• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (4)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (4)
Saya memang belum pernah merasakan bagaimana pulkam dengan kendaraan mobil dari Jakarta ke Surabaya. Tetapi cerita tentang Pulkam yang berjam-jam dari Jakarta ke Surabaya atau bahkan ke Banyuwangi tentu sudah pernah saya dengar.
Dulu memang saya selalu naik bus dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya pada tahun 90-an. Pada waktu itu saya mengikuti Program Pelatihan Penelitian Agama (PLPA) yang dilakukan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Program ini merupakan kerjasama antara Toyota Foundation dan Balitbangdiklat Kementerian Agama, yang dipandu langsung oleh Prof. Dr. Parsudi Suparlan, MA, Professor Antropologi pada Universitas Indonesia. Berkat tangan Beliau, maka saya yang semula mengikuti madzab Kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial dan keagamaan lalu menjadi penganut madzab kualitatif, sebagaimana ancangan penelitian dalam ilmu sosial dan budaya.
Dan saya bersyukur sebab hasil penelitian saya tentang Tarekat Syatariyah di Desa Kuanyar, Mayong, Jepara itu berhasil saya bukukan dengan judul “Tarekat Petani” yang menggunakan pendekatan teori Fenomenologi. Saya sungguh berhutang budi kepada Prof. Parsudi karena bimbingannya yang intensif selama 6 (enam) bulan.
Kala itu saya pulang atau pergi ke Jakarta menggunakan bus antar kota. Rasanya semalam suntuk kami berada di bus antar kota itu untuk sampai ke tempat tujuan. Saat itu untuk naik pesawat masih barang langka. Selain harganya mahal juga memang masih jarang penerbangan Surabaya Jakarta atau sebaliknya. Berbeda dengan sekarang yang hampir setiap jam terdapat penerbangan Jakarta Surabaya atau sebaliknya.
Tahun lalu, pulkam dengan kendaraan pribadi tentu lebih lama, sebab masih menggunakan jalan biasa belum jalan tol seperti sekarang. Meskipun belum sempurna mengenai jalan tol Jakarta ke Probolinggo atau sebaliknya, akan tetapi tentu sudah ada jalan keluar untuk menyelesaikan problem tahunan mudik atau pulkam tersebut.
Di sepanjang perjalanan, memang terdapat wilayah padat kendaraan, misalnya di tol Bekasi sampai Cikarang dan memasuki wilayah tol Cipali yang juga padat. Bahkan kemacetan tersebut mengular sepanjang 15 KM. Dan di wilayah selatan, misalnya Nagrek juga mengalami hal yang sama. Terjadi kemacetan yang cukup panjang.
Cerita kawan-kawan yang mudik tentu mengalami kemacetan yang luar biasa, meskipun sudah ada jalan tol, akan tetapi karena belum bisa digunakan optimal, sehingga belum seluruhnya mampu menjawab tantangan kemacetan yang terjadi. Bahkan katanya jalanan di jalur arteri justru lebih lancar, karena kebanyakan pemudik berkonsentrasi ke jalan tol. Kemacetan di jalanan tentu bukan hanya tahun lalu atau tahun ini, akan tetapi selama ada hari raya id al fithri, maka di saat itu kemacetan sudah merupakan ritual tahunan.
Namun demikian, kemacetan di jalan bukan merupakan halangan untuk silaturahim di hari raya. Ada magnet kuat yang menarik para pemudik untuk pulkam ini. Jika yang mudik di dalam sebuah rumah tangga itu lebih dari 4 (empat) orang, maka dipastikan pilihannya ialah menggunakan kendaraan sendiri. Lebih ekonomis tetapi dengan resiko macet di jalanan. Rasanya, saya juga ingin menikmati macet ria itu, meskipun kalkulasi waktu tentu tidak memungkinkan.
Pulkam memang tidak hanya sekedar peristiwa ritual saja, tetapi juga peristiwa ekonomi. Bayangkan dengan arus mudik itu, maka peredaran uang berpindah dari Jakarta ke daerah. Bahkan diperkirakan mencapai angka 80 trilyun rupiah. Berdasarkan pengalaman, maka pulkam juga membawa cerita kesuksesan. Bayangkan bahwa dengan pulkam itu, maka perbankan juga harus menyediakan uang pecahan Rp5.000,oo sampai Rp20.000,oo untuk kepentingan penukaran uang. Tujuannya ialah untuk membagi rejeki atau taqsim al arzaq.
Kaum mustadz’afin adalah mereka yang menjadi sasaran di dalam pertukaran ekonomi di desa-desa. Mereka yang secara ekonomi berhasil di kota, apakah sebagai aparat pemerintah atau kaum pebisnis, maka di saat itulah mereka membagi rejekinya. Terjadi proses take and give antara pemberi dan penerima. Selaku pemberi rejeki, maka dia akan menerima penghormatan sebagai kesuksesan, dan bagi si penerima akan memperoleh uang yang memungkinkan. Sebuah pertukaran sosial yang terjadi setahun sekali.
