• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PILKADA 2018: TIDAK ADA POLITIK ALIRAN (2)

PILKADA 2018: TIDAK ADA POLITIK ALIRAN (2)
Tentu masih ada pakar yang melihat peta politik masyarakat Indonesia dengan menggunakan kerangka konseptual politik aliran. Semenjak diangkat oleh Ruth Mc-Vey, dan juga C. Geertz, maka teori politik aliran itu sebenarnya sudah tidak lagi relevan. Namun demikian, masih bisa kita lihat bagaimana praksis politik yang tetap berpegang pada konsepsi aliran dalam memandang dunia politik.
Di dalam realitas politik, masih terdapat gambaran perlunya menyatu antara varian dimaksud. Masih terdapat pemikiran bahwa pemasangan calon bupati, gubernur, bahkan presiden masih menggambarkan pasangan nasionalis dan hijau, atau nasionalis religious dan santri dan sebagainya. hal ini tentu masih menggambarkan betapa masih terdapat model konsepsi aliran dimaksud.
Di era lalu, tentu penggolongan sosial atas basis politik itu sangat mengedepan. Ketika Geertz melakukan penelitian di Jawa Timur, tahun 1955-an, maka politik aliran itu begitu kental. Orang Abangan, dan Orang Santri adalah dua penggolongan sosial dan budaya yang sangat ketat. Nyaris tidak bisa ketemu dalam pemahaman dan pengamalan kehidupan di antara keduanya. Ada garis pemisah yang sedemikian ketat. Suasana seperti itu masih terlihat sampai tahun 1980-an di saat secara politis ada tiga wadah artikulasi kepentingan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penggolongan politik itu sedemikian kental dengan warna aliran. PPP sebagai basis partai Islam, Golkar mengklaim sebagai partanya pekerja dan PDI dengan basis nasionalisme dan agama-agama lain. Ketika terjadi fusi partai, maka Golkar sendirian, lalu PPP dengan partai berasas Islam lainnya, dan PDI menjadi wadah bagi semua partai yang berasas nasionalisme dan agama non Islam.
Pada era reformasi, maka politik aliran tersebut tidak nyata-nyata ada. Artinya, bahwa partai politik sudah menggunakan format yang lebih cair, sehingga jarak ideologis tidak lagi menjadi persoalan mendasar. Coba bayangkan di dalam pilpres tahun 2014, maka Gerindra bisa berkoalisi dengan PAN dan PKS, yang sesungguhnya dari jarak ideology sungguh sangatlah jauh. Gerindra yang mengusung ideology ultra nasionalisme bertemu dengan PKS dengan ideology Islam keras, dan bahkan cenderung fundamental.
Jika diamati secara keseluruhan maka keberadaan politik aliran itu sudah nyaris tidak ada. Jika kemudian masih ditemui keinginan untuk menyandingkan pasangan calon pimpinan daerah atau bahkan presiden itu dengan ungkapan nasionalis dan santri, maka sebenarnya hal itu hanyalah untuk kepentingan memenangkan pilihan belaka dan bukan merupakan pilihan jarak ideology. Jadi sebenarnya, praktik politik berbasis aliran itu sudah tidak lagi nyata adanya.
Di dalam kamus politik memang tidak ada lawan abadi dan tidak ada kawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan atau artikulasi kepentingan. Siapa berkawan dengan siapa dan mendapatkan apa. Jadi bukan siapa berkawan siapa dan tanpa konsesi apapun. Di dalam dunia politik maka setiap koalisi tentu akan menjadi ajang untuk berbagi kekuasaan. Jadi yang menentukan koalisi ialah konsesi apa yang didapatkan terkait dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan.
Dukungan partai politik tentu penting di dalam system demokrasi sebagaimana di Indonesia. Untuk bisa melaju di dalam pilkada, maka yang mendasar ialah apakah dukungan partai politik sudah memenuhi standart minimal dukungan. Atau jika memungkinkan bisa juga melalui jalur independent. Meskipun diketahui syarat-syaratnya tentu sangat berat.
