• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERPOLITIKAN KITA MAKIN GADUH

PERPOLITIKAN KITA MAKIN GADUH

Di media sosial beredar pemberitaan dari para calon presiden Republik Indonesia, Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Tentu terkait dengan apa yang diungkapkan oleh mereka berdua di dalam kampanye presiden RI untuk pilpres tahun 2019. Rasanya, tensi dunia perpolitikan kita mulai meningkat dalam bulan November ini. Maklum pilpres memang sudah semakin dekat, tinggal beberapa bulan lagi.

Semula banyak yang berkemauan dan berkeinginan agar pilpres kita kali ini akan dilakukan dengan lebih sejuk dan smart. Semua berkehendak agar kita lebih arif untuk menyikapi hajat politik lima tahunan. Bukankah ritual liminal seperti ini akan terus terjadi sehingga mesti harus dianggap sebagai peristiwa biasa saja, tanpa kegaduhan yang berarti.

Namun kenyataannya, dunia media sosial kita memang luar biasa. Pengaruhnya menyentuh terhadap kehidupan kebanyakan masyarakat Indonesia. Tidak hanya urusan politik saja akan tetapi juga keterlibatan agama, ekonomi dan juga etnis. Himbauan agar tidak menggunakan agama dalam politik praktis hanyalah seruan belaka tanpa makna. Teriakan tinggal teriakan, himbauan tinggalah himbauan. Para pendukung calon sudah ngebet banget agar calonnya yang terpilih sehingga macam apapun cara akan dilakukannya termasuk juga dengan character assassination, hate speech atau lainnya.

Di akhir pekan ini, dunia medsos diramaikan dengan “politik genderuwo” yang diungkapkan oleh Pak Jokowi dan “hafalan Pancasila” oleh Pak Prabowo. Politik genderuwo dimaksudkan sebagai pemberintaan politik yang menakut-nakuti, membuat rasa tidak nyaman dan munculnya perasaan takut. Maklum di dalam tradisi Jawa, makhluk yang disebut genderuwo ialah sejenis makhluk halus yang pekerjaannya ialah menakut-nakuti manusia dengan wujudnya yang menakutkan. Maka, orang akan menjadi takut dan tidak berani lagi ke tempat itu.

Gambaran seperti ini yang dianggap oleh Pak Jokowi sebagai personifikasi genderuwo bagi perpolitikan nasional yang melakukan tindakan bukan mendidik untuk cerdas di dalam perilaku memilih akan tetapi justru sebaliknya untuk membuat masyarakat takut melakukan perilaku politik. Jadi, Pak Jokowi mencoba untuk membuat klasifikasi siapa politikus yang dianggap politikus genderuwo atau sebaliknya. Tentu saja beliau tidak menyebut siapa yang dimaksudkannya, akan tetapi secara tersirat tentu ungkapan ini ditujukan kepada lawan politiknya.

Lalu tentang Pak Prabowo, saya yakin bahwa semangatnya yang menyala-nyala sehingga membuat beliau kehilangan control ketika harus menyebutkan tentang urutan Pancasila. Kala menyebut sila satu sampai tiga, tampak lancar saja, akan tetapi ketika menyebut sila keempat, maka kelihatan kedodoran. Di sinilah kemudian terjadi viral bahwa beliau dianggap tidak hafal Pancasila. Sungguh merupakan penggambaran yang kurang arif dalam melihat sosok seseorang.

Pak Jokowi tentu berpengalaman banyak dibulli dalam berbagai kasus seperti ini. Dan karena pembullian yang berlebihan tersebut maka beliau mengungkapkan “kegerahannya” bahwa yang terjadi sekarang ialah “politikus sontoloyo dan politik genderuwo”. Dua ungkapan yang saya kira memang “realistis” di dalam kenyataan perpolitikan nasional yang makin carut marut.

Medsos memang sangat ampuh untuk menggiring opini public. Di era yang disebut “everyone wants to be a journalist” ini, maka setiap orang rasanya berhak untuk menyebarkan informasi, baik yang positif maupun negative. Jika nuansanya posisif tentu menguntungkan, misalnya medsos yang berisi nasehat keagamaan dalam konteks wasathiyah, akan tetapi jika nasehatnya adalah untuk “mengkafirkan orang lain, menganggap keberagamaan golongan tertentu salah dan tertolak”, maka bisa dibayangkan bahwa yang terjadi ialah munculnya antipati dan kebencian. Semua ini tentu tidak menguntungkan terhadap pengembangan kehidupan beragama yang arif dan meneduhkan.

