• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMETAKAN ISU PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL

MEMETAKAN ISU PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL:

Problema dan Solusi Bagi PTKIN[1]

 

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]

 

 

Pendahuluan

Rasanya, globalisasi itu baru saja datang di tengah kehidupan kita, yang ditandai dengan ditemukannya computer, email, ATM, mesin cerdas generasi pertama dan sebagainya. Tetapi dengan cepat kemudian terjadi lompatan yang luar biasa, yaitu ditemukannya artifisial intelligent dengan segala kosekuensinya. Era high information technology seakan menghapus sedemikian mudah terhadap temuan-temuan masa lalu di awal-awal globalisasi dengan menemukan teknologi tinggi yang luar biasa pengaruhnya.

Sesungguhnya kita hidup di era dunia maya yang meniscayakan kita untuk dapat berkomunikasi dengan segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Bagi mereka yang bergerak di bidang usaha high information technology, maka nyaris seluruh kehidupannya berurusan dengan informasi yang lalu lalang di dunia maya. Kita tidak kenal secara pribadi tetapi seseorang bisa menjadi kolega kita yang setia. Misalnya orang yang bekerja di e-commerce, maka nyaris seluruh waktunya digunakan untuk hidup di dunia maya, dan basis kerjanya ialah membangun trust atau kepercayaan. Jika kepercayaan sudah ada, maka kesepakatan berbisnis bisa dilakukan dan itu artinya adalah pekerjaan.

Di tengah semaraknya gambaran tentang artifisial intelligent atau AI di tengah era Revolusi Industri 4.0., maka sebagian masyarakat di dunia ada yang merasa khawatir, ada juga yang merasa perlu direspon dengan cerdas, dan ada juga yang merasa seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Life must go on like before. Posisi ini yang saya kira perlu untuk kita petakan, kira-kira bagaimana response kita terhadap perkembangan terbaru ini, dan terutama ialah bagaimana Pendidikan Tinggi dengan core bisnis ilmu agama ini. Tantangan inilah yang sepertinya harus direspon dengan cerdas agar kita tidak termasuk orang yang merugi di masa depan.

 

 

Dimana kita sekarang berada?

Selama ini kita memahami artifisial intelligent itu hanya robot, padahal artifisial intelligent itu sesungguhnya sangat variatif. AI itu didefinisikan sebagai “kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah”. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan dalam suatu mesin (computer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh manusia. AI tersebut meliputi sistem pakar, permainan computer (games), logika fuzzy, jaringan saraf tiruan dan robot. (id.m.wikipedia.org).

AI dalam konteks sistem pakar ialah sejumlah data yang tersimpan di dalam sistem computer dan dengan data tersebut kemudian memberikan kemudahan untuk merumuskan kesimpulan. Infomasi-informasi yang didapatkan dan saling dihubungkan dan dibandingkan akan dapat memberikan petimbangan di dalam penarikan kesimpulan. Lalu, permainan games dengan computer saya kira sudah sangat lazim di dalam dunia kita, misalnya game sepakbola, game catur –bahkan pada tahun 1998, Garry Kasparov, berhasil dikalahkan oleh mesin catur dalam permainan enam babak. Logika fuzzy pada dasarnya dapat digunakan untuk memberikan pertimbangan di dalam merumuskan kesimpulan berbasis data di tengah ketidakpastian masalah. System fuzzy banyak digunakan oleh perusahaan untuk menjadi bahan pertimbangan di dalam suasana yang tidak pasti, tidak jelas dan sulit. Sedangkan jaringan saraf ialah kemampuan yang ditambahkan pada mesin dengan tujuan untuk melakukan pengenalan kepada obyek yang harus dikenali. Sekarang sudah mulai dirancang rumah cerdas yang semua sistemnya dikendalikan dengan mesin, mulai membuka pagar sampai masuk ke dalam toilet dan tempat tidur bahkan juga penyediaan meja makan dan seterusnya.

Dewasa ini kita sedang berada di suatu era yang penggunaan teknologi informasi luar biasa dahsyat. Saking dahsyatnya, maka kita seperti sedang berada di dunia maya yang menyajikan ragam informasi yang sangat variatif baik dari sisi content maupun kuantitasnya. Teknologi informasi sebagai dunia maya itu seperti pasar raya informasi. Apapun bisa diakses dan apapun bisa diunduh atau diunggah. Nyatalah bahwa kita seperti hidup di alam maya yang penuh dengan gegap gempita informasi.

Tentu, saja teknologi informasi selalu memiliki dua matra, yaitu positif dan negative. Ada sangat banyak yang positif dan ada juga yang sangat banyak yang negative. Di antara yang positif ialah digunakannya teknologi tersebut untuk kepentingan perdagangan atau e-commerce, ada yang untuk berdakwah atau e-preaching, ada untuk pesantren atau e-pesantren atau pesantren online, ada juga untuk pendidikan atau e-education, dan ada juga untuk pemerintah atau e-government dan seterusnya.

Coba kita lihat perkembangan e-commerce yang sekarang sedang menuai hasil optimal dari penggunaan aplikasi teknologi informasi. Amazon.com, Alibaba.com, Go-Jek, Grab, Bukalapak, Sophie, Shahnaz Shop, dan hampir seluruh produsen dan pengusaha menggunakan aplikasi untuk kepentingan perdagangan. Lalu, misalnya juga birokrasi juga sudah menggunakan e-government seperti Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), elektronik-KTP, e-perizinan, dan sebagainya. bahkan dunia pesantren dan organisasi sosial keagamaan juga sudah menerapkan hal ini, seperti NU online, pesantren online, e-zakat, e-wakaf, dan sebagainya.

Kemudian tentu ada yang negative ialah dengan kehadiran hoax di era cyber war. Era ini ditengarai dengan digunakannya media sosial sebagai sarana untuk melakukan perang non-militer. Cyber war itu bukan perang fisik tetapi perang untuk mengalahkan lawan dengan kekuatan media, misalnya hate speech, disinformasi, berita bohong, pembunuhan karakter dan sebagainya. Bisa juga kekerasan dan terorisme juga menggunakan media informasi untuk merekrut anggota baru jihadis untuk berjuang bersamanya.

Di dalam cyber war, maka every body can be a journalist. Semua bisa menjadi jurnalis, sehingga mereka juga merasa bahwa segala sesuatu yang dipikirkan, diterima dan diperoleh akan dapat untuk dishare ke semua lapisan masyarakat yang memiliki jejaring dengannya. Coba kita lihat tentang semakin memanasnya pertarungan politik untuk memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden sekarang. Kita sedang melihat theatre atau pertunjukan “perang media sosial” untuk saling menjatuhkan dan mengungguli. Kala Pak Jokowi menyebutkan adanya politikus sontoloyo dan politik genderuwo, maka sontak seluruh lawan politiknya mencibir, mencaci, menghancurkan dengan kekuatan media sosial. Di televisi, media dan media sosial kita bisa melihat bagaimana realitas pertarungan itu sedemikian keras. Kala juga Pak Prabowo yang keseleo Pancasila, sebab salah dalam mengungkapkan sila ke empat, maka sontak juga mendapatkan serangan yang hebat, dan juga ketika Sandi melangkahi kubur Kyai terkenal, maka juga sontak terjadi pembulian yang keras.