Di Indonesia memang akhirnya harus tidak mengenal jarak ideology, sebagaimana eksperimen Orde Baru yang mencoba membangun partai politik berbasis ideology. Saya kira dengan pilihan terbuka, maka koalisi dan sebagainya akan lebih mudah dilakukan. Sebab koalisi bisa dibangun dengan basis kepentingan politik saja. Yang penting ialah kebutuhan akan power sharing dapat dijalankan secara memadai.
Di dalam pemerintahan Jokowi-JK, maka basis koalisi tersebut dibangun pada saat melakukan dukungan dalam pilihan presiden. Dukungan Nasdem, PPP, Hanura, PKB, PDI-P merupakan koalisi yang dibangun bukan atas dasar jarak ideology tetapi murni kepentingan politik. Itulah sebabnya di saat Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, maka merekalah yang mendapatkan jatah cabinet di dalam pemerintahan. Hal ini tentu terkait dengan menteri adalah jabatan politik yang dipilih dan menjadi hak prerogative presiden.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan keterpilihan gubernur atau bupati, maka jabatan-jabatan di bawahnya ditentukan berdasarkan rekruitmen pejabat, sehingga tidak sebagaimana presiden memilih para menteri untuk kabinetnya. Meskipun para gubernur atau bupati bisa juga melakukan upaya agar orangnya atau pendukungnya yang bisa mendapatkan jatah jabatan yang diperlukan.
Itulah sebabnya, pasca pilkada banyak pejabat yang was-was sebab tentu khawatir tergeser oleh keinginan para pemimpin politik di wilayahnya. Oleh karena itu, pejabat tentu harus cerdas di dalam melakukan tindakan politik sehingga posisi yang digenggamnya sekurang-kurangnya masih akan bisa dipertahankan oleh successor pemimpin politik berikutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PILKADA 2018; SEMAKIN DEWASA BERPOLITIK (1)

PILKADA 2018; SEMAKIN DEWASA BERPOLITIK (1)
Saya sebenarnya sudah sangat lama tidak menulis tentang dunia politik. Bukan karena apa-apa, tetapi saya memang secara sengaja tidak lagi menjadikan politik sebagai focus pemikiran saya. Tetapi untuk pilkada tahun 2018, rasanya penting untuk ditulis, sekurang-kurangnya untuk menjaga memori bahwa pernah ada peristiwa politik penting pada tahun 2018 tersebut.
Sebenarnya, saya memiliki basis tentang kajian politik. Kala mengambil program studi strata dua di Universitas Airlangga, saya memfokuskan pada kajian politik. Judul thesis saya adalah “Agama dan Politik” dengan setting Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Cukir. Tarekat yang tidak terkooptasi oleh pemerintah melalui Golongan Karya dan tetap pada jalur Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kyai Adlan Ali mursyid tarekat ini memang tidak mengikuti jejak tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Rejoso yang melakukan pilihan politik ke Golkar. Thesis saya kemudian saya saya bukukan dengan topic “Pembangkangan Politik Kaum Tarekat”, yang diterbitkan oleh LEPKISS Surabaya.
Modalitas akademik ini yang akan saya panggil ulang untuk menulis di seputar pilkada yang terjadi pada tanggal 27 Juni 2018, pada sebanyak 171 pilkada yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan hasilnya melalui quick count tentu sudah diketahu melalui media televisi maupun media sosial lainnya. Dan berita tentang pilkada tentu sedikit menyita perhatian setelah selama berhari-hari kita disuguhi berita tentang Piala Dunia di Russia yang juga tidak kalah menghadirkan kejutan demi kejutan.