Sebagai bentuk pertukaran sosial, maka hal ini akan melanggengkan persahabatan, perkawanan dan juga kekerabatan yang bertahan lama. Ketika semua itu berkurang, maka datanglah lagi masa pulkam dan proses pertukaran sosial itu terjadi lagi. Demikian secara terus menerus sehingga akan bisa membangun continuitas pertukaran sosial dalam jangka panjang.
Hari raya memang sebuah momentum yang unik bagi masyarakat Indonesia. Yang merayakannya tidak hanya orang kota tetapi juga orang desa. Tidak hanya orang kaya tetapi juga kaum fakir miskin. Tidak hanya yang beragama Islam tetapi juga kaum beragama lainnya.
Dan saya kira peristiwa seperti ini hanyalah khas Indonesia dan tidak terdapat di negara lain, misalnya di Timur Tengah sebagai pusat perkembangan agama Islam. Jadi, Indonesia memang sebuah negara dengan ciri khas pemahaman dan pengamalan beragama yang bernuansa unik, termasuk pulkam dan halal bil halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (3)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (3)
Bagi saya, yang juga penting ialah melakukan ziarah ke makam Bapak, Embah dan kerabat saya lainnya. Sudah menjadi tradisi panjang bahwa menjelang puasa atau mengakhiri puasa selalu dilakukan upacara ziarah makam. Saya tentu saja tidak bisa melakukannya tepat waktu sebagaimana tradisi warga desa. Saya baru pulang 3 (tiga) hari di awal puasa dan sehari setelah hari raya untuk menziarahi makam leluhur saya.
Warga desa menganggap bahwa poros kehidupan selain rumah dan masjid ialah makam. Dahulu sumur termasuk ruang budaya yang selalu diisinya dengan berbagai aktivitas, namun semenjak teknologi pengeboran air bawah tanah masuk ke wilayah pedesaan, maka tradisi menempatkan sumur sebagai ruang budaya nyaris sudah tidak ada. Hanya tinggal rumah, masjid dan makam yang masih terus bertahan.
Ziarah makam di dalam tradisi Jawa disebut sebagai “nyekar” atau dalam terminologi ialah upacara tabur bunga ke makam leluhur. Makanya, di dalam tradisi ziarah kubur tentu selalu ada bunga. Biasanya bunga kenanga, bunga melati dan lainnya. Jika dilihat dari unsur-unsur di dalam sebuah upacara, maka sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 8 (delapan) aspek ritual upacara yang terlihat. Yaitu: tujuan, makna, bahan upacara, tempat, waktu, doa-doa upacara, proses upacara, dan suasana upacara.
Dilihat dari tujuannya, maka nyekar bertujuan memberikan sesaji atau mantra-mantra atau doa-doa yang ditujukan kepada arwah leluhur. Adapun maknanya ialah sebagai persembahan atau pemberian kepada arwah leluhur agar memperoleh pengampunan dari Allah atau Tuhan sehingga memperoleh ketenangan di alam kuburnya. Dari aspek bahan-bahan upacara biasanya ialah bunga aneka ragam, waktunya dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya Kamis sore, menjelang puasa, menjelang hari raya dan sebagainya. Yang dijadikan tempat upacara nyekar ialah makam leluhur, makam wali atau tokoh-tokoh yang dianggap penting. Biasanya orang yang nyekar bisa membaca tahlil atau bacaan Surat Yasin dan doa-doa yang ditujukan kepada yang diziarahi. Dengan demikian, upacara ziarah kubur ialah upacara yang dilakukan untuk kepentingan secara khusus kepada arwah leluhur.
Di dalam tradisi Jawa, yang dijadikan sebagai tempat ziarah bukan hanya para leluhur atau kerabat yang sudah meninggal, akan tetapi juga makam para wali yang di masa lalu bertindak sebagai penyebar agama Islam. Ada sangat banyak makam wali yang diziarahi oleh umat Islam. Ada paket ziarah wali songo, ada paket ziarah wali Jawa Timur dan Jawa Tengah dan sebagainya.
Di Nusantara banyak sekali makam-makam auliya yang dijadikan sebagai tempat untuk upacara ziarah. Di Tuban, misalnya dapat dijumpai makam Sunan Bonang yang sangat ramai peziarahnya. Bahkan termasuk tujuan wisata religious yang sangat terkenal. Selain itu juga terdapat makam Syekh Ibrahim Asmaraqandi, yang dikenal sebagai ayah Sunan Ampel. Makam ini juga termasuk yang ramai dikunjungi oleh peziarah dari luar daerah. Perkembangan bangunan fisik makam Syekh Ibrahim Adamraqandi termasuk yang sangat pesat. Selain itu juga didapati pembacaan Ratib Hadad setiap kamis malam, jam 23 WIB sampai menjelang subuh. Acara ini dipadati oleh para peziarah yang memiliki tujuan khusus.
