Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA MENUMBUHKAN INTELIGENSI SPIRITUAL

PUASA MENUMBUHKAN INTELIGENSI SPIRITUAL

Salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya ialah kelengkapan inteligensi yang dimilikinya. Manusia oleh Allah diberikan 4 (empat) kecerdasan sekaligus, yaitu: rational intelligent, emotional intelligent, social intelligent dan juga spiritual intelligent. Dengan kemampuan seperti ini, maka pantaslah jika Allah memilih manusia menjadi khalifahnya di muka bumi.
Ketika semua makhluk Allah diberi peluang untuk menjadi khalifah Allah, maka semua menolaknya. Bahkan malaikat juga menolak untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Allah lalu menyatakan akan menciptakan manusia yang kelak akan menjadi khalifah-Nya. Malaikat pun bertanya, apakah manusia mampu untuk menjadi khalifah Allah di bumi? Maka, Allah dengan kekuasaannya membuktikan kepada para malaikat, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjadi khalifah Allah tersebut. Manusia diberi kemampuan inteligensi yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya.
Dengan rational intelligent, maka manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan memahami kehidupan ini berdasarkan atas prinsip rasional, misalnya pemikiran untung dan rugi, baik dan buruk, bermanfaat atau tidak dan segala hal yang terkait dengan kemampuan rasionalnya. Melalui inteligensi rasional ini, maka manusia memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih untuk dirinya dan juga komunitasnya. Di dalam banyak hal, akan selalu dipilih yang terbaik untuk dirinya.
Berbekal emotional intelligent, manusia bisa merasakan dan menghayati kebaikan dan keburukan bagi kehidupan diri dan komunitasnya. Manusia akan bisa membedakan mana yang berseberangan dan selaras dengan hati dan perasaannya. Manusia diberikan hati nurani untuk merasakan kebaikan dan kemanfaatan kebaikan bagi diri dan masyarakatnya. Manusia memiliki kemampuan untuk merasakan penderitaan dan kesenangan yang dialami dirinya dan juga masyarakatnya.
Melalui social intelligent, manusia akan memiliki simpati dan juga empati. Manusia dapat bersimpati dan berempati dengan dunia sekelilingnya. Dia akan merasa senang jika ada orang lain senang dan merasa sedih jika ada orang lain sedih. Mereka akan berupaya untuk berada di dalam suatu momentum “empati” dengan orang lain. Mereka akan menyatakan: “bagaimana jika hal ini menimpa saya atau keluarga saya”. Dengan pikiran, sikap dan tindakan seperti itu, maka mereka telah menempatkan dirinya dalam diri orang lain. Jika ada manusia yang sudah tidak lagi bisa berempati atau bersimpati, maka yang bersangkutan telah kehilangan inteligensi sosialnya itu.
Lalu, manusia juga memiliki kemampuan yang disebut sebagai spiritual intelligent. Yaitu inteligensi ketuhanan yang sungguh menjadi ciri khas kemanusiaan. Manusia memiliki basis spiritualitas yang menjadi bagian di dalam kehidupannya. Saya kira tidak ada manusia di dunia ini yang sama sekali lepas dari dimensi spiritualitas itu. Manusia primitive –yang di dalam banyak hal—masih sangat sederhana di dalam kehidupannya ternyata juga mengenal Tuhan sesuai dengan kapasitas spiritualnya.
Tiada makhluk di dunia yang diberikan kemampuan untuk mengenal dan memahami Tuhan dan bahkan merasakan kehadiran Tuhan di dalam kehidupannya kecuali manusia. Meskipun manusia hanya diberi ilmu sedikit saja tentang kehidupan ini, akan tetapi di antara ilmu yang sedikit itu ialah manusia diberi oleh Allah kemampuan untuk mengenal dan memahami Tuhan. Sungguh salah satu karunia Allah kepada manusia yang tiada taranya ialah hakikat mengenal dan memahami keberadaan Allah ‘azza wa jalla.
