Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (3)

SEPAK BOLA SEBAGAI POP CULTURE (3)
Bagaimana dengan sepak bola Indonesia? Inilah pertanyaan yang agak sulit dijawab. Sepak bola Indonesia, sebenarnya pernah mengalami masa berkembang, terutama di saat dipimpin oleh Ali Sadikin. Kala PSSI dipimpin oleh Beliau, maka geliat sepak bola Indonesia pernah mengalami masa keemasan. Misalnya di saat Indonesia mengikuti Pra Piala Dunia, dan hanya kalah lewat tendangan adu penalty melawan Korea Utara. Saya ingat beberapa nama seperti Iswadi Idris, Anjas Asmara, Junaedi, Subodro dan sebagainya yang membawa nama Indonesia dalam kancah dunia.
Lalu, juga di era perkembangan Galatama, dengan Niac Mitra Surabaya, Warna Agung, dan lainnya. Saya masih ingat dengan Fandi Ahmad, pemain depan Niac Mitra dan David Lee, pemain Singapura yang mengharubiru jagad persepakbolaan nasional. Saat itu, internasionalisasi pemain sepak bola sudah dilakukan. Hanya saja, ketika pergantian kepemimpinan PSSI ke Bardosono, maka era internasionalisasi sepakbola menjadi terhenti. Melalui issu nasionalisme, maka gerakan internasionalisasi sepak bola mengalami masa surut.
Baru kemudian tahun 2000-an geliat internasionalisasi sepakbola kembali dilakukan. Ada banyak pemain dari luar negeri yang menjadi pemain di liga Indonesia. misalnya, Gonzales, Makan Konate, Gustavo Lopez, Zah Rahan, Marco Simic, bahkan Michael Essien pun datang ke Indonesia. Dengan kehadiran pesepakbola dari manca negara ini tentu diharapkan akan menghidupkan dunia persepakbolaan Indonesia. Bayangkan Michael Essien, pemain yang luar biasa dan dikenal di dunia internasional itu pun merumput di Indonesia. Artinya, bahwa persepakbolaan kita sudah dikenal dan club-club sepakbola Indonesia juga sudah dikenal oleh dunia sepakbola internasional.
Sayangnya, pemain seperti Essien, tidak mendapatkan dukungan secara optimal dari rekan-rekannya untuk mengembangkan permainannya di sini. Maung Bandung yang dibelanya tidak memperoleh keuntungan peringkat dari kehadirannya. Jadinya, kehadiran pemain besar itu tidak membawa dampak signifikan bagi tim yang dibelanya. Hal ini bisa disebabkan oleh manajemen club atau pelatih dan bahkan juga sesama pemain yang tidak saling mendukung, sehingga karirnya yang bagus di club Eropa tidak terjadi di sini.
Sebenarnya di Indonesia terdapat pendukung fanatic. Ingat misalnya Aremania, Jakmania, Bebotoh, Bonek dan sebagainya. Mereka ini adalah penggila bola yang luar biasa dan memiliki potensi mendukung perkembangan persepakbolaan di Indonesia. Hanya sayangnya bahwa potensi konstruktif itu lebih banyak menjadi boomerang, sebab tidak jarang terjadi perkelahian antar pendukung. Bahkan antara pendukung Persebaya –kaum Bonekmania—dengan pendukung Arema –Aremania—sering terjadi konflik. Bahkan beberapa tahun yang lalu, jika Arema bermain di Surabaya, maka para Aremania dilarang nonton di Stadion Gelora Tambaksari dan sebaliknya jika Persebaya bermain di Malang, maka para Bonekmania juga dilarang datang ke lapangan hijau. Hal ini sama dengan perseteruan antara Kaum Bebotoh –pendukung Maung Bandung—dengan kaum Jakmania –pendukung Persija—yang selalu melakukan aksi tidak sportif.
Sikap Holiganisme –istilah pendukung tim Inggris—yang sering membikin onar juga menyeruak di dalam kehidupan sepakbola di Indonesia. Beberapa saat yang lalu Gelora Bung Karno juga dirusak oleh para holigans yang memang memiliki semangat untuk merusak di kala timnya kalah. Ada saja yang dipersalahkan: mulai dari wasit, penjaga garis sampai penitia pertandingan. Sikap tidak sportif inilah yang sesungguhnya bisa menganggu terhadap perkembangan sepakbola Indonesia.
Vietnam, misalnya telah memiliki tim yang sangat bagus. Padahal dilihat dari perkembangan sepak bola tentu belum seberapa. Bandingkan dengan Indonesia yang pernah berlaga di dalam Olimpiade Melbourne dengan menahan imbang Uni Soviet. Pemain seperti Ramang, Maulwi Saelan dan kawan-kawan pernah membuat kejutan di arena Olimpiade tahun 1958. Tim Indonesia bisa masuk dalam perempat final.
Penggemar sepak bola fanatic sebenarnya sudah hadir di Indonesia. beberapa pertandingan yang memiliki pendukung fanatic juga telah meramaikan jagad sepak bola Indonesia. Hanya yang belum ialah bagaimana menghadirkan kualitas permainan yang lebih baik. Pelatih sekelas, Luis Milla pun gagal mengangkat prestasi permainan sepak bola Indonesia. Kala tim Usia 19 tahun ditangani oleh Indra Syafri, maka Indonesia sepertinya akan memulai babak baru persepakbolaan. Dengan Evan Dimas, dan kawan-kawan rasanya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Tetapi nyatanya gagal dan gagal lagi.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk 235 juta orang tentunya dipastikan terdapat talenta-talenta yang baik dalam sepakbola. Bayangkan dengan Vietnam dan Thailand atau bahkan Malaysia dan Singapura yang SDM-nya tentu lebih sedikit tetapi berhasil memiliki pemain-pemain yang baik. Mungkin bukan karena kekurangan talenta bola yang hebat, tetapi bisa jadi karena pembinaan yang kurang akurat.
Jadi saya kira untuk menjadikan sepak bola Indonesia sebagai budaya pop, maka hanya diperlukan kualitas sepak bola yang baik, berdasarkan atas kompetisi liga yang hebat, lalu didukung oleh kebijakan yang memihak sepak bola serta dukungan dari supporters yang benar-benar ingin sepak bola Indonesia maju.
Sungguh sepak bola Indonesia pada suatu kesempatan akan bisa meraih kemajuan berkat dukungan semua pihak.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..