Di medsos memang terus akan bergema informasi dari berbagai sumber, baik yang disetting atau tidak. Agar diingat bahwa di dalam media komunikasi ada yang disebut sebagai “agenda setting” bahwa semua message yang dipublish itu hakikatnya sudah diagendakan untuk menjadi opini public. Nah jika tujuan agenda setting ialah untuk melakukan character assassination, maka akan rusaklah masyarakat medsos kita.

Dan yang sering menjadi korbannya adalah orang yang sedang berkontestasi. Makanya, biasanya di sekelling calon apapun selalu ada tim kecil yang akan memblow up apa yang akan dijadikan sebagai tema pembicaraan. Oleh karena itu, agar kegaduhan tidak semakin kuat, kiranya memang semua harus arif. Terutama ialah tim sukses yang selalu mengintip kesalahan demi kesalahan lawan politiknya.

Jadikan pilpres sebagai arena kontestasi positif bagi kita dan proyek pembelajaran yang baik bagi anak bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGUPAYAKAN RELIGIOUS HARMONY MELALUI PT KEAGAMAAN

MENGUPAYAKAN RELIGIOUS HARMONY MELALUI PT KEAGAMAAN

Saya diundang oleh Bante Dittisampano, PhD., untuk menjadi key note speaker dalam acara The 2nd International Conference 2018 dengan tema “Innovation in Religious Education and Buddhism” di Sekolah Tinggi Agama Buddha Smaratungga di Jawa Tengah, yang diselenggarakan di Hotel Le Beringin Salatiga, 10/11/2018. Saya membawakan makalah dengan tema “A Religious Study to Build Harmony: The Case of Higher Education under Ministry of Religious Affairs”. Akhir-akhir ini saya banyak bicara tentang religious harmony di dalam berbagai forum baik di tingkat nasional maupun regional. Hadir dalam conference ini adalah nara sumber dari Thailand, Vietnam, Singapura, Australia dan Indonesia.

Tema ini tentu tetap menarik di tengah keinginan untuk hidup bersama berbasis pada kerukunan dan harmoni agama yang memang menjadi prasyarat di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai dan juga sejahtera. Melalui kehidupan yang rukun dan damai, maka kita akan bisa melihat Indonesia yang semakin baik di masa depan.

Di dalam acara ini saya sampaikan beberapa hal. Pertama, ialah bagaimana membangun harmoni dan kerukunan beragama. Sungguh satu di antara keinginan kita sebagai bangsa ialah untuk hidup di dalam kebersamaan yang didasari oleh keharmonisan dan kerukunan beragama. Sayang sekali jika Indonesia yang multikultural dan plural ini dirusak oleh bangsanya sendiri karena keinginan untuk mengembangkan ajaran dan ideologi yang tidak relevan bagi bangsa Indonesia. Sungguh kita semua tidak ingin melihat Indonesia porak poranda karena sikap dan tindakan sebagian kecil orang Indonesia yang tidak menghargai terhadap upaya memperoleh kemerdekaan dan membangun kemerdekaan. Kita semua pasti ingin agar Indonesia berada di dalam kehidupan yang rukun dan damai. Jika orang luar negeri saja menghargai dan mengapresiasi terhadap Indonesia karena kemampuan memanej perbedaan dan menjadikannya sebagai contoh yang baik dalam kehidupan yang plural dan multicultural, maka jangan sampai kita sendiri justru tidak menghargainya.

Kedua, salah satu di antara yang bisa dijadikan sebagai insfrastruktur penting di dalam membangun kehidupan yang harmony ialah pendidikan tinggi. Di Kemenag terdapat sebanyak 72 PTKN dan 700 perguruan tinggi swasta. Semuanya merupakan perguruan tinggi keagamaan, yang mengusung semangat dan pemahaman dan pengamalan beragama yang sangat baik. Dari sejumlah 144 satuan kredit semester (sks) maka sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 30 persen sks-nya merupakan mata kuliah untuk memperdalam pemahaman keberagamaan. Di sana terdapat mata kuliah antara lain: “pengantar studi agama, pengantar tafsir, pengantar hadits, tafsir al Qur’an, Hadits, Akhlak dan tasawuf, filsafat agama dan lainnya”. Semua PTKN di bawah Kemenag, memiliki kesamaan dalam program perkuliahan religious studies. Semua ini didesain dengan keinginan untuk memperkuat basis keberagamaan yang wasathiyah atau yang moderat.