Bawaslu jauh sebelum pilkada berlangsung sudah membuat rilis tentang daerah-daerah yang rawan kerusuhan di dalam pilkada. Di antara yang dianggap rawan ialah Papua, Maluku, Sumatera Utara, Jawa Timur dan lain-lain. Di antara yang menjadi pengungkit terhadap kerusuhan pilkada tersebut ialah factor kesenjangan sosial, politik identitas dan etnisitas. Makanya, jauh sebelum pilkada berlangsung, maka berbagai Kementerian dan Lembaga menjadi proaktif untuk menyelenggarakan berbagai acara dan kegiatan yang terkait dengan mengeliminasi peluang kerusuhan di dalam pilkada. Kementerian Agama dan Kemendagri serta kementerian dan lembaga lain bergandeng tangan untuk mewujudkan pilkada damai.
Kita tentu bersyukur bahwa semua wilayah pilkada ternyata bisa menyelenggarakan pilkada dengan aman dan damai. Hanya Papua yang masih membutuhkan waktu sebab memang terjadi beberapa keributan. Yang lain semuanya bisa menyelanggarakan pilkada secara memadai dan semakin menunjukkan kedewasaan berdemokrasi yang sangat tinggi. Nyaris tidak dijumpai adanya ketegangan yang menyebabkan tertundanya atau kegagalan pilkada.
Masyarakat kita rasaya sudah semakin dewasa di dalam menghadapi pilkada. Tahun 2018, yang dianggap sebagai tahun politik ternyata bisa dinyatakan sebagai tahun pilkada saja. Ada semacam kegamangan menggunakan istilah tahun politik tersebut sebab memiliki konotasi yang lebih “menakutkan”. Perubahan konsep menjadi tahun pilkada tentu membawa dampak ikutan bahwa pilkada adalah peristiwa rutin, yang tidak menakutkan dan merupakan peristiwa yang biasa saja.
Memang harus diakui bahwa Pilkada DKI tahun 2017 masih membayangi pilkada serentak tahun 2018. Betapa kerasnya pilkada DKI yang melibatkan agama dan etnis serta penggolongan politik ternyata tidaklah terjadi. Berbagai konsep yang dianggap sebagai pemicu “ketegangan” sebagaimana di dalam pilkada DKI tidaklah terjadi di dalam pilkada serentak tahun 2018.
Saya kira running text sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, memang benar adanya, bahwa agama tidak dijadikan sebagai issu politik di dalam pilkada serentak tahun 2018. Di Sumatera Utara, pilkada yang melibatkan relasi antara umat Islam dan Kristen atau lainnya juga tidak diwarnai oleh isu politik maupun etnis. Pilkada di Maluku yang juga terdapat relasi antara Muslim dan Kristen juga tidak menggunakan issu agama dan politik. Demikian pula pilkada di Kalimantan Barat dan diduga akan melibatkan isu agama, etnis dan politik juga tidak terjadi benturan.
Pilkada serentak tahun 2018 sungguh bisa menjadi barometer bahwa masyarakat kita semakin dewasa di dalam berpolitik. Demokratisasi yang kita lakukan juga secara pasti akan mengarah kepada demokrasi yang beradab. Issu penggunaan kekuasaan saya kira juga tidak terjadi secara massive. Jika ada jumlahnya sangat kecil dan tidak signifikan. Jika kita amati lebih dalam, misalnya Jawa Timur, dimana incumbent kalah, lalu di Lampung juga incumbent kalah tentu memperkuat kenyataan bahwa pilkada tidak melibatkan kekuasaan atau abuse of power. Dua kasus ini menggambarkan secara transparan bahwa kekuasaan tidak lagi bisa dijadikan sebagai kendaraan politik bagi penguasa sebelumnya. Jadi justifikasi yang menyatakan akan terjadi abuse of power di dalam pilkada bisa dimentahkan dengan realitas politik pilkada.