Sedemikian kuat pengaruh teknologi informasi tersebut tentu terkait dengan begitu kuatnya kepemilikan media sosial tersebut di Indonesia. Indonesia menempati peringkat ke enam pengguna hand phone terbanyak dengan jumlah sebesar 236 juta. (idntime.com diunduh 16/11/2018). Data terakhir 2017, pengguna HP sebanyak 371,4 juta atau sebsar 142 persen dan kaum urban sebsar 55 persen. Dari total populasi. Sedangkan pengguna internet ialah 132,7 juta, pengguna media sosial aktif 106 juta, pengguna media sosial mobile aktif 92 juta. (katadata.co.id diunduh 16/11/2018). Maka wajarlah bila medsos itu begitu merajai di dalam percaturan informasi di Indonesia. Ada informasi yang sedemikian viral di tengah masyarakat terutama issu politik, agama dan sosial. Di sini terjadi banjir hoax di mana-mana. Bencana pun bisa dijadikan sebagai bahan hoax. Bahkan hoax sudah menjadi industri, sebab ada yang membutuhkan dan ada yang memproduksinya.

Di tengah suasana seperti ini, para mahasiswa kita itu belajar. Para generasi milenial yang sekarang sedang beranjak dewasa berada di era proxy war atau cyber war yang tidak akan berakhir sampai tujuan untuk memenangkan pertarungan terwujud. Generasi Y yang seharusnya memperoleh penanaman nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan dan kebangsaan lalu harus berhadapan dengan hoax di dalam media sosial yang terkadang pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan program pendidikan yang diajarkan oleh lembaga pendidikan. Jadi, pertarungan generasi sekarang untuk mencari jati diri sungguh-sungguh berat. Dan yang diharapkan ialah agar mereka bisa menjadi pemenang atau to be the winner di tengah pertarungan proxy war dan mereka tetap berada di jalur yang benar, yaitu menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tantangan Pendidikan Tinggi

Sesungguhnya ada banyak tantangan pendidikan Islam, seperti tantangan internal (institusional, kelembagaan) dan tantangan eksternal, seperti tantangan sosial, politik dan budaya. Tantangan sosial, politik dan budaya tentu juga sangat banyak. Misalnya tangan politik identitas, tantangan radikalisme dan ekstrimisme, tantangan dunia pekerjaan di masa depan, tantangan budaya permissiveness, tantangan narkoba dan pornografi, tantangan media sosial di era cyber war dan sebagainya.

Saya akan memfokuskan diri pada tantangan eksternal ini, tentu dengan dasar pemikiran bahwa ke depan memang kita harus berhadapan dengan realitas sosial yang kompleks dengan plus minus keilmuan yang kita miliki.

Pertama, tantangan radikalisme dan ekstrimisme. Tantangan ini terus eksis di tengah semangat keterbukaan dan demokratisasi. Ia akan terus hidup meskipun pemerintah telah menghentikan atau membubarkan HTI, akan tetapi semangat untuk melakukan fundamental terhadap negara dan sistem negara itu akan terus ada. Mereka bekerja seperti sel yang akan terus hidup selama sel-sel tersebut masih memiliki lahan untuk hidup. Gerakan khilafah itu tidak akan berhenti di tengah pemrakarsanya telah dimatikan. Institusi dan struktur boleh mati tetapi kultur dan mindset tidak bisa dimatikan.

Kedua, tantangan cyber war atau media sosial juga akan semakin menguat di era yang akan datang. Dengan semakin kuatnya pengembangan teknologi informasi akan semakin besar tantangan yang kita hadapi. Sekarang saja perkembangan media sosial itu nyaris tidak terkontrol. Berbagai macam situs dengan aneka ragam pesan dan content sudah sampai pada situasi mengkhawatirkan. Di tengah tahun politik perkembangan media sosial sungguh perlu untuk dicermati sedemikian mendasar. Agar semua institusi, secara khusus institusi pendidikan melakukan pencermatan terhadap perkembanan isu-isu di dalam media sosial agar kita tidak ketinggalan dalam berperan serta untuk menanggulanginya.

Ketiga, tantangan hard skilled dan soft skilled. Kita sedang berada di era revolusi industry 4.0., di mana kecerdasan artifisial menjadi sangat kuat. Diperkirakan bahwa ke depan mesin-mesin atau robot-robot akan menggantikan posisi pekerjaan manusia. Berdasarkan ramalan bahwa tahun 2030 akan terdapat 800 juta jenis pekerjaan di dunia yang akan diambil alih oleh robot atau mesin pintar. Ini adalah tantangan riil kita di masa yang akan datang. Makanya, institusi pendidikan tentu harus terlibat di dalam menyiapkan generasi hebat agar di masa depan tidak terpinggirkan karena kehadiran mesin pintar itu.

Perguruan tinggi diharapkan untuk menyiapkan manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berakhlakul karimah. Artinya, bahwa yang harus disiapkan tidak hanya ana-anak yang cerdas dalam konteks kecerdasan rational, akan tetapi juga cerdas sosial, cerdas emosional dan bahkan cerdas spiritual. Manusia yang bisa kompetitif di masa depan ialah yang memiliki sekurang-urangnya tiga kecerdasan dan yang paling hebat jika memiliki empat kecerdasan tersebut. Manusia seperti ini yang kiranya akan dapat mengalahkan kecerdasan buatan, yang hanya efektif dan efisien tetapi tidak memiliki kemampuan yang lebih dari itu.

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna akan selalu mampu untuk melakukan adaptasi dan kolaborasi. Makanya yang diperlukan ke depan ialah kemampuan 4 (four) C plus 1 (one) S, yaitu competent, collaborative, communication and creativity plus spirituality. Hanya dengan empat kemampuan ini, kita akan mampu melawan persaingan di tengah dunia global. Siapa yang memiliki empat kemampuan itu maka dialah yang akan mampu bertahan dan berkembang.

Keempat, ialah penguatan kelembagaan dan kemampuan akademis berbasis pada hard skilled dan soft skilled yang hebat. Kita harus memperkuat terhadap lembaga pendidikan ini, dengan akreditasi yang baik, dosen yang berkualitas, sarana dan prasarana pendidikan yang bagus dan juga kemampuan akademik yang memadai. Tugas lembaga pendidikan ialah menyiapkan generasi mendatang untuk hidup pada zamannya.

