HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (2)
HIRUK PIKUK KEBERAGAMAAN DI INDONESIA (2)
Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid tentu tetap menarik untuk diperbincangkan. Terasa terlambat tulisan ini diungkapkan, tetapi saya kira ada masalah mendasar yang perlu juga untuk dicermati, yaitu untuk menegaskan di mana posisi keduanya, pembakar bendera dan pembelanya serta pemilik bendera dan pendukungnya. Bahkan juga siapa yang didukungnya di dalam pilpres dan apa tujuannya.
Banser selama ini dikenal sebagai pembela gigih terhadap segala bentuk keinginan untuk mencederai terhadap kebinekaan, Pancasila, NKRI dan Undang-Undang Dasar. Ada banyak contoh bagaimana mereka ini membela terhadap kelompok lain atau agama lain dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Makanya, Banser dikenal sebagai kelompok militant pembela terhadap kebangsaan.
Pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid pun dilakukan pasti dalam kerangka pembelaannya terhadap kebangsaan ini. Mereka ini sangat alergi terhadap bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, sebab bendera ini sangat dikenal sebagai bendera ISIS dan juga bendera yang selalu dikibarkan di dalam berbagai unjuk rasa yang dilakukan oleh orang Islam hard liner. Dan di dalamnya ialah HTI.
Atas kesadaran bahwa bendera ini adalah milik ISIS atau HTI itu maka Banser melakukan pembakaran terhadapnya. Mereka mengindentifikasi bahwa bendera itu ialah milik kelompok Islam garis keras dan itu dianggapnya ancaman bagi keberlagsungan NKRI. Makanya, pembakaran dianggap sebagai “kebenaran” dalam mempertahankan NKRI.
Akan tetapi bagi pemilik bendera tersebut, inilah peluang untuk dijadikan sebagai panggung politik untuk memperebutkan dukungan dan simpati. Inilah saatnya untuk mendapatkan peluang menghantam terhadap lawan politik yang selama ini menggagalkan keinginannya. Dan peluang itu ialah melalui media sosial yang dahsyat pengaruhnya. NU dan segenap organisasi di bawahnya selama ini dikenal sebagai organisasi yang sangat “keras” dalam menghadapi serangan orang Islam garis keras itu.
Kaum garis keras menyadari bahwa narasi yang digunakan haruslah “pembakaran kalimat Tauhid”, sehingga dengan narasi ini akan bisa dijadikan sebagai message untuk meraih dukungan. Mereka akan memanfaatkan dukungan psikhologis masyarakat Indonesia yang kebanyakan sensitive terhadap segala bentuk penghinaan terhadap agama. Mereka akan memainkan peluang ini untuk mendulang dukungan dan simpati.
Peristiwa ini tentu bukanlah peristiwa yang tidak memiliki tujuan dan makna khusus. Bagi yang membakar maupun yang memiliki symbol tentu sama memiliki tujuan yang jelas. Dan melalui peristiwa pembakaran bendera ini kita bisa membaca tentang apa yang menjadi tujuan keduanya dan kepentingan politik macam apa dibalik peristiwa ini.
Peristiwa ini memberikan gambaran dukungan terhadap penggolongan sosial dan politik berbasis agama. Di satu sisi ada yang menjadikan pembakaran bendera ini sebagai momentum untuk mengukur dukungan umat Islam dan juga mengetahui bagaimana bentuk dukungan tersebut. Sementara itu, kelompok lainnya juga bisa memahami bagaimana dukungan terhadapnya dari berbagai masyarakat dan organisasi yang selama berlabel Islam moderat.
Sesungguhnya setiap fenomena akan dapat dibaca siapa dan mengapa fenomena itu terjadi. Tentu saja tidak ada factor tunggal yang menjadi penyebab atas terjadinya fenomena tersebut. Saya membacanya, bahwa ada dua factor yang penting untuk menjelaskan hal ini, yaitu: pertama, untuk menunjukkan bahwa organisasi garis keras itu masih eksis. Boleh saja pemerintah membubarkannya akan tetapi mereka masih eksis dengan gerakan-gerakannya. Bisa saja mereka mendompleng terhadap organisasi lain yang senada pandangan dan sikapnya di dalam melihat Indonesia ke depan.
Kedua, untuk memberikan gambaran bahwa mereka tidak sendirian dalam membela keyakinannya, akan tetapi terdapat sejumlah kelompok dan orang yang mendukungnya. Jadi tindakan ini bisa dijadikan sebagai barometer bahwa mereka masih memiliki pengaruh bagi kelompok atau sejumlah orang lain.
Dan yang paling penting sebenarnya ialah kita bisa membaca secara jelas, bahwa orientasi kepada gerakan ghairu wasathiyah akan terus eksis dan mereka berada di mana saat ini dan ke depan terutama di dalam menyongsong pilpres. Jadi tetap saja kita bisa memperoleh makna dari peristiwa ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.