Ke sebelah timur di Drajat, maka ditemui 3 (tiga) makam keramat, yaitu makam Syekh Maulana Ishaq, Syekh Mayangmadu dan Syekh Sunan Drajat. Ketiga makam ini lokasinya berdekatan di desa Drajat. Yang ramai dikunjungi Jemaah ziarah auliya ialah Makam Sunan Drajat. Lalu ke Timur lagi, makam Syekh Magribi di Kota Gresik dan Syekh Sunan Giri. Yang banyak sekali pengunjungnya ialah makam Sunan Ampel di Surabaya.
Nama Kanjeng Eyang Sunan Ampel lalu diabadikan sebagai nama PTKIN, UIN Sunan Ampel Surabaya. Pesisir utara Jawa memang menjadi lokasi penyebaran Islam awal, dan sebagai tempat di mana mula pertama Islam berkembang di Jawa. Bahkan tapak sejarah pengembangan dakwah tersebut bisa diketahui sampai di Nusa Tenggara Barat, ternate dan wilayah lain di Nusantara. Artinya, bahwa jejak sejarah penyebaran Islam dari Jawa itu lalu berkembang ke tempat lain khususnya di Indonesia Timur.
Sesekali saya juga melakukan ziarah ini, dari Sunan Bonang ke Sunan Ibrahim Asmara, ke Sunan Maulana Ishaq, ke Sunan Mayangmadu, ke Sunan Drajat dan Sunan Ampel, mereka semua adalah leluhur umat Islam di Jawa yang memiliki pengaruh luar biasa di dalam Islamisasi di Jawa dan seluruh Nusantara.
Dengan demikian, pulkam tidak hanya untuk kepentingan duniawi semata, misalnya bertemu dengan orangtua, sanak kerabat, teman sejawat dan sebagainya, akan tetapi juga bermakna membangun relasi ukhrawi dengan para leluhur yang sudah mendahului kita semua.
Jika mengambil makna dari tindakan tersebut, maka sesungguhnya hari raya bisa menyatukan kepentingan duniawi dan ukhrawi sekaligus, sebuah momentum yang tidak didapatkan dengan keberadaan teknologi informasi secanggih apapun.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (2)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (2)
Saya sebenarnya tidak akan pulang kampung (pulkam) pada hari raya ini. Ada beberapa pertimbangan di antaranya ialah anak-anak saya berada di Jakarta dan saya harus tetap di Jakarta untuk acara Sidang Itsbat dalam rangka menentukan awal Syawal atau hari raya Id al Fithri dan kemudian shalat Jamaah Id al Fithri di Istiqlal dan yang tidak kalah penting ialah menghadiri open house di rumah Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin. Di rumah jabatan saya juga diselenggarakan open house pada hari pertama syawal. Itulah sebabnya maka semula saya rencanakan tidak akan datang ke Surabaya atau ke Tuban, tempat kelahiran saya.
Dalam pergulatan pemikiran itu, akhirnya saya putuskan bahwa saya harus pulang, sebab di rumah Tuban masih ada Emak, orang yang sangat saya sayangi di dalam kehidupan ini. Setiap saya menuliskan hal-hal seperti ini, maka tanpa terasa menitiklah air mata saya, mengingat betapa saya rasanya belum memberikan balasan yang setimpal dan bahkan tidak mungkin saya membalas kebaikan Emakku itu.
Emakku ini adalah orang yang sangat gigih dalam rangka melanjutkan wasiat Bapakku, yang sudah meninggal tahun 1973, kala saya masih Sekolah di Tuban. Tepatnya di SMEPN Tuban. Kelas 2. Dengan dukungan dari Embah saya, Mbah Ismail dan Mbah Sarijah, maka saya bisa menuntaskan pendidikan sampai bergelar Doktorondus (Drs) pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Emakku adalah satu-satunya yang masih bisa berdoa sampai hari ini untuk keselamatan kami semua. Selalu terngiang di telingaku jika agak lama saya tidak menelponnya. Beliau menyatakan: “Aku kok suwe ora kerungu suaramu”, “Saya sudah lama tidak mendengar suara kamu”. Sebuah tegoran halus yang Beliau sampaikan kepada saya.
Keberadaan Beliau itulah yang memastikan langkah kaki saya untuk datang ke Tuban dan menemui Beliau. Adakah kebahagiaan yang lebih dibandingkan dengan bertemu dengan orang tua yang melahirkan kita, yang mendidik kita dan mengasuh serta menyayangi kita lebih dari siapapun. Dari sinilah maka saya akhirnya harus pulkam untuk bertemu Emak, seraya memohon maaf atas semua kesalahan. Saya ciumi tangannya dan pipinya yang sudah mulai keriput. Tanda usianya yang sudah tua. Usianya kira-kira 78 tahun.
Ada juga yang menjadi sangat penting ialah merasakan masa-masa kecil saya di kampong itu. Dengan pepohonan yang hijau rindang, tanaman-tanaman di sawah yang menghijau dan celoteh burung di waktu pagi, sungguh membikin suasana kampung itu memang merindukan. Sepanjang jalan kita lihat orang lalu lalang dengan jalan kaki atau bersepeda motor. Maklum, sebagai akibat modernisasi alat transportasi itu, maka sudah tidak banyak orang desa yang pergi ke ladang atau sawah dengan menggunakan sepeda. Zaman sekarang orang sudah beralih ke sepeda motor sebagai alat transportasi umum di pedesaan.