Kerukunan beragama hanya akan terwujud jika kita memahami agama dalam coraknya yang bukan ekstrim atau radikal. Jika di suatu negara atau bangsa ada sejumlah orang yang selalu berpikir ingin mengimpor ideologi lain, maka dipastikan negara itu akan mengalami kesulitan. Itulah sebabnya di perguruan tinggi dipastikan harus diajarkan pemahaman agama yang wasthiyah ini. Hanya dengan cara berpikir moderat saja kehidupan berbangsa dan bernegara akan berada di dalam suasana yang aman dan tenteram.

Akhir-akhir ini masih terdapat tindakan orang yang melakukan pengeboman bunuh diri dan melibatkan keluarganya. Anak dan istrinya, seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya. Inilah contoh kongkrit bahwa elemen garis keras itu masih bercokol dan eksis di negeri ini. Makanya, pendidikan agama diharapkan akan dapat menjadi salah satu solusi bagi pengembangan kehidupan beragama yang rukun dan harmonis.

Ketiga, yang dikembangkan oleh pendidikan tinggi agama ialah pengembangan pendidikan karakter. Kita berharap agar dengan pendidikan karakter tersebut, maka akan lahir generasi masa depan Indonesia yang benar-benar hebat dalam kerangka menyambung estafeta kepemimpinan bangsa. Hanya dengan pendidikan karakter saja generasi muda Indonesia akan dapat menghadapi bonus demografi yang datang. Makanya, semua dosen dan mahasiswa harus menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter untuk Indonesia masa depan.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama ialah dengan membangun gerakan moderasi agama. Gerakan moderasi agama adalah suatu upaya untuk menyebarkan ajaran agama dalam kontennya yang ramah, penuh kasih sayang dan berupaya membangun kesejahteraan. Upaya ini dilakukan dengan memberikan penerangan agama, pendidikan agama dan juga khutbah dan dakwah yang menyejukkan bagi kehidupan bersama.

Kementerian Agama sudah memiliki infrastruktur Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dan masyarakat jugas sudah punya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan dengan insfrastruktur ini kita bisa berharap banyak untuk membangun harmoni beragama. Dan yang tidak kalah penting ialah bagaimana perguruan tinggi mendesiminasi dan menstranfer harmoni beragama tersebut dalam paham dan praksis bagi mahasiswanya. Dan saya yakin kita semua bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMBACA KASUS HABIB RIZIQ

MEMBACA KASUS HABIB RIZIQ

Ada peristiwa yang menarik akhir-akhir ini terutama yang menyangkut tokoh umat Islam di Indonesia yang sedang bermukim di Arab Saudi, Habib Riziq Syihab. Tokoh agama dan orator yang menggerakkan unjuk rasa damai 212 beberapa bulan yang lalu. Dia pergi ke Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama pasca unjuk rasa, dan tentu tanpa berita dan penjelasan, dan baru hari-hari terakhir ini ada berita tentang penangkapan beliau oleh otoritas keamanan pemerintah Arab Saudi.

Sebelum pemberitaan di televisi, saya sudah mendapatkan informasi tersebut yang tersebar di WA, mengenai penangkapannya, yaitu sebuah surat yang disampaikan oleh Duta Besar Berkuasa Penuh RI di Riyadh, Agus Maftuh Abegebril, bahwa informasi mengenai penangkapan Habib Riziq adalah sebuah kebenaran. Digambarkan di dalam surat itu, bahwa beliau ditangkap di tempat pemondokannya oleh otoritas Keamanan Kerajaan, akan tetapi sudah dilepas kembali dengan jaminan.

Di antara yang menyebabkan penangkapan ialah adanya laporan masyarakat bahwa di rumah pemondokan tersebut terdapat bendera berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid. Bendera dengan warna dan tulisan seperti itu selama ini dijadikan sebagai lambang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) inilah yang dijadikan semacam prasangka bahwa rumah tinggal ini menjadi tempat untuk gerakan ISIS di Arab Saudi.

Berdasarkan pemberitaan di televisi, bahwa memang didapati gambar berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid yang di Arab Saudi dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah. Arab Saudi memang sangat alergi terhadap gerakan-gerakan seperti ISIS atau lainnya karena dianggap sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang absah.

