MEMBACA KASUS HABIB RIZIQ
MEMBACA KASUS HABIB RIZIQ
Ada peristiwa yang menarik akhir-akhir ini terutama yang menyangkut tokoh umat Islam di Indonesia yang sedang bermukim di Arab Saudi, Habib Riziq Syihab. Tokoh agama dan orator yang menggerakkan unjuk rasa damai 212 beberapa bulan yang lalu. Dia pergi ke Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama pasca unjuk rasa, dan tentu tanpa berita dan penjelasan, dan baru hari-hari terakhir ini ada berita tentang penangkapan beliau oleh otoritas keamanan pemerintah Arab Saudi.
Sebelum pemberitaan di televisi, saya sudah mendapatkan informasi tersebut yang tersebar di WA, mengenai penangkapannya, yaitu sebuah surat yang disampaikan oleh Duta Besar Berkuasa Penuh RI di Riyadh, Agus Maftuh Abegebril, bahwa informasi mengenai penangkapan Habib Riziq adalah sebuah kebenaran. Digambarkan di dalam surat itu, bahwa beliau ditangkap di tempat pemondokannya oleh otoritas Keamanan Kerajaan, akan tetapi sudah dilepas kembali dengan jaminan.
Di antara yang menyebabkan penangkapan ialah adanya laporan masyarakat bahwa di rumah pemondokan tersebut terdapat bendera berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid. Bendera dengan warna dan tulisan seperti itu selama ini dijadikan sebagai lambang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) inilah yang dijadikan semacam prasangka bahwa rumah tinggal ini menjadi tempat untuk gerakan ISIS di Arab Saudi.
Berdasarkan pemberitaan di televisi, bahwa memang didapati gambar berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid yang di Arab Saudi dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah. Arab Saudi memang sangat alergi terhadap gerakan-gerakan seperti ISIS atau lainnya karena dianggap sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang absah.
Sebagai negara monarkhi, Arab Saudi memang rentan terhadap berbagai pembangkangan yang bisa menganggu terhadap pemerintahan itu. Apalagi di era sekarang yang sangat memungkinkan berkembangnya pembangkangan politik, misalnya melalui kritik atas pemerintah dengan menggunakan media sosial atau media lainnya. Di saat misalnya kasus Kasoghi, wartawan Washington Post, belum memperoleh kejelasan, dan kemudian didapati bendera hitam bertuliskan tauhid yang hal itu identik dengan bendera ISIS, maka pemerintah akan bertindak sangat tegas.
Tentu kita tidak tahu, apa motif Habib Riziq memasang tulisan itu, tetapi sejauh pemberitaan yang kita terima bahwa beliau memang menganjurkan agar di rumah-rumah dipasang bendera berwarna hitam tersebut. Jika berita ini benar, maka tentu menjadi mafhum jika di rumahnya juga dipasang bendera itu, sebagai keteladanan atas ungkapannya.
Di dalam studi etnometodologi, bahwa setiap fenomena tentu memiliki makna mendalam dan jika orang melakukan pelanggaran maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius. Mungkin saja dianggap bahwa pemasangan bendera itu sesuatu yang sangat biasa. Di Indonesia, misalnya urusan bendera ini menjadi masalah ketika bendera tersebut dibakar. Ada yang marah dan ada yang mendukung pembakarannya. Dan tindakan tersebut juga memberikan makna siapa yang dianggap pendukung bendera itu dan siapa yang kontra dukungan.
Sebelum masalah bendera ini menjadi masalah di Indonesia, maka orang memasang dan menggunakan bendera warna hitam adalah hal yang biasa saja. Di dalam setiap unjuk rasa yang dikomandani oleh Islam hardliner, selalu saja ada bendera-bendera yang seperti ini. Baru akhir-akhir ini saja rasanya orang menjadi peduli dengan bendera atau lambang-lambang organisasi keagamaan, terutama terhadap bendera warna hitam bertuliskan tauhid, yang dianggap sebagai bendera ISIS atau HTI.
Dua rentetan peristiwa tentang bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid ini seakan menyengat pemahaman kita bahwa bendera bukan hanya persoalan sederhana akan tetapi merupakan masalah yang rumit. Ia melibatkan perasaan, emosi dan keyakinan sehingga bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang di luar nalar kita. Pembakaran bendera berkalimat tauhid itu juga sesuatu yang di luar nalar sebab dipahami sebagai pembelaan demi menjaga NKRI dan Pancasila. Dan yang menolak pembakaran juga sama memiliki sentiment keagamaan yang tinggi sebab menganggap bukan bendera warna hitamnya akan tetapi kalimat tauhidnya.
Dengan demikian selalu ada penafsiran yang berbeda antara yang pro dan kontra menghadapi masalah ini. Termasuk juga mungkin ketika Habib Riziq menempelkan bendera warna hitam bertuliskan kalimat tauhid juga dikiranya tidak menjadi masalah sensitive. Akan tetapi seirama dengan perkembangan zaman yang semakin keras karena tekanan ekstrimisme dan terorisme, maka warna bendera dan tulisannya bisa saja ditafsirkan sebagai sikap pembangkangan terhadap negara.
Oleh karena itu, kita semua harus berpikir dua tiga kali jika kita akan mengemukakan pendapat, mengekspresikan gagasan atau tindakan, baik ucapan maupun medsos sebab di sekeliling kita terdapat sejuta mata yang mengamatinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.