Bagi mereka yang berkecukupan, maka sudah menggunakan mobil sebagai kendaraan keluarga.
Saya lihat ada perkembangan yang sangat signifikan dalam kehidupan pada masyarakat desa. Jika di masa lalu rumah mereka terdiri dari dinding kayu atau bambu, maka sekarang sudah nyaris semua berdinding permanen. Dinding batu sudah menjadi tradisi bagi pembuatan rumah di desa-desa.
Di masa lalu, sepeda menjadi unggulan transportasi di pedesaan. Dan tidak banyak orang yang memilikinya. Keluarga saya termasuk yang beruntung karena memiliki sepeda itu. Saya masih ingat di kala saya harus pulang balik ked an dari sekolah di SMEPN dengan sepeda. Jaraknya 15 KM. Suatu hal yang tidak mungkin di era sekarang. Anak-anak sekolah lebih senang menggunakan mobil transportasi umum atau bersepeda motor.
Pada hari kedua saya terbang dengan Garuda beserta keluarga saya. Setelah mampir sebentar di rumah Surabaya, maka saya melanjutkan perjalanan ke Tuban. Hari itu macet juga perjalanan dari Surabaya ke Tuban, khususnya di seputar Lamongan. Jadi perjalanan yang semestinya cukup 2 (dua) jam, ternyata membutuhkan waktu 4 (empat) jam. Untunglah Vika, cucu saya, tidak berontak di perjalanan.
Sungguh saya sangat gembira bisa menjumpai Emak saya, dan juga bertemu dengan sesama kawan dan kerabat saya. Sore hari mereka pada datang ke rumah untuk saling bercerita tentang banyak hal. Rasanya, memang perlu juga kita menjenguk kembali nuansa tempat lahir kita. Jadi memang pulkam adalah salah satu media interaksi yang tidak bisa ditinggalkan meskipun kita sudah modern dengan teknologi informasi yang sangat canggih sekalipun.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (1)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (1)
Tahun lalu, 1 Syawal 1438 H/2017 M., saya melakukan shalat Id di Surabaya. Saya masih ingat, saya melakukan shalat di dekat rumah di Ketintang Selatan. Setelah shalat ‘id saya bergegas ke Tuban untuk sungkem kepada Emak saya, dan bersilaturahim dengan tetangga dan sahabat saya di masa lalu. Karena saya datang di hari pertama idul fithri, maka banyak anak-anak kecil yang datang ke rumah. Ingin berkah uang baru yang masih lurus. Belum lusuh sebagaimana uang yang biasa kita pegang.
Tahun ini, 1439 H/2018 M., saya secara sengaja melakukan shalat Id di Masjid Istiqlal setelah sore hari sebelumnya mengikuti acara Sidang Itsbat. Dan tahun ini pula saya menyelenggarakan acara open house, yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak saya lakukan. Tahun ini adalah tahun terakhir pengabdian saya sebagai pejabat structural, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, dan akan kembali mengabdi sebagai professor pada UIN Sunan Ampel Surabaya.
Yang menjadi khatib pada shalat ‘id ialah AA. Gym. Meskipun Khutbah AA Gym hanya sekali saja, biasanya 2 (dua) kali khutbah, tetapi saya tentu mengapresiasi terhadap isi khutbah AA Gym yang saya rasa bisa memberikan spirit bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Beliau bercerita tentang kejujuran, bahwa kejujuran adalah kata kunci di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan bahwa kejujuran menjadi focus dalam penyelenggaraan negara, sehingga korupsi, nepotisme, kolusi dan sebagainya akan bisa dihilangkan dari bumi Indonesia. Selain itu, Beliau juga berharap bahwa kerukunan dan harmoni di dalam kehidupan beragama juga terus diupayakan. Indonesia harus menjadi contoh di dalam kehidupan yang aman dan damai dan bisa memberikan kontribusi bagi peradaban dunia.
Hadir di dalam shalat Id tersebut ialah Pak HM. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Pak Zulkifli Hasan (Ketua MPR), Pak Rudiantara (Menkoinfo), Prof. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), Pak Bahrul Hayat, Pak Muhammadiyah Amin, dan sejumlah pejabat lainnya. Sebagaimana biasanya, maka masjid Istiqlal ini penuh dengan jamaah Shalat Id. Bahkan meluber sampai di halaman. Di seputar Masjid Istiqlal juga penuh dengan kendaraan roda empat dan menimbulkan kemacetan di saat memasuki atau keluar dari Masjid Istiqlal.
Sebagaimana usulan para staf saya, maka saya tentu menyambut gembira usulan untuk open house ini. Bagi saya tidak ada baiknya menyelenggarakan acara kekeluargaan antar sesama ASN Kemenag, mulai dari para pejabat tinggi sampai para staf out sourcing. Dengan mengadakan acara open house ini, maka silaturrahim dengan mereka bisa terselenggara.
