• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PILKADA 2018: TIDAK ADA POLITIK ALIRAN (2)

PILKADA 2018: TIDAK ADA POLITIK ALIRAN (2)
Tentu masih ada pakar yang melihat peta politik masyarakat Indonesia dengan menggunakan kerangka konseptual politik aliran. Semenjak diangkat oleh Ruth Mc-Vey, dan juga C. Geertz, maka teori politik aliran itu sebenarnya sudah tidak lagi relevan. Namun demikian, masih bisa kita lihat bagaimana praksis politik yang tetap berpegang pada konsepsi aliran dalam memandang dunia politik.
Di dalam realitas politik, masih terdapat gambaran perlunya menyatu antara varian dimaksud. Masih terdapat pemikiran bahwa pemasangan calon bupati, gubernur, bahkan presiden masih menggambarkan pasangan nasionalis dan hijau, atau nasionalis religious dan santri dan sebagainya. hal ini tentu masih menggambarkan betapa masih terdapat model konsepsi aliran dimaksud.
Di era lalu, tentu penggolongan sosial atas basis politik itu sangat mengedepan. Ketika Geertz melakukan penelitian di Jawa Timur, tahun 1955-an, maka politik aliran itu begitu kental. Orang Abangan, dan Orang Santri adalah dua penggolongan sosial dan budaya yang sangat ketat. Nyaris tidak bisa ketemu dalam pemahaman dan pengamalan kehidupan di antara keduanya. Ada garis pemisah yang sedemikian ketat. Suasana seperti itu masih terlihat sampai tahun 1980-an di saat secara politis ada tiga wadah artikulasi kepentingan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penggolongan politik itu sedemikian kental dengan warna aliran. PPP sebagai basis partai Islam, Golkar mengklaim sebagai partanya pekerja dan PDI dengan basis nasionalisme dan agama-agama lain. Ketika terjadi fusi partai, maka Golkar sendirian, lalu PPP dengan partai berasas Islam lainnya, dan PDI menjadi wadah bagi semua partai yang berasas nasionalisme dan agama non Islam.
Pada era reformasi, maka politik aliran tersebut tidak nyata-nyata ada. Artinya, bahwa partai politik sudah menggunakan format yang lebih cair, sehingga jarak ideologis tidak lagi menjadi persoalan mendasar. Coba bayangkan di dalam pilpres tahun 2014, maka Gerindra bisa berkoalisi dengan PAN dan PKS, yang sesungguhnya dari jarak ideology sungguh sangatlah jauh. Gerindra yang mengusung ideology ultra nasionalisme bertemu dengan PKS dengan ideology Islam keras, dan bahkan cenderung fundamental.
Jika diamati secara keseluruhan maka keberadaan politik aliran itu sudah nyaris tidak ada. Jika kemudian masih ditemui keinginan untuk menyandingkan pasangan calon pimpinan daerah atau bahkan presiden itu dengan ungkapan nasionalis dan santri, maka sebenarnya hal itu hanyalah untuk kepentingan memenangkan pilihan belaka dan bukan merupakan pilihan jarak ideology. Jadi sebenarnya, praktik politik berbasis aliran itu sudah tidak lagi nyata adanya.
Di dalam kamus politik memang tidak ada lawan abadi dan tidak ada kawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan atau artikulasi kepentingan. Siapa berkawan dengan siapa dan mendapatkan apa. Jadi bukan siapa berkawan siapa dan tanpa konsesi apapun. Di dalam dunia politik maka setiap koalisi tentu akan menjadi ajang untuk berbagi kekuasaan. Jadi yang menentukan koalisi ialah konsesi apa yang didapatkan terkait dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan.
Dukungan partai politik tentu penting di dalam system demokrasi sebagaimana di Indonesia. Untuk bisa melaju di dalam pilkada, maka yang mendasar ialah apakah dukungan partai politik sudah memenuhi standart minimal dukungan. Atau jika memungkinkan bisa juga melalui jalur independent. Meskipun diketahui syarat-syaratnya tentu sangat berat.
Di Indonesia memang akhirnya harus tidak mengenal jarak ideology, sebagaimana eksperimen Orde Baru yang mencoba membangun partai politik berbasis ideology. Saya kira dengan pilihan terbuka, maka koalisi dan sebagainya akan lebih mudah dilakukan. Sebab koalisi bisa dibangun dengan basis kepentingan politik saja. Yang penting ialah kebutuhan akan power sharing dapat dijalankan secara memadai.
Di dalam pemerintahan Jokowi-JK, maka basis koalisi tersebut dibangun pada saat melakukan dukungan dalam pilihan presiden. Dukungan Nasdem, PPP, Hanura, PKB, PDI-P merupakan koalisi yang dibangun bukan atas dasar jarak ideology tetapi murni kepentingan politik. Itulah sebabnya di saat Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, maka merekalah yang mendapatkan jatah cabinet di dalam pemerintahan. Hal ini tentu terkait dengan menteri adalah jabatan politik yang dipilih dan menjadi hak prerogative presiden.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan keterpilihan gubernur atau bupati, maka jabatan-jabatan di bawahnya ditentukan berdasarkan rekruitmen pejabat, sehingga tidak sebagaimana presiden memilih para menteri untuk kabinetnya. Meskipun para gubernur atau bupati bisa juga melakukan upaya agar orangnya atau pendukungnya yang bisa mendapatkan jatah jabatan yang diperlukan.
Itulah sebabnya, pasca pilkada banyak pejabat yang was-was sebab tentu khawatir tergeser oleh keinginan para pemimpin politik di wilayahnya. Oleh karena itu, pejabat tentu harus cerdas di dalam melakukan tindakan politik sehingga posisi yang digenggamnya sekurang-kurangnya masih akan bisa dipertahankan oleh successor pemimpin politik berikutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..