Sebagai negara monarkhi, Arab Saudi memang rentan terhadap berbagai pembangkangan yang bisa menganggu terhadap pemerintahan itu. Apalagi di era sekarang yang sangat memungkinkan berkembangnya pembangkangan politik, misalnya melalui kritik atas pemerintah dengan menggunakan media sosial atau media lainnya. Di saat misalnya kasus Kasoghi, wartawan Washington Post, belum memperoleh kejelasan, dan kemudian didapati bendera hitam bertuliskan tauhid yang hal itu identik dengan bendera ISIS, maka pemerintah akan bertindak sangat tegas.

Tentu kita tidak tahu, apa motif Habib Riziq memasang tulisan itu, tetapi sejauh pemberitaan yang kita terima bahwa beliau memang menganjurkan agar di rumah-rumah dipasang bendera berwarna hitam tersebut. Jika berita ini benar, maka tentu menjadi mafhum jika di rumahnya juga dipasang bendera itu, sebagai keteladanan atas ungkapannya.

Di dalam studi etnometodologi, bahwa setiap fenomena tentu memiliki makna mendalam dan jika orang melakukan pelanggaran maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius. Mungkin saja dianggap bahwa pemasangan bendera itu sesuatu yang sangat biasa. Di Indonesia, misalnya urusan bendera ini menjadi masalah ketika bendera tersebut dibakar. Ada yang marah dan ada yang mendukung pembakarannya. Dan tindakan tersebut juga memberikan makna siapa yang dianggap pendukung bendera itu dan siapa yang kontra dukungan.

Sebelum masalah bendera ini menjadi masalah di Indonesia, maka orang memasang dan menggunakan bendera warna hitam adalah hal yang biasa saja. Di dalam setiap unjuk rasa yang dikomandani oleh Islam hardliner, selalu saja ada bendera-bendera yang seperti ini. Baru akhir-akhir ini saja rasanya orang menjadi peduli dengan bendera atau lambang-lambang organisasi keagamaan, terutama terhadap bendera warna hitam bertuliskan tauhid, yang dianggap sebagai bendera ISIS atau HTI.

Dua rentetan peristiwa tentang bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid ini seakan menyengat pemahaman kita bahwa bendera bukan hanya persoalan sederhana akan tetapi merupakan masalah yang rumit. Ia melibatkan perasaan, emosi dan keyakinan sehingga bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang di luar nalar kita. Pembakaran bendera berkalimat tauhid itu juga sesuatu yang di luar nalar sebab dipahami sebagai pembelaan demi menjaga NKRI dan Pancasila. Dan yang menolak pembakaran juga sama memiliki sentiment keagamaan yang tinggi sebab menganggap bukan bendera warna hitamnya akan tetapi kalimat tauhidnya.

Dengan demikian selalu ada penafsiran yang berbeda antara yang pro dan kontra menghadapi masalah ini. Termasuk juga mungkin ketika Habib Riziq menempelkan bendera warna hitam bertuliskan kalimat tauhid juga dikiranya tidak menjadi masalah sensitive. Akan tetapi seirama dengan perkembangan zaman yang semakin keras karena tekanan ekstrimisme dan terorisme, maka warna bendera dan tulisannya bisa saja ditafsirkan sebagai sikap pembangkangan terhadap negara.

Oleh karena itu, kita semua harus berpikir dua tiga kali jika kita akan mengemukakan pendapat, mengekspresikan gagasan atau tindakan, baik ucapan maupun medsos sebab di sekeliling kita terdapat sejuta mata yang mengamatinya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (2)

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (2)

Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid tentu tetap menarik untuk diperbincangkan. Terasa terlambat tulisan ini diungkapkan, tetapi saya kira ada masalah mendasar yang perlu juga untuk dicermati, yaitu untuk menegaskan di mana posisi keduanya, pembakar bendera dan pembelanya serta pemilik bendera dan pendukungnya. Bahkan juga siapa yang didukungnya di dalam pilpres dan apa tujuannya.

Banser selama ini dikenal sebagai pembela gigih terhadap segala bentuk keinginan untuk mencederai terhadap kebinekaan, Pancasila, NKRI dan Undang-Undang Dasar. Ada banyak contoh bagaimana mereka ini membela terhadap kelompok lain atau agama lain dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Makanya, Banser dikenal sebagai kelompok militant pembela terhadap kebangsaan.

Pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid pun dilakukan pasti dalam kerangka pembelaannya terhadap kebangsaan ini. Mereka ini sangat alergi terhadap bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, sebab bendera ini sangat dikenal sebagai bendera ISIS dan juga bendera yang selalu dikibarkan di dalam berbagai unjuk rasa yang dilakukan oleh orang Islam hard liner. Dan di dalamnya ialah HTI.