Lalu issu tentang money politics juga rasanya bisa diminimalisir sedemiian signifikan. Nanti akan bisa dilihat seberapa besar terjadi gugatan politik yang disebabkan oleh bermainnya issu politik uang tersebut terjadi. Tetapi mengamati terhadap realitas empiris di semua wilayah pilkada, maka money politics yang sungguh dikhawatirkan ternyata bisa dieleminasi. Money politik itu seperti “kentut”. Ada baunya tetapi tidak kasat mata keberadaannya. Makanya issu politik uang juga tetap saja ada di tengah perpolitikan pilkada. Yang akan membuktikan ialah ketika terjadi gugatan pilkada yang disebabkan oleh politik uang.
Yang penting ialah kita harus mengucapkan selamat kepada yang memenangkan Pilkada tahun 2018. Setelah menang, maka tugas utamanya ialah merealisasikan janji-janji kampanye yang disampaikan kepada public. Jangan sampai janji tinggal janji, lalu menggunakan jurus lupa untuk melakukan “kebohongan” public. Janji adalah utang. Dan utang perlu direalisasikan segera.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (3)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (3)
Bagaimana dengan sepak bola Indonesia? Inilah pertanyaan yang agak sulit dijawab. Sepak bola Indonesia, sebenarnya pernah mengalami masa berkembang, terutama di saat dipimpin oleh Ali Sadikin. Kala PSSI dipimpin oleh Beliau, maka geliat sepak bola Indonesia pernah mengalami masa keemasan. Misalnya di saat Indonesia mengikuti Pra Piala Dunia, dan hanya kalah lewat tendangan adu penalty melawan Korea Utara. Saya ingat beberapa nama seperti Iswadi Idris, Anjas Asmara, Junaedi, Subodro dan sebagainya yang membawa nama Indonesia dalam kancah dunia.
Lalu, juga di era perkembangan Galatama, dengan Niac Mitra Surabaya, Warna Agung, dan lainnya. Saya masih ingat dengan Fandi Ahmad, pemain depan Niac Mitra dan David Lee, pemain Singapura yang mengharubiru jagad persepakbolaan nasional. Saat itu, internasionalisasi pemain sepak bola sudah dilakukan. Hanya saja, ketika pergantian kepemimpinan PSSI ke Bardosono, maka era internasionalisasi sepakbola menjadi terhenti. Melalui issu nasionalisme, maka gerakan internasionalisasi sepak bola mengalami masa surut.
Baru kemudian tahun 2000-an geliat internasionalisasi sepakbola kembali dilakukan. Ada banyak pemain dari luar negeri yang menjadi pemain di liga Indonesia. misalnya, Gonzales, Makan Konate, Gustavo Lopez, Zah Rahan, Marco Simic, bahkan Michael Essien pun datang ke Indonesia. Dengan kehadiran pesepakbola dari manca negara ini tentu diharapkan akan menghidupkan dunia persepakbolaan Indonesia. Bayangkan Michael Essien, pemain yang luar biasa dan dikenal di dunia internasional itu pun merumput di Indonesia. Artinya, bahwa persepakbolaan kita sudah dikenal dan club-club sepakbola Indonesia juga sudah dikenal oleh dunia sepakbola internasional.
Sayangnya, pemain seperti Essien, tidak mendapatkan dukungan secara optimal dari rekan-rekannya untuk mengembangkan permainannya di sini. Maung Bandung yang dibelanya tidak memperoleh keuntungan peringkat dari kehadirannya. Jadinya, kehadiran pemain besar itu tidak membawa dampak signifikan bagi tim yang dibelanya. Hal ini bisa disebabkan oleh manajemen club atau pelatih dan bahkan juga sesama pemain yang tidak saling mendukung, sehingga karirnya yang bagus di club Eropa tidak terjadi di sini.
