• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERESPON RADIKALISME DI MASJID (1)

MERESPON RADIKALISME DI MASJID (1)
Jika ada orang atau pejabat yang menyatakan bahwa ada sejumlah masjid yang terkena virus radikalisme saya kira sikap kita tidak perlu marah apalagi lalu mengumpat. Sikap kita tentu saja harus berbasis pada kenyataan empiris –berdasarkan fakta—apakah memang ada masjid atau tempat ibadah lain yang menyuarakan terhadap gerakan radikalisme tersebut. Menurut Wakil Gubernur DKI dalam detik.com, bahwa jumlahnya kira-kira 40 masjid.
Sikap ini yang saya kira lebih relevan untuk menjawab tentang bagaimana menanggapi isuue santer tentang sejumlah masjid dan juga kampus perguruan tinggi yang ternyata terpapar virus radikalisme. Menurut saya, sikap yang lebih tepat ialah melakukan serangkaian perenungan, pemikiran dan kajian-kajian yang mendalam dan aksi dalam menghadapi tuduhan dimaksud.
Sebenarnya untuk mengetahui tentang ada atau tidak adanya gerakan radikalisme tersebut sangatlah mudah. Tidak memerlukan pengkajian terlalu akademis dan jelimet. Cukup dengan menyebarkan satu tim untuk mendengarkan khutbah atau ceramah agama di tempat ibadah itu, maka akan diketahui apakah di masjid itu ada elemen yang bisa dikategorikan sebagai masjid yang dijadikan sebagai sarana untuk menyebarkan virus radikalisme.
Pernah saya tulis di blog saya ini tentang kehadiran saya untuk menjadi jamaah di Masjid Pasar Jatinegara, pasar batu akik, kira-kira setengah tahun yang lalu dan bertepatan dengan hari Jumat. Saya tentu saja mengikuti shalat Jumat di masjid itu dan ternyata khatibnya dengan lantang menyuarakan agar masyarakat menegakkan khilafah Islam. Dengan pakaian khasnya, jenggot, gamis dan jidat hitamnya, maka rasanya memang dia adalah penganut Islam garis keras. Performance dan ucapannya atau materi khutbahnya sangat relevan bagi khatib itu untuk disebut sebagai pendakwah khilafah Islamiyah.
Persoalannya ialah apakah takmir masjid di Rawa Bening tersebut memahami tentang hal ini, atau jika lebih diperdalam apakah takmir masjid adalah mereka yang tergolong penganut Islam Khilafah ini? Beberapa pertanyaan saya kira dapat kita kedepankan. Jika terhadap pertanyaan yang pertama, kiranya memang takmir masjid tidak memahami tentang apa yang dilakukan oleh para khatibnya, akan tetapi terhadap pertanyaan kedua, maka inilah yang sungguh mengkhawatirkan.
Saya pernah bertemu di dalam acara yang digelar di Bandung oleh organisasi Islam dan ketuanya menyatakan bahwa masjid-masjid di daerah perumahan di DKI sudah terjaring dengan salah seorang ustadz yang dapat dikategorikan sebagai penganut Islam khilafah. Dia seorang aktivis dan masjid-masjid tersebut sudah terjaring di dalam jejaring binaannya, yang dalam sebulan sekali ustadz itu berkeliling untuk memberikan ceramah. Tentang cerita ini saya cukup percaya, sebab beliau yang bercerita itu layak dipercaya.
Cerita ini tentu bisa menggambarkan betapa masjid-masjid di DKI sudah menjadi bagian dari gerakan Islam khilafah meskipun secara samar-samar. Saya tetap berkeyakinan bahwa informasi ini belum bisa dijadikan sebagai ukuran yang jelas tanpa ada kajian lebih lanjut. Namun saya kira bisa menjadi bagian dari studi awal tentang keterpaparan jamaah masjid kita tentang virus radikalisme.
Masjid tentu merupakan tempat yang seharusnya bisa dijadikan sebagai tenpat untuk menyebarkan ajaran agama. Meskipun ada pemikiran bahwa masjid bisa dijadikan sebagai ajang untuk mengembangkan banyak hal di dalam kehidupan, misalnya pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, maka tetap saja semuanya bermuara akhir pada peningkatan pemahaman dan pengamalan agama.
Jauh dimasa lalu, Sidi Gazalba sudah menulis bahwa masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah akan tetapi juga sebagai tempat untuk aktivitas pembangunan kebudayaan dan kehidupan. Masjid memiliki fungsi untuk membangun kebudayaan Islam. Di dalam konteks ini, maka masjid dapat digunakan untuk mengembangkan program kebudayaan dan kemasyarakatan. Intinya, masjid tidak hanya untuk ibadah mahdhah saja.
Gerakan untuk memfungsikan masjid sebagai tempat pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan tentu sudah melazimi kehidupan ini. Masjid dapat berfungsi untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Makanya, masjid dapat berperan lebih di dalam penguatan kehidupan jamaahnya.
Namun akhir-akhir ini, yang tentunya “menggelisahkan” kita ialah dijadikannya masjid sebagai sarana untuk mengembangkan politik anti negara. Dengan ceramah dan berbagai diskusi tentang penerapan khilafah Islamiyah, maka secara langsung sudah merupakan bentuk pengingkaran kepada pemerintah dan negara Indonesia.
Khutbah yang saya dengar di Masjid Rawabening mengindikasikan bahwa tempat ibadah kita itu sudah dijadikan sebagai wahana untuk menyebarkan virus Islam khilafah. Dan ini bukan satu-satunya masjid di Jakarta.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..