Saya juga menghadiri acara open house yang diselenggarakan oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, di rumah Dinas Menteri, di Widya Candra Jakarta. Saya datang agak lebih awal, sebab saya juga mempertimbangkan bahwa di rumah dipastikan juga akan hadir sejumlah pejabat dan staf yang memerlukan datang untuk acara di Rumah Dinas, Jl. Indramayu 14, Menteng, Jakarta Pusat.
Saya menyaksikan para tokoh agama sudah hadir di rumah Dinas Pak Menteri. Ada dari Katolik, Hindu, Budha, Khongkucu dan lainnya. Kaum agamawan ini, sebagaimana biasanya memang menyempatkan datang di acara open house yang diselenggarakan Pak Menteri.
Setelah saya dan keluarga berfoto bersama dengan Pak Lukman Hakim Saifuddin dan Ibu Tresna Willy Lukman Hakim, maka saya kembali ke rumah. Sebagaimana diketahui bahwa di rumah juga ada acara open house yang semestinya dimulai jam 13.00 WIB. Akan tetapi, setelah shalat Id, Pak Tarmidzi, Prof. Gunaryo dan Pak Amri sudah datang ke rumah. Pak Tarmidzi, yang sama-sama bertempat tinggal di Wisma Kemenag dengan Jemmy, lalu digoda: “ayo sarapan dulu”.
Saya bersyukur sebab banyak pejabat yang hadir di acara ini. Pak Thomas Fentury, Pak Binsasi, Pak Caliadi, Pak Nurkholis Setiawan, Pak Muhammadiyah Amin, Pak Sukoso, Pak Oman Fathurahman, Pak Janedri, Pak Syafrizal, Pak Mudhofier, Pak Choiruddin, Pak Buchori, Pak Mastuki, Pak Saiful Mujab, Pak Ahmadi, Pak Ali Irfan, Pak Abdurahman, Bu Aminah, Pak Mohsen, Pak Yan Kadang, Pak Pontus, dan Pak Juraidi. Selain itu juga banyak pejabat eselon III yang hadir di dalam acara ini. Yang juga menggembirakan karena ada beberapa tokoh agama lain yang hadir. Pak Uung dan pengurus Matakin juga hadir.
Salah satu makna yang bisa kita ambil di dalam acara halal bil halal atau open house ini ialah kehadiran berbagai penganut agama. Saya kira hal ini merupakan contoh yang sangat baik bagi dunia kerukunan umat beragama. Tradisi halal bil halal seperti ini merupakan teladan bagi dunia, bahwa Indonesia sesungguhnya merupakan miniature kerukunan umat beragama.
Di forum seperti ini, maka kita bisa bicara bersama, bisa bercanda bersama dan bahkan juga berfoto bersama. Tidak ada lagi sekat yang menghalangi relasi di antara kita. Saya sering menggoda kawan-kawan dari agama selain Islam: “saya di surga bertemu dengan Pak Binsasi, cuma saya lihat rambutnya berbeda. Rambutnya menjadi lurus”. Kita bisa tertawa lepas bersama-sama.
Jika kita ingin melihat bagaimana sesungguhnya membangun harmoni dan kerukunan beragama, maka lihatlah bagaimana relasi kita di Kemenag. Kita terbiasa untuk saling memahami tentang siapa kita. Saya kira relasi itu terbangun bukan hanya karena sesama pejabat, akan tetapi memang di dalam hati sudah tertanam perasaan ke-Kita-an dan bukan ke-Aku-an.
Jika apa yang tersaji di dalam relasi antar umat beragama ini bisa dilakukan juga di masyarakat luas, saya berkeyakinan bahwa kerukunan umat beragama akan sungguh menjadi realitas di dalam kehidupan kita. Dan kita sudah menyaksikannya juga di tengah kehidupan masyarakat kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA MENUMBUHKAN INTELIGENSI SPIRITUAL

PUASA MENUMBUHKAN INTELIGENSI SPIRITUAL

Salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya ialah kelengkapan inteligensi yang dimilikinya. Manusia oleh Allah diberikan 4 (empat) kecerdasan sekaligus, yaitu: rational intelligent, emotional intelligent, social intelligent dan juga spiritual intelligent. Dengan kemampuan seperti ini, maka pantaslah jika Allah memilih manusia menjadi khalifahnya di muka bumi.
Ketika semua makhluk Allah diberi peluang untuk menjadi khalifah Allah, maka semua menolaknya. Bahkan malaikat juga menolak untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Allah lalu menyatakan akan menciptakan manusia yang kelak akan menjadi khalifah-Nya. Malaikat pun bertanya, apakah manusia mampu untuk menjadi khalifah Allah di bumi? Maka, Allah dengan kekuasaannya membuktikan kepada para malaikat, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjadi khalifah Allah tersebut. Manusia diberi kemampuan inteligensi yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya.
Dengan rational intelligent, maka manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan memahami kehidupan ini berdasarkan atas prinsip rasional, misalnya pemikiran untung dan rugi, baik dan buruk, bermanfaat atau tidak dan segala hal yang terkait dengan kemampuan rasionalnya. Melalui inteligensi rasional ini, maka manusia memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih untuk dirinya dan juga komunitasnya. Di dalam banyak hal, akan selalu dipilih yang terbaik untuk dirinya.