Sebenarnya di Indonesia terdapat pendukung fanatic. Ingat misalnya Aremania, Jakmania, Bebotoh, Bonek dan sebagainya. Mereka ini adalah penggila bola yang luar biasa dan memiliki potensi mendukung perkembangan persepakbolaan di Indonesia. Hanya sayangnya bahwa potensi konstruktif itu lebih banyak menjadi boomerang, sebab tidak jarang terjadi perkelahian antar pendukung. Bahkan antara pendukung Persebaya –kaum Bonekmania—dengan pendukung Arema –Aremania—sering terjadi konflik. Bahkan beberapa tahun yang lalu, jika Arema bermain di Surabaya, maka para Aremania dilarang nonton di Stadion Gelora Tambaksari dan sebaliknya jika Persebaya bermain di Malang, maka para Bonekmania juga dilarang datang ke lapangan hijau. Hal ini sama dengan perseteruan antara Kaum Bebotoh –pendukung Maung Bandung—dengan kaum Jakmania –pendukung Persija—yang selalu melakukan aksi tidak sportif.
Sikap Holiganisme –istilah pendukung tim Inggris—yang sering membikin onar juga menyeruak di dalam kehidupan sepakbola di Indonesia. Beberapa saat yang lalu Gelora Bung Karno juga dirusak oleh para holigans yang memang memiliki semangat untuk merusak di kala timnya kalah. Ada saja yang dipersalahkan: mulai dari wasit, penjaga garis sampai penitia pertandingan. Sikap tidak sportif inilah yang sesungguhnya bisa menganggu terhadap perkembangan sepakbola Indonesia.
Vietnam, misalnya telah memiliki tim yang sangat bagus. Padahal dilihat dari perkembangan sepak bola tentu belum seberapa. Bandingkan dengan Indonesia yang pernah berlaga di dalam Olimpiade Melbourne dengan menahan imbang Uni Soviet. Pemain seperti Ramang, Maulwi Saelan dan kawan-kawan pernah membuat kejutan di arena Olimpiade tahun 1958. Tim Indonesia bisa masuk dalam perempat final.
Penggemar sepak bola fanatic sebenarnya sudah hadir di Indonesia. beberapa pertandingan yang memiliki pendukung fanatic juga telah meramaikan jagad sepak bola Indonesia. Hanya yang belum ialah bagaimana menghadirkan kualitas permainan yang lebih baik. Pelatih sekelas, Luis Milla pun gagal mengangkat prestasi permainan sepak bola Indonesia. Kala tim Usia 19 tahun ditangani oleh Indra Syafri, maka Indonesia sepertinya akan memulai babak baru persepakbolaan. Dengan Evan Dimas, dan kawan-kawan rasanya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Tetapi nyatanya gagal dan gagal lagi.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk 235 juta orang tentunya dipastikan terdapat talenta-talenta yang baik dalam sepakbola. Bayangkan dengan Vietnam dan Thailand atau bahkan Malaysia dan Singapura yang SDM-nya tentu lebih sedikit tetapi berhasil memiliki pemain-pemain yang baik. Mungkin bukan karena kekurangan talenta bola yang hebat, tetapi bisa jadi karena pembinaan yang kurang akurat.
Jadi saya kira untuk menjadikan sepak bola Indonesia sebagai budaya pop, maka hanya diperlukan kualitas sepak bola yang baik, berdasarkan atas kompetisi liga yang hebat, lalu didukung oleh kebijakan yang memihak sepak bola serta dukungan dari supporters yang benar-benar ingin sepak bola Indonesia maju.
Sungguh sepak bola Indonesia pada suatu kesempatan akan bisa meraih kemajuan berkat dukungan semua pihak.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (2)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (2)
Budaya pop saya terjemahkan sebagai sebuah budaya yang bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, baik kaum the have atau bukan. Budaya pop bercorak massive dan bisa dinikmati oleh banyak orang. Sepak bola saya kira sudah menjadi bagian dari budaya pop tersebut, karena massivitas penikmatnya dan juga jangkauannya yang memasuki hampir seluruh masyarakat di dunia.