 

Solusi Yang Diperlukan

Makanya, harus disiapkan berbagai solusi untuk mempersiapkan generasi hebat untuk Indonesia ke depan. Yaitu:

Pertama, generasi yang melek teknologi informasi untuk kepentingan kebangsaan, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an. Di dalam konteks ini para mahasiswa harus memiliki kemampuan literasi media, baik untuk kepentingan pengetahuan ataupun untuk kepentingan kerja dalam bidang teknologi informasi. Saya berharap agar literasi media dijadikan sebagai salah satu komponen di dalam program pembelajaran baik secara integrated maupun parsial. Tujuan pembelajaran ini agar para mahasiswa tidak terjebak dengan pegaruh negative media sosial di dalam era cyber war.

Kedua, mahasiswa harus didorong untuk membangun pemahaman agama yang wasathiyah atau beragama yang moderat. Yaitu beragama sesuai dengan penafsiran agama yang dilakukan oleh para ulama kita di masa lalu maupun sekarang dengan mengacu pada tafsir agama yang jauh dari konsepsi ekstrimisme dan juga liberalisme. Kita semua harus membendung gerakan Islam tekstual yang mengancam terhadap keberlangsungan NKRI dan kebangsaan kita. sesungguhnya kita menginginkan Indonesia yang modern, Islamis tetapi tetap berada di dalam kerangka menegakkan Pilar consensus kebangsaan.

Ketiga, PTKIN harus tetap mengajarkan value, berpikir independen, kemampuan kerja sama dan peduli pada orang lain. Nilai akan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan, dengan berpikir independen bukan pemikiran bebas, maka akan dihasilkan kreativitas dan inovasi, dengan bekerja sama akan dihasilkan sikap dan tindakan saling menolong dan dengan peduli pada orang lain akan menghasilkan tindakan kasih sayang di antara sesama.

Kita telah memiliki modalitas semuanya. Spiritualitas yang baik berbasis pada nilai keagamaan, kita juga dikenal sebagai bangsa yang suka menolong, dikenal sebagai bangsa yang suka bersedekah. Berikut adalah data yang menggambarkan hal ini, yaitu:

Di antara 20 negara yang menjadi top twenty dalam hal Giving Index ialah dengan urutan: Indonesia, Australia, New Zealand, USA, Singapore, Kenya, Myanmar, Bahrain, Netherland, UAE, Norway, Haiti, Canada, Nigeria, Iceland, Malta, Liberia dan Sierra Leon.

Indonesia menempati posisi pertama dalam The CAF Giving Index dengan score 59, Helping a Stranger dengan score 46, Donating money dengan score 78 dan Volunteering time dengan score 53. Berdasarkan laporan Charities Aid Foundation (CAF) 2017 tersebut Indonesia menempati ranking pertama dibanding Australia, maka donating money kita sebesar 78 sementera Australia hanya 71, dan Volunteering time kita berscore 53 sementara Aurtralia sebesar 40. Kita hanya kalah dibandingkan dengan Australia dalam hal helping a stranger, yaitu Indonesia sebesar 46, sementara Australia sebesar 65. Oleh karena itu yang ke depan perlu untuk diperkuat ialah bagaimana agar kita lebih care terhadap orang asing yang ada di Indonesia. Di posisi ini kita kalah dengan Australia, yang ternyata tingkat caritasnya terhadap orang asing jauh lebih tinggi.

Lalu simak apa yang akan dilakukan Universitas Airlangga (Jawa Pos, 14/11/2018) dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, yaitu:

  1. mengubah kurikulum sesuai dengan kebutuhan industry 4.0
  2. sejak awal mahasiswa didorong untuk membuat inovasi
  3. tugas akhir berbasis inovasi atau temuan-temuan baru untu solusi permasalahan bangsa
  4. pemanfaatan teknologi dalam perkuliahan, sebanyak 20 persen e-learning dan sisanya tatap muka.
  5. Menyiapkan mahasiswa untuk masuk ke dalam industr kreatif.

Bagaimana dengan STAIN, IAIN atau UIN yang basis keilmuannya adalah ilmu agama atau ilmu sosial atau sains dan teknologi, maka yang sesungguhnya dibutuhkan ialah menyiapkan mahasiswa untuk menghadapinya dengan sejumlah keahlian yang mendampingi hard skilled. Dan saya kira kita bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

[1] Makalah disampaikan di dalam acara Diskusi pada Program Pasca sarjana IAIN Pontianak, pada tanggal 19 Nopember 2018.

[2] Guru Besar Sosiologi pada UIN Sunan Ampel Surabaya. Menyelesaikan program sarjana di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, Program PPs Universitas Airlangga dan program Doktor pada PPs Universitas Airlangga. Pernah menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2009-2012, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag 2012-2014 dan Sekjen Kemenag 2014-2018. Aktif pada organisasi sosial keagamaan seperti Badan Wakaf Indonesia, Masyarakat Ekonomi Syariah dan juga Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim Syariah.

MENGAJI KEBANGSAAN PADA KELOMPOK LINTAS AGAMA

MENGAJI KEBANGSAAN PADA KELOMPOK LINTAS AGAMA

Saya memperoleh kesempatan langka dalam kerangka membangun relasi antar umat beragama di Surabaya. Akhir-akhir ini saya banyak berbicara di dalam forum yang terkait dengan kerukunan beragama. Bukan suatu hal yang baru tentu saja. Sebab selama ini saya memang banyak bergaul dengan banyak tokoh lintas agama, baik sebagai pembicara maupun terlibat di dalam kegiatan-kegiatannya.

Pertemuan di Klenteng Parisandha Buddha Dharma Niciren Sosyu Indonesia (NSI di Kompleks Ruko Wonokitri Indah Blok S-48, Surabaya tentu hal yang khusus sebab saya bisa bertemu dengan Maha Pandita Utama, Suhadi Senjaya, Ketua Niciren Sosyu Indonesia, kawan lama saya pada saat saya berada di Jakarta. Banyak acara dengan beliau terkait dengan upaya membangun umat beragma. Acara ini memng dihadiri oleh banyak tokoh agama, misalnya KH. Drs. Ahmad Suyanto, Ketua Umum Forum Beda tetapi Mesra (FBM), Pandita Robert Siahaan, Dhiman Abror, Staf Khusus bidang Komunikasi, Zulkifli Hasan, Ketua MPR, Djohan Limanto, Ketua Niciren Sosyu Jawa Timur, dan para ulama atau kyai di Surabaya. Acara ini dibuka dengan doa yang dipimpin oleh Pak Suhadi dan ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh kyai.

Pada acara ini ada tiga pembicara, yaitu: saya, Pak Suhadi dan Pak Dhimam Abror. Warga Surabaya tentu saya kenal dengan Pak Dhimam Abror, sebab Beliau adalah mantan wartawan Jawa Pos, dan juga mantan Ketua PWI Jawa Timur, lama saya tidak bertemu, jadi rasanya seperti reunian saja. Acara ini juga diisi dengan sambutan, misalnya Ketua Umum Forum Beda Tapi Mesra (FBM), Kyai Ahmad Suyanto. Beliau menyatakan bahwa Forum Beda tapi Mesra (FBM) diharapkan menjadi wadah penyemaian semangat kebersamaan, kerukuna dan harmoni. FBM adalah rumah bersama bagi pemeluk lintas agama.

