PUASA DAN SPIRITUALITAS USAHA
Puasa merupakan ibadah rutin yang kita lakukan setiap tahun, pada Bulan Ramadlan. Puasa merupakan ibadah yang sedikit berbeda dengan ibadah lainnya di dalam Islam. Puasa mengharuskan kita menahan semua yang terkait dengan kebutuhan biologis untuk disalurkan pada siang hari dan diperkenankan untuk dilakukan di malan hari.
Ada sejumlah pedoman atau norma yang harus dijadikan sebagai rujukan di dalam melaksanan puasa. Makna fisikal puasa itu ialah menahan makan dan minum serta perbuatan seksual pada siang hari.
Islam membatasi tiga perilaku biologis itu pada siang hari saja, dan memberikan kewenangan melakukannya pada malam hari dari semenjak tenggelamnya matahari sampai waktu shubuh di pagi hari.
Tuhan mengajarkan agar manusia melakukan dekonstruksi perilaku biologis ini. Jika pada bulan lain, manusia bisa melakukan apa saja dalam kaitannya dengan perilaku biologis tersebut, maka di bulan Ramadlan, Allah memberikan kewenangan untuk perilaku bialogis itu pada malam hari saja. Tuhan mengajarkan agar tidak semua hak yang dimiliki manusia, dilakukannya dengan sesuka hatinya.
Islam mengajarkan agar manusia yang berpuasa dapat dan menjadi orang yang bertaqwa. “La’alakum tattaqun”. Dengan demikian, tujuan akhir puasa ialah menjadi orang yang taqwa. Orang yang menjaga amal perbuatannya dan juga menjaga pikiran dan sikap-sikapnya sesyau dengan norma atau kaidah agama. Dia selalu terikat dengan Tuhannya, menjaga manusia dan masyarakatnya agar selalu berada di dalam koridor kebaikan dan juga menjaga alam lingkungannya agar selaras dengan kebaikan dan kemaslahatan.
Orang yang bertaqwa adalah mereka yang terus menjaga tali relasi dengan Tuhannya, membangun relasi yang baik dengan sesama manusia dan menjaga dan mengembangkan alam sesuai dengan dimensi keseimbangan mikro dan makro kosmos. Kekuatan ibadah tidak hanya ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga harus diselaraskan dengan relasi yang baik dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.
Ketaqwaan sesungguhnya adalah tujuan akhir dari semua prosesi ibadah yang kita lakukan. Salah satu instrument untuk sampai kepada tujuan utama ibadah –tentu termasuk di dalamnya ialah puasa—ialah kepasrahan atau tawakkal. Tawakkal merupakan suatu kondisi kepasrahan secara total atau keadaan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan”.
Saya menyatakan bahwa kepasrahan itu adalah instrument untuk memperoleh ketaqwaan. Menjadi taqwa adalah hak Tuhan dan agar hak Tuhan itu bisa mengeksis dalam diri manusia, maka dibutuhkan upaya yang kuat atau kerja keras dan ibadah yang kuat. Tugas manusia dengan berbagai upayanya ialah untuk memperoleh produk ketaqwaan tersebut. Jadi jembatan untuk menjadi taqwa ialah melalui kepasrahan. Pasrah dalam setiap usaha yang dilakukan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukrawi merupakan instrument untuk menggapai ketakwaan.
Puasa yang baik dalam konteks ini, adalah puasa yang dilakukan dengan totalitas pikiran, hati dan emosi. Puasa yang menghadirkan seluruh jiwa dan raga, seluruh pikiran dan emosi, seluruh sikap dan tindakan merupakan puasa yang memiliki hirarkhi tinggi dalam perolehan ketakwaan.
Menurut Imam An Nawawi dalam Hadits Arbain pada bab awal membahas niat, maka beliau menyatakan bahwa ada 3 (tiga) niat manusia di dalam berhubungan dengan Allah atau beribadah kepada Allah. Yang pertama, ialah ibadahnya kaum budak. Dia melakukan sesuatu dengan rasa ketakutan. Tidak ada yang diniatkan di dalam ibadahnya itu kecuali takut akan siksa Allah swt. Begitu takutnya terhadap neraka seakan-akan nerakalah yang ditakutinya. Padahal sesungguhnya Allahlah penentu segalanya. Jadi seharusnya bukan rasa khauf yang dikembangkannya, tetapi harus terfokus kepada Allah saja.