Melalui kemampuan yang hebat ini, maka manusia bisa menjadi cerdas kapasitas otaknya, memiliki rasa kasih sayang, rasa persaudaraan, simpati dan empati serta memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan Tuhannya di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, saya berhipotesis bahwa sampai kapanpun manusia akan selalu memiliki keyakinan tentang Tuhan dalam varian-varian yang relevan dengan kapasitas untuk mengenalnya.
Dengan kapasitas spiritualnya itu, manusia dapat menemukan berbagai cara untuk mendekati, menyembah dan mematuhi serta meninggalkan semua perintah-Nya. Manusia sungguh memiliki kelengkapan yang luar biasa untuk bisa menemukan kehidupan yang lebih baik, dalam berhubungan dengan sesama manusia, sesama lingkungan dan dengan Tuhannya.
Islam mengajarkan 3 (tiga) konsepsi tentang bagaimana merajut kehidupan berbasis hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal ‘alam. Manusia melakukan peribadahan kepada Allah dalam kerangka memenuhi kebutuhan spiritual ketuhanan, manusia melakukan hubungan baik dengan sesama manusia karena kebutuhan sosialnya dan juga melakukan pemenuhan kebutuhan dengan alam, di mana manusia hidup bermasyarakat.
Sesungguhnya, manusia sudah diberikan kemampuan spiritual semenjak masih berada di alam ruh atau alam di mana kehadiran manusia di dunia sudah disiapkan, akan tetapi belum memiliki washilah untuk hadir di alam dunia. Ketika Allah menyatakan: “alastu birabbikum, Qalu bala syahidna” (Surat Al A’raf, 172). Terjemahannya ialah “Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami) dan kami menjadi saksi”. Ayat ini memberikan gambaran terang bagi manusia, bahwa semenjak di dalam alam ruh, manusia sudah dibekali dengan kemampuan spiritual itu, yaitu kemampuan untuk mengenal dan bersaksi tentang keberadaan Allah swt.
Ketika manusia lahir ke dunia, Allah memberikan tuntunan berupa agama dengan berbagai ajaran normatifnya. Setiap agama yang hadir di dunia memiliki jalan atau cara untuk mengenal Tuhannya secara lebih mendalam atau bercorak essensial atau esoteric. Di dalam Islam dikenal ajaran tasawuf sebagai salah satu cara untuk mengenal dan memahami Tuhan secara lebih mendalam. Manusia diajarkan untuk mengenal hakikat Allah dan ma’rifat Allah. Manusia diajarkan agar bisa melakukan pencarian pada Tuhan, sebagai misteri keagamaan yang sangat menantang. Bahkan ada di antara manusia yang bisa sampai kepada suatu keadaan di mana tidak lagi terdapat hijab antara dirinya dengan Tuhannya.
Ada banyak cara yang dimiliki manusia untuk sampai kepada pemahaman dan pengenalan terhadap Tuhan yang bersifat esoterik. Mereka dapat memiliki kemampuan untuk mengembangkan cara-cara berdekatan dengan Tuhan sesuai dengan pedoman beragama yang sudah diberikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Memang ada banyak cara yang telah dikembangkan oleh manusia untuk mengembangkan potensi berketuhanan, dengan varian metodologi, konten dan spiritualitas di dalamnya. Misalnya gerakan tarekat yang sekarang menjamur di Indonesia.
Di dalam Islam juga dikenal ada banyak cara untuk sampai kepada pemahaman dan pengenalan Tuhan tersebut. Di antara cara yang lazim dilakukan untuk mengenal Allah ialah dengan puasa. Puasa merupakan ibadah fisikal dan non fisikal sekaligus. Hampir semua ibadah kepada Allah selalu memiliki dimensi fisikal dan non fisikal. Shalat selalu menggunakan gerakan-gerakan fisik dan juga spiritual sekaligus. Seluruh bacaan di dalam shalat adalah doa-doa dan ungkapan-ungkapan spiritual yang luar biasa. Bagi yang menghayati doa dan ungkapan dalam shalat pastilah merasakan bahwa semuanya memiliki dimensi spiritualitas yang sangat tinggi.