Dhimam Abror menjadi pembicara pertama, dan beliau menyatakan bahwa Indonesia adalah contoh kerukunan umat beragama. Indonesia merupakan negara dengan multi suku, etnis dan bahasa yang sangat luar biasa, tetapi hingga hari ini, masih bisa bertahan karena memiliki Pancasila sebagai common platform kebersamaan. Rusia sebuah negara adidaya, dengan kekuatan senjata dan tentara yang hebat ternyata harus terpecah-pecah karena ketiadaan kebersamaan. Komunisme yang dipaksakan ternyata tidak bisa bertahan. Berbeda dengan Pancasila yang yang hadir sebagai milik bersama. Oleh karena itu jangan menjadi Afghanistan yang hanya terdiri dari tujuh suku bangsa, tetapi perang tidak selesai.

Pak Suhadi menjadi pembicara kedua, beliau sampaikan bahwa sangat mengapresiasi terhadap forum ini, sebab ini merupakan contoh kongkrit bagaimana kita membangun kerukunan dan harmoni. Kita bersyukur sebab memiliki Persatuan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 untuk mengatur kehidupan beragama terutama menyangkut pendirian tempat ibadah. Dengan jumlah pengikut sebanyak 90 orang kita bisa mendirikan tempat ibadah. Jika di suatu kecamatan tidak cukup, bisa mengangkat se kabupaten, dan sekabupaten tidak bisa maka diangkat se provinsi. Jika masih tidak cukup tentu tidak usah mendirikan tempat ibadah. Lalu juga dirikan tempat ibadah secukupnya. Kalau kebutuhannya 100 maka dirikan yang relevan dengan itu.

PBM itu dirumuskan untuk memberikan solusi atas kesulitan-kesulitan kita selama ini, misalnya umat Islam sulit mendirikan masjid di Papua, orang Buddha sulit mendirikan tempat ibadah di tempat lain, demikian pula yang lain. Maka dengan PBM ini akan dapat menjadi solusi atas masalah tersebut.

Beliau berharap bahwa jangan hanya toleransi yang dikembangkan, sebab toleransi itu masih menyisakan jarak antara satu dengan yang lain. Yang harus dikembangkan ialah persaudaraan. Di Buddha, di Islam, dan semua agama terdapat konsep-konsep persaudaraan. Islam sangat menekankan persaudaraan tidak hanya sesama umat Islam, tetapi untuk persaudaraan kebangsaan dan bahkan untuk seluruh alam.

Saya menjadi pembicara ketiga. Saya sampaikan tiga hal yang mendasar. Pertama, saya mengapresiasi atas acara yang diselenggarakan oleh FBM, sebab inilah rumah bersama dan di tempat ini selalu ditekankan pentingnya persaudaraan dan kebangsaan. Maka saya menyebut acara ini sebagai “Mengaji Kebangsaan”. Pada waktu mengaji di Gedung Pondok Daud Jl. Taman Prapen Indah Blok C 6-7 Surabaya, beberapa saat yang lalu, hadir Pak Bambang DH dan bu Indah Kurnia, dan sekarang yang datang Pak Dhimam Abror. Kita semua tahu datang dari mana mereka ini. Jadi, PBM ini merangkul semua dan dirangkul semua. Indah. Sebuah Taman Sari akan menjadi indah dan asri, jika terdapat banyak bunga yang warna-warni. Maka di dalam kehidupan ini juga indah jika terdapat warna-warna di dalamnya. Yang penting bagaimana memanej waran-warni tersebut menjadi serasi, harmoni dan indah.

Kedua, saya sampaikan kita sekarang sedang memasuki tahun politik, di mana tanggal 17 April 2019 akan terjadi pilihan presiden dan wakil presiden. Pada tahun politik tersebut dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan yang tinggi. Akan terjadi saling kontestasi yang terkadang juga mengusung isu politik identitas dan politisasi agama. Kita sudah merasakan pertarungan itu sekarang. Di era cyber war yang menggunakan media sosial itu, maka hal-hal yang sebenarnya tidak masalah menjadi masalah, hal-hal yang sepele menjadi kompleks. Itulah sebabnya hoax menjadi bahan pemberitaan yang luar biasa pengaruhnya. Orang terbiasa untuk membunuh karakter lawan politiknya, orang terbiasa menyebarkan isu-isu yang merusak persaudaraan dan sebagainya.

Hal ini tentu ditunjang dengan kepemilikan hand phone atau smartphone yang sangat tinggi di Indonesia. dari sejumlah 236 juta penduduk, jumlah pemilik HP sebesar 371,4 juta orang atau 142 persen. Dan Indonesia menjadi negara nomor enam dalam kepemilikan HP setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Indonesia. Apalagi mayoritas HP itu memiliki jaringan internet.

Makanya, kita yang termasuk generasi senior ini perlu untuk menjaga agar generasi muda kita yang berada di dalam kelompok generasi Y, akan dapat menggunakan smart phone untuk kepentingan positif dan bukan untuk kepentingan negative. Di era tahun politik, saya kira kita harus mengajarkan kepada anak-anak untuk bagaimana menggunakan media sosial yang benar.

Ketiga, kita ini bersyukur karena terlahir di Indonesia dan menjadi bangsa Indonesia. Kalau kita lahir lima jam saja setelah itu, maka kita lahir di Afghanistan yang perang terus menerus. Kalau kita lahir 13 jam maka kita akan lahir di Iraq atau Syria, maka juga akan terus berada di dalam suasana perang, dan seterusnya. Itulah yang mengharuskan kita bersyukur dan menghargai terhadap usaha para pendiri bangsa yang menjadikan negeri ini sebagai negara berdasar atas Pancasila. Melalui empat pilar consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan, maka kita bisa memastikan bahwa negara kita dalam keadaan aman dan damai. Kita ingin ke depan, generasi muda kita itu seperti kita yang berkomitmen menjaga pilar consensus kebangsaan tersebut. Jika sekarang para founding fathers negeri ini tersenyum di alam kuburnya karena kita menjadi penyangga NKRI, maka kita ingin ke depan juga bisa tersenyum di alam kubur karena generasi yang kita tinggalkan tetap mempertahankan empat pilar consensus kebangsaan tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MELACAK HISTORISITAS KEILMUAN DAKWAH

MELACAK HISTORISITAS KEILMUAN DAKWAH

PADA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA[1]

 

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]

 

 

Pengantar

Tentu banyak perubahan dalam tahun-tahun terakhir di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya. Di antara perubahan itu tentu terkait dengan transformasi dari IAIN ke UIN yang meniscayakan terjadinya banyak perubahan. Misalnya terkait dengan kelembagaan dan program studi. Jika di masa lalu hanya Fakultas Dakwah saja, maka sekarang dengan tambahan mandate baru, tentu sosok kelembagaan dan keilmuannya pastilah berubah.