Di kalangan anak-anak muda, siapa yang tidak kenal dengan tim Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, Juventus, AC. Milan, Inter Milan, Liverpool, Manchester United, Manchester City, Bayern Muenchen, Dortmund, Paris Stain Germaine, Monaco, PSV Eindhoven, dan sebagainya. Jika ada anak muda yang tidak mengenalnya, maka dianggapnya kurang pergaulan (kuper). Jadi menjadi penggila bola sudah menjadi life style di kalangan anak-anak muda di dunia.
Dalam jajaran pemain bola, siapa yang tidak kenal dengan Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Gareth Bale, Karim Benzema, Anthony Griezman, Andreas Iniesta, Paul Pogba, Mohammad Salah, dan sebagainya. Nama-nama ini sangat dikenal di kalangan anak-anak muda. Bahkan ada orang tua yang menamakan anaknya dengan nama-nama terkenal pemain sepak bola. Zamannya David Beckham merajai dunia sepakbola, maka ada anak orang desa yang dinamai David. Dan tidak hanya nama pemain sepakbola yang diambilnya, tetapi juga nama-nama pemain sinetron. Saya sering menyatakan di dalam acara walimatul hamli dengan menyindir orang tua, agar jangan memberi nama anaknya dengan nama pemain terkenal dari Liberia, George Weah, sebagai nama anaknya. Agak sulit nanti memanggilnya.
Sepakbola tidak hanya menghadirkan sportainment, akan tetapi juga menjadi ranah kapitalisme baru. Jual beli pemain dengan harga trilyunan rupiah adalah contoh bagaimana sepak bola telah menjadi ajang kapitalisme baru tersebut. Sepak bola bukan hanya sekedar permainan atau pertandingan, tetapi juga menghadirkan “perjudian” dengan berbagai variasinya. Tidak hanya tebak berapa score yang dihasilkan tetapi lebih canggih dari hal tersebut.
Sepak bola itu seperti sihir yang dahsyat. Coba lihat dalam pertandingan yang disebut sebagai big match, misalnya antara Liverpool dengan MU atau Arsenal versus Manchester City, maka penontonnya akan membludak luar biasa. Tidak hanya lelaki tetapi juga perempuan, bahkan ada yang mengajak anak-anak untuk nonton bola itu. Tanpa disadari bahwa mereka sudah mewariskan kecintaan terhadap sepak bola. Ada proses enculturation di kalangan mereka. Tidak salah jika ada sebuah keluarga yang menjadi fans suatu tim sepak bola, mulai dari bapak, ibu sampai anak-anaknya dan hal itu turun temurun.
Jika Barcelona kontra Real Madrid atau Real Madrid versus Atletico Madrid atau PSG versus Monaco atau AC. Milan versus Inter Milan, maka dapat dipastikan penontonnya meluber luar biasa. Mereka adalah fans setia dan penonton yang menggilai sepak bola luar biasa. Tidak jarang mereka menjadi menangis ketika tim kesayangannya kalah dengan menyakitkan. Mereka juga merasa sangat bahagia ketika tim kesayangannya menang atau menjadi juara. Arak-arakan terhadap pememang Piala Champions tentu memberikan gambaran betapa sepakbola telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di negara-nagara maju.
Tidak hanya di lapangan, di televisi juga tidak kalah serunya. Banyak hotel yang menayangkan nonton bareng jika terdapat pertandingan big match tersebut. Di caffe atau warung kopi juga menyelenggarakan acara nobar. Tujuannya jelas yaitu ingin memanjakan terhadap para pelanggannya agar betah dan merasa nyaman dan senang dengan pelayanan komplit seperti itu. Selama penyelenggaraan acara Piala Dunia maka dipastikan bahwa banyak hotel yang menyelenggarakan nobar sebagai menu utama di dalamnya.
