Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RILIS MUBALLIGH: PRO-KONTRA PEMAHAMAN (1)

RILIS MUBALLIGH: PRO-KONTRA PEMAHAMAN (1)
Heboh tentang rilis muballigh yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) tentu sudah mulai reda. Rilis 200 muballigh yang dilakukan oleh Kemenag tersebut memancing reaksi yang luar biasa. Tidak hanya tokoh agama dan tokoh masyarakat, akan tetapi juga para politisi yang memberikan komentar terhadap rilis dimaksud.
Kehebohan rilis 200 muballigh memang luar biasa. Semua media memberitakannya. Media sosial, televisi, radio dan media cetak semua “tumpek bleg” memberitakannya. Tentu saja ada yang positif dan negative dan juga yang netral. Berbagai komentar tersebut mengindikasikan betapa urusan muballigh itu memang sangat menarik.
Agama memang sesuatu yang sacral, sehingga ketika agama dipermasalahkan oleh siapapun, maka akan menjadi besar urusannya. Agama memang memiliki magnit yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Agama itu memang berurusan dengan Tuhan sehingga melibatkan seluruh emosi, sikap dan tindakan manusia untuk membelanya jika ada yang mempermasalahkannya.
Tentu saja rilis 200 muballigh tersebut tidaklah terkait langsung dalam mempermasalahkan Tuhan, akan tetapi karena yang dibicarakan oleh muballigh adalah tentang agama, maka jadilah urusannya bisa terkait dengan Tuhan. Memang para muballighlah yang selama ini menyuarakan suara Tuhan dalam mimbar-mimbar agama. Merekalah yang selama ini menjadi corong agama di dalam kehidupan bermasyarakat.
Makanya, begitu ada rilis hanya sebanyak 200 orang saja yang diunggah Kemenag, maka sontak banyak tokoh agama, masyarakat dan politisi yang bereaksi. Oleh sebagian tokoh agama, masyarakat dan para politisi dianggap bahwa rilis tersebut tidaklah memenuhi terhadap tujuan menginformasikan muballigh, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat tentang siapa muballigh yang layak berbicara di ruang public.
Sesungguhnya rilis itu bertujuan yang sangat baik. Tujuannya ialah memberikan informasi kepada public tentang muballigh yang bisa menjadi penceramah di ruang public kaum beragama. Dengan rilis itu dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan kepada umat, jika ada di antara masyarakat yang membutuhkannya.
Untuk menentukan siapa yang dapat memberikan pengajian di ruang public, maka Kemenag merumuskan sejumlah kriteria, yaitu: penguasaan atas ilmu agama, pengalaman menjadi muballigh dan wawasan kebangsaan atau kenegaraan. Kriteria ini yang dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan siapa saja yang dianggap dapat memberikan ceramah agama.
Berdasarkan atas kriteria tersebut, maka untuk rilis pertama diunggah sebanyak 200 orang. Rupanya dalam rilis 200 orang tersebut tidak memasukkan beberapa nama yang dianggap sebagai muballigh terkenal terutama di media sosial. Sontak para penggemarnya menyatakan keberatan dengan berbagai alasan.
Jika diamati berdasarkan kategorisasi respon umat melalui media terhadap rilis tersebut, maka sekurang-kurangnya dapat ditipologikan ke dalam 3 (tiga) respon. Pertama, respon yang positif. Respon ini misalnya dilakukan oleh beberapa tokoh agama Islam yang wasathiyah. Dari beberapa organisasi Islam yang memberikan respon positif beranggapan bahwa para muballigh memang perlu untuk dianalisis dari tiga kriteria tersebut. Di antara 3 (tiga) kriteria itu ialah pengetahuan ilmu keislaman, pengalaman dan wawasan kebangsaan. Disebabkan para muballigh tersebut berceramah agama di Indonesia, maka haruslah orang yang memahami Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman. Muballigh sebagai penyebar agama janganlah orang yang memusuhi negaranya sendiri.
Kedua, respon yang bercorak netral. Yaitu mereka yang menanggapi bahwa rilis 200 muballigh tersebut dapat dipahami, tetapi dianggap kurang tepat waktunya. Di saat negara sedang dalam carut marut karena attack yang dilakukan oleh kaum teroris, lalu terkesan menambahi kegaduhan. Mereka memahami bahwa tujuan untuk merilis muballigh tersebut hal yang wajar saja, namun jumlahnya yang hanya 200 tentu membuat banyak pihak yang merasa kurang tepat.
Ketiga, mereka yang menolak terhadap rilis tersebut dengan berbagai alasan yang dianggapnya tepat. Di antara alasannya ialah daftar muballigh ini tidak realistis. Dianggapnya bahwa penerbitan muballigh tersebut dapat memicu masalah baru, membuat sekat-sekat dan bahkan memancing riak-riak konflik di dalam masyarakat. Alih-alih menjadi pedoman bagi masyarakat tentang kebutuhan muballigh, namun justru menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pasti akan memunculkan gambaran, mana muballigh yang benar dan tidak benar. Mereka menginginkan agar daftar muballigh tersebut dicabut saja biar tidak memunculkan kegaduhan baru. Jika sangat diperlukan, maka yang dipublish justru yang tidak direkomendasi saja, karena jumlahnya tentu sedikit. Bagi mereka yang menolak terhadap rilis juga beranggapan bahwa Kemenag tidak perlu untuk merilis sampai nama-nama muballigh, cukup majelis-majelis agama saja yang melakukannya. Sesungguhnya majelis-majelis agama yang tahu secara mendalam tentang para muballighnya.
Mungkin bukan suatu kebetulan bahwa yang banyak menerima rilis muballigh ialah kaum Islam wasathiyah, dan yang menolak ialah mereka yang berafiliasi dengan organisasi yang selama ini sering mengusung Islam kaffah atau Islam syumuliyah. Bahkan ada di antaranya yang mengusung Islam khilafah.
Tentu saja tidak semuanya seperti itu, namun sebagai gambaran tipologikal, maka dapat dinyatakan bahwa yang menerima dan memahami tentang pentingnya rilis mubaligh adalah yang pemahaman agamanya wasathiyah, dan yang menolak ialah mereka yang pemahaman agamanya lebih cenderung ke arah Islam syumuliyah.
Mungkin juga bukan kebetulan, bahwa yang melakukan penolakan ialah tokoh-tokoh partai yang selama ini kritis terhadap pemerintah dan cenderung oposisional, dan yang cenderung netral dan menerima ialah mereka yang memihak kepada pemerintah. Jika diperluas lagi, maka yang cenderung menolak ialah kebanyakan eksponen 212, yang memang secara diametral memiliki frame yang berbeda dengan kebijakan yang diungkapkan oleh pemerintah.
Tentu tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuat juxtaposisi di antara keduanya, sebab sesungguhnya semuanya harus dimaknai sebagai kepedulian terhadap penyiaran Islam. Semua ungkapan di media, baik yang menerima, netral atau menolak dengan halus dan keras, hakikatnya ialah cara untuk mengekspressikan betapa pentingnya muballigh sebagai bagian tidak terpisahkan dari penyiaran Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, memang diperlukan kearifan di dalam menerima respon masyarakat, sebagai bagian dari kedewasaan kita sebagai bangsa yang beradab dan berkebudayaan. Dan akhirnya, carut marut persoalan rilis muballigh juga menemukan jalan keluar yang memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..