• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (2)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (2)
Kampus kita memang tidak steril dari gerakan radikalisme. Semenjak diimpornya Hizbut Tahrir ke Indonesia dari negeri asalnya, Libanon, maka kemudian gerakan ini bermetamorfosis menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menjadikan kampus sebagai home base. Kampus seperti Sekolah Tinggi Akuntan (STAN) di bawah Kementerian Keuangan adalah kampus yang awal menjadi home base gerakan salafi dan kemudian berturut-turut seperti IPB, ITB, UI, UB, UA, ITS dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Mereka menguasai masjid-masjid kampus dengan gerakan Rohani Islam (ROHIS), dan menjadikan masjid sebagai pusat gerakannya. Bahkan mereka juga menguasai asrama-asrama mahasiswa sebagai tempat untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan. Gerakan mereka menjadi massive karena didukung oleh mahasiswa-mahasiswa cerdas yang memang sengaja direkrut untuk kepentingan membesarkan gerakan Salafi.
Dengan menjadikan kampus sebagai home base-nya, maka mereka memperoleh tenaga-tenaga muda yang cerdas dan memiliki ikatan emosional yang sangat tinggi. Mereka menjadi militan. Di kampus lalu terdapat varian-varian pemahaman agama berbasis pada gerakan Salafi ini, namun yang kuat adalah Gerakan Tarbiyah, KAMMI, HTI dan sebagian lainnya yang berafiliasi kepada Gerakan salafi.
Meskipun berbeda-beda, namun tujuannya sama ialah untuk menegakkan Islam Syumuliyah atau Islam kaffah dan yang lebih tegas lagi ialah menegakkan Daulah Islamiyah atau gerakan Khilafah. Memang ada gradasinya dalam konteks mendirikan negara Islam, misalnya HTI yang paling provokatif, akan tetapi arus utamanya ialah keinginan untuk menerapkan syariah Islam yang kaffah tersebut.
Disebabkan oleh tema-tema menegakkan syariat Islam secara kaffah, maka banyak juga ulama kita yang terprovokasi. Apalagi di saat itu sedang menguat Gerakan Liberalisasi Islam yang juga turut meramaikan terhadap gerak pemikiran keagamaan di Indonesia. mereka menjadikan liberalisme agama sebagai lawannya dan mengajak para ulama untuk mendukungnya.
Ketika saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, pada suatu kesempatan saya pernah complain kepada Direktur Jenderal Pendidikan Islam, khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, yang mengirimkan para santri terbaik dari Pondok Pesantren untuk mengambil kuliah di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dan ternyata mereka yang dikuliahkan tersebut justru menjadi bagian tidak terpisahkan dari mereka yang terkena virus Islam garis keras. Para santri itu memang ditempatkan di asrama mahasiswa, sementara itu para mentornya ialah mereka yang berasal dari Islam Syumuliyah tersebut. Saya menyatakan: “yang membiayai kita, Kementerian Agama, akan tetapi mereka panen”. Itulah cikal bakal lalu didirikan suatu Forum Silaturahim Mahasiswa Program Bantuan Santri Berprestasi, yang hingga sekarang masih eksis. Dalam 3 (tiga) bulan sekali mereka bertemu untuk mengingatkan kembali agar mereka tetap berada di dalam jalur Islam wasathiyah, yang selama ini menjadi pegangan dunia pesantren.
Jika sekarang lalu banyak kampus yang terpapar virus radikalisme, maka saya kira hal itu sangat wajar, sebab persemaian bibit radikalisme itu sudah berjalan bertahun-tahun dengan cara yang sistematis. Mereka ini memanfaatkan HAM dan keterbukaan untuk menggalang kekuatan melalui rekruitmen yang terencana.
Sekarang kita sedang menuai tanaman yang sudah mereka tanam dalam waktu puluhan tahun. Jika kita menggunakan ukuran waktu pengebom beberapa gereja di Surabaya, misalnya Dita, maka dia menjadi pimpinan ROHIS sudah semenjak di SMAN 5 Surabaya tahun 2000-an. Dan jika menggunakan ukuran sewaktu anak saya mau memasuki IPB berarti sudah semenjak tahun 2000-an juga. Artinya bahwa dalam kurun waktu 20 tahunan maka tanaman itu sungguh sudah rimbun dan tinggal menuai buahnya. Buah pun sudah didapatkan.
Lalu, kita tentu harus ekstra hati-hati menghadapi kenyataan ini, sebab mereka juga melakukan upaya agar secara penampilan tidak mudah dikenali. Mereka bisa saja memakai celana jin dan kaos trendi. Tidak seperti di masa lalu yang identitas mereka sangat mudah dikenali, yaitu pakaian gamis, jenggot panjang, celana cingkrang dan jidat hitam. Sungguh situasi sudah mengajari mereka bagaimana mereka melakukan pembangkangan terhadap negara ini.
Jadi, kita mesti harus ekstra keras untuk memahaminya. Dan saya kira kita juga pasti punya cara untuk menjinakkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..