Demikian pula puasa. Secara lahir puasa hanya dikaitkan dengan larangan makan, minum, relasi seksual dan larangan-larangan lain yang membatalkan atau mengurangi pahala puasa. Namun sesungguhnya puasa merupakan cara Allah mengajari hambanya agar senantiasa menumbuhkan berbagai inteligensi yang dimilikinya. Menahan lapar dan minum untuk mempertajam social intelligent, menahan hawa nafsu agar manusia mengoptimalkan emotional intelligent, dan menahan relasi seksual dan perbuatan lainnya untuk memaksimalkan emotional dan social intelligent.
Lalu, dengan melakukan semua itu, maka akan memunculkan sikap sabar dan tawakkal kepada Allah. Karena hanya kesabaran yang bisa menjadi ujung tombak manusia untuk bisa sampai kepada capaian tertinggi, maqam spiritual intelligent. Dengan kesabaran akan bisa mengalahkan seluruh nafsu biologis dan non biologis lainnya. Hanya orang yang sabar yang bisa mencapai hakikat puasa sebagai ibadah yang istimewa. Jadi kesabaran merupakan instrument akhir untuk menggapai keridhaan Allah.
Puasa merupakan saat yang paling tepat untuk muhasabah atau mengintrospeksi diri. Puasa bisa menjadi instrumen penting untuk menilai ulang terhadap cara dan tujuan kita semua di dalam membangun kebersamaan dengan Allah, sesama manusia dan juga alam. Puasa menjadi cara yang mendasar untuk menilai kembali hubungan dengan Allah dengan perilaku yang sesungguhnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Dengan cara seperti ini, maka kita akan sampai kepada makna puasa yang berupa kesabaran.
Di samping itu juga menjadi medium untuk membangun ketawakalan kepada Allah. Puasa bisa menjadi instrumen agar kita menyerahkan seluruh urusan kehidupan hanya kepada Allah semata. Kehidupan kita keseluruhan adalah milik Allah, sehingga sangat pantas jika kita menyerahkan seluruh urusan itu hanya kepada Allah. Jadi, ketika puasa sudah kita lakukan, membangun kesabaran sebagai fondasi kehidupan sudah diselesaikan, maka gilirannya ialah bertawakkal kepada Allah, menyerahkan hasil akhir dari perbuatan kita kepada Allah.
Inti dari tawakkal itu dapat disimak dari doa yang kita panjatkan kepada-Nya. Ketika kita mengucapkan doa berbuka puasa: “Allahumma laka Shumtu” yang artinya “Ya Allah hanya untuk-Mu puasaku” maka di sinilah buah kesabaran dan tawakkal itu akan bermakna. Puasa yang dilakukan itu hanya khusus untuk Allah, sehingga Allah akan menerima puasa tersebut. Puasa merupakan sebuah ibadah khusus yang pahalanya akan langsung berada di sisi Allah. Hal ini merupakan janji Allah sendiri. Bahkan janji yang lebih tinggi lagi bagi orang yang puasa, yakni akan memperoleh 2 (dua) kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Allah swt.
Namun demikian, tentu juga ada individu-individu yang berpuasa, akan tetapi puasanya hanya memperoleh balasan yang bercorak duniawi. Mereka memang berniat puasa, tetapi hanya tidak makan, minum dan bersenggama di siang hari. Mereka hanya mementingkan puasa secara fisikal saja, tanpa dibarengi dengan upaya untuk menjaga puasanya dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak puasa itu. Dimensi batiniah puasa tidak dilakukannya. Yang demikian ini, maka mereka juga hanya akan mendapatkan apa yang dilakukannya itu.
Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Muhammad saw, bahwa di antara kita itu ada yang puasanya hanya memperoleh lapar dan dahaga. Nabi Muhammad saw menyatakan: “Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illal Ju’u wa al ‘athasy” (Hadits Riwayat Imam An Nasai dan Ibn Majah). Artinya: “berapa banyak orang yang puasa, akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga”.
Puasa yang hanya mendasarkan diri pada larangan biologis belaka. Jadi, puasanya belum sampai kepada hati, pikiran, perasaan dan tindakan. Di dalam diri yang bersangkutan masih ada perasaan, pikiran, hati dan tindakan yang belum berkontemplasi kepada Allah semata. Artinya, bahwa puasanya masih sekedar memuasakan dimensi lahiriyah saja. Padahal totalitas puasa itu jika seseorang bisa memuasakan fisiknya dan juga memuasakan batinnya.