Kedua ialah ibadahnya kaum pedagang. Ibadah dianggap sebagai sarana barter dengan Allah. Mereka melakukan ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan surganya Allah swt. Jadi ibadah yang dilakukannya tidak ada lain ialah agar memperoleh balasan Allah yang berupa surga.
Ketiga ialah ibadahnya orang yang mencari ridlanya Allah swt. Tidak ada kata lain yang diinginkan di dalam beribadah kecuali ingin mendapatkan keridlaan Allah swt. Tidak ingin memperoleh surga atau takut dengan neraka akan tetapi ingin memperoleh keridlaan Allah, sebab jika Allah ridla maka tidak ada sesuatu yang menyebabkannya menjadi menderita dan susah. Dengan bersama Allah karena ridlanya itu maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan.
Dengan uraian penjelasan dari Imam An Nawawi ini, maka kita akan dapat menilai di posisi manakah puasa yang kita lakukan. Dan dengan menganalisis puasa kita itu kita akan bisa memaknai puasa kita dengan sebenarnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MERESPON RADIKALISME DI MASJID (3)
Janganlah ada di antara kita yang menyatakan ada masjid radikal. Yang terjadi adalah terdapat individu atau sekumpulan individu di masjid yang terpapar virus radikalisme lalu menyebarkannya melalui masjid. Saya khawatir jika kita menyatakan bahwa ada masjid radikal, maka akan terdapat sejumlah orang yang terbiasa berjamaah di masjid itu dan sama sekali tidak terkait dengan gerakan radikalisme akan menjadi terusik. Itulah sebabnya tulisan saya berupa respon terhadap gerakan radikalisme di masjid, dan bukan masjid radikal.
Saya tetap berkeyakinan bahwa di antara masjid yang digunakan untuk menyebarkan paham radikal –khususnya Islam khilafah—tidak seluruh jamaahnya meyakini hal tersebut sebagai kebenaran. Bahkan juga ada yang sangat antipati terhadap cara-cara berkhutbah atau berceramah dengan menggunakan konsepsi anti negara dan anti pemerintah.
Kita sungguh beruntung memiliki Kementerian Agama dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dan juga agama-agama lainnya. Kita juga beruntung memiliki Dewan Masjid Indonesia, yang diketuai oleh Bapak HM. Jusuf Kalla. Kita juga memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Kyai Ma’ruf Amin sebagai ketuanya. Kita memiliki Nahdlatul Ulama (NU) dengan Prof. Dr. Said Aqil Siradj, kita juga memiliki Muhammadiyah yang diketuai oleh Dr. Haedar Nashir.
Kita semua merasakan bahwa perangkat institusional kita itu sudah sangat relevan untuk mendukung terhadap berkembangnya Islam wasathiyah. Aparat negara dengan institusinya juga mengajak untuk beragama secara wasathiyah dan seluruh organisasi besar Islam juga memiliki paham yang sama.
Dengan mengetahui realitas empiris ini, maka sebenarnya kita bisa membangun sinergi yang lebih baik. Oleh karena itu, saya kira yang diperlukan sekarang ialah membangun sinergi di antara organisasi tersebut. Ada beberapa hal yang saya kira bisa dilakukan:
Pertama, membangun data base masjid untuk kepentingan memetakan aktivitas dan kegiatan masjid, takmir dan tokoh agama yang terlibat di dalamnya dan juga para remaja masjidnya, dan jejaring masjid tersebut dengan masjid atau organisasi Islam lainnya serta potensi masjid tersebut bagi peningkatan kualitas kehidupan umat Islam.
