• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (3)

PANCASILAKU PANCASILA KITA (3)
Ada sebuah pertanyaan yang saya kira penting untuk dijawab terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus juga sebagai falsafah bangsa Indonesia. Pertanyaan itu ialah apakah Pancasila harus dibaca stagnan apa adanya sebagaimana keadaan masa lalu, ataukah harus dibaca dinamis dalam konteks kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Di dalam konsepsi sosiologis, maka ada 2 (dua) hal mendasar yang terjadi dalam wacana perubahan, yaitu: continuity within change, dan continuity and change. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila tentu merupakan hasil consensus bangsa yang sudah mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat. Para founding fathers dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya dari berbagai komponen bangsa, para pemimpin negara, para ulama, para tokoh agama dan segenap jajaran masyarakat Indonesia sangat menyadari bahwa Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa.
Berbagai survey –meskipun ada anggapan Pancasila sudah tidak lagi bisa menjadi perekat bangsa—akan tetapi selalu saja mayoritas bangsa ini beranggapan bahwa Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa yang plural ini. Memang ada elemen bangsa yang sangat kecil jumlahnya yang memiliki pandangan lain, misalnya keinginan menjadikan agama sebagai ideology bangsa.
Kelompok Hizbut Tahrir Indonesi (HTI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan sebagainya beranggapan bahwa yang bisa menjadi pemersatu dunia internasional adalah Islam. Sebagai pedoman bertingkah laku sehari-hari dan sebagai ajaran yang momot universalitas ajaran, memang bisa dinyatakan benar bahwa agama Islam bisa menjadikan masyarakat bersatu dalam bentuk ukhuwah Islamiyah. Tidak ada yang menolak tentang hal ini.
Islam memiliki konsepsi-konsepsi universal yang bisa dijadikan sebagai model merajut kebersamaan dan kesatuan dalam ukhuwah Islamiyah. Namun demikian, untuk dijadikan sebagai ideology kenegaraan tentu sangat tergantung kepada pilihan politik warga bangsanya. Bangsa Indonesia yang secara representative diwakili oleh tokoh-tokoh nasional, dan tokoh-tokoh agama pada saat pembahasan dasar negara dan ideology bangsa, telah menentukan bahwa dasar negara yang bisa memayungi terhadap kebinekaan bangsa ini ialah Pancasila.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa selama 3,5 tahun, kita berdebat di dalam Konstituante untuk memilih apakah dasar negara Indonesia: Islam, Nasionalisme atau Komunisme, maka dengan kekuatan yang diberikan untuk bangsa ini, maka akhirnya dilakukanlah Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 dan artinya bahwa dasar negara kita ialah Pancasila.
Zaman mengalami perubahan yang luar biasa cepatnya. Maka Pancasila tentu tidak boleh menjadi penghambat laju perubahan yang positif. Pancasila harus fleksibel di dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Janganlah Pancasila justru menjadi sarana kejumudan atau ketertinggalan. Oleh karena itu, pemaknaan Pancasila harus relevan dengan zamannya. Pancasila yang berisi pedoman moral itu harus mengalami pemahaman demi pemahaman yang bernafaskan sila-sila di dalamnya. Pancasila memang merupakan doktrin universal tentang Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Jika pemahaman atau pengamalan kehidupan relevan dengan pesan inti dari Pancasila ini, maka sesungguhnya tidak akan terjadi penyimpangan dari Pancasila.
Secara historis dapat diketahui ada beberapa penafsiran terhadap Pancasila. Misalnya mengenai pandangan tentang Pancasila bisa diperas menjadi trisila dan bahkan ekasila. Di dalam ekasila itu ialah gotong royong. Penafsiran Ir. Soekarno ini tentu saja berdasar atas pandangan Beliau tentang betapa pentingnya gotong royong di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun demikian, yang penting diperhatikan ialah apakah dengan hanya gotong royong bisa menggambarkan tentang Pancasila dimaksud. Tentu saja di sinilah yang disebut sebagai penafsiran, yang tentu saja mengandung makna “kurang lebih”.
Lalu di masa Soeharto, maka juga dilakukan penafsiran Pancasila menjadi 36 butir yang dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Butir-butir Pancasila itu merupakan penafsiran terhadap Pancasila yang memang bersifat general dan universal. Ajaran-ajaran di dalam Pancasila tidak spesifik dan khusus. Ajaran ini memiliki cakupan yang sangat luas dan mendasar, sehingga bisa saja ditafsirkan sesuai dengan siapa yang menafsirkannya.
Bagi kita, berbagai penfasiran itu tentu merupakan konsekuensi dari cakupan dan universalitas Pancasila sebagai pedoman yang general. Di era sekarang, Pancasila juga menuai penafsiran baru sesuai dengan zamannya. Misalnya demokrasi dengan model one man one vote, yang sesungguhnya adalah model demokrasi Barat kemudian diadaptasi di dalam demokrasi di Indonesia, yang di masa lalu disebut sebagai demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi perwakilan. Para wakil rakyat yang memilih presiden dan wakil presiden dan berjenjang ke bawah, gubernur, bupati atau walikota. Tafsiran ini tentu disesuaikan dengan perubahan dalam demokrasi yang terjadi di sebagian masyarakat dan negara di dunia.
Bagi kita, perubahan demi perubahan tentu saja bisa terjadi selama tidak menihilkan terhadap makna Pancasila secara umum dan mendasar. Di dalam kerangka ini, maka yang terpenting ialah bagaimana mengimplementasikan Pancasila secara mendasar sesuai dengan pemaknaan yang ada di dalam masyarakat.
Jadi memang harus tetap ada yang lestari dan tidak boleh diganti kapan dan oleh siapapun yaitu menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final negeri ini. Inilah yang kita maksudkan dengan continuity, namun pemaknaan terhadap Pancasila dalam kaitannya dengan perubaham zaman bisa saja dilakukan sejauh masih berada di dalam konsepsi yang relevan dan tidak bertentangan dengan makna Pancasila itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..