Saya merasa tertinggal dengan perubahan ini, sebab cukup lama saya tidak berada di dalam lingkungan pendidikan di UIN Sunan Ampel, meskipun secara structural tentu masih ada kaitannya, akan tetapi tentu kaitan tidak langsung. Oleh karena itu tulisan ini hanya akan memetakan dunia “masa lalu” yang saya pahami dengan kelebihan dan kekurangannya.

Saya bersyukur bahwa dalam beberapa bulan terakhir saya terlibat kembali dengan dunia akademis, dan lebih khusus di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang secara langsung tentu saja bisa bergaul tidak hanya dengan mahasiswa yang saya didik, akan tetapi juga para dosen dan pimpinan Fakultas. Saya berkeyakinan bahwa perubahan menuju yang lebih baik pasti akan terjadi. Hanya menunggu “waktu” kapan hal tersebut terjadi secara nyata.

 

Perkembangan Kelembagaan

Fakultas Dakwah saya kira berkembang relative memadai di tengah arus perubahan sosial dan tantangan yang dihadapinya. Perubahan yang signifikan tentu saja ialah pasca perubahan status IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel. Perubahan itu bisa dianggap sangat signifikan, sebab ada mandate baru pasca perubahan status tersebut, yaitu untuk mengusung visi dan missi pengembangan ilmu komunikasi secara lebih eksplisit, sebab selama menjadi Fakultas Dakwah saja, ilmu komunikasi itu seperti dicangkokkan di dalamnya.

Jika harus ada ilmu komunikasi dan seluruh derivasinya, hal itu tentu merupakan kewajaran sebab ada anggapan bahwa ilmu dakwah itu sangat dekat dengan ilmu komunikasi, sebagai sesama ilmu applied science yang berfungsi untuk menyebarkan gagasan, ide, pikiran dan transfer perilaku kepada orang lain atau komunitas dan masyarakat lain agar mereka dapat sepaham dan setindakan dengan para penyebar informasi dimaksud.

Dengan memasukkan nomenklatur ilmu komuniksi pada Fakultas Dakwah, maka sahlah keberadaan ilmu komunikasi sebagai bagian yang berdiri sendiri, independent dan fungsional untuk diajarkan kepada mahasiswa dan menjadi minat studi yang jelas. Inilah yang saya sebutkan bahwa keberadaan ilmu komunikasi menjadi semakin jelas dalam struktur kelembagaan di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dilihat dari perkembangannya, maka Fakultas Dakwah dan Komunikasi mengalami perubahan jurusan dan program studi. Fakultas dakwah berdiri pada tahun 1972 dengan prasasti yang ditandatangani oleh Rus’an mewakili Menteri Agama. Pada waktu itu hanya ada satu jurusan, yaitu jurusan ilmu dakwah. Saya ingat betul angkatan pertama pada Fakultas Dakwah ialah M. Fadly Hady dan Pak Syahudi Siraj. Keduanya menjadi dosen pada Fakultas Dakwah, di mana Pak Fadly menekuni Ilmu Komunikasi dan sempat menerbitkan diktat “ilmu komunikasi” sementara itu Pak Syahudi menekuni ilmu Bimbingan dan penyuluhan dan tentu juga menghasilkan diktat dan buku di bidang ini.

Dalam perkembangan berikutnya, maka terdapat dua jurusan yaitu jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) serta jurusan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat (BPM). Kira-kira tahun 1980an program baru ini muncul dan kemudian berkembang lagi menjadi empat jurusan pada tahun 1990an. Yaitu menjadi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat (BPM), Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dan Jurusan Managemen Dakwah (MD). Empat jurusan ini yang tetap eksis hingga terjadinya transformasi IAIN ke UIN. Sebagai jurusan pada Fakultas Dakwah –sebelum terdapat tambahan prodi-prodi pada ilmu komunikasi—maka yag dikembangkan hingga sekarang yang berkembang secara khusus pada Fakultas Dakwah ialah empat jurusan dimaksud.

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam mengusung konsep-konsep ilmu komunikasi, misalnya dalam corak ilmu retorika sebagai praksis dakwah, jurnalistik sebagai praksis komunikasi, dan seperangkat keilmuan lain yang mendukung dan menjadi cabang-cabangnya. Jurusan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat mengembangkan konsep-konsep psikhologis sebagai babon keilmuan untuk mendukung program bimbingan dan penyuluhan selain tentu saja mata kuliah bimbingan dan penyuluhan itu sendiri. Dengan demikian, perangkat lunaknya ialah psikhologi dan perangkat kerasnya ialah ilmu bimbingan dan penyuluhan. Jurusan managemen dakwah mengusung konsep relasi antara ilmu dakwah dan managemen sehingga sebagai perangkat lunaknya ialah ilmu dakwah dan perangkat

kerasnya ialah managemen. Sedangkan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam ialah menetapkan basis keilmuannya ialah ilmu dakwah dengan perangkat tehniknya ialah pengembangan masyarakat.

Jurusan atau program studi ini yang hingga terjadinya alih status IAIN ke UIN tetap dipertahankan.  Secara konseptual, sesungguhnya ada beberapa problema kelembagaan dengan masih dinomenklaturkannya Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, sebab dengan telah berubahnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi maka status kelembagaan jurusan juga seharusnya berubah. Bagi saya, yang tepat adalah jurusan penyiaran Islam saja dengan tetap mengedepankan dakwah melalui perangkat keras retorika. Dengan demikian, program studi penyiaran Islam diharapkan akan menghasilkan lulusan yang secara khusus menjadi ahli retorika atau dakwah bil lisan. Prototipenya ialah Prof. Dr. Moh. Ali Azis, MAg., yang memiliki kemampuan untuk berdakwah secara lesan dengan ekselen dan mampu mengemas dakwah tersebut secara modern.

Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat, saya kira masih penting di tengah semakin semaraknya masalah-masalah kehidupan umat. Jurusan ini yang seharusnya menghasilkan penyuluh agama yang jumlahnya tentu sangat banyak. Mereka dipersiapkan dengan baik, tidak hanya dari sisi metodologi penyuluhan tetapi juga konten penyuluhan yang memadai. Jadi penguasaan ilmu agamanya tentu harus baik. Di saat jumlah guru agama sudah mengalami kejenuhan, maka yang diperlukan adalah para penyuluh agama dengan pemahaman agama yang wasathiyah.

Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam juga masih layak untuk dipertahankan. Saya berpendapat bahwa jurusan ini akan menghasilkan ahli-ahli community development yang memadai, dengan kemampuan mendesain program-program pro-rakyat untuk penguatan atau pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya. Keilmuan yang diusung ialah ilmu dakwah sebagai corenya dan ilmu community development sebagai instrumennya. Lalu, Jurusan Managemen Dakwah kiranya masih diperlukan untuk mengisi peluang manajer pada lembaga-lembaga dakwah, lembaga ekonomi umat, organisasi sosial dan sebagainya. jurusan ini memanggul tugas penting untuk membangun program-program, misalnya kemasjidan, kelembagaan organisasi keagamaan dan sebagainya.