Harga pemain terkenal, seperti C. Ronaldo, Lionel Messi, Neymar JR, Louis Suarez, sampai Patrick Aubameyang menjadi luar biasa. Ketika Neymar dibeli oleh PSG dari Barcelona, maka harganya menjadi trilyunan rupiah, demikian pula pemain lainnya. Sungguh sepak bola telah menghasilkan uang dan kehormatan yang luar biasa. Dengan kehadiran Mohammad Salah di Liverpool dan menyebabkan klubnya memasuki babak final Piala Champions, maka Club Liverpool seperti memperoleh kehormatan yang luar biasa. Kala Mo Salah ditekel oleh Ramos dalam perebutan juara Piala Champions, maka banyak fans-nya yang meradang. Banyak yang mencela dan mencaci maki Real Madrid, sebab dianggap telah merusak fair play, meskipun akhirnya Real Madrid menjadi juara tiga kali beruntun dalam Piala Champion.
Sepakbola telah menjadi agama baru. Bagi penggila bola, maka nonton bola adalah ritual. Setelah penat selama sepekan bekerja, maka akhir pekan dihiasi kehidupannya itu dengan ritual nonton bola. Lelaki perempuan tumplek bleg di lapangan hijau untuk menyaksikan tim kesayangannya. Bahkan mereka adalah para pelanggan. Mereka telah berlangganan karcis nonton bola selama setahun. Artinya, setiap akhir pekan acaranya ialah nonton bola. Bahkan ada lelucon bagi penggila bola, bahwa isteri keduanya ialah bola. Di Inggris, tempat ibadah menjadi sepi tetapi lapangan bola menjadi tempat yang baru untuk melakukan ritual. Kebahagiaannya bukan karena memuja atau memuji Tuhan tetapi ketika pemain idolanya mencetak goal. Mereka bisa histeris karena gol yang diciptakannya. Perbincangan di awal pekan ialah tentang sepak bola. Bukannya berbicara tentang keluarga atau anak atau bahkan suami isteri tetapi bola atau bahkan pekerjaan. Jadi bola telah menjadi life style di kalangan peminat dan penggila bola.
Hidup menjadi hampa tanpa bola. Dan jika sudah seperti ini, maka tujuan hidup ialah bagaimana agar bisa menonton bola sekali sepekan atau dua kali dalam sepekan. Inilah makna kehidupan bagi mereka yang dikategorikan sebagai penggila bola.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (1)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (1)
Saya memang termasuk penggemar sepak bola, meskipun saya tidak pernah nonton bola di lapangan. Sejauh yang saya lakukan adalah nonton sepak bola di televisi. Saya memang menggemari olahraga, seperti bulutangkis, volley ball, dan juga tennis meja. Dahulu kala masih remaja saya senang bermain bola volli, lalu juga bermain badminton dan tennis meja.
Saat saya masih di Surabaya, saya masih menyempatkan bermain bulutangkis 2 (dua) kali dalam sepekan. Saya memiliki kenangan dengan Prof. Abdurahman waktu itu. Pak Rahman jika ke Surabaya, maka menyempatkan bermain badminton dengan saya dan jika saya ke Jakarta juga menyempatkan bermain badminton dengan beliau. Hebatnya, karena selalu berlawanan. Saling kalah dan menang.
Tetapi akhir-akhir ini, saat usia sudah memasuki usia matang, bukan tua, maka oleh anak saya, dr. Dhuhratul Rizqiyah, dilarang untuk bermain badminton. Terlalu keras bagi orang seusia saya. Maka, saya alihkan lagi ke tennis meja yang tentu lebih ringan dari gerakan reflex yang berat. Saya menyadari bahwa mengeluarkan keringat itu penting sebab dalam sehari semalam selalu berada di dalam kubangan pendingin –air condition—sehingga rasanya perlu juga badan menjadi hangat, dan salah satunya ialah dengan olahraga.
