Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERPOLITIKAN KITA MAKIN GADUH

PERPOLITIKAN KITA MAKIN GADUH

Di media sosial beredar pemberitaan dari para calon presiden Republik Indonesia, Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Tentu terkait dengan apa yang diungkapkan oleh mereka berdua di dalam kampanye presiden RI untuk pilpres tahun 2019. Rasanya, tensi dunia perpolitikan kita mulai meningkat dalam bulan November ini. Maklum pilpres memang sudah semakin dekat, tinggal beberapa bulan lagi.

Semula banyak yang berkemauan dan berkeinginan agar pilpres kita kali ini akan dilakukan dengan lebih sejuk dan smart. Semua berkehendak agar kita lebih arif untuk menyikapi hajat politik lima tahunan. Bukankah ritual liminal seperti ini akan terus terjadi sehingga mesti harus dianggap sebagai peristiwa biasa saja, tanpa kegaduhan yang berarti.

Namun kenyataannya, dunia media sosial kita memang luar biasa. Pengaruhnya menyentuh terhadap kehidupan kebanyakan masyarakat Indonesia. Tidak hanya urusan politik saja akan tetapi juga keterlibatan agama, ekonomi dan juga etnis. Himbauan agar tidak menggunakan agama dalam politik praktis hanyalah seruan belaka tanpa makna. Teriakan tinggal teriakan, himbauan tinggalah himbauan. Para pendukung calon sudah ngebet banget agar calonnya yang terpilih sehingga macam apapun cara akan dilakukannya termasuk juga dengan character assassination, hate speech atau lainnya.

Di akhir pekan ini, dunia medsos diramaikan dengan “politik genderuwo” yang diungkapkan oleh Pak Jokowi dan “hafalan Pancasila” oleh Pak Prabowo. Politik genderuwo dimaksudkan sebagai pemberintaan politik yang menakut-nakuti, membuat rasa tidak nyaman dan munculnya perasaan takut. Maklum di dalam tradisi Jawa, makhluk yang disebut genderuwo ialah sejenis makhluk halus yang pekerjaannya ialah menakut-nakuti manusia dengan wujudnya yang menakutkan. Maka, orang akan menjadi takut dan tidak berani lagi ke tempat itu.

Gambaran seperti ini yang dianggap oleh Pak Jokowi sebagai personifikasi genderuwo bagi perpolitikan nasional yang melakukan tindakan bukan mendidik untuk cerdas di dalam perilaku memilih akan tetapi justru sebaliknya untuk membuat masyarakat takut melakukan perilaku politik. Jadi, Pak Jokowi mencoba untuk membuat klasifikasi siapa politikus yang dianggap politikus genderuwo atau sebaliknya. Tentu saja beliau tidak menyebut siapa yang dimaksudkannya, akan tetapi secara tersirat tentu ungkapan ini ditujukan kepada lawan politiknya.

Lalu tentang Pak Prabowo, saya yakin bahwa semangatnya yang menyala-nyala sehingga membuat beliau kehilangan control ketika harus menyebutkan tentang urutan Pancasila. Kala menyebut sila satu sampai tiga, tampak lancar saja, akan tetapi ketika menyebut sila keempat, maka kelihatan kedodoran. Di sinilah kemudian terjadi viral bahwa beliau dianggap tidak hafal Pancasila. Sungguh merupakan penggambaran yang kurang arif dalam melihat sosok seseorang.

Pak Jokowi tentu berpengalaman banyak dibulli dalam berbagai kasus seperti ini. Dan karena pembullian yang berlebihan tersebut maka beliau mengungkapkan “kegerahannya” bahwa yang terjadi sekarang ialah “politikus sontoloyo dan politik genderuwo”. Dua ungkapan yang saya kira memang “realistis” di dalam kenyataan perpolitikan nasional yang makin carut marut.

Medsos memang sangat ampuh untuk menggiring opini public. Di era yang disebut “everyone wants to be a journalist” ini, maka setiap orang rasanya berhak untuk menyebarkan informasi, baik yang positif maupun negative. Jika nuansanya posisif tentu menguntungkan, misalnya medsos yang berisi nasehat keagamaan dalam konteks wasathiyah, akan tetapi jika nasehatnya adalah untuk “mengkafirkan orang lain, menganggap keberagamaan golongan tertentu salah dan tertolak”, maka bisa dibayangkan bahwa yang terjadi ialah munculnya antipati dan kebencian. Semua ini tentu tidak menguntungkan terhadap pengembangan kehidupan beragama yang arif dan meneduhkan.

Di medsos memang terus akan bergema informasi dari berbagai sumber, baik yang disetting atau tidak. Agar diingat bahwa di dalam media komunikasi ada yang disebut sebagai “agenda setting” bahwa semua message yang dipublish itu hakikatnya sudah diagendakan untuk menjadi opini public. Nah jika tujuan agenda setting ialah untuk melakukan character assassination, maka akan rusaklah masyarakat medsos kita.

Dan yang sering menjadi korbannya adalah orang yang sedang berkontestasi. Makanya, biasanya di sekelling calon apapun selalu ada tim kecil yang akan memblow up apa yang akan dijadikan sebagai tema pembicaraan. Oleh karena itu, agar kegaduhan tidak semakin kuat, kiranya memang semua harus arif. Terutama ialah tim sukses yang selalu mengintip kesalahan demi kesalahan lawan politiknya.

Jadikan pilpres sebagai arena kontestasi positif bagi kita dan proyek pembelajaran yang baik bagi anak bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..