Berbekal emotional intelligent, manusia bisa merasakan dan menghayati kebaikan dan keburukan bagi kehidupan diri dan komunitasnya. Manusia akan bisa membedakan mana yang berseberangan dan selaras dengan hati dan perasaannya. Manusia diberikan hati nurani untuk merasakan kebaikan dan kemanfaatan kebaikan bagi diri dan masyarakatnya. Manusia memiliki kemampuan untuk merasakan penderitaan dan kesenangan yang dialami dirinya dan juga masyarakatnya.
Melalui social intelligent, manusia akan memiliki simpati dan juga empati. Manusia dapat bersimpati dan berempati dengan dunia sekelilingnya. Dia akan merasa senang jika ada orang lain senang dan merasa sedih jika ada orang lain sedih. Mereka akan berupaya untuk berada di dalam suatu momentum “empati” dengan orang lain. Mereka akan menyatakan: “bagaimana jika hal ini menimpa saya atau keluarga saya”. Dengan pikiran, sikap dan tindakan seperti itu, maka mereka telah menempatkan dirinya dalam diri orang lain. Jika ada manusia yang sudah tidak lagi bisa berempati atau bersimpati, maka yang bersangkutan telah kehilangan inteligensi sosialnya itu.
Lalu, manusia juga memiliki kemampuan yang disebut sebagai spiritual intelligent. Yaitu inteligensi ketuhanan yang sungguh menjadi ciri khas kemanusiaan. Manusia memiliki basis spiritualitas yang menjadi bagian di dalam kehidupannya. Saya kira tidak ada manusia di dunia ini yang sama sekali lepas dari dimensi spiritualitas itu. Manusia primitive –yang di dalam banyak hal—masih sangat sederhana di dalam kehidupannya ternyata juga mengenal Tuhan sesuai dengan kapasitas spiritualnya.
Tiada makhluk di dunia yang diberikan kemampuan untuk mengenal dan memahami Tuhan dan bahkan merasakan kehadiran Tuhan di dalam kehidupannya kecuali manusia. Meskipun manusia hanya diberi ilmu sedikit saja tentang kehidupan ini, akan tetapi di antara ilmu yang sedikit itu ialah manusia diberi oleh Allah kemampuan untuk mengenal dan memahami Tuhan. Sungguh salah satu karunia Allah kepada manusia yang tiada taranya ialah hakikat mengenal dan memahami keberadaan Allah ‘azza wa jalla.
Melalui kemampuan yang hebat ini, maka manusia bisa menjadi cerdas kapasitas otaknya, memiliki rasa kasih sayang, rasa persaudaraan, simpati dan empati serta memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan Tuhannya di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, saya berhipotesis bahwa sampai kapanpun manusia akan selalu memiliki keyakinan tentang Tuhan dalam varian-varian yang relevan dengan kapasitas untuk mengenalnya.
Dengan kapasitas spiritualnya itu, manusia dapat menemukan berbagai cara untuk mendekati, menyembah dan mematuhi serta meninggalkan semua perintah-Nya. Manusia sungguh memiliki kelengkapan yang luar biasa untuk bisa menemukan kehidupan yang lebih baik, dalam berhubungan dengan sesama manusia, sesama lingkungan dan dengan Tuhannya.
Islam mengajarkan 3 (tiga) konsepsi tentang bagaimana merajut kehidupan berbasis hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal ‘alam. Manusia melakukan peribadahan kepada Allah dalam kerangka memenuhi kebutuhan spiritual ketuhanan, manusia melakukan hubungan baik dengan sesama manusia karena kebutuhan sosialnya dan juga melakukan pemenuhan kebutuhan dengan alam, di mana manusia hidup bermasyarakat.
Sesungguhnya, manusia sudah diberikan kemampuan spiritual semenjak masih berada di alam ruh atau alam di mana kehadiran manusia di dunia sudah disiapkan, akan tetapi belum memiliki washilah untuk hadir di alam dunia. Ketika Allah menyatakan: “alastu birabbikum, Qalu bala syahidna” (Surat Al A’raf, 172). Terjemahannya ialah “Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami) dan kami menjadi saksi”. Ayat ini memberikan gambaran terang bagi manusia, bahwa semenjak di dalam alam ruh, manusia sudah dibekali dengan kemampuan spiritual itu, yaitu kemampuan untuk mengenal dan bersaksi tentang keberadaan Allah swt.
Ketika manusia lahir ke dunia, Allah memberikan tuntunan berupa agama dengan berbagai ajaran normatifnya. Setiap agama yang hadir di dunia memiliki jalan atau cara untuk mengenal Tuhannya secara lebih mendalam atau bercorak essensial atau esoteric. Di dalam Islam dikenal ajaran tasawuf sebagai salah satu cara untuk mengenal dan memahami Tuhan secara lebih mendalam. Manusia diajarkan untuk mengenal hakikat Allah dan ma’rifat Allah. Manusia diajarkan agar bisa melakukan pencarian pada Tuhan, sebagai misteri keagamaan yang sangat menantang. Bahkan ada di antara manusia yang bisa sampai kepada suatu keadaan di mana tidak lagi terdapat hijab antara dirinya dengan Tuhannya.
