Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN SPIRITUALITAS USAHA

PUASA DAN SPIRITUALITAS USAHA

Puasa merupakan ibadah rutin yang kita lakukan setiap tahun, pada Bulan Ramadlan. Puasa merupakan ibadah yang sedikit berbeda dengan ibadah lainnya di dalam Islam. Puasa mengharuskan kita menahan semua yang terkait dengan kebutuhan biologis untuk disalurkan pada siang hari dan diperkenankan untuk dilakukan di malan hari.
Ada sejumlah pedoman atau norma yang harus dijadikan sebagai rujukan di dalam melaksanan puasa. Makna fisikal puasa itu ialah menahan makan dan minum serta perbuatan seksual pada siang hari.
Islam membatasi tiga perilaku biologis itu pada siang hari saja, dan memberikan kewenangan melakukannya pada malam hari dari semenjak tenggelamnya matahari sampai waktu shubuh di pagi hari.
Tuhan mengajarkan agar manusia melakukan dekonstruksi perilaku biologis ini. Jika pada bulan lain, manusia bisa melakukan apa saja dalam kaitannya dengan perilaku biologis tersebut, maka di bulan Ramadlan, Allah memberikan kewenangan untuk perilaku bialogis itu pada malam hari saja. Tuhan mengajarkan agar tidak semua hak yang dimiliki manusia, dilakukannya dengan sesuka hatinya.
Islam mengajarkan agar manusia yang berpuasa dapat dan menjadi orang yang bertaqwa. “La’alakum tattaqun”. Dengan demikian, tujuan akhir puasa ialah menjadi orang yang taqwa. Orang yang menjaga amal perbuatannya dan juga menjaga pikiran dan sikap-sikapnya sesyau dengan norma atau kaidah agama. Dia selalu terikat dengan Tuhannya, menjaga manusia dan masyarakatnya agar selalu berada di dalam koridor kebaikan dan juga menjaga alam lingkungannya agar selaras dengan kebaikan dan kemaslahatan.
Orang yang bertaqwa adalah mereka yang terus menjaga tali relasi dengan Tuhannya, membangun relasi yang baik dengan sesama manusia dan menjaga dan mengembangkan alam sesuai dengan dimensi keseimbangan mikro dan makro kosmos. Kekuatan ibadah tidak hanya ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga harus diselaraskan dengan relasi yang baik dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.
Ketaqwaan sesungguhnya adalah tujuan akhir dari semua prosesi ibadah yang kita lakukan. Salah satu instrument untuk sampai kepada tujuan utama ibadah –tentu termasuk di dalamnya ialah puasa—ialah kepasrahan atau tawakkal. Tawakkal merupakan suatu kondisi kepasrahan secara total atau keadaan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan”.
Saya menyatakan bahwa kepasrahan itu adalah instrument untuk memperoleh ketaqwaan. Menjadi taqwa adalah hak Tuhan dan agar hak Tuhan itu bisa mengeksis dalam diri manusia, maka dibutuhkan upaya yang kuat atau kerja keras dan ibadah yang kuat. Tugas manusia dengan berbagai upayanya ialah untuk memperoleh produk ketaqwaan tersebut. Jadi jembatan untuk menjadi taqwa ialah melalui kepasrahan. Pasrah dalam setiap usaha yang dilakukan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukrawi merupakan instrument untuk menggapai ketakwaan.
Puasa yang baik dalam konteks ini, adalah puasa yang dilakukan dengan totalitas pikiran, hati dan emosi. Puasa yang menghadirkan seluruh jiwa dan raga, seluruh pikiran dan emosi, seluruh sikap dan tindakan merupakan puasa yang memiliki hirarkhi tinggi dalam perolehan ketakwaan.
Menurut Imam An Nawawi dalam Hadits Arbain pada bab awal membahas niat, maka beliau menyatakan bahwa ada 3 (tiga) niat manusia di dalam berhubungan dengan Allah atau beribadah kepada Allah. Yang pertama, ialah ibadahnya kaum budak. Dia melakukan sesuatu dengan rasa ketakutan. Tidak ada yang diniatkan di dalam ibadahnya itu kecuali takut akan siksa Allah swt. Begitu takutnya terhadap neraka seakan-akan nerakalah yang ditakutinya. Padahal sesungguhnya Allahlah penentu segalanya. Jadi seharusnya bukan rasa khauf yang dikembangkannya, tetapi harus terfokus kepada Allah saja.
Kedua ialah ibadahnya kaum pedagang. Ibadah dianggap sebagai sarana barter dengan Allah. Mereka melakukan ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan surganya Allah swt. Jadi ibadah yang dilakukannya tidak ada lain ialah agar memperoleh balasan Allah yang berupa surga.
Ketiga ialah ibadahnya orang yang mencari ridlanya Allah swt. Tidak ada kata lain yang diinginkan di dalam beribadah kecuali ingin mendapatkan keridlaan Allah swt. Tidak ingin memperoleh surga atau takut dengan neraka akan tetapi ingin memperoleh keridlaan Allah, sebab jika Allah ridla maka tidak ada sesuatu yang menyebabkannya menjadi menderita dan susah. Dengan bersama Allah karena ridlanya itu maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan.
Dengan uraian penjelasan dari Imam An Nawawi ini, maka kita akan dapat menilai di posisi manakah puasa yang kita lakukan. Dan dengan menganalisis puasa kita itu kita akan bisa memaknai puasa kita dengan sebenarnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..