 

Perkembangan SDM dan ilmu dakwah

Sebagai fakultas yang sudah berdiri semenjak tahun 1972 hingga kini atau selama 46 tahun, tentu ada pertanyaan: “apakah yang dihasilkan oleh Fakultas ini dalam praksis dakwah dan teori dakwah? Dan pertanyaan lain, ada berapa orang yang sudah mengembangkan ilmu dakwah hingga menjadi ilmu yang mandiri dan diakui oleh komunitas ilmuwan?

Pertanyaan ini penting untuk diungkapkan sebab semestinya mereka yang menguasai panggung media adalah alumni dakwah jika hal tersebut menyangkut penyiaran Islam. Kenyataannya, mungkin sangat sedikit para lulusan Fakultas Dakwah –khususnya jurusan KPI—yang menguasai dunia media, baik dalam konteks dakwah bil lisan maupun bil qalam. Itu artinya, bahwa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam belum menghasilkan SDM yang benar-benar siap untuk mengisi ruang media dengan segala variasinya.

Pengembangan ilmu dakwah dapat dilihat berdasarkan realitas sebagai berikut:

Pertama, ilmu dakwah itu sudah tersegmentasi ke dalam disiplin lain di bawahnya seperti menagemen dakwah, komunikasi dakwah, sosiologi dakwah, retorika, bimbingan penyuluhan masyarakat dan sebagainya. Akibatnya, pengembang ilmu dakwah nyaris tidak didapatkan lagi. Bayangkan berapa jumlah guru besar ilmu dakwah. Di UIN Sunan Ampel, satu-satunya guru besar itu ialah Prof. Dr. Moh. Ali Azis. Lalu Prof. Dr. Shonhaji Saleh yang mengembangkan pendekatan keilmuan antar bidang, yaitu sosiologi dakwah. Secara keseluruhan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Generasi berikutnya tidak kita jumpai lagi. Banyak yang semula memiliki keahlian di dalam ilmu dakwah lalu justru pindah disebabkan oleh pendidikan doktornya yang tidak relevan dengan ilmu dakwah, sementara itu regulasi terkait dengan professor harus linear dengan keilmuan doktornya. Sebagai akibatnya, lalu tidak ada lagi yang mengembangkan ilmu dakwah sebagai keahlian dosen professional dalam gelar tertinggi di perguruan tinggi.

Kedua, program doctor ilmu dakwah juga nyaris tidak dijumpai di PTKN. Semua masih terhenti di program magister, sehingga belum ada wadah akademis yang menyiapkan calon doctor bidang ilmu dakwah tersebut. Kendalanya tentu adalah jumlah professor untuk program doctor ilmu dakwah belum mencukupi. Lalu kapan akan mencukupi, jika memang tidak disiapkan untuk kepentingan ini.

Ketiga, SDM dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi sudah semakin banyak yang telah menyelesaikan pendidikan doktornya, akan tetapi tentu mengambil program doctor yang relevan dengan mata kuliah yang diampunya. Hal ini tentu terkait dengan sertifikasi, keahlian, dan relevansi dengan ijazah doctor yang bersangkutan. Ke depan akan banyak professor akan tetapi tentu tidak mengembangkan ilmu dakwah dimaksud.

Keempat, perlu penegasan terhadap status ilmu dakwah, apakah menjadi ilmu yang inter-disiplin atau yang mandiri. Jika diarahkan untuk ilmu yang inter-disipliner, maka yang perlu diperkuat ialah bagaimana menghasilkan doctor yang memiliki kemampuan studi interdisipliner. Misalnya program doktornya ilmu komunikasi, akan tetapi gelar professornya diarahkan kepada ahli komunikasi dakwah. Atau doctor di bidang manajemen, akan tetapi profesornya diarahkan untuk menjadi guru besar manajemen dakwah. Ada yang doctor di bidang pemikiran Islam dan kemudian menjadi professor di bidang pemikiran dakwah. Dan sebagainya.

 

Perkembangan keilmuan dakwah

Saya ingin melihat bagaimana ilmu dakwah dikembangkan di fakultas ini dengan mengacu pada perkembangan metodologi kajian ilmu dakwah. Saya mencoba untuk memetakannya dengan membuat gambaran perkembangan periodisasi bagaimana metodologi ilmu dakwah itu dikembangkan.

Pertama, ialah pengembangan ilmu dakwah dengan pendekatan factor. Model ini mengikuti pola yang berkembang di dalam ilmu komunikasi yang secara definisi menggambarkan adanya factor-faktor komunikasi atau factor dakwah. “who says what, to whom, in what channel and with what effect”. Ini pula yang terlihat di dalam pengembangan ilmu dakwah tersebut. Komponen ilmu dakwah tersebut meliputi: subyek dakwah (da’i), obyek dakwah (mad’u), metode dakwah (kaifiyah dakwah), media dakwah (washilah dakwah) dan effek dakwah (atsar dakwah). Cara berpikir seperti ini yang kita lihat di hampir seluruh buku-buku ilmu dakwah yang diterbitkan oleh dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi pada UIN Sunan Ampel Surabaya.

Secara metodologis, maka penelitian yang digunakan ialah penelitian kuantitatif dengan berbagai variabel dan konsepnya. Makanya, di sini lalu digunakanlah teori-teori komunikasi atau teori lain yang digambarkan dalam hubungan antar konsep dan kemudian diuji secara empiris. Saya kira pendekatan dan metodologi ini dominan sebelum tahun 90-an meskipun sampai saat ini tetap dikembangkan.

Kedua, pengembangan ilmu dakwah dengan pendekatan sistem. Pengembangan ilmu dakwah ini bercorak problem solving. Melalui pendekatan sistem, maka dibayangkan bahwa ada in put, proses dan output dan outcome. Masukan tersebut terkait dengan subyek dakwah dan materi dakwah, sedangkan prosesnya ialah media dan metode dakwah dan out putnya ialah effek dakwah. Di dalam penerapan pengembangannya juga bisa menggunakan metode penelitian kuantitatif. Melalui metode kuantitatif, maka akan bisa diukur bagaimana masukan proses dan keluaran tersebut bisa diketahui secara jelas,

Ketiga, pengembangan ilmu dakwah berbasis pada pemahaman makna dakwah bagi individu, komunitas atau masyarakat. Pengembangan ilmu dakwah di sini lebih banyak mengacu pada proses dakwah. Jadi yang dikaji ialah bagaimana proses dakwah terjadi dan bagaimana para subyek yang diteliti memaknai terhadap proses, input dan output dakwah. Yang dicari bukanlah variabel yang diukur dengan rumus-rumus tertentu akan tetapi bagaimana para pelaku dakwah dan sasaran dakwah memaknai terhadap dakwah tersebut. Pola ini berkembang semenjak tahun 1990-an dan seterusnya sampai sekarang. Ada banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan seperti ini.