Akhir-akhir ini, kita sedang memasuki “demam” sepak bola. Hal itu tentu saja terkait dengan Piala Dunia yang diselenggarakan di Moskow, Russia, 14 Juni hingga 17 Juli 2018. Pada perhelatan Piala Dunia ini, maka Trans TV menjadi televisi yang paling banyak mendapatkan rating. Pantas saja sebab Trans TV lah yang menyaiarkan siaran langsung Piala Dunia maupun siaran tunda. Jika acara live siaran Sepak bola tidak bisa diikuti, maka bisa melihatnya lagi pada jam siaran tunda pada pagi sampai siang hari.
Bagi saya, nyaris semua pertandingan adalah big match. Tidak hanya pertandingan antara sesama tim Eropa atau Amerika Latin, akan tetapi pertandingan antara tim Eropa dan Amerika Latin dengan tim Asia atau Afrika juga sangat menarik. Kita tentu tahu ada tim-tim unggulan, seperti Argentina, Brasil, Jerman, Inggris, Russia, Spanyol, Portugal dan lain-lain, yang memang tidak diharapkan bertemu pada babak penyisihan. Berdasarlkan regulasi, maka tim unggulan disebar di seluruh grup dari Grup A sampai H. Sayangnya, tim Belanda dan Italia sebagai negara sepak bola tidak lolos kualifikasi.
Dari seluruh unggulan, maka hanya Russia dan Portugal yang belum pernah mencicipi juara Piala Dunia. Akan tetapi Russia adalah tuan rumah dan Portugal adalah juara Eropa. Brasil, Jerman, Argentina, Italia dan Spanyol adalah tim-tim yang sudah mencicipi menjadi juara dunia.
Nyaris seluruh hotel bintang IV dan V menyelenggarakan acara nonton bareng (nobar) sebagai sajian utama. Hal ini dilakukan tentu sebagai salah satu daya tarik untuk para pelanggannya. Nobar memang memberikan nuansa tersendiri bagi para penggemar bola.
Pada waktu saya menjadi rector, tahun 2010, saya juga menyelenggarakan nobar di kampus. Saya ingat betul kala itu, Belanda melawan Brasil dan Belanda memenangkan pertandingan. Ada banyak dosen dan mahasiswa terutama para aktivis yang terlibat di dalam nobar tersebut. Rasanya memang berbeda dengan nonton bola sendirian di rumah.
Saya bukanlah penggila bola. Saya hanya senang nonton bola sebagai hiburan saja. Namun demikian, saya tetap memiliki jagoan yang saya anggap pantas untuk memenangkan pertandingan. Terus terang Brasil masih menjadi tim favorit saya. Jerman meskipun tim yang sangat kuat tetapi saya tidak pernah menjadikannya sebagai tim favorit.
Tetapi yang sangat saya suka ialah menjadikan tim underdog sebagai yang saya bela. Makanya, ketika Meksiko mengalahkan Jerman, lalu Jepang mengalahkan Columbia, Senegal mengalahkan Polandia, maka saya menjadi sangat senang. Sepak bola memberikan kesempatan bagi kaum underdog untuk turut serta berbahagia karena menang.
Semenjak dahulu saya merasakan hal yang sama seperti ini. Saya lebih banyak –meski bukan seluruhnya—selalu membela terhadap tim-tim bola yang underdog. Itulah sebabnya pada piala sebelumnya, 2010, saya sebenarnya lebih membela Belanda untuk menang melawan Spanyol. Jadi ada semacam calling untuk membela yang tidak diunggulkan.
Tetapi di dalam perhelatan Piala Dunia tahun ini, rasanya saya tidak memiliki jagoan untuk memenangkan tropi piala dunia. Setelah melihat Brazil yang susah payah, lalu Spanyol juga seperti itu, termasuk juga Argentina yang babak belur, rasanya saya tidak memiliki prediksi yang akan menjadi juara. Saya berbeda dengan Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, yang sudah memilih tim Spanyol sebagai juara piala dunia.
Jadi kita tunggu saja, siapa nanti yang akan terus leading di tengah semakin meratanya kekuatan sepak bola di berbagai negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.