Atas kesadaran bahwa bendera ini adalah milik ISIS atau HTI itu maka Banser melakukan pembakaran terhadapnya. Mereka mengindentifikasi bahwa bendera itu ialah milik kelompok Islam garis keras dan itu dianggapnya ancaman bagi keberlagsungan NKRI. Makanya, pembakaran dianggap sebagai “kebenaran” dalam mempertahankan NKRI.

Akan tetapi bagi pemilik bendera tersebut, inilah peluang untuk dijadikan sebagai panggung politik untuk memperebutkan dukungan dan simpati. Inilah saatnya untuk mendapatkan peluang menghantam terhadap lawan politik yang selama ini menggagalkan keinginannya. Dan peluang itu ialah melalui media sosial yang dahsyat pengaruhnya. NU dan segenap organisasi di bawahnya selama ini dikenal sebagai organisasi yang sangat “keras” dalam menghadapi serangan orang Islam garis keras itu.

Kaum garis keras menyadari bahwa narasi yang digunakan haruslah “pembakaran kalimat Tauhid”, sehingga dengan narasi ini akan bisa dijadikan sebagai message untuk meraih dukungan. Mereka akan memanfaatkan dukungan psikhologis masyarakat Indonesia yang kebanyakan sensitive terhadap segala bentuk penghinaan terhadap agama. Mereka akan memainkan peluang ini untuk mendulang dukungan dan simpati.

Peristiwa ini tentu bukanlah peristiwa yang tidak memiliki tujuan dan makna khusus. Bagi yang membakar maupun yang memiliki symbol tentu sama memiliki tujuan yang jelas. Dan melalui peristiwa pembakaran bendera ini kita bisa membaca tentang apa yang menjadi tujuan keduanya dan kepentingan politik macam apa dibalik peristiwa ini.

Peristiwa ini memberikan gambaran dukungan terhadap penggolongan sosial dan politik berbasis agama. Di satu sisi ada yang menjadikan pembakaran bendera ini sebagai momentum untuk mengukur dukungan umat Islam dan juga mengetahui bagaimana bentuk dukungan tersebut. Sementara itu, kelompok lainnya juga bisa memahami bagaimana dukungan terhadapnya dari berbagai masyarakat dan organisasi yang selama berlabel Islam moderat.

Sesungguhnya setiap fenomena akan dapat dibaca siapa dan mengapa fenomena itu terjadi. Tentu saja tidak ada factor tunggal yang menjadi penyebab atas terjadinya fenomena tersebut. Saya membacanya, bahwa ada dua factor yang penting untuk menjelaskan hal ini, yaitu: pertama, untuk menunjukkan bahwa organisasi garis keras itu masih eksis. Boleh saja pemerintah membubarkannya akan tetapi mereka masih eksis dengan gerakan-gerakannya. Bisa saja mereka mendompleng terhadap organisasi lain yang senada pandangan dan sikapnya di dalam melihat Indonesia ke depan.

Kedua, untuk memberikan gambaran bahwa mereka tidak sendirian dalam membela keyakinannya, akan tetapi terdapat sejumlah kelompok dan orang yang mendukungnya. Jadi tindakan ini bisa dijadikan sebagai barometer bahwa mereka masih memiliki pengaruh bagi kelompok atau sejumlah orang lain.

Dan yang paling penting sebenarnya ialah kita bisa membaca secara jelas, bahwa orientasi kepada gerakan ghairu wasathiyah akan terus eksis dan mereka berada di mana saat ini dan ke depan terutama di dalam menyongsong pilpres. Jadi tetap saja kita bisa memperoleh makna dari peristiwa ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (1)

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (1)

Meskipun ada banyak orang yang menyatakan bahwa tahun politik 2019 tidak akan terjadi politik identitas, akan tetapi nyatanya bahwa keramaian menjadikan agama sebagai content media sosial untuk artikulasi kepentingan politik masih saja tetap mengedepan. Skalanya memang tidak sebesar Pilkada DKI tahun lalu, akan tetapi nyatanya bahwa hiruk pikuk itu tetap saja gegap gempita.

Di antara yang menonjol ialah mengenai “pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid” yang dilakukan oleh Banser –salah satu organisasi di bawah NU—beberapa saat yang lalu. Meskipun tidak secara langsung hal ini terkait dengan dunia politik kita yang semakin memanas, akan tetapi aktor-aktor dibalik semua ini menjadi basis bagi kenyataan terjadinya politik identitas yang semakin menguat.