Keempat, pendekatan developmentalisme. Semenjak Fakultas Dakwah menambah jurusan baru, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Managemen Dakwah maka di saat itu pastilah akan berkembang pendekatan baru, yang saya sebut sebagai pendekatan ilmu dakwah berbasis pada riset pengembangan atau developmental. Inti dari pengembangan ilmu dakwah ini ialah dengan penelitian terhadap perubahan-perubahan yang dihasilkan dari upaya pemberdayaan masyarakat oleh berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Tentu termasuk di dalamnya ialah NGO. Perubahan yang disengaja diupayakan tersebut tentu akan menghasilkan sejumlah “pengaruh” terhadap sasaran dakwah. Seirama dengan hal ini ialah penelitian partisipatif yang selama ini dijadikan sebagai medium penting di kalangan NGO. Penelitian dakwah dapat menghasilkan konsep dan aplikasi pemberdayaan berbasis pada riset pengembangan dan riset partisipatif.

Kelima, ke depan, saya kira yang perlu dilakukan ialah dengan mengembangkan relasi ilmu melalui program interdisipliner, yaitu menjadikan fenomena dakwah sebagai sasaran kajian atau subject matter dan menempatkan ilmu sosial atau humaniora sebagai pendekatan. Jika ilmu dakwah ingin berkembang lebih cepat dan juga menghasilkan ilmuwan yang bervariasi, maka pilihan seharusnya pada model pendekatan ini dibandingkan dengan model sasaran kajian ilmu. Saya kira pengembangan sosiologi dakwah, antropologi dakwah, komunikasi dakwah, psikhologi dakwah, manajemen dakwah, politik dakwah, administrasi dakwah, hukum dakwah dan sebagainya tetap perlu untuk diteruskan di tengah keinginan untuk memperkuat posisi ilmu dakwah yang interdisipliner.

 

Penutup

Fakultas Dakwah dan Komunikasi sesungguhnya memiliki masa depan. Di antara masa depan itu ialah bisa menjadi pilihan di antara program-program studi yang memiliki relevansi dengan kebutuhan di masa yang akan datang. Di antaranya ialah menyiapkan pilihan untuk menjadi ahli di bidang hard skilled keilmuan dakwah dan komunikasi. Tentu saja dibutuhkan banyak talenta di dalamnya, dan itu akan bisa dijawab melalui pengembangan hard skilled yang cukup dan soft skilled yang utuh berbasis pada pengembangan talenta masing-masing.

Dengan demikian ada dua hal yang sekiranya diperlukan ialah: pertama, diperlukan kecerdasan untuk mengembangkan ilmu dakwah dalam coraknya yang multidisipliner dengan memperbanyak ahli di dalamnya. Kedua, diperlukan kesiapan untuk mengembangkan program studi yang relevan dengan kebutuhan umat berbasis pada ilmu dakwah yang aplikatif dan multidisipliner. Ketiga, diperlukan juga memikirkan bagaimana para dosen mengembangkan kemampuan mahasiswa Fakultas ini dengan kemampuan hard skilled yang hebat dan juga soft skilled yang memadai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

[1] Bahan diskusi pada dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya di Green SA In Surabaya, pada tanggal 15 November 2018.

[2] Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Pernah mengampu mata kuliah Publisistik, lalu berganti mengasuh mata kuliah Sosiologi Agama dan terakhir menjadi Guru Besar Sosiologi. Sebagai bukti kecintaan pada ilmu dakwah pernah menerbitkan dua buku di bidang ilmu dakwah, yaitu “Metodologi Penelitian Dakwah” yang terbit pada tahun 1990 oleh penerbit Ramadani Solo, dan buku “Filsafat Dakwah” yang terbit pada tahun 2003 yang diterbitkan oleh Jenggala Pustaka Utama, Kediri.

MAKNA MENGHARGAI KEPAHLAWANAN

MAKNA MENGHARGAI KEPAHLAWANAN

Ada yang terasa kurang dewasa ini ialah bagaimana kita menghargai jasa para pahlawan di masa lalu yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan bangsa. Menghargai jasa para pahlawan sebenarnya tidak rumit, yaitu dengan memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita para pahlawan itu di era yang berbeda.

Di masa lalu, tantangan para pahlawan bangsa ialah bagaimana mengusir penjajah dari bumi Nusantara, dan bagaimana agar bangsa ini memiliki kemerdekannya. Mereka berjuang dengan kekuatan fisik dan hati agar bangsa ini terbebas dari penjajahan Belanda dan sekutunya. Dan itu terjadi di seluruh Indonesia, meskipun yang dijadikan momentum ialah tanggal 10 Nopember 1945. Jadi, pertempuran Surabaya yang melibatkan masyarakat, para kyai, ulama dan para pejuang itu adalah momentum untuk dijadikan sebagai Hari Pahlawan yang heroic.

Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan ini tentu tidak lepas dari upaya para pahlawan dan seluruh komponen masyarakat Indonesia yang selama itu berjuang untuk kemerdekaan bangsanya. Jika kemudian tidak semua dinyatakan dan dihargai sebagai pahlawan bukan berarti bahwa mereka tidak punya peran yang signifikan bagi perjuangan bangsa Indonesia. Jika yang diberi gelar pahlawan adalah para pemimpin di dalam suatu perjuangan, maka hal itu adalah suatu kewajaran karena merekalah yang menggerakkan perjuangan itu.

Sejarah memang hanya mencatat peristiwa-peristiwa besar dengan orang-orang besar. Nama seperti Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo adalah mereka yang menjadi penggerak dalam “Perang Jawa” yang menguras pundi-pundi keuangan Pemerintah Belanda pada tahun itu. Sebuah perjuangan yang sangat heroic yang melibatkan seluruh masyarakat Jawa dalam kerangka untuk merebut kembali otoritas kepemimpinan di tangan bangsa sendiri.

Lalu jika perjuangan merebut kemerdekaan di Surabaya, yang menghasilkan nama besar, Bung Tomo, yang terkenal dengan pekikan “Allahu Akbar” dan menewaskan Jenderal Mallaby, adalah contoh juga bagaimana sejarah memang mencatat nama-nama besar. Namun sekali lagi bukanlah masyarakat Surabaya dan sekitarnya tidak memiliki andil yang sangat besar di dalam konteks ini.

Lalu, ketika nama besar Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari yang dijadikan sebagai ikon di dalam “Resolusi Jihad” yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri Nasional, bukan berarti mengabaikan sejumlah nama kyai dan ulama serta masyarakat yang terlibat di dalam pembahasan resolusi jihad. Semuanya memiliki perannya dan signifikansinya masing-masing.

Para pahlawan adalah mereka yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan. Nama-nama seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Sultan Agung, Adipati Unus, Fatahillah, dan sebagainya adalah nama-nama yang terpateri di dalam sejarah bangsa sebagai orang yang memperjuangkan negaranya dari cengkeraman negara lain dalam bentuk peperangan dan adu senjata.