Kedua, masing-masing bisa berbagi tugas. Ditjen Bimas Islam bisa bekerja sama dengan Balitbangdiklat untuk melakukan pemetaan tentang kegiatan dan aktivitas masjidnya. Jika diperlukan bisa juga menggunakan kankemenag kabupaten/kota dengan KUA dan penyuluh agama. DMI bisa melakukan pemetaan tentang takmir masjid dan tokoh-tokoh agamanya, lalu MUI bisa melakukan pemetaaan para khatib dan da’i di seluruh Indonesia. lalu organisasi NU dan Muhammadiyah bisa melakukan pemetaan jejaringnya.
Saya kira pemetaan semacam ini bisa dilakukan baik secara keseluruhan oleh satu institusi atau dibagi-bagi habis. Yang penting harus ada koordinasi yang kuat untuk tujuan mulia seperti ini. Harus diupayakan bahwa sinergi antar institusi baik pemerintah maupun masyarakat berjalan sesuai dengan rencananya.
Ketiga, kita sudah memiliki SIMAS atau System Informasi Manajemen Masjid yang mestinya bisa digunakan untuk menjaring profil masjid di seluruh Indonesia. Dengan system aplikasi ini, maka secara elektronik akan bisa dilakukan dengan lebih mudah. Seandainya seluruh KUA sudah terjaring dalam system aplikasi ini, maka dengan mudah untuk mengisi berbagai format yang dibutuhkan untuk membuat profile masjid. Saya kira yang diperlukan ialah kesamaan langkah dengan berbagai institusi yang memiliki keterkaitan dengan masjid. Buatlah aplikasi yang bisa melacak posisi masjid-masjid tersebut dalam peta Indonesia secara elektronik.
Keempat, sebagai lembaga pemerintah, maka Kemenag bisa menganggarkan baik di pusat maupun di daerah. Tahun 2019 harus sudah dianggarkan untuk kepentingan ini. Harus ada pemihakan anggaran dalam kerja besar ini. Untuk kepentingan ini, Ditjen Bimas Islam harus memiliki keperdulian dan pemihakan yang jelas dalam kerangka kerja besar untuk merumuskan peta masjid secara konprehensif.
Kelima, buatlah perencanaan yang konprehensif dengan kebutuhan anggaran dan waktu yang diperlukan. Saya kira membutuhkan waktu 3 (tiga) tahun untuk menghasilkan profile masjid yang konprehensif dimaksud. Saya kira memang dibutuhkan SDM yang memadai untuk kepentingan penyusunan pemetaan masjid yang konprehensif.
Saya kira sudah bukan waktunya untuk mendiskusikan secara terus menerus tentang kebutuhan ini. Kita perlu kerja dan kerja. Kita butuh gerakan yang jelas dengan tujuan yang tegas. Semuanya diupayakan dalam kerangka memperkuat peran masjid di dalam kerangka pembangunan umat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MERESPON RADIKALISME DI MASJID (2)
Pada zaman Rasulullah Muhammad saw., masjid memang bisa dijadikan sebagai tempat untuk mengatur strategi peperangan melawan kaum kafirin dan kaum musyrikin. Masjid memang dapat difungsikan untuk kepentingan politik yang memang relevan di kala itu. Rasulullah sedang berperang melawan kaum kafir dan musyrik.
Pertanyaannya ialah apakah dewasa ini, di saat Indonesia sudah memiliki pemerintah yang sah dan juga memberikan peluang bagi Islam untuk eksis dan berkembang, lalu masjid bisa difungsikan untuk kepentingan menyusun dan mengembangkan peperangan melawan pemerintah yang sah atau negara yang sudah dianggap final dalam bentuk dan fungsinya. Jawabannya tentu tidak. Ada beberapa alasan bahwa masjid tidak bisa dijadikan sebagai tempat untuk mengobarkan semangat anti negara.
Pertama, Negara Indonesia dengan dasar Pancasila dan bentuk NKRI sudahlah final sebab sudah disepakati oleh para pendiri bangsa. Berdasarkan musyawarah yang menjadi ciri khas keindonesiaan, maka seluruh perwakilan dan tokoh agama-agama menyepakati pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Negara ini tidak menjadikan agama sebagai dasar negara, sebab akan terjadi permasalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Indonesia yang terdiri dari multiagama, tentu tidaklah cocok dan tepat menggunakan agama tertentu untuk menjadi dasar negara.