Mayoritas umat Islam memahami bahwa bendera berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid merupakan lambang bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang di dalam setiap unjuk rasa selalu saja muncul di permukaan. Bendera itu begitu dominan di dalam berbagai aksi yang dilakukan selama ini. Makanya, orang awam pun juga mengetahui bahwa bendera itu identik dengan berbagai aksi yang melibatkan komponen orang Islam hard liner. Bukankah di dalam setiap aksi misalnya 212, dan sebagainya selalu saja muncul bendera-bendera seperti itu.

Bendera memang hanya sebuah lambang, dan tentu akan memiliki makna yang berbeda-beda. Namun lambang atau symbol selalu saja memiliki makna mendalam bagi para pemiliknya. Bendera adalah wujud appearance dari ungkapan batin. Makanya, orang akan menjadi “marah” di kala bendera itu dirobek atau dibakar. Dan itu yang terjadi pada waktu pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid. Jadi, artinya siapa yang “marah” atas pembakaran bendera itu, maka dialah sesungguhnya yang memiliki bendera itu.

Dan tentu bukan ketepatan bahwa yang “marah” ialah para penganut Islam hard liner yang selama ini memperjuangkan diterapkannya “khilafah Islamiyah” di Indonesia dan hal itu tidak lain ialah orang HTI yang selama ini memiliki identitas lambang sebagaimana bendera yang dibakar. Makanya dapat dipastikan bahwa yang mengibarkan bendera pada saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ialah orang HTI atau penganut Islam hard liner.

Bagaimana relasinya dengan meningkatnya tensi politik nasional menjelang pilpres 2019? Inilah yang rasaya menarik untuk dibahas meskipun relasi tersebut bercorak samar-samar sebab ada panggung ambivalen yang terjadi dibalik tindakan membela terhadap bendera bertuliskan kalimat tauhid tersebut. Panggung ambivalen tersebut dapat diketahui sebab semua pasangan calon presiden dan wakil presiden dipastikan mengusung NKRI dan Pancasila sebagai harga mati. Namun di kalangan pendukung pasangan tersebut ternyata memang ada yang memiliki agenda lain, yang sering disebut sebagai gerakan khilafah yang dilakukan secara sistematis.

Panggung ambivalen inilah yang menyebabkan varian ungkapan dan tindakan di kalangan pendukung capres Pak Prabowo-Bang Sandi. Di satu sisi Pak Prabowo adalah nasionalisme tulen, demikian pula Bang Sandi, akan tetapi lingkarannya terdapat sekelompok orang yang memiliki agenda lain, misalnya ialah orang HTI yang secara dukungan berada dibalik bendera warna hitam bertuliskan kalimat tauhid. Memang dipastikan bahwa mereka hanya menggunakan jargon pembakaran kalimat tauhid, akan tetapi panggung dalamnya ialah pembakaran bendera kelompok tertentu.

Mereka, kaum pembelanya, beralasan bahwa yang dibakar ialah kalimat tauhid dan mengabaikan warna hitam atau bendera itu milik siapa. Yang penting bahwa yang dibakar ialah kalimat tauhid, kalimat di dalam Islam yang dimuliakan oleh umat Islam sejagat. Diabaikan bahwa yang mengusung bendera dengan warna dan tulisan ini ialah mereka yang selama ini menggunakannya.

Dengan menggunakan jargon “pembakaran kalimat tauhid” maka sebenarnya mereka sedang mencari panggung simpati dari umat Islam yang selama ini tentu memiliki keterlibatan psikhologis dengan tulisan tersebut. Jadi, sesungguhnya yang terjadi ialah perebutan panggung politik untuk mendukung kepada calon presiden dan wakil presiden yang didukung dan akan dipilihnya.

Seseorang dengan mudah akan bisa membaca terhadap fenomena ini. Rasanya menjadi sangat transparan bahwa perang media sosial terkait dengan pembakaran bendera ini sesungguhnya adalah panggung politik untuk memperebutkan dukungan dan simpati di dalam pilpres 2019. Jadi membacanya pastilah tidak jauh dari ranah ini. Dan ternyata memang demikianlah adanya.

Secara tidak langsung, maka kesan yang diperoleh ialah bahwa hal ini merupakan pertarungan politik yang mendukung terhadap Pak Prabowo-Bang Sandi melawan Pak Jokowi- Kyai Ma’ruf Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.