Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (1)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (1)
Saya memang termasuk penggemar sepak bola, meskipun saya tidak pernah nonton bola di lapangan. Sejauh yang saya lakukan adalah nonton sepak bola di televisi. Saya memang menggemari olahraga, seperti bulutangkis, volley ball, dan juga tennis meja. Dahulu kala masih remaja saya senang bermain bola volli, lalu juga bermain badminton dan tennis meja.
Saat saya masih di Surabaya, saya masih menyempatkan bermain bulutangkis 2 (dua) kali dalam sepekan. Saya memiliki kenangan dengan Prof. Abdurahman waktu itu. Pak Rahman jika ke Surabaya, maka menyempatkan bermain badminton dengan saya dan jika saya ke Jakarta juga menyempatkan bermain badminton dengan beliau. Hebatnya, karena selalu berlawanan. Saling kalah dan menang.
Tetapi akhir-akhir ini, saat usia sudah memasuki usia matang, bukan tua, maka oleh anak saya, dr. Dhuhratul Rizqiyah, dilarang untuk bermain badminton. Terlalu keras bagi orang seusia saya. Maka, saya alihkan lagi ke tennis meja yang tentu lebih ringan dari gerakan reflex yang berat. Saya menyadari bahwa mengeluarkan keringat itu penting sebab dalam sehari semalam selalu berada di dalam kubangan pendingin –air condition—sehingga rasanya perlu juga badan menjadi hangat, dan salah satunya ialah dengan olahraga.
Akhir-akhir ini, kita sedang memasuki “demam” sepak bola. Hal itu tentu saja terkait dengan Piala Dunia yang diselenggarakan di Moskow, Russia, 14 Juni hingga 17 Juli 2018. Pada perhelatan Piala Dunia ini, maka Trans TV menjadi televisi yang paling banyak mendapatkan rating. Pantas saja sebab Trans TV lah yang menyaiarkan siaran langsung Piala Dunia maupun siaran tunda. Jika acara live siaran Sepak bola tidak bisa diikuti, maka bisa melihatnya lagi pada jam siaran tunda pada pagi sampai siang hari.
Bagi saya, nyaris semua pertandingan adalah big match. Tidak hanya pertandingan antara sesama tim Eropa atau Amerika Latin, akan tetapi pertandingan antara tim Eropa dan Amerika Latin dengan tim Asia atau Afrika juga sangat menarik. Kita tentu tahu ada tim-tim unggulan, seperti Argentina, Brasil, Jerman, Inggris, Russia, Spanyol, Portugal dan lain-lain, yang memang tidak diharapkan bertemu pada babak penyisihan. Berdasarlkan regulasi, maka tim unggulan disebar di seluruh grup dari Grup A sampai H. Sayangnya, tim Belanda dan Italia sebagai negara sepak bola tidak lolos kualifikasi.
Dari seluruh unggulan, maka hanya Russia dan Portugal yang belum pernah mencicipi juara Piala Dunia. Akan tetapi Russia adalah tuan rumah dan Portugal adalah juara Eropa. Brasil, Jerman, Argentina, Italia dan Spanyol adalah tim-tim yang sudah mencicipi menjadi juara dunia.
Nyaris seluruh hotel bintang IV dan V menyelenggarakan acara nonton bareng (nobar) sebagai sajian utama. Hal ini dilakukan tentu sebagai salah satu daya tarik untuk para pelanggannya. Nobar memang memberikan nuansa tersendiri bagi para penggemar bola.
Pada waktu saya menjadi rector, tahun 2010, saya juga menyelenggarakan nobar di kampus. Saya ingat betul kala itu, Belanda melawan Brasil dan Belanda memenangkan pertandingan. Ada banyak dosen dan mahasiswa terutama para aktivis yang terlibat di dalam nobar tersebut. Rasanya memang berbeda dengan nonton bola sendirian di rumah.
Saya bukanlah penggila bola. Saya hanya senang nonton bola sebagai hiburan saja. Namun demikian, saya tetap memiliki jagoan yang saya anggap pantas untuk memenangkan pertandingan. Terus terang Brasil masih menjadi tim favorit saya. Jerman meskipun tim yang sangat kuat tetapi saya tidak pernah menjadikannya sebagai tim favorit.
Tetapi yang sangat saya suka ialah menjadikan tim underdog sebagai yang saya bela. Makanya, ketika Meksiko mengalahkan Jerman, lalu Jepang mengalahkan Columbia, Senegal mengalahkan Polandia, maka saya menjadi sangat senang. Sepak bola memberikan kesempatan bagi kaum underdog untuk turut serta berbahagia karena menang.
Semenjak dahulu saya merasakan hal yang sama seperti ini. Saya lebih banyak –meski bukan seluruhnya—selalu membela terhadap tim-tim bola yang underdog. Itulah sebabnya pada piala sebelumnya, 2010, saya sebenarnya lebih membela Belanda untuk menang melawan Spanyol. Jadi ada semacam calling untuk membela yang tidak diunggulkan.
Tetapi di dalam perhelatan Piala Dunia tahun ini, rasanya saya tidak memiliki jagoan untuk memenangkan tropi piala dunia. Setelah melihat Brazil yang susah payah, lalu Spanyol juga seperti itu, termasuk juga Argentina yang babak belur, rasanya saya tidak memiliki prediksi yang akan menjadi juara. Saya berbeda dengan Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, yang sudah memilih tim Spanyol sebagai juara piala dunia.
Jadi kita tunggu saja, siapa nanti yang akan terus leading di tengah semakin meratanya kekuatan sepak bola di berbagai negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..