Kedua, pilihan terhadap Pancasila sebagai dasar negara adalah pilihan cerdas yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pilihan sebagai negara Berketuhanan yang Maha Esa dan bukan negara agama atau negara sekuler tentu merupakan pilihan yang harus diapresiasi dengan sepenuh hati. Sangat bermakna bagi kelangsungan negara ini, hingga saat ini dan seterusnya.
Ketiga, sebagai konsekuensi terhadap pilihan sebagai negara berketuhanan, maka hubungan antara negara dan agama ialah dalam coraknya yang simbiosis mutualisme. Negara membutuhkan agama sebagai panduan moralitas penyelenggaraan negara dan agama membutuhkan negara agar pelayanan dan penyebaran agama dapat berjalan sesuai dengan regulasi yang mengaturnya. Jadi bukan pilihan yang separated atau secular dan juga bukan integrated atau menyatu antara agama dan negara.
Keempat, Indonesia adalah satu-satunya negara yang memberikan peluang bagi setiap agama untuk merayakan hari-hari besarnya dengan gegap gempita. Hanya Indonesia yang merayakan hari besar Islam di Istana negara dan dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden. Hanya Indonesia yang menjadikan hari besar agama sebagai hari libur nasional. Dan hanya Indonesia yang memberikan peluang bagi warga negara untuk beribadah secara aman dan damai bagi seluruh warga negaranya.
Kelima, Indonesia sudah teruji dalam puluhan tahun mengelola perbedaan dan membangun perdamaian berdasarkan atas Pancasila sebagai dasar negara. Meskipun negara kita bukan berdasar atas Islam, akan tetapi kita menjadi pengirim jamaah haji terbesar di dunia, 221.000 orang, dengan aman dan damai. Pemerintah memberikan cuti bersama untuk merayakan Hari Raya Idul Fithri, melebihi negara lainnya. Indonesia telah menjadi contoh yang baik bagi kerukunan dan keharmonisan umat beragama.
Apakah masih ada orang yang meragukan tentang Indonesia sebagai negara paripurna di dalam membangun keberagamaan yang damai dan harmonis. Saya kira kita perlu merenungkan sejarah bangsa-bangsa di dunia ini. Manakah negara yang bisa dijadikan contoh lebih baik dari Indonesia di dalam mengelola perbedaan antar agama. Jika masih terdapat riak-riak kecil pertentangan dan rivalitas antaragama, akan tetapi hal itu tidak merusak terhadap keseluruhan bangunan harmoni yang sudah diciptakan.
Saya kira negara sebesar Indonesia ini tidak bisa dijadikan sebagai eksperimen yang belum tentu akan lebih baik hasilnya. Saya sebagai elemen bangsa ini tidak merelakan Indonesia dijadikan sebagai eksperimen dengan berbagai dasar negara yang belum tentu bisa menyatukan Indonesia yang beragam.
Bentuk negara seperti khilafah, komunisme atau lainnya tidak bisa dijadikan sebagai eksperimen untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara. Makanya, bagi semua elemen bangsa harus memahami bahwa Pancasila adalah satu-satunya dasar negara yang cocok bagi Indonesia.
Untuk kepentingan ini, maka para penyiar agama haruslah menjadi garda depan bagi bangsa ini untuk menebarkan Indonesia yang damai dan harmonis dengan mengedepankan kerukunan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MERESPON RADIKALISME DI MASJID (1)
Jika ada orang atau pejabat yang menyatakan bahwa ada sejumlah masjid yang terkena virus radikalisme saya kira sikap kita tidak perlu marah apalagi lalu mengumpat. Sikap kita tentu saja harus berbasis pada kenyataan empiris –berdasarkan fakta—apakah memang ada masjid atau tempat ibadah lain yang menyuarakan terhadap gerakan radikalisme tersebut. Menurut Wakil Gubernur DKI dalam detik.com, bahwa jumlahnya kira-kira 40 masjid.