Bukankah masih sering kita dengar, misalnya ungkapan “puasa itu siang hari, kalau malam tidak”. Lalu diteruskan: “kalau berpikir dan melakukan kejelekan pada malam hari tidak apa-apa. Yang begini ini tidak membatalkan puasa”. Ungkapan seperti ini adalah contoh bagaimana individu memisahkan antara dunia puasa yang tidak boleh berpikir dan melakukan kejelekan dengan dunia nonpuasa yang boleh berpikir dan melakukan kejelekan. Padahal, sesungguhnya puasa merupakan instrument agar orang selalu berpikir positif kapan dan di manapun juga. Puasa sesungguhnya justru merupakan wahana untuk mencegah perbuatan yang negatif menuju kepada perbuatan positif kapan dan di mana saja.
Manusia yang bisa berpuasa sebagaimana ajaran puasa, yang tidak hanya mencegah makan, minum, relasi seksual dan lainnya serta dengan kesadaran penuh untuk lebih jauh mengenal Tuhannya, maka dia sesungguhnya sudah berusaha untuk mengoptimalkan spiritualitasnya. Puasa seperti ini adalah puasa yang dilakukan oleh para perindu puasa dan bukan hanya puasanya orang awam, yang hanya memenuhi beban minimal yang dimukallafkan kepadanya.
Dengan memahami berbagai penjelasan di atas, maka kiranya dapat dinyatakan bahwa terdapat kategori berpuasa, yaitu: Pertama, puasa berbasis kecerdasan rasional. Kecerdasan rasional ditempatkan dalam konteks pemikiran kebutuhan biologis. Puasa yang dilakukan hanya dengan mencegah kebutuhan biologis (makan, minum, dan relasi seksual) pada siang hari. Puasa yang seperti ini tentu juga berpeluang mendapatkan pahala. Harus diyakini bahwa Allah pasti akan memberikan pahala meskipun hanya sebesar biji dzarrah terhadap amal ibadah hambanya.
Kedua, puasa berbasis kecerdasan emosional dan sosial. Puasa yang diindikasikan sudah memanfaatkan seluruh kemampuannya, yaitu mencegah makan, minum, relasi seksual dan juga hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, seperti tidak berkata yang jelek, tidak melakukan perbuatan yang tercela, tidak melakukan amalan-amalan syubhat yang mengarah kepada kejelekan, tidak menggunjing, mengumpat, melecehkan dan perbuatan lainnya yang bisa merusak pahala puasa. Puasa yang didasari oleh kemampuan memilah dan memilih mana perbuatan yang baik dan buruk dalam relasinya dengan keabsahan puasa.
Ketiga, puasa berbasis kecerdasan spiritual. Yaitu puasa yang dilakukan dengan menahan kategori pertama, dan kedua serta memperbanyak amalan yang mengarahkan kepada semakin membengkaknya pahala puasa. Amalan-amalan seperti dzikir, wirid, tadarrus al Qur’an, memberi ceramah agama yang menyejukkan, memberikan sedekah, infaq dan amalan lainnya yang akan memberikan sejumlah tambahan pahala untuk para pelaku puasa.
Jika dilihat dari kategorisasi seperti ini, maka tentu yang diharapkan ialah melaksanakan puasa dalam kategori kedua dan ketiga. Jika kategori yang ketiga itu adalah puasa yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khusus, maka sekurang-kurangnya ialah dapat berpuasa dalam kategori yang kedua. Yang sejauh-jauhnya harus dihindari ialah puasa dalam kategori pertama, sebab yang bersangkutan tentu tidak akan memperoleh kebaikan-kebaikan di dalam melaksanakan puasanya tersebut.
Dengan demikian, sesungguhnya puasa akan dapat mengintervensi seluruh tampilan pikiran, sikap dan perbuatan kita agar relevan dengan tujuan puasa, yaitu mencetak manusia yang paripurna dalam pikiran, sikap dan tindakan kapan dan di mana saja.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..