Semua ini tentu saja perlu untuk kita ingat jasa-jasanya sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan hidup bangsa Indonesia. Jika ada yang melupakannya, maka sesungguhnya mereka perlu diingatkan kembali agar “jangan melupakan sejarah”. Jasmerah, begitu kata Soekarno.

Pelajaran sejarah bangsa perlu diajarkan sedemikian kuat kepada anak didik kita, sebagai penerus kehidupan bangsa dan negara. Sejarah meskipun tidak selalu “mulus” dan terkadang juga berlepotan dengan “subyektivitas” tetapi tetap saja penting bagi anak-anak kita agar mereka tidak salah di dalam memilih haluan bagi kehidupan bangsa.

Guru-guru mata pelajaran sejarah haruslah orang yang memiliki semangat kebangsaan yang sangat tinggi, dan menguasai bahan ajar sejarah lahir dan batin. Yang “lahir” ialah materi pembelajarannya dan yang “batin” ialah semangat untuk mempertahankan negara ini. Empat pilar consensus kebangsaan haruslah diajarkan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Para guru sejarah harus mempertahankan dengan cara pembelajarannya yang menarik tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.

Kita ingin bahwa memperingati Hari Pahlawan itu dengan semangat untuk menjadikan Indonesia ini sebagaimana yang dicita-citakan mereka semua, yaitu negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dan salah satu yang perlu dilakukan ialah dengan melakukan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi pesan kemerdekaan sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan kehidupan masyarakat dan turut serta dalam membangun perdamaian dunia.

Kita semua ingin agar para pahlawan kita tersenyum gembira di alam kuburnya masing-masing karena melihat kita bisa mencapai keinginannya dengan tetap menjaga negara ini dari rongrongan apapun, termasuk rongrongan keinginan untuk mengubah negara Indonesia menjadi negara khilafah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TANTANGAN ARTIFICIAL INTELLIGENT SO WHAT NEXT?

TANTANGAN ARTIFICIAL INTELLIGENT SO WHAT NEXT?

Pagi kemarin dalam perjalanan ke Semarang, 10/11/2018, saya membaca Harian Kompas dan di dalamnya terdapat resume buku yang sangat menarik tentang What the Future, tulisan Tim O’Reilly, yang menggambarkan tentang bagaimana masa depan manusia di tengah semakin menguatnya tantangan big data dan artificial intelligent. Tantangan ini tidak main-main, sebab tantangan artificial intelligent itu ternyata luar biasa dahsyat bagi manusia dan pekerjaannya di masa depan. Tesla misalnya sudah merancang mobil tanpa driver untuk kepentingan transportasi Uber.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Oxford University, menunjukkan bahwa 47 persen pekerjaan, termasuk pekerjaan kerah putih akan digantikan oleh mesin robot dengan teknologi artificial intelligent dalam 20 tahun ke depan. Studi ini diperkuat oleh Survey Mc-Kinsey Global Institute, bahwa sekitar 550 sampai 580 juta orang atau antara 60 sampai 70 persen rumah tangga di negara maju telah mengalami penurunan pendapatan dalam kurun waktu 2005-2014, sementara untuk kurun sebelumnya, 1995-2005, penurunan pendapatan sebesar 10 juta orang atau sebesar 2 persen saja.

Habiskah manusia dengan keadaan ini, ternyata tidak. Manusia dengan kemampuan akalnya ternyata mampu melakukan penyesuaian dan kemudian mengisinya dengan hal-hal baru. Sungguh manusia memang diciptakan Tuhan untuk mampu memberikan jawaban atas setiap tantangan yang dihadapinya. Dengan kemampuan multi intelligent, maka manusia bisa memaksimalkan intelleigensinya di dalam melakukan tindakan rational yang cocok atau sesuai dengan tantangan yang dihadapinya.

Contoh yang sangat kasat mata ialah di kala muncul perusahaan transportasi tanpa mobil disebabkan penggunaan aplikasi, maka rasanya akan matilah perusahaan taksi yang selama ini menggunakan konsep konvensional dalam perusahaan taksi. Ternyata juga tidak, sebab perusahaan taksi konvensional lalu menyesuaikan dan kemudian membuat inovasi baru. Di kala system pembelian on line semarak dengan aplikasinya, maka yang terjadi ialah dugaan gulung tikarnya mall atau pusat perbelanjaan, akan tetapi mall juga melakukan inovasi untuk mengembangkan jenis usahanya.

Seorang fotografer, Brandon Stanton, yang pekerjaannya terdisrupsi oleh teknologi telepon pintar, akhirnya juga menemukan tempat di mana dia harus mengembangkan usahanya, yaitu dengan memberikan ungkapan atau note terkait dengan foto-fotonya yang diproduknya. Dan itu yang akhirnya mengantarkan dia tetap eksis dalam usaha bisnisnya.

Jadi, sesungguhnya manusia akan mampu menjawab era revolusi industry 4.0, yang ditengarai dengan semakin menguatnya big data dan artifisial intelelligent. Jika robot hanya mampu mengerjakan pekerjaan sebagaimana yang diprogramkan, maka manusia memiliki kecerdasan sebagaimana program yang diberikan Tuhan kepadanya.

Manusia memiliki kecerdasan rasional yang dengannya manusia bisa melakukan inovasi dan pembaharuan. Berbagai inovasi yang terjadi di dalam dunia bisnis, misalnya dengan aplikasi teknologi, tentu disebabkan oleh kemampuan ini. Perusahaan start up yang berkembang cepat dewasa ini tentu disebabkan oleh kemampuan rasional yang hebat tersebut.

Manusia juga memiliki kemampuan kerja sama yang difasilitasi oleh kecerdasan sosial dan emosional. Siapa yang menduga bahwa Jack Ma, yang guru Bahasa Inggris, kemudian dengan kemampuan kerjasamanya itu mampu mendirikan perusahaan raksasa di Tiongkok dan dunia, Alibaba.com. Dengan kemampuan kerja samanya itu, maka Alibaba.com dapat menyamai Amazon.com yang sudah terlebih dahulu eksis di perusahaan digital.

Kemampuan kerja sama inilah yang rasanya akan sangat sulit untuk dilakukan oleh robot yang dikreasikan untuk bekerja mandiri dan independent. Kerja sama bukan hanya difasilitasi oleh kecerdasan rational, akan tetapi oleh perasaan dan hati. Makanya, manusia dapat melakukan yang terbaik di dalam kehidupannya berbasis pada kerja sama yang dilakukan.

Dan kerja sama yang indah tentu juga difasilitasi oleh kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang dipandu oleh semangat keberagamaan yang datangnya dari Tuhan. Dengan berpedoman pada nilai-nilai yang diunduh dari agama, maka manusia akan dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia yang baik, saya yakin akan menggunakan ajaran agamanya untuk memandu tindakannya.

Jadi, tidak perlu ada kecemasan berlebihan menghadapi disrupsi di era artifisial intelligent, sebab kita berkeyakinan bahwa kita akan bisa menghadapinya dengan berbagai kemampuan yang melekat di dalam diri kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.