Sikap ini yang saya kira lebih relevan untuk menjawab tentang bagaimana menanggapi isuue santer tentang sejumlah masjid dan juga kampus perguruan tinggi yang ternyata terpapar virus radikalisme. Menurut saya, sikap yang lebih tepat ialah melakukan serangkaian perenungan, pemikiran dan kajian-kajian yang mendalam dan aksi dalam menghadapi tuduhan dimaksud.
Sebenarnya untuk mengetahui tentang ada atau tidak adanya gerakan radikalisme tersebut sangatlah mudah. Tidak memerlukan pengkajian terlalu akademis dan jelimet. Cukup dengan menyebarkan satu tim untuk mendengarkan khutbah atau ceramah agama di tempat ibadah itu, maka akan diketahui apakah di masjid itu ada elemen yang bisa dikategorikan sebagai masjid yang dijadikan sebagai sarana untuk menyebarkan virus radikalisme.
Pernah saya tulis di blog saya ini tentang kehadiran saya untuk menjadi jamaah di Masjid Pasar Jatinegara, pasar batu akik, kira-kira setengah tahun yang lalu dan bertepatan dengan hari Jumat. Saya tentu saja mengikuti shalat Jumat di masjid itu dan ternyata khatibnya dengan lantang menyuarakan agar masyarakat menegakkan khilafah Islam. Dengan pakaian khasnya, jenggot, gamis dan jidat hitamnya, maka rasanya memang dia adalah penganut Islam garis keras. Performance dan ucapannya atau materi khutbahnya sangat relevan bagi khatib itu untuk disebut sebagai pendakwah khilafah Islamiyah.
Persoalannya ialah apakah takmir masjid di Rawa Bening tersebut memahami tentang hal ini, atau jika lebih diperdalam apakah takmir masjid adalah mereka yang tergolong penganut Islam Khilafah ini? Beberapa pertanyaan saya kira dapat kita kedepankan. Jika terhadap pertanyaan yang pertama, kiranya memang takmir masjid tidak memahami tentang apa yang dilakukan oleh para khatibnya, akan tetapi terhadap pertanyaan kedua, maka inilah yang sungguh mengkhawatirkan.
Saya pernah bertemu di dalam acara yang digelar di Bandung oleh organisasi Islam dan ketuanya menyatakan bahwa masjid-masjid di daerah perumahan di DKI sudah terjaring dengan salah seorang ustadz yang dapat dikategorikan sebagai penganut Islam khilafah. Dia seorang aktivis dan masjid-masjid tersebut sudah terjaring di dalam jejaring binaannya, yang dalam sebulan sekali ustadz itu berkeliling untuk memberikan ceramah. Tentang cerita ini saya cukup percaya, sebab beliau yang bercerita itu layak dipercaya.
Cerita ini tentu bisa menggambarkan betapa masjid-masjid di DKI sudah menjadi bagian dari gerakan Islam khilafah meskipun secara samar-samar. Saya tetap berkeyakinan bahwa informasi ini belum bisa dijadikan sebagai ukuran yang jelas tanpa ada kajian lebih lanjut. Namun saya kira bisa menjadi bagian dari studi awal tentang keterpaparan jamaah masjid kita tentang virus radikalisme.
Masjid tentu merupakan tempat yang seharusnya bisa dijadikan sebagai tenpat untuk menyebarkan ajaran agama. Meskipun ada pemikiran bahwa masjid bisa dijadikan sebagai ajang untuk mengembangkan banyak hal di dalam kehidupan, misalnya pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, maka tetap saja semuanya bermuara akhir pada peningkatan pemahaman dan pengamalan agama.
Jauh dimasa lalu, Sidi Gazalba sudah menulis bahwa masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah akan tetapi juga sebagai tempat untuk aktivitas pembangunan kebudayaan dan kehidupan. Masjid memiliki fungsi untuk membangun kebudayaan Islam. Di dalam konteks ini, maka masjid dapat digunakan untuk mengembangkan program kebudayaan dan kemasyarakatan. Intinya, masjid tidak hanya untuk ibadah mahdhah saja.
