Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (1)

HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (1)

Meskipun ada banyak orang yang menyatakan bahwa tahun politik 2019 tidak akan terjadi politik identitas, akan tetapi nyatanya bahwa keramaian menjadikan agama sebagai content media sosial untuk artikulasi kepentingan politik masih saja tetap mengedepan. Skalanya memang tidak sebesar Pilkada DKI tahun lalu, akan tetapi nyatanya bahwa hiruk pikuk itu tetap saja gegap gempita.

Di antara yang menonjol ialah mengenai “pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid” yang dilakukan oleh Banser –salah satu organisasi di bawah NU—beberapa saat yang lalu. Meskipun tidak secara langsung hal ini terkait dengan dunia politik kita yang semakin memanas, akan tetapi aktor-aktor dibalik semua ini menjadi basis bagi kenyataan terjadinya politik identitas yang semakin menguat.

Mayoritas umat Islam memahami bahwa bendera berwarna hitam dengan tulisan kalimat tauhid merupakan lambang bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang di dalam setiap unjuk rasa selalu saja muncul di permukaan. Bendera itu begitu dominan di dalam berbagai aksi yang dilakukan selama ini. Makanya, orang awam pun juga mengetahui bahwa bendera itu identik dengan berbagai aksi yang melibatkan komponen orang Islam hard liner. Bukankah di dalam setiap aksi misalnya 212, dan sebagainya selalu saja muncul bendera-bendera seperti itu.

Bendera memang hanya sebuah lambang, dan tentu akan memiliki makna yang berbeda-beda. Namun lambang atau symbol selalu saja memiliki makna mendalam bagi para pemiliknya. Bendera adalah wujud appearance dari ungkapan batin. Makanya, orang akan menjadi “marah” di kala bendera itu dirobek atau dibakar. Dan itu yang terjadi pada waktu pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid. Jadi, artinya siapa yang “marah” atas pembakaran bendera itu, maka dialah sesungguhnya yang memiliki bendera itu.

Dan tentu bukan ketepatan bahwa yang “marah” ialah para penganut Islam hard liner yang selama ini memperjuangkan diterapkannya “khilafah Islamiyah” di Indonesia dan hal itu tidak lain ialah orang HTI yang selama ini memiliki identitas lambang sebagaimana bendera yang dibakar. Makanya dapat dipastikan bahwa yang mengibarkan bendera pada saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ialah orang HTI atau penganut Islam hard liner.

Bagaimana relasinya dengan meningkatnya tensi politik nasional menjelang pilpres 2019? Inilah yang rasaya menarik untuk dibahas meskipun relasi tersebut bercorak samar-samar sebab ada panggung ambivalen yang terjadi dibalik tindakan membela terhadap bendera bertuliskan kalimat tauhid tersebut. Panggung ambivalen tersebut dapat diketahui sebab semua pasangan calon presiden dan wakil presiden dipastikan mengusung NKRI dan Pancasila sebagai harga mati. Namun di kalangan pendukung pasangan tersebut ternyata memang ada yang memiliki agenda lain, yang sering disebut sebagai gerakan khilafah yang dilakukan secara sistematis.

Panggung ambivalen inilah yang menyebabkan varian ungkapan dan tindakan di kalangan pendukung capres Pak Prabowo-Bang Sandi. Di satu sisi Pak Prabowo adalah nasionalisme tulen, demikian pula Bang Sandi, akan tetapi lingkarannya terdapat sekelompok orang yang memiliki agenda lain, misalnya ialah orang HTI yang secara dukungan berada dibalik bendera warna hitam bertuliskan kalimat tauhid. Memang dipastikan bahwa mereka hanya menggunakan jargon pembakaran kalimat tauhid, akan tetapi panggung dalamnya ialah pembakaran bendera kelompok tertentu.

Mereka, kaum pembelanya, beralasan bahwa yang dibakar ialah kalimat tauhid dan mengabaikan warna hitam atau bendera itu milik siapa. Yang penting bahwa yang dibakar ialah kalimat tauhid, kalimat di dalam Islam yang dimuliakan oleh umat Islam sejagat. Diabaikan bahwa yang mengusung bendera dengan warna dan tulisan ini ialah mereka yang selama ini menggunakannya.

Dengan menggunakan jargon “pembakaran kalimat tauhid” maka sebenarnya mereka sedang mencari panggung simpati dari umat Islam yang selama ini tentu memiliki keterlibatan psikhologis dengan tulisan tersebut. Jadi, sesungguhnya yang terjadi ialah perebutan panggung politik untuk mendukung kepada calon presiden dan wakil presiden yang didukung dan akan dipilihnya.

Seseorang dengan mudah akan bisa membaca terhadap fenomena ini. Rasanya menjadi sangat transparan bahwa perang media sosial terkait dengan pembakaran bendera ini sesungguhnya adalah panggung politik untuk memperebutkan dukungan dan simpati di dalam pilpres 2019. Jadi membacanya pastilah tidak jauh dari ranah ini. Dan ternyata memang demikianlah adanya.

Secara tidak langsung, maka kesan yang diperoleh ialah bahwa hal ini merupakan pertarungan politik yang mendukung terhadap Pak Prabowo-Bang Sandi melawan Pak Jokowi- Kyai Ma’ruf Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..