• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (3)

MERESPON RADIKALISME DI KAMPUS (3)
Saya juga tidak menjadi kaget ketika di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri akhirnya juga didapati sejumlah mahasiswa dan dosen yang terpapar virus radikalisme. Jika di masa lalu ada anggapan bahwa mahasiswa PTKIN terselamatkan dari virus radikalisme, maka pandangan itu tentu tidak lagi relevan.
Dengan perubahan status dari IAIN menjadi UIN, maka dipastikan bahwa sumber daya mahasiswa PTKIN pun semakin bervariasi. Jika di masa lalu kebanyakan berasal dari pesantren atau madrasah, maka akhirnya sebagaimana hukum alam, maka sumber daya mahasiswa PTKIN juga banyak yang dari SMA atau lainnya. Artinya, bahwa variasi mahasiswa ini tentu terkait dengan keberadaan ROHIS yang selama ini telah banyak memasukkan unsur beragama dalam garis keras.
Sungguh PTKIN juga tidak steril dari pengaruh radikalisme. Dengan keberadaan Bachrun Naim, yang pernah belajar di UIN Jakarta, maka dipastikan bahwa generasi kelanjutannya tentu didapatkan di dalamnya. Harus diingat bahwa mereka adalah sel yang terus hidup meskipun sel utamanya telah tiada.
Saya juga membenarkan jika terdapat beberapa elemen dosen yang terpapar virus radikalisme ini. Berdasarkan tumbuhnya program studi sains dan teknologi, maka dipastikan bahwa rekruitmen dosen juga memastikan dari PTU yang selama ini telah menghasilkan SDM di bidang tersebut. Jadi, semuanya memang berkait kelindan dengan tumbuh suburnya tanaman radikalisme di PT kita.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, ternyata juga didapatkan dosen di beberapa PTKIN kita yang secara meyakinkan sebagai pengikut ajaran agama dalam coraknya yang hard line. Ada di antaranya yang pengurus HTI di tingkat provinsi dan juga ada yang memang penganut ajaran HTI. Jadi mereka juga berkeyakinan bahwa khilafah Islamiyah harus didirikan.
Bahkan di PTKIN juga terdapat labelisasi dosen NKRI dan dosen Syariah. Dosen NKRI adalah dosen yang selama ini memperjuangkan tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan. Sedangkan labelisasi dosen syariah mengacu kepada paham keberagamaannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan penerapan Islam kaffah atau Islam syumuliyah.
Saya berkeyakinan bahwa jika yang terpapar itu dosen, maka pengaruhnya tentu luar biasa. Bisa dibayangkan jika dalam 1 (satu) semester mereka mengajar 5 (lima) kelas dengan rata-rata 30 mahasiswa, maka akan dibayangkan berapa orang yang bisa dipengaurhinya. Sekurang-kurangnya mereka akan diajari untuk membaca buku-buku yang selama ini menjadi dasar atau paham keagamaannya.
Untuk meyakini bahwa mereka memang aktivis, tentu harus dilakukan studi jejaring, yang saya yakin akan bisa untuk menguak lebih mendalam tentang keterlibatan dosen tersebut. Melalui studi jejaring akan bisa diyakinkan bagaimana peran seseorang di dalam suatu gerakan atau aktivitas. Makanya, diperlukan sebuah keyakinan tentang keterlibatan seseorang di dalam jaringan radikalisme.
Saya sesungguhnya juga berkeyakinan bahwa para rector atau dekan mengetahui tentang apa yang sesungguhnya menjadi pemahaman keagamaan para dosennya. Sekurang-kurangnya mengetahui bagaimana paham keagamaan tersebut dari berbagai sumber yang dianggapnya valid. Sehingga sebenarnya tidak sulit untuk mengidentifikasi awal tentang siapa sesungguhnya mereka itu.
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mengerem laju gerakan radikal ini, yaitu: pertama, memperkuat kembali organisasi intra dan ekstra kampus. Para aktivis mahasiswa intra kampus harus benar-benar teruji tidak hanya dari dimensi kecerdasannya, akan tetapi juga paham keagamaannya. Harus diketahui dengan jelas apa aktivitasnya selama ini. Jangan sampai karena keinginan demokrasi kampus lalu mengorbankan dimensi paling mendasar tentang kenegaraan dan kebangsaan.
Organisasi ekstra kampus juga agar kembali ke habitatnya sebagai wadah untuk memperkuat keberagamaan anggotanya. Organisasi ekstra kampus harus cerdas membaca zaman. Ketika ada semakin banyak mahasiswa ingin memperdalam agamanya, ternyata organisasi ekstra kampus justru menawarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keinginan tersebut, seperti liberalism dan pikiran-pikiran lainnya.
Kedua, memperkuat jejaring antar organisasi intra kampus dan ekstra kampus. Selama ini sepertinya organisasi semacam HTI dan KAMMI justru lebih digdaya dibandingkan organisasi kemahasiswaan lainnya. Banyak organisasi intra kampus, seperti HMJ, Senat Mahasiswa, pengurus ROHIS dan sebagainya yang dikuasai oleh mereka ini. Saya menjadi teringat ada sebuah kampus negeri di Surabaya, yang melarang kegiatan Yasinan, Dzibaan dan lainnya karena masjid itu sudah dikuasai oleh kelompok anti bidh’ah. Makanya, organisasi intra kampus harus steril dari Islam garis keras. Dan organisasi intra kampus harus menjadi ajang untuk membangun intelektualisme dan aktivisme yang dipedomani oleh Islam wasathiyah.
Ketiga, pimpinan PTKIN harus berani melakukan upaya “pembersihan” kampus dari elemen yang membahayakan negara. Dirasakan betapa pentingnya para rector untuk memetakan dengan jelas, siapa dosen-dosen dan karyawan-karyawannya yang misalnya tidak pernah mau upacara karena di dalamnya ada hormat bendera, dan bahkan juga wacana-wacana yang diunggah baik melalui media sosial atau diskusi dan pembicaraan informal. Pimpinan PTKIN harus memiliki data base tentang pemahaman keberagamaan para stafnya, baik tenaga pendidik atau tenaga kependidikan.
Keempat, para rector harus bekerja sama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Islam dan juga Inspektorat Jenderal untuk mengkaji, membahas dan melakukan tindakan yang relevan dengan apa yang dilakukan oleh dosen atau karyawan yang memang secara nyata dan teruji terpapar virus radikalisme.
Kelima, mengembangkan pemahaman agama ( baca Islam) yang wasathiyah. Harus ditemukan berbagai metode dan media yang relevan untuk terus menumbuhkembangkan paham keagamaan yang relevan dengan bangsa Indonesia. saya kira harus ada kegiatan yang dilakukan agar gerakan Islam wasathiyah itu terus berkumandang. Jangan sampai kampus kita justru dikuasai oleh mereka yang memanfaatkan HAM dan keterbukaan atau demokrasi untuk kepentingan merusak negeri ini dari dalam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..