Gerakan untuk memfungsikan masjid sebagai tempat pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan tentu sudah melazimi kehidupan ini. Masjid dapat berfungsi untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Makanya, masjid dapat berperan lebih di dalam penguatan kehidupan jamaahnya.
Namun akhir-akhir ini, yang tentunya “menggelisahkan” kita ialah dijadikannya masjid sebagai sarana untuk mengembangkan politik anti negara. Dengan ceramah dan berbagai diskusi tentang penerapan khilafah Islamiyah, maka secara langsung sudah merupakan bentuk pengingkaran kepada pemerintah dan negara Indonesia.
Khutbah yang saya dengar di Masjid Rawabening mengindikasikan bahwa tempat ibadah kita itu sudah dijadikan sebagai wahana untuk menyebarkan virus Islam khilafah. Dan ini bukan satu-satunya masjid di Jakarta.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (3)
Saya juga tidak menjadi kaget ketika di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri akhirnya juga didapati sejumlah mahasiswa dan dosen yang terpapar virus radikalisme. Jika di masa lalu ada anggapan bahwa mahasiswa PTKIN terselamatkan dari virus radikalisme, maka pandangan itu tentu tidak lagi relevan.
Dengan perubahan status dari IAIN menjadi UIN, maka dipastikan bahwa sumber daya mahasiswa PTKIN pun semakin bervariasi. Jika di masa lalu kebanyakan berasal dari pesantren atau madrasah, maka akhirnya sebagaimana hukum alam, maka sumber daya mahasiswa PTKIN juga banyak yang dari SMA atau lainnya. Artinya, bahwa variasi mahasiswa ini tentu terkait dengan keberadaan ROHIS yang selama ini telah banyak memasukkan unsur beragama dalam garis keras.
Sungguh PTKIN juga tidak steril dari pengaruh radikalisme. Dengan keberadaan Bachrun Naim, yang pernah belajar di UIN Jakarta, maka dipastikan bahwa generasi kelanjutannya tentu didapatkan di dalamnya. Harus diingat bahwa mereka adalah sel yang terus hidup meskipun sel utamanya telah tiada.
Saya juga membenarkan jika terdapat beberapa elemen dosen yang terpapar virus radikalisme ini. Berdasarkan tumbuhnya program studi sains dan teknologi, maka dipastikan bahwa rekruitmen dosen juga memastikan dari PTU yang selama ini telah menghasilkan SDM di bidang tersebut. Jadi, semuanya memang berkait kelindan dengan tumbuh suburnya tanaman radikalisme di PT kita.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, ternyata juga didapatkan dosen di beberapa PTKIN kita yang secara meyakinkan sebagai pengikut ajaran agama dalam coraknya yang hard line. Ada di antaranya yang pengurus HTI di tingkat provinsi dan juga ada yang memang penganut ajaran HTI. Jadi mereka juga berkeyakinan bahwa khilafah Islamiyah harus didirikan.
Bahkan di PTKIN juga terdapat labelisasi dosen NKRI dan dosen Syariah. Dosen NKRI adalah dosen yang selama ini memperjuangkan tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan. Sedangkan labelisasi dosen syariah mengacu kepada paham keberagamaannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan penerapan Islam kaffah atau Islam syumuliyah.
Saya berkeyakinan bahwa jika yang terpapar itu dosen, maka pengaruhnya tentu luar biasa. Bisa dibayangkan jika dalam 1 (satu) semester mereka mengajar 5 (lima) kelas dengan rata-rata 30 mahasiswa, maka akan dibayangkan berapa orang yang bisa dipengaurhinya. Sekurang-kurangnya mereka akan diajari untuk membaca buku-buku yang selama ini menjadi dasar atau paham keagamaannya.
