraph “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” maka mempertimbangkan pendapat wakil-wakil dari Indonesia Timur, maka 7 (tujuh) kata itu lalu dicoret dan digantikan dengan pernyataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencoretan 7 (tujuh) kata ini dimaksudkan agar tidak terjadi permasalahan menyangkut wilayah-wilayah dengan kepemelukan agama non Islam.
Ketuhanan yang Maha Esa itu sudah final, sehingga penafsiran terhadapnya tentu sudahlah jelas, bahwa Indonesia bukan negara agama dan juga bukanlah negara sekuler tetapi negara yang berketuhanan. Bahkan ketuhanan yang Maha Esa. Meskipun di dalam Undang-undang Dasar ditambahkan frasa “agama dan kepercayaannya, akan tetapi sebenarnya maknanya ialah kepercayaan di dalam agama itu. Tetapi kemudian berkembang, bahwa ayat di dalam Undang-Undang dasar itu, dapat digunakan untuk menampung mereka yang tergabung di dalam aliran kepercayaan atau kebatinan. Penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) didasari oleh penafsiran bahwa pernyataan agama dan kepercayaannya adalah memisahkan antara agama dan kepercayaan. Jadilah aliran kepercayaan dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Penafsiran terhadap Ketuhanan yang Maha Esa bisa saja dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman. Hanya saja yang tidak diperbolehkan bagi orang Indonesia ialah tidak berketuhanan. Orang Indonesia atau warga negara Indonesia mesti beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan dan tidak boleh atheis. Meskipun tidak ada sangsi hukumannya, akan tetapi jelaslah bahwa atheisme dilarang di Indonesia. orang bisa dihukum jika menyebarkan atheisme sebagai sebuah keyakinan.
Kedua, Menjaga kemanusiaan. Kemudian, tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Konsep mendasarnya ialah mengenai kemanusiaan. Kata kuncinya ialah bagaimana mengimplementasikan prinsip kemanusiaan tersebut di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menempatkan kemanusiaan di dalam pergaulan di dalam dan dengan luar negeri. Kemanusiaan merupakan konsepsi yang sangat universal. Konsep ini memiliki cakupan yang sangat luas. Konsep kemanusiaan di dalam banyak hal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga dimensi berkeadilan dan berperadaban menjadi kata kunci kemanusiaan dimaksud.
Ketiga, Menjaga Pesatuan Bangsa. Tentang NKRI, saya kira tidak ada yang meragukan kepentingannya. Indonesia dengan sejumlah pulaunya, dengan varietas suku dan bahasanya tentu membutuhkan common platform yang bisa menyatukan keberadaannya. Melalui Pancasila, maka kebinekaan tersebut dapat dimanej menjadi satu kesatuan. Dasar primordialitas yang dibentuk melalui agama, kesukuan dan keetnisan dan sebagainya bisa dilebur dalam satu melting pot berdasar Pancasila. Jadi Pancasila bisa menjadi common awareness yang mempersatukan masyarakat Indonesia yang plural menjadi bersatu.
Keempat, Menjaga Musyawarah. Yang menarik untuk diperbincangkan ialah mengenai sila ke 4 (empat). Ada bermacam-macam penafsiran terhadap sila kerakyatan ini. Di era Presiden Soekarno, maka demokrasi ialah demokrasi terpimpin. Demokrasi yang berbasis pada budaya kepemimpinan kharismatik dan bertumpu pada hirarkhi tertinggi kepemimpinan nasional. Lalu di era Presiden Soeharto, maka demokrasi yang diajarkan ialah demokrasi Pancasila. Hanya saja yang dilakukan ialah kepemimpinan nasional yang sebenarnya nyaris sama dengan kepemimpinan nasional di masa lalu. Kemudian di masa reformasi, maka praktik kepemimpinan nasional didasarkan sebagai demokrasi barat, one man one vote. Melalui pilkada dan pilpres, maka demokrasi kita itu sama dengan demokrasi di barat.
Jadi, sesungguhnya penafsiran terhadap sila ke 4 (empat) itu juga sangat tergantung pada bagaimana para elit menterjemahkannya. Siapa yang memimpin itulah yang menterjemahkan bagaimana penafsiran Pancasila tersebut. Setiap era ada upaya untuk memberikan penafsirannya secara spesifik.
Reformasi yang digulirkan pasca lengsernya Presiden Soeharto yang diikuti dengan perubahan demi perubahan atas UUD 1945, semakin memperkokoh penafsiran Pancasila itu di dalam regulasi. Dan sebagaimana yang diketahui bahwa corak perubahan yang dilakukan itu nyaris dipengaruhi oleh praktik demokrasi barat, yang pelaksanaannya sama dengan berbagai pilkada, pilpres, pileg dan sebagainya.
Kelima, Menjaga keadilan sosial. Salah satu yang membuat rakyat sejahtera ialah jika pembangunan menyentuh kepentingan rakyat. Pembangunan dianggap berhasil jika rakyat merasa memperoleh manfaat yang nyata. Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya perlu didiskusikan dan dipelajari saja akan tetapi yang justru mendasar ialah bagaimana mengimplementasikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Selama kemiskinan masih tinggi, kesenjangan sosial masih tinggi dan pemerataan pembangunan masih timpang, maka selama itu dianggap bahwa negara belum hadir. Dan yang lebih parah lagi jika ada anggapan bahwa pembangunan bangsa ini tidak sampai kepada sasarannya.
Pancasilaku dan Pancasila kita itu sesungguhnya akan memperoleh makna hakikinya ketika kesejahteraan sosial sebagai tujuan bernegara akan bisa digapai. Oleh karena itu tugas kita semua ialah bagaimana terus mengupayakan agar rakyat ikut memiliki negeri ini dengan falsafah dasar negaranya ialah Pancasila.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..