Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (4)

PULKAM: TRADISI YANG MENYEJARAH (4)
Saya memang belum pernah merasakan bagaimana pulkam dengan kendaraan mobil dari Jakarta ke Surabaya. Tetapi cerita tentang Pulkam yang berjam-jam dari Jakarta ke Surabaya atau bahkan ke Banyuwangi tentu sudah pernah saya dengar.
Dulu memang saya selalu naik bus dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya pada tahun 90-an. Pada waktu itu saya mengikuti Program Pelatihan Penelitian Agama (PLPA) yang dilakukan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Program ini merupakan kerjasama antara Toyota Foundation dan Balitbangdiklat Kementerian Agama, yang dipandu langsung oleh Prof. Dr. Parsudi Suparlan, MA, Professor Antropologi pada Universitas Indonesia. Berkat tangan Beliau, maka saya yang semula mengikuti madzab Kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial dan keagamaan lalu menjadi penganut madzab kualitatif, sebagaimana ancangan penelitian dalam ilmu sosial dan budaya.
Dan saya bersyukur sebab hasil penelitian saya tentang Tarekat Syatariyah di Desa Kuanyar, Mayong, Jepara itu berhasil saya bukukan dengan judul “Tarekat Petani” yang menggunakan pendekatan teori Fenomenologi. Saya sungguh berhutang budi kepada Prof. Parsudi karena bimbingannya yang intensif selama 6 (enam) bulan.
Kala itu saya pulang atau pergi ke Jakarta menggunakan bus antar kota. Rasanya semalam suntuk kami berada di bus antar kota itu untuk sampai ke tempat tujuan. Saat itu untuk naik pesawat masih barang langka. Selain harganya mahal juga memang masih jarang penerbangan Surabaya Jakarta atau sebaliknya. Berbeda dengan sekarang yang hampir setiap jam terdapat penerbangan Jakarta Surabaya atau sebaliknya.
Tahun lalu, pulkam dengan kendaraan pribadi tentu lebih lama, sebab masih menggunakan jalan biasa belum jalan tol seperti sekarang. Meskipun belum sempurna mengenai jalan tol Jakarta ke Probolinggo atau sebaliknya, akan tetapi tentu sudah ada jalan keluar untuk menyelesaikan problem tahunan mudik atau pulkam tersebut.
Di sepanjang perjalanan, memang terdapat wilayah padat kendaraan, misalnya di tol Bekasi sampai Cikarang dan memasuki wilayah tol Cipali yang juga padat. Bahkan kemacetan tersebut mengular sepanjang 15 KM. Dan di wilayah selatan, misalnya Nagrek juga mengalami hal yang sama. Terjadi kemacetan yang cukup panjang.
Cerita kawan-kawan yang mudik tentu mengalami kemacetan yang luar biasa, meskipun sudah ada jalan tol, akan tetapi karena belum bisa digunakan optimal, sehingga belum seluruhnya mampu menjawab tantangan kemacetan yang terjadi. Bahkan katanya jalanan di jalur arteri justru lebih lancar, karena kebanyakan pemudik berkonsentrasi ke jalan tol. Kemacetan di jalanan tentu bukan hanya tahun lalu atau tahun ini, akan tetapi selama ada hari raya id al fithri, maka di saat itu kemacetan sudah merupakan ritual tahunan.
Namun demikian, kemacetan di jalan bukan merupakan halangan untuk silaturahim di hari raya. Ada magnet kuat yang menarik para pemudik untuk pulkam ini. Jika yang mudik di dalam sebuah rumah tangga itu lebih dari 4 (empat) orang, maka dipastikan pilihannya ialah menggunakan kendaraan sendiri. Lebih ekonomis tetapi dengan resiko macet di jalanan. Rasanya, saya juga ingin menikmati macet ria itu, meskipun kalkulasi waktu tentu tidak memungkinkan.
Pulkam memang tidak hanya sekedar peristiwa ritual saja, tetapi juga peristiwa ekonomi. Bayangkan dengan arus mudik itu, maka peredaran uang berpindah dari Jakarta ke daerah. Bahkan diperkirakan mencapai angka 80 trilyun rupiah. Berdasarkan pengalaman, maka pulkam juga membawa cerita kesuksesan. Bayangkan bahwa dengan pulkam itu, maka perbankan juga harus menyediakan uang pecahan Rp5.000,oo sampai Rp20.000,oo untuk kepentingan penukaran uang. Tujuannya ialah untuk membagi rejeki atau taqsim al arzaq.
Kaum mustadz’afin adalah mereka yang menjadi sasaran di dalam pertukaran ekonomi di desa-desa. Mereka yang secara ekonomi berhasil di kota, apakah sebagai aparat pemerintah atau kaum pebisnis, maka di saat itulah mereka membagi rejekinya. Terjadi proses take and give antara pemberi dan penerima. Selaku pemberi rejeki, maka dia akan menerima penghormatan sebagai kesuksesan, dan bagi si penerima akan memperoleh uang yang memungkinkan. Sebuah pertukaran sosial yang terjadi setahun sekali.
Sebagai bentuk pertukaran sosial, maka hal ini akan melanggengkan persahabatan, perkawanan dan juga kekerabatan yang bertahan lama. Ketika semua itu berkurang, maka datanglah lagi masa pulkam dan proses pertukaran sosial itu terjadi lagi. Demikian secara terus menerus sehingga akan bisa membangun continuitas pertukaran sosial dalam jangka panjang.
Hari raya memang sebuah momentum yang unik bagi masyarakat Indonesia. Yang merayakannya tidak hanya orang kota tetapi juga orang desa. Tidak hanya orang kaya tetapi juga kaum fakir miskin. Tidak hanya yang beragama Islam tetapi juga kaum beragama lainnya.
Dan saya kira peristiwa seperti ini hanyalah khas Indonesia dan tidak terdapat di negara lain, misalnya di Timur Tengah sebagai pusat perkembangan agama Islam. Jadi, Indonesia memang sebuah negara dengan ciri khas pemahaman dan pengamalan beragama yang bernuansa unik, termasuk pulkam dan halal bil halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..