Ada banyak cara yang dimiliki manusia untuk sampai kepada pemahaman dan pengenalan terhadap Tuhan yang bersifat esoterik. Mereka dapat memiliki kemampuan untuk mengembangkan cara-cara berdekatan dengan Tuhan sesuai dengan pedoman beragama yang sudah diberikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Memang ada banyak cara yang telah dikembangkan oleh manusia untuk mengembangkan potensi berketuhanan, dengan varian metodologi, konten dan spiritualitas di dalamnya. Misalnya gerakan tarekat yang sekarang menjamur di Indonesia.
Di dalam Islam juga dikenal ada banyak cara untuk sampai kepada pemahaman dan pengenalan Tuhan tersebut. Di antara cara yang lazim dilakukan untuk mengenal Allah ialah dengan puasa. Puasa merupakan ibadah fisikal dan non fisikal sekaligus. Hampir semua ibadah kepada Allah selalu memiliki dimensi fisikal dan non fisikal. Shalat selalu menggunakan gerakan-gerakan fisik dan juga spiritual sekaligus. Seluruh bacaan di dalam shalat adalah doa-doa dan ungkapan-ungkapan spiritual yang luar biasa. Bagi yang menghayati doa dan ungkapan dalam shalat pastilah merasakan bahwa semuanya memiliki dimensi spiritualitas yang sangat tinggi.
Demikian pula puasa. Secara lahir puasa hanya dikaitkan dengan larangan makan, minum, relasi seksual dan larangan-larangan lain yang membatalkan atau mengurangi pahala puasa. Namun sesungguhnya puasa merupakan cara Allah mengajari hambanya agar senantiasa menumbuhkan berbagai inteligensi yang dimilikinya. Menahan lapar dan minum untuk mempertajam social intelligent, menahan hawa nafsu agar manusia mengoptimalkan emotional intelligent, dan menahan relasi seksual dan perbuatan lainnya untuk memaksimalkan emotional dan social intelligent.
Lalu, dengan melakukan semua itu, maka akan memunculkan sikap sabar dan tawakkal kepada Allah. Karena hanya kesabaran yang bisa menjadi ujung tombak manusia untuk bisa sampai kepada capaian tertinggi, maqam spiritual intelligent. Dengan kesabaran akan bisa mengalahkan seluruh nafsu biologis dan non biologis lainnya. Hanya orang yang sabar yang bisa mencapai hakikat puasa sebagai ibadah yang istimewa. Jadi kesabaran merupakan instrument akhir untuk menggapai keridhaan Allah.
Puasa merupakan saat yang paling tepat untuk muhasabah atau mengintrospeksi diri. Puasa bisa menjadi instrumen penting untuk menilai ulang terhadap cara dan tujuan kita semua di dalam membangun kebersamaan dengan Allah, sesama manusia dan juga alam. Puasa menjadi cara yang mendasar untuk menilai kembali hubungan dengan Allah dengan perilaku yang sesungguhnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Dengan cara seperti ini, maka kita akan sampai kepada makna puasa yang berupa kesabaran.
Di samping itu juga menjadi medium untuk membangun ketawakalan kepada Allah. Puasa bisa menjadi instrumen agar kita menyerahkan seluruh urusan kehidupan hanya kepada Allah semata. Kehidupan kita keseluruhan adalah milik Allah, sehingga sangat pantas jika kita menyerahkan seluruh urusan itu hanya kepada Allah. Jadi, ketika puasa sudah kita lakukan, membangun kesabaran sebagai fondasi kehidupan sudah diselesaikan, maka gilirannya ialah bertawakkal kepada Allah, menyerahkan hasil akhir dari perbuatan kita kepada Allah.
Inti dari tawakkal itu dapat disimak dari doa yang kita panjatkan kepada-Nya. Ketika kita mengucapkan doa berbuka puasa: “Allahumma laka Shumtu” yang artinya “Ya Allah hanya untuk-Mu puasaku” maka di sinilah buah kesabaran dan tawakkal itu akan bermakna. Puasa yang dilakukan itu hanya khusus untuk Allah, sehingga Allah akan menerima puasa tersebut. Puasa merupakan sebuah ibadah khusus yang pahalanya akan langsung berada di sisi Allah. Hal ini merupakan janji Allah sendiri. Bahkan janji yang lebih tinggi lagi bagi orang yang puasa, yakni akan memperoleh 2 (dua) kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Allah swt.
Namun demikian, tentu juga ada individu-individu yang berpuasa, akan tetapi puasanya hanya memperoleh balasan yang bercorak duniawi. Mereka memang berniat puasa, tetapi hanya tidak makan, minum dan bersenggama di siang hari. Mereka hanya mementingkan puasa secara fisikal saja, tanpa dibarengi dengan upaya untuk menjaga puasanya dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak puasa itu. Dimensi batiniah puasa tidak dilakukannya. Yang demikian ini, maka mereka juga hanya akan mendapatkan apa yang dilakukannya itu.
Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Muhammad saw, bahwa di antara kita itu ada yang puasanya hanya memperoleh lapar dan dahaga. Nabi Muhammad saw menyatakan: “Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illal Ju’u wa al ‘athasy” (Hadits Riwayat Imam An Nasai dan Ibn Majah). Artinya: “berapa banyak orang yang puasa, akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga”.
Puasa yang hanya mendasarkan diri pada larangan biologis belaka. Jadi, puasanya belum sampai kepada hati, pikiran, perasaan dan tindakan. Di dalam diri yang bersangkutan masih ada perasaan, pikiran, hati dan tindakan yang belum berkontemplasi kepada Allah semata. Artinya, bahwa puasanya masih sekedar memuasakan dimensi lahiriyah saja. Padahal totalitas puasa itu jika seseorang bisa memuasakan fisiknya dan juga memuasakan batinnya.
Bukankah masih sering kita dengar, misalnya ungkapan “puasa itu siang hari, kalau malam tidak”. Lalu diteruskan: “kalau berpikir dan melakukan kejelekan pada malam hari tidak apa-apa. Yang begini ini tidak membatalkan puasa”. Ungkapan seperti ini adalah contoh bagaimana individu memisahkan antara dunia puasa yang tidak boleh berpikir dan melakukan kejelekan dengan dunia nonpuasa yang boleh berpikir dan melakukan kejelekan. Padahal, sesungguhnya puasa merupakan instrument agar orang selalu berpikir positif kapan dan di manapun juga. Puasa sesungguhnya justru merupakan wahana untuk mencegah perbuatan yang negatif menuju kepada perbuatan positif kapan dan di mana saja.
Manusia yang bisa berpuasa sebagaimana ajaran puasa, yang tidak hanya mencegah makan, minum, relasi seksual dan lainnya serta dengan kesadaran penuh untuk lebih jauh mengenal Tuhannya, maka dia sesungguhnya sudah berusaha untuk mengoptimalkan spiritualitasnya. Puasa seperti ini adalah puasa yang dilakukan oleh para perindu puasa dan bukan hanya puasanya orang awam, yang hanya memenuhi beban minimal yang dimukallafkan kepadanya.
Dengan memahami berbagai penjelasan di atas, maka kiranya dapat dinyatakan bahwa terdapat kategori berpuasa, yaitu: Pertama, puasa berbasis kecerdasan rasional. Kecerdasan rasional ditempatkan dalam konteks pemikiran kebutuhan biologis. Puasa yang dilakukan hanya dengan mencegah kebutuhan biologis (makan, minum, dan relasi seksual) pada siang hari. Puasa yang seperti ini tentu juga berpeluang mendapatkan pahala. Harus diyakini bahwa Allah pasti akan memberikan pahala meskipun hanya sebesar biji dzarrah terhadap amal ibadah hambanya.
Kedua, puasa berbasis kecerdasan emosional dan sosial. Puasa yang diindikasikan sudah memanfaatkan seluruh kemampuannya, yaitu mencegah makan, minum, relasi seksual dan juga hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, seperti tidak berkata yang jelek, tidak melakukan perbuatan yang tercela, tidak melakukan amalan-amalan syubhat yang mengarah kepada kejelekan, tidak menggunjing, mengumpat, melecehkan dan perbuatan lainnya yang bisa merusak pahala puasa. Puasa yang didasari oleh kemampuan memilah dan memilih mana perbuatan yang baik dan buruk dalam relasinya dengan keabsahan puasa.
Ketiga, puasa berbasis kecerdasan spiritual. Yaitu puasa yang dilakukan dengan menahan kategori pertama, dan kedua serta memperbanyak amalan yang mengarahkan kepada semakin membengkaknya pahala puasa. Amalan-amalan seperti dzikir, wirid, tadarrus al Qur’an, memberi ceramah agama yang menyejukkan, memberikan sedekah, infaq dan amalan lainnya yang akan memberikan sejumlah tambahan pahala untuk para pelaku puasa.
Jika dilihat dari kategorisasi seperti ini, maka tentu yang diharapkan ialah melaksanakan puasa dalam kategori kedua dan ketiga. Jika kategori yang ketiga itu adalah puasa yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khusus, maka sekurang-kurangnya ialah dapat berpuasa dalam kategori yang kedua. Yang sejauh-jauhnya harus dihindari ialah puasa dalam kategori pertama, sebab yang bersangkutan tentu tidak akan memperoleh kebaikan-kebaikan di dalam melaksanakan puasanya tersebut.
Dengan demikian, sesungguhnya puasa akan dapat mengintervensi seluruh tampilan pikiran, sikap dan perbuatan kita agar relevan dengan tujuan puasa, yaitu mencetak manusia yang paripurna dalam pikiran, sikap dan tindakan kapan dan di mana saja.
Wallahu a’lam bi al shawab.