• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (2)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (2)
Saya sebenarnya tidak akan pulang kampung (pulkam) pada hari raya ini. Ada beberapa pertimbangan di antaranya ialah anak-anak saya berada di Jakarta dan saya harus tetap di Jakarta untuk acara Sidang Itsbat dalam rangka menentukan awal Syawal atau hari raya Id al Fithri dan kemudian shalat Jamaah Id al Fithri di Istiqlal dan yang tidak kalah penting ialah menghadiri open house di rumah Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin. Di rumah jabatan saya juga diselenggarakan open house pada hari pertama syawal. Itulah sebabnya maka semula saya rencanakan tidak akan datang ke Surabaya atau ke Tuban, tempat kelahiran saya.
Dalam pergulatan pemikiran itu, akhirnya saya putuskan bahwa saya harus pulang, sebab di rumah Tuban masih ada Emak, orang yang sangat saya sayangi di dalam kehidupan ini. Setiap saya menuliskan hal-hal seperti ini, maka tanpa terasa menitiklah air mata saya, mengingat betapa saya rasanya belum memberikan balasan yang setimpal dan bahkan tidak mungkin saya membalas kebaikan Emakku itu.
Emakku ini adalah orang yang sangat gigih dalam rangka melanjutkan wasiat Bapakku, yang sudah meninggal tahun 1973, kala saya masih Sekolah di Tuban. Tepatnya di SMEPN Tuban. Kelas 2. Dengan dukungan dari Embah saya, Mbah Ismail dan Mbah Sarijah, maka saya bisa menuntaskan pendidikan sampai bergelar Doktorondus (Drs) pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Emakku adalah satu-satunya yang masih bisa berdoa sampai hari ini untuk keselamatan kami semua. Selalu terngiang di telingaku jika agak lama saya tidak menelponnya. Beliau menyatakan: “Aku kok suwe ora kerungu suaramu”, “Saya sudah lama tidak mendengar suara kamu”. Sebuah tegoran halus yang Beliau sampaikan kepada saya.
Keberadaan Beliau itulah yang memastikan langkah kaki saya untuk datang ke Tuban dan menemui Beliau. Adakah kebahagiaan yang lebih dibandingkan dengan bertemu dengan orang tua yang melahirkan kita, yang mendidik kita dan mengasuh serta menyayangi kita lebih dari siapapun. Dari sinilah maka saya akhirnya harus pulkam untuk bertemu Emak, seraya memohon maaf atas semua kesalahan. Saya ciumi tangannya dan pipinya yang sudah mulai keriput. Tanda usianya yang sudah tua. Usianya kira-kira 78 tahun.
Ada juga yang menjadi sangat penting ialah merasakan masa-masa kecil saya di kampong itu. Dengan pepohonan yang hijau rindang, tanaman-tanaman di sawah yang menghijau dan celoteh burung di waktu pagi, sungguh membikin suasana kampung itu memang merindukan. Sepanjang jalan kita lihat orang lalu lalang dengan jalan kaki atau bersepeda motor. Maklum, sebagai akibat modernisasi alat transportasi itu, maka sudah tidak banyak orang desa yang pergi ke ladang atau sawah dengan menggunakan sepeda. Zaman sekarang orang sudah beralih ke sepeda motor sebagai alat transportasi umum di pedesaan.
Bagi mereka yang berkecukupan, maka sudah menggunakan mobil sebagai kendaraan keluarga.
Saya lihat ada perkembangan yang sangat signifikan dalam kehidupan pada masyarakat desa. Jika di masa lalu rumah mereka terdiri dari dinding kayu atau bambu, maka sekarang sudah nyaris semua berdinding permanen. Dinding batu sudah menjadi tradisi bagi pembuatan rumah di desa-desa.
Di masa lalu, sepeda menjadi unggulan transportasi di pedesaan. Dan tidak banyak orang yang memilikinya. Keluarga saya termasuk yang beruntung karena memiliki sepeda itu. Saya masih ingat di kala saya harus pulang balik ked an dari sekolah di SMEPN dengan sepeda. Jaraknya 15 KM. Suatu hal yang tidak mungkin di era sekarang. Anak-anak sekolah lebih senang menggunakan mobil transportasi umum atau bersepeda motor.
Pada hari kedua saya terbang dengan Garuda beserta keluarga saya. Setelah mampir sebentar di rumah Surabaya, maka saya melanjutkan perjalanan ke Tuban. Hari itu macet juga perjalanan dari Surabaya ke Tuban, khususnya di seputar Lamongan. Jadi perjalanan yang semestinya cukup 2 (dua) jam, ternyata membutuhkan waktu 4 (empat) jam. Untunglah Vika, cucu saya, tidak berontak di perjalanan.
Sungguh saya sangat gembira bisa menjumpai Emak saya, dan juga bertemu dengan sesama kawan dan kerabat saya. Sore hari mereka pada datang ke rumah untuk saling bercerita tentang banyak hal. Rasanya, memang perlu juga kita menjenguk kembali nuansa tempat lahir kita. Jadi memang pulkam adalah salah satu media interaksi yang tidak bisa ditinggalkan meskipun kita sudah modern dengan teknologi informasi yang sangat canggih sekalipun.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..