Untuk meyakini bahwa mereka memang aktivis, tentu harus dilakukan studi jejaring, yang saya yakin akan bisa untuk menguak lebih mendalam tentang keterlibatan dosen tersebut. Melalui studi jejaring akan bisa diyakinkan bagaimana peran seseorang di dalam suatu gerakan atau aktivitas. Makanya, diperlukan sebuah keyakinan tentang keterlibatan seseorang di dalam jaringan radikalisme.
Saya sesungguhnya juga berkeyakinan bahwa para rector atau dekan mengetahui tentang apa yang sesungguhnya menjadi pemahaman keagamaan para dosennya. Sekurang-kurangnya mengetahui bagaimana paham keagamaan tersebut dari berbagai sumber yang dianggapnya valid. Sehingga sebenarnya tidak sulit untuk mengidentifikasi awal tentang siapa sesungguhnya mereka itu.
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mengerem laju gerakan radikal ini, yaitu: pertama, memperkuat kembali organisasi intra dan ekstra kampus. Para aktivis mahasiswa intra kampus harus benar-benar teruji tidak hanya dari dimensi kecerdasannya, akan tetapi juga paham keagamaannya. Harus diketahui dengan jelas apa aktivitasnya selama ini. Jangan sampai karena keinginan demokrasi kampus lalu mengorbankan dimensi paling mendasar tentang kenegaraan dan kebangsaan.
Organisasi ekstra kampus juga agar kembali ke habitatnya sebagai wadah untuk memperkuat keberagamaan anggotanya. Organisasi ekstra kampus harus cerdas membaca zaman. Ketika ada semakin banyak mahasiswa ingin memperdalam agamanya, ternyata organisasi ekstra kampus justru menawarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keinginan tersebut, seperti liberalism dan pikiran-pikiran lainnya.
Kedua, memperkuat jejaring antar organisasi intra kampus dan ekstra kampus. Selama ini sepertinya organisasi semacam HTI dan KAMMI justru lebih digdaya dibandingkan organisasi kemahasiswaan lainnya. Banyak organisasi intra kampus, seperti HMJ, Senat Mahasiswa, pengurus ROHIS dan sebagainya yang dikuasai oleh mereka ini. Saya menjadi teringat ada sebuah kampus negeri di Surabaya, yang melarang kegiatan Yasinan, Dzibaan dan lainnya karena masjid itu sudah dikuasai oleh kelompok anti bidh’ah. Makanya, organisasi intra kampus harus steril dari Islam garis keras. Dan organisasi intra kampus harus menjadi ajang untuk membangun intelektualisme dan aktivisme yang dipedomani oleh Islam wasathiyah.
Ketiga, pimpinan PTKIN harus berani melakukan upaya “pembersihan” kampus dari elemen yang membahayakan negara. Dirasakan betapa pentingnya para rector untuk memetakan dengan jelas, siapa dosen-dosen dan karyawan-karyawannya yang misalnya tidak pernah mau upacara karena di dalamnya ada hormat bendera, dan bahkan juga wacana-wacana yang diunggah baik melalui media sosial atau diskusi dan pembicaraan informal. Pimpinan PTKIN harus memiliki data base tentang pemahaman keberagamaan para stafnya, baik tenaga pendidik atau tenaga kependidikan.
Keempat, para rector harus bekerja sama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Islam dan juga Inspektorat Jenderal untuk mengkaji, membahas dan melakukan tindakan yang relevan dengan apa yang dilakukan oleh dosen atau karyawan yang memang secara nyata dan teruji terpapar virus radikalisme.
Kelima, mengembangkan pemahaman agama ( baca Islam) yang wasathiyah. Harus ditemukan berbagai metode dan media yang relevan untuk terus menumbuhkembangkan paham keagamaan yang relevan dengan bangsa Indonesia. saya kira harus ada kegiatan yang dilakukan agar gerakan Islam wasathiyah itu terus berkumandang. Jangan sampai kampus kita justru dikuasai oleh mereka yang memanfaatkan HAM dan keterbukaan atau demokrasi untuk kepentingan merusak negeri ini dari dalam.
Wallahu a’lam bi al shawab.